Intangible Asset adalah aktiva tidak berwujud yang didefinisikan atau diidentifikasi sebagai aset non-moneter yang tidak dapat dilihat, disentuh atau diukur secara fisik, tetapi diciptakan melalui waktu dan usaha.
Ada dua jenis bentuk utama:
1. bersifat hukum (seperti rahasia dagang (misal daftar pelanggan), paten, copyright, dan merek)
2. bersifat kompetitif (seperti pengalaman, kegiatan kolaborasi, reputasi, budaya organisasi, dan kepuasan pelanggan).
Menghitung asset tak berwujud tidak semudah menghitung asset berwujud. Perlu banyak sekali asumsi dan model.
Model pertama misalnya, asset tak berwujud itu dihitung dari metode perolehan.
Biaya paten, copyright atau merk bisa diketahui secara langsung karena ada daftar tarifnya dari Kantor HAKI. Tetapi riset atau usaha sebelum ada sesuatu yang bisa dipatenkan dsb itu lah yang harus diasumsikan. Kalau riset untuk sebuah model mesin yang lebih efisien perlu 1 tahun, dan dilakukan oleh 5 peneliti, maka bisa diasumsikan berapa gaji peneliti, alat, dan bahan yang diperlukan sampai mesin itu layak paten. Mungkin kalau gajinya rata-rata sekitar Rp. 10 juta/bulan, maka dapat diasumsikan, riset itu akan memakan biaya Rp 10 jt x 5 orang x 12 bulan = Rp. 600 juta. Ditambah dengan alat dan bahan yang dipakai selama eksperimen dan fase prototype, maka kira-kira habis biaya Rp. 1 Milyar. Jadi inilah nilai paten tersebut dari sisi metode perolehan. Hal yang sama juga untuk sebuah pembuatan software, yang nanti produknya bisa dijual secara eceran pada lisensi copyrightnya.
Tetapi untuk merek atau rahasia dagang tentu menghitung nilai dengan metode perolehan ini agak susah. Nilai merek dan rahasia dagang itu diperoleh nyaris sejak perusahaan itu berdiri. Kalau perusahaan itu telah berusia 10 tahun, berapa kira-kira nilainya?
Ternyata kasus kedua ini lebih mirip pada intangible asset yang bersifat kompetitif. Merek sangat tergantung pada pengalaman, reputasi dsb. Dan ini hanya bisa didekati dengan metode potensi kapitalisasi.
Biasanya cara menghitungnya adalah dengan menghitung dari nilai pendapatan real perusahaan itu, trendnya (naik/turun), serta pangsa pasar yang masih bisa dijangkau. Bila perusahaan itu misalnya memiliki pendapatan tahunan Rp. 1 Trilyun dengan trend tumbuh 10%, maka dapat diasumsikan bahwa nilai pertumbuhan itu terjadi karena asset intangible jenis kedua ini. Kalau perusahaan itu listing di pasar modal – lepas dari soal setuju atau tidak dengan model bursa saham seperti ini – maka sesungguhnya nilai saham juga mencerminkan asset intangiblenya. Sebuah perusahaan yang reputasinya bagus, akan berpotensi meningkat pendapatannya di masa depan, sehingga nilai sahamnya juga akan meningkat. Sebaliknya, sebuah perusahaan yang reputasinya jatuh, misalnya karena kasus penipuan, nilai sahamnya akan anjlog, bahkan bisa sampai nol sama sekali, sekalipun sebenarnya mereka masih punya asset tangible seperti gedung, peralatan dsb. Ini karena tidak ada yang mau beli. Hal ini pernah terjadi pada perusahaan raksasa Amerika seperti Enron atau Worldcom.
