Sebuah dentuman keras membuat tubuh seorang pemuda terlempar dari atas kapal dan terombang-ambing di laut lepas. Penumpang lainnya terlihat bertebaran seperti titik-titik hitam yang timbul tenggelam diterjang ombak.
Pada sepotong papan dan semangat hidup yang terus menyala, pemuda yang tidak bisa berenang itu mengantungkan harapan hidupnya.
Selintas, peristiwa itu mirip kisah Jack Dawson yang diperankan apik oleh aktor Leonardo DiCaprio dalam film Titanic.
Tapi siapa yang menyangka bahwa kisah dramatis itu merupakan penggalan dari perjalanan panjang kehidupan Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc., salah satu perintis geomatika di Indonesia.
Perjalanan hidup Jacub Rais memang belum ditakdirkan berakhir dalam peristiwa yang terjadi pada 4 April 1944 itu. Padahal sebelum kapal meledak karena terkena torpedo, ia begitu ketakutan dan bersembunyi di belakang drum bahan bakar. Untung ada seorang Jepang memerintahkannya untuk maju ke ujung depan kapal.
Kehidupan Gurubesar Emeritus ITB kelahiran Sabang, 18 Juni 1928, itu memang diwarnai petualangan dan perjuangan. Dalam sebuah kegiatan semasa aktif di kepanduan Hisbul Wathan (HW), regu berkemahnya disatroni harimau. Ketika Kota Sabang mendapat serangan bom udara dari tentara Jepang pada Februari 1942, ia tidak mengubris perintah gurunya untuk masuk ke lubang perlindungan. Jacub Rais lebih memilih untuk pulang ke rumah, berlari kencang di tengah-tengah hujan bom dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Semasa Perang Dunia II, untuk mempertahankan hidup, ia ikut menjarah toko milik orang keturunan Tionghoa. Melihat hasil jarahannya, ibunya marah-marah karena stoples-stoples yang dibawanya pulang bukan berisi bahan makanan tetapi obat-obatan.
Semasa revolusi kemerdekaan, Jacub Rais ikut berjuang mengangkat senjata dengan menjadi Tentara Pelajar Aceh Detasemen Glee Genteeng. Pada waktu itu ia pernah mendapat tugas penuh resiko yaitu memasang detonator pada bom seberat 250 ton. Tapi, gelora perjuangan tak memadamkan semangatnya untuk belajar. Di sela-sela perang, ia masih menyempatkan diri untuk membuka buku-buku pelajaran goniometri, bahasa Inggris, fisika dan kimia.
Semangat belajar Jacub Rais memang sangat kental. Bahkan ketika hendak melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa, karena tak punya cukup uang, ia nekad menjadi penumpang gelap. Perjalanan itu tak mulus karena ia sempat diusir oleh kapten kapal di Teluk Bayur, Padang.
Akhirnya secarik iklan tentang penawaran beasiswa untuk Jurusan Geodesi (Afdeling Geodesie) di “Universiteit van Indoenesia, Fakulteit der Technische Wetenschappen” (sekarang Institut Teknologi Bandung) membuka pintu jalan hidupnya untuk mengakrabi bumi. Selepas lulus ITB, pada Februari 1956, Jacub Rais langsung menduduki jabatan sebagai kepala Kantor Jawatan Pendaftaran Tanah (JPT) Semarang.
Dua tahun kemudian dunia kampus memanggil hatinya untuk kembali. Dorongan yang kuat itu membawanya bukan hanya menjadi dosen tapi terlibat dalam pendirian fakultas dan perguruan tinggi seperti pendirian Akademi Teknik di Universitas Semarang, merintis jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada dan pendirian Universitas Diponegoro.
Melalui dunia pendidikan itulah, diawali dengan kiprahnya di bidang Geodesi, Jacub Rais mengenalkan dan mengembangkan ilmu Geomatika yang relatif baru di Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan pemikirannya yang berkaitan dengan Geomatika telah berhasil diaplikasikan di Indonesia.
Rasanya tak salah jika buku otobiografi ini bertajuk ”Jacub Rais 80 tahun, Merintis Geomatika di Indonesia”.
Komentar berbagai kalangan yang dimuat dalam buku ini seperti mengamini jasa dan kontribusi Jacub Rais dalam pengembangan Geomatika, bidang ilmu yang menyatukan Geologi, Geodesi, Geografi, Geofisika, dan Informatika. Salah satunya adalah Dr. Ir. Tiene Gunawan Msc, Perencana Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Alam, konsultan independen untuk perencanaan spasial dan konservasi.
