Belajar Mencintai Puisi Sejak Dini
Apakah ada bedanya, jika anak mencintai sastra sejak dini, khususnya puisi ?
Punya pengalaman pribadi, mungkin adik Anda, anak Anda atau Anda sendiri ?
Saya mendengar pendapat di atas tahun 1982, di sebuah seminar di kampus Universitas Tidar Magelang. Kami anak-anak SMP dilibatkan untuk meramaikan.
Tapi sesungguhnya, saya mulai belajar membaca puisi sejak tahun 1977. Ketika itu saya baru kelas 4 SD, oleh sekolah ditunjuk untuk ikut latihan buat lomba baca puisi bersama-sama beberapa anak kelas 5 dan kelas 6. Ada seorang ibu guru yang melatih di rumahnya. Saya yang paling kecil, berusaha memenuhi tugas itu, sekalipun sering berangkat ke rumah bu guru sambil naik sepeda hujan-hujanan. Saya masih ingat judul puisi pertama yang saya pelajari itu. Judulnya PAHLAWAN TAK DIKENAL, karya Toto Sudarto Bachtiar.
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
…
Ternyata, sayalah akhirnya yang dikirim ke lomba antar sekolah. Di sana ya lucu-lucu. Ada yang mimik mukanya tanpa ekspresi. Ada yang ketika mengucapkan “peluru bundar”, tangannya melingkar seperti anak menyanyi “topi saya bundar”. Ada yang belum-belum sudah menangis …
Alhamdulillah, saya seharian di arena lomba. Disuruh baca lagi dan lagi. Sampai bosan. Ujung-ujungnya ternyata saya juara 3 se kotamadya. Yang juara 1 dan 2 dikirim ke tingkat di atasnya, entah karesidenan atau provinsi. Meski stop di situ (dan cuma disebutkan juara 3, tidak ada piagam, piala atau hadiah lainnya), tetapi sejak itu saya jadi mencintai puisi. Apalagi kalau dapat kumpulan puisi yang bagus-bagus, semacam karya Taufik Ismail atau WS Rendra.
Saya bahkan lalu mulai menulis puisi. Cuma karena saya bukan Abdurrahman Faiz yang dibesarkan oleh sastrawati Bunda Helvy Tiana Rosa, puisi-puisi saya berceceran tidak rapi. Setelah 35 tahun sebagian kecil berhasil saya kumpulkan lagi, ada yang masih tertulis pada buku jaman SD yang belum sempat dibuang. Ada yang di kartu ucapan yang biasanya selalu saya tulisi puisi. Entah kenapa kartu ucapan itu masih ada rumah, mungkin tidak jadi dikirim.
Ide puisi kadang muncul begitu saja. Kalau orang lain menyalurkan energi kekesalan atau kemarahan mereka dengan teriak-teriak, saya menyalurkannya dengan menulis puisi … Contohnya puisi berikut ini, ketika saya kesal melihat tingkah jama’ah pengajian yang menurut saya kurang proporsional.
Di dalam Khotbah
Orang-orang bersimpuh
Ada yang mendengar dengan patuh
Ada yang kisruh
Kalau yang pernah mondok bersua
Tanpa komentar mereka datang bersama, berlama
Mereka taqlid tak sanggup angkat muka
Kalau dari luar yang bicara
Berjubel massa
Ingin menimba, mendegar atau memirsa
Atau mengamin doa saja
Ada pula cuma mengintip lewat kamera
Kalau orang kantoran yang bersorah
Mereka bosan, ngantuk ingin pulang saja
Rasanya nan belajar matematika
Teredam segala karya dan karsa
Terbenam di bawah hawa selera
Deru kobar semangat dari rakyat yang tahu adat
Dari hati yang mengaku ilmu-ilmu sehitam bulu
Tapi hadapi ini mereka tak mau mampu
Tapi hadapi itu mereka enggan bersatu
(Masjid Jami’ Magelang, Februari 1983)
Ketika saya SMP, saya juga mulai mengirimkan puisi saya ke media massa. Ini puisi saya paling pertama yang dimuat:
Doa Husni
Dan mushola ini sudah berbercak
Acak
Langit bergayut sawang
Lantai pecah retak
Dinding mangkak
Sudut-sudut kuning Bacin
Dan mushola ini penuh manusia
bukan sholat bukan berdoa
Tapi arak, judi dan zina
Saat berebut hasil jasa
Dan mushola ini semakin jauh
Hati-hati yang rapuh
Akan luruh
Dicengkam rusuh
Dan mushola ini semakin sepi
Tak ada umat tak ada kiai
Malu dan tabu menyelimuti
Tinggallah doa Husni
Mengalun sepi
Menyendiri di malam sunyi
(Magelang, 21 Maret 1983)
(dimuat di majalah Zaman, 4 Juni 1983)
Ketika saya SMA, puisi itu saya coba pasang di majalah dinding. Oleh guru Bahasa Indonesia diminta dilepas, takut ada unsur SARA. Guru tersebut kebetulan non muslim. Padahal puisi itu sudah dimuat di media nasional. Sebenarnyalah, kejadian yang dilukiskan dalam puisi itu adalah kisah nyata. Ada mushola yang mengalami nasib mengenaskan seperti itu. Dan iman saya yang paling lemah hanya bisa menuliskannya menjadi sebuah puisi.