Jadi berapa kira-kira nilai asset intangible jenis ini? Serahkan saja pada pasar, mereka berani menghargai berapa? Karena mereka pasti berharap akan menikmati keuntungan yang lebih tinggi. Microsoft atau Google adalah contoh nyata perusahaan yang nilainya didominasi oleh asset intangible. Satu software sederhana dari Microsoft mungkin dapat dihitung dengan metode perolehan memiliki nilai US$ 1 juta. Jika lisensi software itu dijual secara eceran seharga US$ 10 / copy, maka investasi itu baru balik modal setelah terjual 100.000 copy. Tetapi potensi kapitalisasi pasar Microsoft telah sedemikian besar. Di seluruh dunia diperkirakan ada lebih dari 500 juta computer menggunakan sistem operasi buatan Microsoft. Kalau 1% saja dari mereka tertarik untuk membeli software sederhana tadi, maka itu sudah 5 juta x US$ 10 = US 50 juta. Jadi 50 kali dari biaya perolehannya. Tentu saja tidak semua perusahaan bisa meniru metode perhitungan ini, karena tidak semua memiliki reputasi dan pangsa pasar sebesar Microsoft.
Pada mereka yang memiliki jasa membesarkan perusahaan dengan asset intangible, misalnya karena ide-ide jeniusnya, atau jejaring pasar yang dia buka, perusahaan sering memberikan share secara langsung, sehingga setiap ada keuntungan mereka akan dapat bagiannya, sekalipun mereka tidak menyerahkan modal (uang) kepada perusahaan. Sedang pada mereka berjasa tetapi juga ikut andil secara fisik misalnya dalam bentuk uang, penghargaannya bisa berupa pembagian keuntungan yang lebih besar dari sekedar proporsi andil fisiknya. Ini jelas sesuatu yang fair.
Bagaimana kalau ini diaplikasikan pada pribadi, bukan perusahaan?
Pada orang pribadi, kedua jenis asset intangible itu mungkin dimiliki. Tetapi mungkin asset intangible yang bersifat kompetitif yang paling mungkin dimiliki semua orang. Ketika orang dikenal baik reputasinya atau pengalamannya, maka faktanya “pasar” akan mengakuinya dengan “menawar”-nya dalam kompetisi dengan orang lain yang ingin mengambil manfaat dari orang itu. Seorang ilmuwan yang terbukti unggul pengalamannya, akan ditawari bekerja di sana-sini, atau setidaknya kebanjiran order di sana-sini, sehingga boleh jadi dia akan memilih pihak yang memiliki rekam jejak lebih tinggi penghargaannya. Ini bukan kapitalisasi ilmu, tetapi suatu mekanisme pasar yang wajar. Sedangkan orang yang asset intangible-nya tidak sesuai, justru akan ditinggalkan pasar ketika dia minta tarif terlalu tinggi.
Bahkan hal ini juga menyangkut hal yang sangat pribadi. Seorang yang ingin menikah, baik laki-laki maupun perempuan, sebenarnya lebih membawa asset intangible-nya dari yang tangible. Karena asset tangible seperti uang, kendaraan atau rumah bisa hilang, binasa kena bencana, dirampok orang, atau habis untuk biaya berobat. Tetapi asset intangible seperti pengalaman, kejujuran, jejaring teman-temannya, akan bisa membuat asset tangible baru. Mungkin pengalaman akan menyelamatkannya dari bencana. Mungkin kejujuran akan membuatnya dipercaya untuk menjalankan bisnis banyak orang. Dan mungkin teman-temannya yang berada di mana-mana akan menghemat banyak hal ketika dia membutuhkan sesuatu.
Di tingkat negara, asset intangible ini juga lebih menentukan. Singapura atau Jepang adalah negara dengan asset tangible yang minim. Mereka nyaris tidak punya sumberdaya alam. Tetapi bangsa mereka secara kolektif memiliki asset intangible yang luar biasa, seperti etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring pasar, nyaris bebas korupsi dan sebagainya. Hal sama dimiliki oleh generasi muslim terdahulu ketika mereka mulai membangun Daulah Khilafah. Mereka lebih bermodal kepada asset intangible daripada asset tangible. Hanya makin lama asset intangible ini makin jarang dirawat, sehingga akhirnya “menguap” bersama waktu. Kita memang memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan asset intangible ini. Tetapi itu harus dimulai. Kita bisa mulai untuk tidak lagi membanggakan diri dengan sumberdaya alam kita ataupun materi yang kita miliki. Tetapi kita berintrospeksi pada asset-asset intangible yang kita miliki, etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring, bebas korupsi, …
Wallahu a’lam bis shawab.