Menurutnya, ”Pak Rais tidak mengenal lelah dalam mengembangkan ilmu Geomatika karena beliau percaya bahwa ilmu itu dapat menyelesaikan banyak masalah yang berkaitan dengan keruangan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kita miliki.”
Bahkan Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin, Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB mengatakan bahwa, “Dalam dunia Geodesi Geomatika di Indonesia, tidak dapat dipungkiri – Prof. Jacub Rais dapat diposisikan sebagai ‘godfather’”.
disunting dari e-Magazine Technology Indonesia, technologyindonesia.com
Pada 28 Maret 2011, Prof. Dr. Ir. Haji Jacub Rais, MSc. telah pergi selamanya menghadap Yang Maha Mendengar lagi Mengetahui. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima amalnya, dan menempatkannya bersama dengan orang-orang yang mulia di surga-Nya. Amien.
Dr. Fahmi Amhar
Tunisia bergolak. Rakyat turun ke jalan. Presiden Ben Ali lari. Tirani sekian puluh tahun pun berganti. Berganti, bukan berhenti. Mungkin akan muncul tirani baru yang belum disadari. Bukan sistem baru. Tirani baru yang tetap akan melarang wanita memakai jilbab di ruang publik. Tirani baru yang akan tetap berhamba kepada hukum sekuler warisan Barat. Padahal Barat yang diperhamba ternyata lepas tangan, tidak mau menolong Presiden Ben Ali, saat rakyat mengusirnya.
Sayang sekali. Padahal Tunisia adalah mutiara di Afrika yang ditinggalkan peradaban Islam pada masa jayanya. Pada pergantian abad ke-7 ke abad ke-8 M, wilayah Tunisia dibuka oleh kaum muslim. Mereka mendirikan kota Kairouan, yang menjadi kota pertama Afrika utara. Di kota ini pula berdiri masjid dengan seni arsitektur terindah di dunia Islam bagian barat.
Pemerintahan Islam juga membangun instalasi irigasi yang ekstensif untuk menjamin kota dan daerah pertanian dengan air. Akhirnya kemakmuran yang diraih itu memungkinkan untuk membangun istana Al-Abassiyah pada tahun 809 M dan Raqadda tahun 877 M. Sebuah universitas juga dibangun.
Tunisia menjadi matahari peradaban ke dua di dunia Barat mengiringi Cordoba, sebagaimana Cairo menjadi pengiring Baghdad di dunia timur. Para ilmuwan besar pun muncul atau berdatangan untuk penelitian di Tunisia. Namun dari seluruh ilmuwan yang dibesarkan atau berkarier di Tunisia, tidak diragukan bahwa yang paling dikenang adalah Ibnu Khaldun, sampai-sampai pemerintah sekuler membuatkan patungnya di Tunis.
Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz (penghafal puluhan ribu hadits), faqih (pernah menjabat qadhi utama untuk madzhab Maliki di Mesir), astronom, geografer, matematikawan, sosiolog, ekonom, politolog dan sejarahwan. Riwayat Ibnu Khaldun terdokumentasi dengan amat bagus, karena sebagai sejarahwan, dia juga menulis autobiografi: At-Taʻrīf bi Ibn-Khaldūn wa Riħlatuhu Gharbān wa Syarqān. Namun tentu saja bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarahwan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan ahli Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang intelektual setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“. Negaralah yang harus berdiri di pihak para korban ketika menghadapi kekeliruan atau kelalaian yang dilakukan orang-orang kaya. Negara juga yang harus memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa ketika pasar tidak berfungsi sepenuhnya. Ini adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi). Teori Ibnu Khaldun ini ternyata masih cocok untuk menganalisis akar krisis finansial global yang melanda Amerika tahun 2008.
Teori pasang surut peradaban dari Ibnu Khaldun juga berlaku untuk negerinya sendiri. Zaman keemasan Tunisia ternyata memiliki sisi gelap yang dimulai dari mengendurnya dakwah tauhid, yakni dakwah yang menolak semangat ashabiyah (kesukuan / tribal). Ketika pemerintah pusat Khilafah sedang direpotkan oleh separatisme dinasti Fatimiyah di Mesir, Afrika Utara nyaris terabaikan. Akibatnya muncullah instabilitas politik karena perebutan kekuasaan antar kabilah. Kondisi ini berakibat mundurnya pertanian dan perdagangan. Ibnu Khaldun sendiri pada masanya menulis bahwa banyak tanah pertanian yang kemudian berubah kembali menjadi gurun pasir, karena irigasi tidak lagi berfungsi. Salah satunya adalah tanah-tanah yang diduduki oleh Banu Hilal.
