Mendengar berita kematian satelit ALOS yang diemail oleh Dr. Manasobu Shimada (ALOS Science Manager JAXA) hari ini tentu saja saya sangat bersedih.
Sebenarnya satelit ALOS yang telah beroperasi 5 tahun 3 bulan telah jauh melampaui life-design-nya yang semula hanya 3 tahun. Sebenarnya, jet-gas untuk manuver satelit ini masih cukup untuk beroperasi hingga 10 tahun. Namun kegagalan sistem power dari solar-cell-nya membuat komunikasi dengan satelit terputus, sehingga satelit itu tidak bisa dikendalikan lagi. Namun dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan itu, telah banyak yang kita peroleh, kita pelajari, kita rencanakan kembali.
Sebagian dari pelajaran itu adalah design yang sama sekali baru untuk ALOS-2 dan ALOS-3 nanti, yaitu dipisahkannya antara sistem optik dari sistem radar. Pada ALOS-1, 2 sensor optik (pan-stereo, XS) dan 1 sensor radar ada dalam satu platform. Namun pada prakteknya, mustahil mengoperasikan 3 sensor sekaligus, karena keterbatasan power, board-memory dan downlink-bandwidth.
Bakosurtanal mengenal ALOS sejak sebelum diluncurkan. Tahun 2005, proposal saya untuk “Generating & Updating of Topographic Map using ALOS-data”, dipilih mewakili Bakosurtanal untuk suatu Pilotproject antar instansi yang dikoordinir oleh LAPAN.
Tahun 2006, bersamaan dengan ISPRS-Symposium di Tokyo, saya mengunjungi RESTEC, yang ditunjuk JAXA mempromosikan ALOS ke negara berkembang. Ternyata meski waktu itu satelit sudah diluncurkan, tetapi masa comissioning masih membutuhkan waktu hingga data bisa keluar. Namun perkenalan saya langsung dengan RESTEC, yang dilanjutkan dengan kunjungan mereka ke Bakosurtanal, membuka mata mereka, bahwa potential user untuk ALOS yang sangat besar di Indonesia adalah Bakosurtanal. Akhirnya, selain kita bisa mendapatkan citra ALOS dari jalur LAPAN, kita bisa mendapatkan saluran ke-2, yaitu download langsung dari RESTEC. Beberapa peneliti dari LAPAN sendiri pernah memanfaatkan saluran ke-2 ini, karena ternyata saluran-1 terbilang lamban, karena data dikirim dengan DHL.
Bahkan, RESTEC pernah mengajak teknisi dari JAXA datang ke Bakosurtanal dan memasang software pengolah DEM khusus dari mereka di Bakosurtanal (saat itu di salah satu komputer ber-OS Linux di Balitka). Sayangnya software ini cuma diberi nyawa untuk 1 bulan, dan sayangnya juga, JAXA tidak berniat mengkomersilkan.
Tahun 2007, saya mencoba mengajukan proposal riset sendiri langsung ke JAXA, tentang korelasi citra optik (AVNIR) dan radar (PALSAR) dengan tujuan dapat mendeteksi dini kebakaran hutan dan tembus awan. Proposal ini di-acc dalam skema RA-2, di mana kita dapat citra gratis langsung download sendiri dari server JAXA selama 3 tahun, di mana tiap tahun sampai 50 citra. Sayangnya, kemudian saya dapatkan bahwa tidak ada satupun citra AVNIR yang benar-benar diambil pada saat yang sama dengan citra PALSAR. Lebih dari itu, ternyata dalam setahun, cuma ada 2 cycle (dari 8 cycle per tahun) citra PALSAR yang diambil dengan modus full polarimetry. Jadi akhirnya, cukup sulit untuk mewujudkan impian saya mendeteksi dini kebakaran hutan dengan main-main citra radar polarimetry yang tembus awan itu. Akhirnya jatah citra ALOS selama 2008-2011 itu saya bagi-bagi ke siapa saja peneliti yang membutuhkan, termasuk mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Setiap acara Seminar GeoCampus dari Balitka ke 10 perguruan tinggi di seluruh Indonesia saya promosikan data ALOS. Itupun, sampai passwordnya expired pada bulan Maret 2011, masih ada 70 citra yang tersisa, belum termanfaatkan.
Namun bagaimanapun saya banyak belajar. Gembar-gembor Dr. Makoto Ono dari RESTEC, bahwa ALOS dapat menyediakan peta topo skala 1:25.000 TANPA GCP, ternyata – mohon maaf – pepesan kosong! Semua contoh peta berbahan baku ALOS dari GSI (Bakosurtanal-nya Jepang), menggunakan GCP yang cukup massif, yang di Jepang memang sudah tersedia sangat merata.
Saya hanya dapat mengatakan bahwa untuk produksi peta RBI lengkap, ALOS PRISM+AVNIR cuma sanggup sampai skala 1:50.000.
Untuk 1:25.000, ALOS hanya dapat menyediakan update unsur planimetrisnya. Untuk juga dapat menyediakan data vertikal (DEM) dengan akurasi yang dibutuhkan pada skala 1:25.000, perlu investigasi yang cukup mendalam tentang pengaruh penggunaan dari berapa GCP dan/atau RPC, dikaitkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan GCP dan/atau RPC tersebut.
Data archive ALOS yang jutaan citra banyaknya masih dapat kita akses. Di Tokyo mereka sudah menyediakan satu lantai gedung yang luas dengan puluhan rak untuk menaruh data server – yang Januari 2007 itu masih kosong. Di Bakosurtanal, sejak 2011 yang masih dapat akses langsung (dalam skema RA3) adalah Dr. Ibnu Sofian.