Banyak muslim yang sebenarnya bersemangat belajar apa saja kalau ada dorongan agama. Termasuk belajar sains. Tetapi kadang-kadang mereka membatasi sendiri rejekinya dengan belajar “SAINTIFIKASI ISLAM”, bukan Sains Islam.
Saintifikasi Islam adalah adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan yang dianggap benar dalam Islam. Pernyataan yang “taken for granted” sebagai kebenaran dalam Islam tentu saja adalah yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, baik itu mengenai suatu hal yang harus dipercaya atau suatu amal yang harus dilakukan.
Hal-hal yang harus dipercaya masuk dalam kategori aqidah. Bila sumbernya adalah Qur’an atau hadits mutawatir, kemudian dalalahnya tidak multitafsir, maka ia masuk dalam dalil qath’i, yang wajib dibenarkan secara pasti. Misalnya adalah:
– pernyataan bahwa di sekitar kita bersliweran malaikat, jin dan setan; malaikat rahmat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya, sholat shubuh dan ashar disaksikan oleh dua malaikat, di tengah pasangan pria-wanita bukan mahram yang berdua-duaan terdapat setan, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah mengutus banyak Nabi di berbagai tempat, masa, dan dengan berbagai mukjizatnya, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama, Nabi Nuh disuruh membuat perahu, Nabi Musa pernah membelah Laut Merah, Nabi Sulaeman pernah berbicara dengan binatang, Nabi Isa pernah menghidupkan orang mati, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah telah menurunkan berbagai kitab suci, yang di dalamnya berisi ajaran tauhid dan mengabarkan akan kedatangan Nabi Muhammad.
– pernyataan bahwa alam semesta ini dulu diciptakan dan nanti alam semesta akan mengalami kiamat berikut tanda-tandanya, lalu setelah itu manusia akan dibangkitkan dan akan ditempatkan di surga atau di neraka.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah hal-hal yang ada di luar dunia empiris, sehingga nilai kebenarannya sangat tergantung pada sejauh mana penerimaan seseorang pada dalil qath’i yang menjadi sumbernya.
Sedang hal-hal yang harus dilakukan termasuk amal baik dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan manusia lain. Misalnya adalah:
– sholat Shubuh 2 rokaat, sholat Maghrib 3 rokaat, yang lain 4 rokaat
– sholat tahajud dll sebagai amalan sunnah.
– puasa di bulan Romadhon, dan beberapa jenis puasa sunnah.
– makan-minum yang halal dan thayyib, dan beberapa jenis makanan/minuman yang diharamkan.
– penggunaan busana yang menutup aurat.
– bentuk pergaulan laki-perempuan (pernikahan) yang disahkan.
– syariat wudhu dan mandi janabat.
– tatacara pengurusan jenazah.
– pengaturan ekonomi yang bebas riba, maisir, gharar dsb.
Nah, SAINTIFIKASI ISLAM berkutat pada masalah-masalah “sains” di balik semua pernyataan yang diasumsikan benar dalam Islam ini. Jadi penelitian-penelitian di bawah ini masuk kategori saintifikasi Islam:
– penelitian mendeteksi kehadiran malaikat dengan Infrared, radiasi Gamma atau Neutrino, “dikontrol” dengan beberapa amalan & kondisi khusus; apakah benar pada ruangan yang diselenggarakan sholat shubuh berjamaah dapat dideteksi tanda-tanda kehadiran lebih banyak malaikat?