Saya juga lalu gemar membaca tafsir-tarjamah Qur’an gaya puitisasi dari HB Yassin. Meskipun ada orang yang keberatan Qur’an dibaca secara puitis, tapi kalau itu justru mendekatkan pendengarnya pada Qur’an, pada Allah, pada keindahan Islam, terus di mana salahnya?
Cinta puisi ini berjalan terus hingga sekarang. Tapi puisi tidak bisa direkayasa atau dibuat mengejar tayang atau mengejar “Tahun Anggaran”. Puisi bisa keluar kalau ada mood, bisa getar sejarah di sebuah lokasi, bisa ketegangan peristiwa, bisa energi-energi lain yang sulit tersalurkan. Misalnya ini, puisi ketika saya berada di Masjid Nabawi, Madinah, tahun 1994.
Dari relung-relung Masjid Nabawi
Aku bayangkan
Aku bersujud di tempat dulu Abu Bakar bersujud
di antara rumah Nabi dan mimbarnya
yang konon adalah secuil dari taman-taman surga
Aku bayangkan
Aku berdiri di tempat dulu ‘Umar berdiri
Tegar menghadang pasukan kufar di medan Badar
Tegar membedakan yang ma’ruf dari yang munkar
Aku bayangkan
Aku belanja di tempat dulu ‘Utsman berniaga
Ketika musim paceklik panjang melanda
Lalu tiba-tiba dagangannya dia sedekahkan semua
Karena katanya Allah telah membelinya
Aku bayangkan
Aku mengaji di tempat dulu ‘Ali mengaji
Memahat ayat-ayat suci
Ke dasar hati ke lubuk nurani
Untuk bekal hari ini dan sesudah mati
Aku bayangkan
Aku menjadi sahabat setia nabi
meski tak pernah kujumpa bahkan dalam mimpi
tapi aku rasakan kehadirannya tak cuma di masjid ini
(Masjid Nabawi, 1994)
Meskipun puisi itu saya tulis sendiri, tetapi setiap saya baca kembali, saya merasakan kembali getaran Masjid Nabawi atau Kota Madinah, yang bisa membuat saya merinding dan menangis. Apakah Anda merasakannya juga?
Kemudian ketika suasana dalam sebuah diskusi Islam begitu memanas, ketika kalangan sekuler-liberal yang merasa di atas angin kelihatan sangat bernapsu menghajar kalangan pro-syariah, saya akhirnya memutuskan mengangkat tangan, tidak untuk bertanya atau menyanggah, tetapi untuk membacakan puisi ini:
Kalau ide khilafah dianggap mengotori
kalau ide khilafah dianggap ide kotor dan mengotori,
maka mau dibawa kemana kenangan manis ummat ini,
pada Khulafaur Rasyidin dari Abu Bakar hingga Ali,
pada zaman keemasan Bagdad dan Cordova di Andalusi,
juga Khilafah Utsmani saat membantu Aceh di ujung sini,
ketika menghadapi Portugis yang ingin menjajah negeri ini.
Kalau ide khilafah itu ide kotor yang harus dibuang,
mau dibawa ke mana hadits-hadits yang cemerlang,
menyebutkan, bahwa Rasulullah berterus terang,
— “Bani Israel diperintah oleh para nabi.
— Setiap satu nabi wafat, akan diangkat nabi yang lain.
— Namun setelahku tidak ada lagi nabi,
— Namun akan ada banyak khalifah silih berganti”.
— “Lalu apa kewajiban kami?” tanya sahabat menantang.
— “Penuhi bai’at yang pertama”, kata nabi dengan tenang.
Bila khalifah mempersatukan, maka mereka akan menang.
Dan kalau ide khilafah itu ide sesat dan menyesatkan,
terus dengan ide apa umat ini akan dibangkitkan?
terus dengan apa agama ini akan dipertahankan?
terus dengan apa missi merahmati alam ini akan disebarkan?
Apakah sekulerisme dan demokrasi yang dianggap kawan?
Siapa sekulerist dan demokrat yang pantas dijadikan teladan?