Peradaban memang naik turun seperti gelombang. Kemunduran Tunisia akhirnya menjadikan daerah ini diduduki oleh orang-orang Kristen Norman dari Sizilia pada awal abad-12. Kaum muslim Arab kemudian merebutnya kembali, memaksa orang-orang yang murtad untuk kembali ke Islam, atau mengusirnya. Pada 1159 wilayah ini berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Almohad dari Andalusia, yang merupakan pecahan khilafah Umayyah di Cordoba. Kemudian dari 1230 – 1574 M, Tunisia berada di bawah kekuasaan dinasti Berber Hafsid, yang dapat kembali memakmurkan Tunisia. Ini adalah kurun ketika Ibnu Khaldun hidup. Namun pada akhir abad-16, jauh setelah wafatnya Ibnu Khaldun, terjadilah apa yang diprediksikan: dinasti ini bangkrut, dan pantai Tunisia berubah menjadi sarang bajak laut di Laut Tengah. Sejak itulah muncul istilah “Negara Barbar” – untuk mencerminkan negara yang buas.
Sebenarnya “Berber” sebagai nama suku, dalam huruf Arab tentu saja ditulis “Barbar”. Namun karena “Barbar” kemudian menjadi sinonim dari kejahatan, maka dewasa ini untuk nama suku lalu ditulis dan dilafalkan “Berber”.
Dr. Fahmi Amhar
Oleh orang Barat, Islam sering difitnah sebagai penindas wanita. Hal ini karena wanita dikekang di dalam rumah, setiap keluar harus memakai jilbab, setiap bepergian jauh harus disertai mahram, kesaksiannya dinilai separuh laki-laki, dan bagian warisannya juga separuh laki-laki.
Namun tahukah anda, sesungguhnya tanpa wanita-wanita muslimah, peradaban Islam tidak akan mencapai derajat seperti yang pernah dicapainya.
Kontribusi wanita-wanita dalam peradaban Islam ada dua jenis: pertama adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu atau istri. Di balik setiap ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa. Andaikata Imam Syafii tidak memilik ibu yang tangguh, barangkali si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan. Demikian juga andaikata istri-istri al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sering mengambil alih tugas-tugas dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering harus keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk melakukan survei, mengumpulkan data atau menghadiri majelis-majelis ilmu. Namun tentu saja, dalam kondisi pertama ini, nama-nama wanita luar biasa itu kurang tercatat dalam sejarah. Mereka seperti gula dalam “teh manis”. Dalam menu minuman, tentu saja “gula” tidak ditulis, tetapi semua orang seharusnya tahu, bahwa di balik “teh manis” ada gula.
Kontribusi kedua para wanita adalah secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban. Dan ini ternyata sudah dimulai sejak zaman Nabi masih hidup. Tidak ada yang meragukan kontribusi beberapa istri Nabi atau shahabiah yang meriwayatkan banyak hadits atau memberikan kritik kepada para penguasa. Suasananya kondusif. Pemerintah mendengarkan nasehat, sekalipun diluncurkan oleh seorang wanita dan dilakukan di muka umum. Dan karena ini terjadi saat para shahabat masih hidup, dan mereka semua mendiamkan, maka menjadi ijma’ shahabat yang mengikat seperti Qur’an atau Sunnah.
Karena itulah, Muhammad Akram Nadwi menulis buku Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam. Buku ini terbitkan di London oleh Oxford Interface Publications; 2007. Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.
Buku itu dipenuhi kisah-kisah tentang para wanita yang di antaranya sampai harus bepergian secara terrencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi. Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah.
Kondisi yang memungkinkan itu semua terjadi memang mungkin sangat unik, sebuah kondisi yang hanya terjadi ketika keamanan dan kehormatan para wanita terjaga di dalam masyarakat Islam, baik secara kultural oleh masyarakat, maupun secara hukum oleh aparat Daulah Khilafah. Syariat Islam yang dituduhkan Barat sebagai menindas kaum wanita itu ternyata tidak menghalangi sedikitpun peran wanita dalam memajukan peradaban.
Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak wanita muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan. Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci. Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).
Astrolab
.