– penelitian menguji kebenaran pernah terjadinya mukjizat para Nabi, misalnya:
— pencarian footprint Adam & Hawa ketika turun dari surga,
— pencarian relik kapal Nabi Nuh,
— menganalisis berbagai proses terjadinya pembelahan laut Merah,
— membuktikan bahwa Firaun memang mati tenggelam di laut tapi jasadnya terselamatkan,
— mencari bekas 12 mata air Nabi Musa,
— mencari fossil hewan yang pernah berbicara dengan Nabi Sulaeman
— mencari gua Ashabul Kahfi dan mempelajari efek terowong waktu,
— mencari fossil mayat yang konon pernah dihidupkan Nabi Isa,
— mencari bekas bulan yang terbelah di masa Nabi Muhammad, dsb.
– penelitian manuskrip-manuskrip kuno yang diklaim sebagai Kitab Nabi Musa, Daud, Isa dsb.
– penelitian keberadaan “terompet Israfil”, pintu neraka dsb.
– penelitian EKG & EEG pada orang yang sholat khusyu’.
– penelitian fisiografis & psikografis pada orang yang sedang puasa.
– penelitian dampak jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi, bangkai, darah).
– penelitian kesakitan yang diderita ternak saat disembelih dengan cara syar’i dan non syar’i.
– penelitian dampak sosiologi dan ekonomi pada penggunaan busana muslimah.
– penelitian dampak khitan pada kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologis.
– penelitian komparasi pada mereka yang polygami dibandingkan dengan yang non polygami.
– penelitian dampak wudhu & mandi janabat pada berbagai aspek kesehatan
– penelitian dampak beberapa jenis pengurusan jenazah (dikubur, dibakar, dibalsem, …).
– penelitian kondisi ekonomi pada beberapa tingkat suku bunga.
– penelitian tentang efektifitas mata uang tunggal berbasis emas/perak.
Penelitian-penelitian saintifik tentang hal-hal di atas selalu menarik (amazing) bagi kaum muslimin, sehingga bahkan kadang-kadang lupa menguji kebenaran sainfitiknya ketika kesimpulannya sudah seolah-olah mendukung dalil. Banyak paper yang diklaim sebagai hasil penelitian orang Barat (non muslim) yang mendukung klaim kebenaran dalil itu, ketika ditelusuri ternyata tidak ditemukan. Semua link mengarah ke situs-situs milik muslim sendiri, dan itupun bukan sebuah karya yang dapat dikategorikan penelitian ilmiah (yang harus memenuhi syarat transparan, replicable, consistence dan explaining). Ketika rujukan itu tidak ditemukan, sering penjelasannya hanya, “ada konspirasi untuk menutupi kebenaran Islam”.
Sebaliknya ketika hasil penelitian berlawanan dengan yang dikehendaki, misalnya bahwa “tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang terbiasa mengkonsumsi babi dengan yang tidak”, maka tulisan ini cenderung dijauhi. Ini contoh suatu bentuk “kepengecutan ilmiah”. Seharusnya biarkan saja, toh nanti setiap riset akan diverifikasi dan direlatifkan oleh riset berikutnya, selama proyek “saintifikasi Islam” ini tidak menyedot energi utama ilmuwan muslim.
Yang benar adalah, meski riset-riset saintifikasi Islam ini “amazing”, tetapi dia sama sekali “not worth” (mengasyikkan, tetapi tidak ada manfaatnya), karena tidak akan mempengaruhi apapun pada nilai kebenaran dari pernyataan dalil yang harus diyakini maupun diamalkan.
Yang harus dipahami juga adalah, bahwa ada beberapa pernyataan di dalam Qur’an & Sunnah yang tidak masuk dalam dalil qath’i, karena dalalahnya multitafsir, sedang objeknya adalah dunia empiris, sehingga pantas bila diteliti secara saintifik. Inilah yang masuk kategori SAINS ISLAM. Misalnya persoalan:- apakah bumi yang mengitari matahari atau matahari yang mengitari bumi ?
– seberapa besar sebenarnya “langit dunia” itu ?
– seperti apa sesungguhnya mekanisme “air laut yang tidak tercampur” itu ?
– sejauh mana Habatussaudah bisa benar-benar “mengobati segala penyakit kecuali maut” ?
