Saya paling malez kalau harus membuat CV. Baik itu CV untuk pembicara seminar atau CV untuk keperluan dinas. Rasanya koq formil banget gitu. Apalagi bila ada kesan “banyak-banyakan organisasi” atau “banyak-banyakan pengalaman kerja” (dalam arti gonta-ganti perusahaan & jabatannya. Padahal sejatinya, kesibukan seseorang tidak selalu berbanding dengan jumlah organisasi yang diikutinya, atau jumlah pekerjaan yang melibatkannya.
Bisa saja seseorang seumur-umur cuma di satu organisasi, tetapi dia adalah perintis suatu organisasi yang kelas dunia. Ingat Lord Baden Powel pendiri Boy Scotts International misalnya. Atau Taqiyyudin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Demikian juga, orang yang seumur hidup fokus di satu pekerjaan bisa jadi lebih sibuk dari orang yang secara simultan terlibat di sepuluh perusahaan. Bayangkan William H. Gates (Bill Gates) – pendiri Microsoft, yang setahu saya tidak pernah gonta-ganti perusahaan … he he.
Tapi baiklah, untuk tidak mengecewakan yang meminta CV saya, berikut ini adalah CV informal saya, sebagaimana pernah dimuat di majalah al-Waie, dengan sedikit modifikasi.
Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar, lahir di Magelang, tahun 1968. Setelah lulus SMAN 1 Magelang tahun 1986, sempat kuliah di jurusan Fisika ITB selama satu semester. Dia kemudian mendapat beasiswa dari Menrsitek Habibie (OFP-STAID) untuk melanjutkan studi “undergraduate” di Eropa Barat, dan lalu beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk tingkat selanjutnya.
Fahmi bermukim di Austria selama hampir 10 tahun, hingga meraih gelar “Diplom-Ingenieur” dari Universitaet Innsbruck & Technische Universitaet Wien (Vienna University of Technology) dalam bidang geodesy, photogrametry & cartography pada tahun 1993; kemudian “Doktor der technischen Wissenschaften” dari Technische Universitaet Wien , dengan dissertasi dalam bidang geomatics engineering (3D-GIS, digital orthoimage & spatial database) pada tahun 1997.
Fahmi menyukai dunia ilmiah dan dakwah sejak remaja. Tahun 1984-1986 Fahmi tiga kali menjuarai Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI, hingga sempat ditawari masuk IPB tanpa test oleh Rektornya saat itu, Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, meski masih kelas 2 SMA. Semasa SMA pula dia ikut mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja SMA1 Magelang (pi-Sigma) dan Keluarga Remaja Islam Magelang (Karisma). Di Austria Fahmi menjadi motor pengajian mahasiswa dan TPQ di KBRI.
Fahmi memperoleh pengetahuan Islamnya dari kegemarannya membaca, berdiskusi dan mengikuti kajian di berbagai tempat, mulai dari kajian kitab dengan Ust. Yusuf di Magelang yang kebetulan ayahnya sendiri, training khatib di masjid jami’ Magelang (kalangan NU), kuliah shubuh setiap ahad pagi di kampus Universitas Muhammadiyah, juga di beberapa pergerakan seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), kelompok mentoring Masjid Salman ITB, ICMI hingga ke beberapa gerakan Islam di luar negeri. Fahmi pernah pula mengunjungi sentra-sentra studi Islam seperti Mekkah, Madinah, Cordoba, Cairo, Istanbul hingga McGill University di Canada. Bukunya tentang Islam yang pernah terbit adalah “Bunga Rampai Kajian Islam di Wina” (Wapena, 1995), “Buku Pintar Calon Haji” (GIP, 1996) dan terakhir “TSQ Stories” (Al-Azhar Press, 2010). Tulisan populernya juga banyak dimuat di berbagai media nasional, seperti Republika, Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan-Rakyat, Suara Hidayatullah, Suara Islam, Media Umat, Nebula, al-Waie, serta disimpan di ribuan websites.
