Dr. Fahmi Amhar
Seorang ahli teknik sipil bertanya, seperti apa konsep infrastruktur transportasi negara khilafah? Tentu tidak dengan serta merta pertanyaan ini dapat dijawab. Apalagi bagi banyak orang, persoalan transportasi seakan hanya persoalan teknis. Dan di zaman dulu teknologinya masih sangat berbeda, dan jumlah penduduknya juga masih sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin tidak pernah ada.
Tetapi, bagi seorang muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur transportasi, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam ujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.
Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap Khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.
Perang Dunia-I mengakhiri semuanya. Tak cuma Khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.
Dr. Fahmi Amhar
Kontributor Lajnah Khusus Pengusaha HTI
Saat ini isu syariah sedang naik daun, walaupun masih terbatas di dunia perbankan dan asuransi. Untuk tataran praktis, penting dikembangkan suatu set indikator seberapa syariah (shariah compliance) sebuah entitas bisnis, terutama yang terkait langsung dengan konsumen publik, seperti perhotelan, restoran atau tempat kerja. Berbagai organisasi keislaman (seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia) dapat mendorongnya dengan edukasi publik dan mulai memberikan penghargaan (award) kepada mereka yang telah secara sungguh-sungguh berusaha mensyariahkan entitas bisnisnya di tengah pusaran arus kapitalisme sembari menjadi bagian penegakan kembali syariah secara menyeluruh.
Berikut ini adalah sekelumit gagasan untuk mencoba mencari indikator syariah untuk restoran.
Dalam bisnis restoran, yang dilihat adalah lima aspek yang bersifat mutlak. Artinya kalau salah satu aspek itu gagal, maka restoran tersebut sama sekali gagal mendapatkan ‘sertifikat’ shariah compliance. Di tiap aspek itu ada poin-poin yang semakin dipenuhi maka semakin tinggi nilai yang didapatkan.
1. Bisnis inti
– Semua makanan yang dijual harus memenuhi kategori halal. Yang mendapat nilai tertinggi adalah bila telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Di sinilah, MUI harus menyosialisasikan sertifikasi halal berbiaya rendah atau gratis ke pemilik usaha kecil dan menengah.
– Setiap makanan yang dijajakan harus memiliki spesifikasi yang jelas (seperti bahan baku, daerah asal, kalori) dilengkapi foto dan harga.
– Makanan yang dihidangkan dan cara menyiapkan semuanya memenuhi syarat-syarat higienis.
2. Pelayanan/komunikasi dengan pelanggan
– Ringkasan jenis makanan dan harga sudah dipajang di luar restoran sehingga calon pembeli sudah mengetahuinya sebelum masuk restoran.
– Pemilik dan pelayan restoran mengenakan busana sopan yang menutup aurat.
– Pemilik dan pelayan restoran menunjukkan akhlaqul karimah, seperti salam, senyum, memberikan informasi yang dibutuhkan, dan melayani komplain secara santun.
– Pelayan membacakan ulang pesanan pelanggan untuk konfirmasi ordernya.
– Musik atau tontonan yang mengiringi tidak bertentangan dengan islam; boleh saja musik instrumental klasik atau tradisional yang tidak terasosiasikan dengan maksiat.
– Perabotan yang dipakai untuk menghidangkan tidak mengandung bahan yang diharamkan, seperti emas atau perak.
– Konsumen diberi kesempatan mengecek akurasi tagihan sebelum pembayaran dilakukan.
– Diberikan tanda terima setelah pembayaran.
– Disediakan media untuk memberikan feedback atas pelayanan yang diberikan.
3. Lingkungan usaha
– Nyaman, bebas dari asap rokok.
– Lukisan atau foto-foto yang dipajang di restoran tidak mempromosikan maksiat/mengandung pornografi atau bertentangan dengan Islam.
– Memiliki tempat duduk yang terpisah, seperti female-corner, men-corner, dan family corner.
– Memiliki toilet bersih yang dapat mencegah najis menyebar ke mana-mana.
– Memiliki mushala atau dekat dengan mushala berikut tempat wudhu yang layak.
– Memiliki tempat parkir yang aman dan tidak menyebabkan macet.
4. Hubungan dengan hak-hak publik
– Tidak merampas hak-hak umum (misalnya mencuri/mencantol listrik atau badan jalan).
– Tidak melakukan pembukuan ganda, dan menolak membuat struk fiktif.
– Memiliki sarana penetral limbah, sehingga limbahnya (termasuk asap) tidak menggangu sekitarnya.
– Memiliki jam usaha yang jelas yang diridhai tetangga sekitarnya
– Pada siang hari di bulan Ramadhan tetap boleh dibuka secara terbatas, untuk melayani pembeli dari kalangan yang tidak wajib puasa, seperti wanita haid/nifas, orang sakit, musafir atau non muslim.
5. Hubungan pemilik usaha dengan pekerja
– Kontrak kerja dengan karyawan jelas, mencakup hak dan kewajiban, serta reward & punishment sesuai syariat yang diridhai kedua belah pihak.
– Jam kerja karyawan diatur untuk memenuhi haknya bersama keluarga.
– Setiap karyawan mendapat giliran kesempatan untuk shalat dan istirahat pada waktunya.
– Pada saat shalat Jumat, hanya karyawati atau pegawai non Muslim yang tetap dinas, sedang karyawan Muslim akan shalat Jumat. Kalau jumlah ini tidak memadai, maka restoran akan ditutup pada saat shalat Jumat.
Demikianlah, gagasan ini. Mungkin ada poin-poin di sini yang masih harus ditambah atau dipertajam. Terutama aspek empat dan lima mungkin tidak bisa dilihat langsung, tetapi harus dengan wawancara pada karyawan/pemilik.
Mungkin ada yang akan mencoba melakukan survei percobaan dengan menerapkan shariah compliance indicators di atas? Berapa kira-kira restoran yang lolos? Dan mana yang mendapatkan nilai tertinggi?
Muslimpreneur, makin jelas Islam menuntun kita untuk berbisnis penuh ‘berkat’ dan berkah dengan seperangkat aturan yang mudah dilaksanakan. Jadi tunggu apa lagi?[]