– bagaimana saja khasiat dalam jahe, sehingga disebut campuran minuman ahli surga ?
dsb.
Wallahu a’lam bis shawab
Bulan Maret 1987.
Kami, sekitar 250 calon penerima beasiswa LN OFP-Ristek, sedang ditatar P4 oleh BP7 Pusat. Itu karena kami akan dikirim sekolah ke Luar Negeri dalam jangka waktu setidaknya 3 tahun. Maka, penataran P4 dimodifikasi sedemikian rupa, agar nasionalisme menancap di diri kami. Beberapa pertanyaan seperti ini terlontar di forum:
– Ada nggak motivasi kenegaraan di dada Anda untuk belajar di LN ?
– Ada nggak rasa ingin menjadi pembaharu di Indonesia ?
– Apa yang Anda bilang bila di LN ada yang tanya tentang Pancasila ?
– Apa yang dapat Anda banggakan dari Indonesia ?
– Apa menurut Anda sumbangan Indonesia untuk dunia ?
– Bagaimana bila di sana ada musim protest, dan Anda jadi ketua Senat Mahasiswa ?
Tapi sebagaimana lazimnya penataran P4 di era Orde Baru saat itu, sebagian besar peserta menanggapinya dengan kurang serius. Apalagi P4 ini hanya sekedar syarat. Kalau tidak kebangetan, tidak akan ada yang tidak lulus.
Ketika kaki sudah menginjakkan bumi Eropa, kejutan demi kejutan mulai berdatangan silih berganti.
Yang pertama adalah sebuah kenyataan, bahwa alam Eropa itu ternyata sangat indah, bersih dan asri. Di Indonesia kita mungkin memang dikaruniai alam yang lebih majemuk dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tetapi kita harus menerima dengan rendah hati kenyataan bahwa manusia kita belum bisa merawat anugrah Tuhan itu dengan baik, sehingga yang mestinya lebih indah itu menjadi jorok, kotor dan terbengkelai.
Yang kedua adalah juga kenyataan, bahwa orang Eropa itu ternyata sangat ramah, tulus dan siap membantu. Di Indonesia kita dicekoki oleh mitos bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah. Tetapi coba lihat saja tingkah bangsa kita di jalan raya, atau tingkah para birokrat di tempat-tempat pelayanan rakyat. Mungkin mitos ramah dari bangsa kita itu karena murah senyum, tetapi faktanya, senyum itu sering karena ada maunya, atau karena ada kendala komunikasi. Namun yang jelas, ketika kita mengenal orang Eropa, ternyata mereka tidak kurang ramahnya, tidak kurang senyumnya, dan yang membuat aman, mereka lugas, tidak menyembunyikan maksud-maksud tertentu.
Yang ketiga adalah fakta, bahwa nyaris dalam segala aspek kehidupan, masyarakat Eropa memang lebih unggul dari bangsa kita. Dalam politik, mereka lebih bisa bertatakrama. Demokrasi bisa berjalan di masyarakat mereka, tanpa ekses-ekses negatif seperti money politik atau biaya tinggi, yang di Indonesia berujung pada korupsi. Para pemimpin mereka lebih bisa berbaur dengan masyarakat. Kritik bahkan demonstrasi biasa, tanpa anarki. Seorang Menteri bahkan biasa berangkat ke kantor naik angkutan umum. Di sisi lain kapitalisme pasar bebas bisa berfungsi mengoptimalkan ekonomi tanpa melebarkan jurang kesenjangan sosial, bahkan seraya tetap menjaga kelestarian lingkungan. Mungkin di Eropa memang ada semacam penyeimbang yang berangkat dari mazhab sosialisme (eco-social-free-market). Semua orang yang bekerja mendapatkan imbalan yang fair. Dan negara peduli pada kelompok sosial yang sedang tidak beruntung, sehingga untuk mereka diberikan santunan dan berbagai kemudahan lain. Kemudian, meski pemeluk Islam sangat minoritas, dan hari raya Islam belum menjadi hari libur, tetapi pada umumnya praktek ibadah tidak dihalangi. Muslimah memakai jilbab tidak didiskriminasi, bahkan di pasfoto dokumen resmi. Hal yang justru saat itu masih sulit dilakukan di Indonesia. Bahkan di dinas ketentaraan-pun, prajurit yang muslim bisa diberikan ransum halal.