Saat ini Fahmi bekerja sebagai Peneliti Utama (IV/e) pada Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), dan dari 2007-2010 menjabat Kepala Balai Penelitian Geomatika di Bakosurtanal. Pada 11 Agustus 2010 Fahmi dikukuhkan sebagai Professor Riset bidang Sistem Informasi Spasial. Dia adalah Professor Riset ke 310 yang dikukuhkan oleh LIPI. Fokus penelitiannya saat ini adalah “Spatial Data Quality & Standardization”, “Audit of Spatial Information System” dan “Non-Conventional Cartography”.
Untuk terus mengasah dan menyebarkan kemampuan akademisnya, Fahmi juga mengajar sebagai dosen luar biasa pada pascasarjana IPB, Undip dan Univ. Paramadina. Fahmi pernah juga menjadi dosen tamu di Universitas Muhammadiyah Magelang. Selain itu lebih dari 100 lembaga pemerintah, swasta, pendidikan dan LSM pernah mengikuti trainingnya dalam berbagai topik.
Tahun 2001 Fahmi meraih penghargaan Peneliti Terbaik bidang Teknologi Rekayasa dalam Pemilihan Peneliti Muda Indonesia.
Fahmi menikah dengan dr. Arum Harjanti, dan diamanahi empat anak: Fitri Hasanah, Faizah Hidayati, Fahri Hasanuddin dan Fatih Hafizuddin.
Blog-nya dapat dikunjungi pada: http://www.fahmiamhar.com
Apa yang Anda bayangkan mendengar kata “Prancis”. Parfum? Mode? Menara Eiffel? Liberté (Kebebasan)? Ya, Prancis memang sering diidentikkan dengan itu. Namun siapa yang menduga bahwa di Prancis ada 8 juta Muslim, dan Islam adalah agama kedua terbesar? Angka ini sebenarnya taksiran belaka, boleh jadi lebih besar, karena Undang-undang Prancis melarang sensus yang mendata penduduk berdasarkan ras atau agama. Pada tahun 2000, Kementerian Dalam Negeri Prancis menaksir jumlah mualaf Prancis sekitar 40.000 orang. Pada tahun 2008, telah ada 2.125 masjid di Prancis.
Islam sebenarnya sudah datang ke Prancis sejak para mujahidin di bawah pimpinan Thariq bin Ziad abad 8 M menaklukkan Spanyol hingga setengah Prancis. Pada perang di Tours (dekat Paris) pada 732, gerak jihad ini tertahan oleh tentara kerajaan Franka dan Burgund. Pada musim dingin 1543-1544, setelah kemenangan tentara Utsmani pada pertempuran di Nice (dekat Monaco sekarang), kota Toulon dijadikan basis armada laut Utsmani di bawah pimpinan Laksamana Barbarosa. Untuk memfasilitasi kru Turki, penduduk Kristen di situ telah dievakuasi, dan Katedral Toulon sempat diubah menjadi masjid. Namun hal ini ternyata tidak bertahan lama. Setelah armada Turki terusir, Prancis kemudian sama sekali terpisah dari Islam hingga abad-20.
Pasca Perang Dunia ke-2, Prancis mendatang-kan banyak pekerja migran dari negeri-negeri Afrika Barat seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia, yang pernah dijajahnya. Mereka mendapat keuntungan sudah terbiasa dengan bahasa dan budaya Prancis (Francophonie). Mereka memilih menetap di Prancis dan berkewarganegaraan Prancis ketika diberikan kesempatan untuk membawa serta keluarganya. Generasi kedua mereka otomatis menjadi warga negara Prancis sebab negara ini menganut asas Ius Soli (kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran). Kedatangan pekerja migran yang notabene Muslim ini membawa pertumbuhan ekonomi yang cukup besar bagi Prancis, terutama di sektor konstruksi dan manufaktur.