Saya sendiri juga masih dapat akses ke archive tersebut melalui LAPAN, karena sejak 2010, saya ditunjuk menjadi WG2-chair, dengan fokus pada coastal studies & small-island research. Tahun ini, saya mendapat insentif riset kompetitif dari Ristek untuk mencari algoritma mendapatkan garis pantai MSL secara otomatis dari 2 citra ALOS (PRISM, AVNIR dan PALSAR) yang diambil pada 2 kondisi pasang surut yang berbeda.
Selama terlibat dengan ALOS ini saya sudah melakukan 4 kali perjalanan ke Luar Negeri, yakni 2 kali ke Jepang (1 ISPRS Symposium dan 1 Training Disaster Management berbasis Space Technology), 1 ke Rhodos Yunani (ALOS PI-Symposium) dan 1 ke Kona, Hawaii (ALOS PI-Symposium). Ada sejumlah paper lain yang ditulis bersama dengan peneliti Balitka yang dipresentasikan di tempat lain, seperti di Jerman, China dan Malaysia.
Semoga dalam beberapa tahun ke depan ini archive data ALOS tetap dapat memberikan banyak pengetahuan baru kepada kita tentang bagaimana sebaiknya mengelola lingkungan ini.
Dan semoga, tidak lama lagi, Indonesia juga dapat mengirim sendiri satelit Earth Observation dari Indonesia, yang dapat sepenuhnya kita gunakan untuk memantau lingkungan alam Indonesia, mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya, mendeteksi bencana, menjaga kedaulatan dan mencerdaskan anak bangsa.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Professor for Spatial Information System
National Coordination Agency for Surveys & Mapping
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong – INDONESIA
Saya menulis di blog ini karena terlalu banyak pertanyaan seputar buku E. Darmawan Abdullah “JAM HIJRIYAH”, yang diluncurkan di Islamic Book Fair 2011 lalu. Kebetulan penulisnya pernah bertemu dan diskusi hangat dengan saya setahun yang lalu, dan setelah bukunya terbit juga menghadiahi buku tersebut. Saya terpanggil menulis komentar ini di forum publik, karena pendapat penulisnya juga telah dilempar ke ruang publik. Tentu saja saya juga mengirimkan langsung tulisan ini ke penulisnya.
Bismillahir Rahmaanir Rahiem
Secara umum saya sangat menghargai usaha Pak Darmawan yang sangat bersemangat dalam memberikan kontibusi demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin, khususnya dengan meluncurkan gagasan Jam Hijriyah dan Makkah Mean Time (MMT).
(1). Yang disebut Mean Time – sekarang di Greenwich – adalah, bahwa pada pukul 12:00 GMT, hari di seluruh dunia akan sama, yakni di pojok timur pukul 24, dan di pojok barat pukul 00. Ini adalah hasil keputusan International Meridian Conference 1884. Pojok barat = Pojok timur = Garis tanggal. Jadi kalau akan menggunakan istilah “Makkah Mean Time”, maka juga harus diputuskan, bahwa misalnya pada Ashr 12 di Mekkah (39,.49E, 21.26N) maka nama hari di seluruh dunia sama (pojok timur Ashr 24 – hampir magrib, pojok barat Ashr 0 – baru saja maghrib). Dalam konstelasi itu, maka pojok timurnya kira-kira akan ada pada bujur 180+39.49E = 140.51 W, masih di Pasifik juga. Sekali lagi ini hanya soal display.
(2). Sejarah hari: bahwa pada masa Rasulullah masih hidup, sudah ada sahabat yang diutus ke negeri yang jauh di timur Mekkah, misalnya Muaz bin Jabal ke Yaman. Dan hari yang dipakai di Yaman tetap hari yang sama dengan Mekkah. Tidak ada satupun berita bahwa sholat Jum’at di Mekkah harus lebih awal dari Yaman. Demikian juga ketika kaum muslimin lebih jauh menjelajah ke timur lagi, hingga Cina dan Nusantara, mereka tetap menggunakan hari yang sama, dan tidak ada ide agar harinya belakangan dari Mekkah. Oleh karena itu, ide penulis untuk merubah hari itu adalah BID’AH yang luar biasa.
(3). Tentang garis tanggal, memang kebutuhannya baru disadari manusia ketika ada pelayaran yang mengelilingi dunia. Ketika penjajah Spanyol masuk Filipina dari arah timur (mengelilingi Cape Horn di ujung selatan benua Amerika) dan mengalahkan Raja Sulaiman yang muslim, mereka mengganti hari agar sinkron dengan Spanyol, jadi hari yang semula Jum’at diganti Kamis. Tetapi pasca International Meridian Conference 1884, kondisi di Filipina dipulihkan lagi. Yang tetap bertahan adalah sebagian negeri kepulauan di Pasifik yang sebenarnya terletak lebih timur dari garis meridian 180 derajat, tetapi tetap ikut zona waktu timur, jadi GMT+13 (Tonga) dan GMT+14 (Line Island), karena merasa tidak nyaman untuk merubah 1 hari yang disakralkan, lepas dari soal agama yang dianut penduduknya.
Demikianlah, semoga Pak Darmawan sebagai penulis buku berbesar hati untuk memahami pendapat ilmiah kami atas buku beliau.
Salam
Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional
Konsultan Ilmu Falak / Astronomi Islam untuk PP Muhammadiyah, Hidayatullah & Hizbut Tahrir Indonesia