Kalaupun ada yang kita anggap negatif di Eropa adalah gaya hidup bebas (liberalisme). Pasangan kumpul kebo bukan tabu di sana. Bahkan juga terjadi di antara orang baik-baik, misalnya kalangan akademiisi. Tetapi para pelaku di Eropa relatif “tahu diri”, sehingga tidak banyak ekses negatif seperti kekerasan atau aborsi. Jumlah aborsi per pasangan kumpul kebo, atau bahkan per populasi, mungkin jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di Eropa. Demikian juga konsumsi minuman keras. Penduduk Eropa jelas konsumen minuman keras yang fanatik. Hampir tiap acara makan akan didampingi setidaknya bier, kadang juga wine. Tetapi mereka juga “tahu diri”. Sangat sedikit yang kemudian bawa kendaraan sambil mabuk. Dan sekalipun semalaman mereka mabuk, esoknya mereka sudah bisa bekerja keras lagi dengan tingkat kualitas yang tinggi.
Jadi apa lagi yang masih bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia?
Kadang-kadang, kita merasa bangga masih memiliki seni budaya yang eksotik. Kita punya batik, gamelan, angklung, tari-tarian dan sebagainya. Tetapi ketika diadu dengan kesenian mereka yang memang sudah mendunia (misalnya Symphony V Beethoven atau Johan Strauss dalam New Year Concert), kita masih merasa keciiiil sekali. Bahkan kita kadang bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika, dengan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia, dengan Pancasila, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semua masih dalam teori.
Kenyataan ini membuat kita jadi mengerti, kenapa ketika upacara Sumpah Pemuda atau 17-Agustus di KBRI, tidak muncul rasa haru yang patriotik di kalangan orang-orang Indonesia. Yang muncul justru lagu Indonesia Raya yang terbata-bata, Pancasila yang agak lupa, dan Sumpah Pemuda yang “entahlah apa relevansinya”. Bagi mereka yang menetap di Luar Negeri, negara itulah tanah airnya, bahasa di situlah bahasanya, sedang bangsanya? tergantung, dengan siapa mereka menikah! Kalau mereka menikahi warga setempat, ya akan susah bicara “bangsa Indonesia”.
Tentang “budaya bangsa”, bukankah budaya itu sebuah proses yang dinamik? Apa yang hari ini kita sebut “budaya Indonesia”, sejatinya berabad-abad yang lalu adalah budaya Cina, budaya Arab, budaya India dan sebagainya. Maka tidak mustahil apa yang saat ini kita cemooh sebagai “budaya Barat”, suatu saat bisa menjadi “budaya Indonesia”. Masih mending kalau itu budaya tepat waktu, budaya bekerja profesional, atau budaya anti korupsi. Tetapi bagaimana dengan budaya minum bier, budaya kumpul kebo atau budaya hidup bebas lainnya ? Kalau sudah begini, maka rasa-rasanya nasionalisme kita mulai goyah. Nasionalisme kita mulai kehilangan pijakan.
Apalagi ketika mahasiswa sudah kenal bekerja di Eropa. Ternyata bekerja di Eropa sangat enak. Ada fairness yang sangat tinggi. Orang dihargai benar-benar sesuai prestasinya. Tidak kena PGPS layaknya PNS di Indonesia. PGPS = Pintar Goblog Penghasilan Sama. 🙂 Orang juga tidak perlu menyuap untuk mendapatkan kesempatan, atau korupsi sekedar agar hidupnya tercukupi. Tidak perlu. Maka banyak mahasiswa yang semula dikirim dengan beasiswa pemerintahpun akhirnya enggan untuk pulang. Mereka lebih memilih tetap tinggal di Luar Negeri, hidup dengan lebih berkualitas di masyarakat yang lebih berkualitas. Sebagian bahkan telah memiliki permanent resident atau bahkan pindah kewarganegaraan. Untuk mengurangi rasa bersalah, kadang-kadang mereka mencarikan beasiswa atau kesempatan sejenis bagi mahasiswa Indonesia. Atau mereka membangun jejaring dengan institusi di Indonesia untuk berbagi informasi atau teknologi.