Siapakah yang sukses dunianya dan di surga bertemu Tuhan?
Kami ingin pencerahan ..
Demikian juga dalam sebuah aksi tolak kekerasan atas nama agama, di mana berbagai pihak lebih suka berhadap-hadapan dan melupakan substansi persoalannya, saya mencoba mengetuk pintu hati orang-orang dengan cara yang berbeda:
Kalau saja hati kita seperti kaca
Kalau HIV adalah wabah yang menyerbu kampung kita,
Tentu cerdas bila sang Ustadz menyentil dalam khutbahnya,
Namun lebih cerdas lagi, bila ia tempatkan dalam konteksnya,
karena HIV bukanlah fenomena lokal semata,
maka menangkalnya perlu sinergi dari ketaqwaan manusia,
kontrol sosial lingkungannya, dan kepedulian negara,
bahkan lintas negara karena global cakupannya.
Kalau pelacuran adalah malapetaka kota kita,
Tentu syar’ie mengupasnya di majlis-majlis dzikir di sana,
Namun lebih syar’ie untuk membahasnya tak sekedar dari dosa dan pahala,
Karena bisnis tertua itu adalah limbah dari sistem ekonomi yang berkuasa,
Yang menindas hak-hak kaum dhuafa dan mencampakkan peran keluarga,
Maka harus dari segala mata angin penangkalnya,
Mulai dari diri sendiri, termasuk dari diri para penguasa.
Kalau Imam Samudra sudah mengakui dialah pelakunya,
Tentu cerdas bila sang Ustadz mencegah pelaku berikutnya,
Karena aksi-aksi teror mereka bukanlah jihad yang sejatinya,
Mungkin radikalitas mereka hanya diperalat agen-agen maya,
Yang tak pernah dapat kita bongkar jati dirinya,
Sebab kita selalu menghindar berpikir ke sana.
Kalau Al-Faruq & Hambali dibawa ke depan kita buat bicara,
Siapa sesungguhnya mereka dan majikan yang menyuruhnya,
Tentu akan jelas semua duduk perkaranya,
Mungkin pada Israel dan Amerika tak perlu kita curiga,
Namun ada apa di balik semua kabut dan rahasia,
Yang mungkin tak kan terkuak berabad lamanya.
Kalau saja Islam cukup didakwahkan tanpa negara,
Tentu tak perlu Allah menurunkan beberapa ayatnya,
Yang ayat itu tak mungkin tanpa negara akan terlaksana,
Tentu tak perlu Rasul mencari Nushroh ke beberapa kabilah yang berkuasa,
Yang dengan itu sebuah sistem baru akan dikawalnya,
Namun sebuah negara tentu bukan sekedar jargon sederhana,
Di dalamnya diperlukan kelengkapan maha rumit dan tertata,
Di dalamnya diperlukan manusia-manusia yang tak hanya bisa bicara,
Namun juga ihlas berkorban dan cerdas bekerja.
Kalau saja kita punya cukup waktu untuk duduk bersama,
Serta hati yang jernih untuk menyelami persoalan rumit agar jadi sederhana,
Tentu kita tidak perlu berkepala panas dan mulut hingga berbusa-busa,
Tentu kita tidak perlu kepada saudara kita berburuk sangka,
Karena kita masing-masing punya masa lalu yang berbeda,
Dengan endapan pengetahuan dan pengalaman aneka rupa,
Karena mungkin yang kita tahu tak lebih seujung kuku saja,
Atau boleh jadi apa yang kita sangka lawan kita perlu baca,
justru santapan kesukaannya di kala muda,
Karena boleh jadi apa yang kita yakini bermasa lamanya,
Besok berubah drastis karena secercah cahaya di dalam sukma,
Sebagaimana Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi hingga ubun-ubunnya,
Tiba-tiba menjadi pembela Islam yang paling terpercaya.
Kalau saja kita masih diberi usia senafas lamanya,
Tentu kita ingin nafas kita itu berjuta maknanya,
Bermanfaat bagi manusia tanpa pandang siapa Tuhan mereka,
Karena Baginda Rasul mencontohi begitu rupa,
Karena para Sahabat adalah generasi terkemuka,
Yang Allah ridha pada mereka, dan penghuni langit mendoakannya,
Tentu kita harus kaji mendalam segala reniknya,
Dengan hati bening untuk menerima kebenarannya,
Sekalipun jerit nafsu kita ingin menolaknya.
(mus-lim@isnet.org 2004-10-05).
Ya, rupanya memang mencintai puisi sejak dini telah membuat saya menjadi sosok yang berbeda.
Alhamdulillah.
Tags: family, Pendidikan Anak, puisi
Leave a Reply