Sebagian dari mereka ada yang pulang ke tanah air dan sempat bekerja mengabdikan ilmunya di lembaga pemerintah. Tetapi budaya yang masih kurang sehat di birokrasi membuat mereka tidak bertahan, dan akhirnya hengkang mengabdi kepada perusahaan asing yang lebih bonafid dalam segala-galanya.
Apakah mereka kurang nasionalisme ?
Nasionalisme yang seperti apa ?
Pada akhirnya memang cinta bangsa dan tanah air ini harus dibuktikan melalui sejumlah ujian.
Dan ujian yang paling tepat adalah ketika ada konflik kepentingan. Ketika tawaran bekerja di LN dengan gaji tinggi dan fairness disandingkan dengan mengabdi di Indonesia dengan gaji “penghinaan” dan sering terdholimi – tetapi bekerja di LN itu lebih memberikan manfaat kepada masyarakat mereka yang sudah maju dan makmur, sedang mengabdi di Indonesia pasti memberikan manfaat kepada masyarakat kita yang sedang berkembang dan belum makmur. Ujian yang lebih nyata lagi adalah ketika kita menjadi anggota tim negosiator suatu perjanjian antar negara, yakni ketika kita harus mempertahankan prinsip di tengah-tengah tawaran pribadi yang menarik ataupun ancaman pribadi yang menakutkan. Contoh misalnya dalam persoalan konvensi-konvensi internasional, atau rencana pinjaman Luar Negeri, di situ komitmen cinta bangsa dan tanah air benar-benar diuji.
Tetapi tunggu dulu! Kadang-kadang, mereka yang dikritik sebagai “penggadai” bangsa dan negara, sejatinya pada saat perundingan juga merasa sedang mencintai bahkan memperjuangkan bangsa dan tanah air. Mereka memperjuangkan agar Indonesia mendapatkan hutang dari IMF atau Bank Dunia, tanpa menyadari bahwa dalam jangka panjang itu akan menjerat lehernya sendiri. Mereka merasa sedang berjuang untuk Indonesia ketika meminta agar Freeport memperpanjang kontraknya di Papua, karena merasa itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ekonomi Indonesia, tanpa menyadari, bahwa Indonesia bisa memperoleh manfaat yang lebih besar dengan mengolah sumberdaya alam itu sendiri, tanpa campurtangan asing.
Karena itu, mencintai bangsa dan tanah air memang fitrah, karena setiap orang pasti memiliki ikatan emosional dengan orang-orang dan lingkungan yang telah membesarkannya, tapi ini masih belum cukup untuk menentukan sikap yang benar. Kita masih memerlukan kecerdasan dan level berpikir yang lebih tinggi, sehingga dari sikap cinta yang emosional itu muncul tindakan atau aksi rasional yang tepat yang dapat menjadikan kita benar-benar bangkit, lepas dari keterpurukan dan bahkan kemudian mengungguli bangsa-bangsa yang telah maju saat ini. Capaian-capaian prestasi kita di kancah dunia pasti akan membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Kalau itu sudah terjadi, maka tak perlu lagi kita ribut-ribut soal nasionalisme. Semuanya akan berjalan secara alami. Ini sangat terasa misalnya ketika kita menorehkan prestasi dalam Olympiade Fisika Internasional, atau karya saintifik anak bangsa ternyata menjadi rujukan seluruh pakar dunia, atau gagasan-gagasan kita di bidang hukum laut internasional ternyata diikuti oleh PBB (UNCLOS). Tetapi prestasi-prestasi cemerlang ini semua muncul karena level berpikir yang lebih tinggi, bukan berpikir emosional, sekalipun itu bernama nasionalisme.