Meski negara Prancis ingin menjaga kemurnian sekulerisme dengan tidak melakukan apapun terhadap agama apapun, pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah telah berusaha mengorganisasikan perwakilan dari Muslim Prancis. Pada tahun 2002, Nicolas Sarkozy yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri mendirikan “French Council of the Muslim Faith” (Conseil Français du Culte Musulman – CFCM), meski dikritik karena ini dianggap hanya akan menciptakan communitarianisme (fanatisme kelompok). Meski CFCM ini secara informal diakui oleh pemerintah, ia tetap semacam LSM tanpa status hukum. Pada tahun 2004, CFCM dipimpin oleh Dalil Boubakeur, imam masjid Paris yang banyak mengecam Union of Islamic Organisations of France (UOIF) karena dianggap melibatkan diri pada persoalan politik saat kerusuhan 2005. Nicolas Sarkozy sendiri juga dikecam oleh sayap kiri maupun kanan dari parlemen, bahwa sikapnya menciptakan CFCM justru mendorong kelompok Muslim yang lebih ekstrim lagi, terutama UOIF yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin.
Karena negara menerapkan sekulerisme murni, maka orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan Islam harus mengirim anaknya ke sekolah swasta yang berbayar. Sebagian besar warga Muslim di Prancis mempercayakan pendidikan Islam pada anak-anaknya ini secara informal di masjid-masjid, sementara sekolahnya tetap di sekolah negeri yang sekuler. Jadilah masjid-masjid itu jalur utama pewarisan Islam di Prancis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di antara negeri-negeri di Eropa, Prancis adalah tempat di mana umat Muslim paling baik terintegrasi dan merasa negeri itu adalah negerinya. Mereka juga memiliki sikap yang terbaik terhadap pemeluk agama lain. Banyak Muslim menjadi selebritas olahraga, seni ataupun sains di Prancis. Contohnya adalah tokoh pesepakbola Zinedine Zidan.
Meski demikian, pada tahun 2010 sebuah penelitian bertajuk “Are French Muslims Discrimina-ted Against in Their Own Country?”, menunjukkan bahwa dalam mencari pekerjaan seorang Muslim memiliki harapan 2,5 kali lebih rendah daripada seorang Kristen. Menurut “European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia” perusakan masjid dan makam Islam (vandalism) juga kadang-kadang masih terjadi. Dan terakhir adalah pelarangan cadar di kantor-kantor pemerintahan.[]
Dr. Fahmi Amhar
Berapa usia rata-rata kita sekarang? Dapat usia 70 tahun sudah termasuk istimewa, apalagi bila masih sehat, masih bisa jalan sendiri kemana-mana, masih bisa makan tanpa pantangan, dan masih mudah melihat dan mendengar apa saja. Dalam 70 tahun itu, kira-kira berapa pengalaman yang dapat kita kumpulkan? Berapa kota yang dapat kita kunjungi? Berapa makanan yang dapat kita cicipi? Berapa orang yang dapat kita ajak berdiskusi? Kita bisa mengukur dari yang kita raih hingga usia kita sekarang. Dan ternyata: sangat sedikit!
Namun ada orang-orang yang pengalamannya jauh melebihi usianya. Dan pada sisi lain, ada orang-orang yang usia kontributifnya jauh melebihi usia biologisnya. Keduanya sama-sama berterimakasih pada apa yang disebut: biografi.
Biografi adalah riwayat tentang orang-orang, baik orang itu sangat terkenal seperti pemimpin politis tertinggi atau artis papan atas, maupun yang kurang terkenal seperti seorang tukang penjaga kuda di pasar (kalau sekarang mungkin tukang parkir). Namun membaca biografi seakan menyerap sari pati pengalaman seseorang. Kalau kita membaca sepuluh biografi, di mana rata-rata tokoh yang diceritakan berusia 70 tahun, maka seakan-akan kita telah berusia 700 tahun. Di sisi lain, kisah-kisah inspiratif dari tokoh yang diceritakan itu akan berkontribusi dalam hidup kita. Itulah yang membuat para tokoh itu seakan-akan hidup lebih panjang dari usia biologisnya.
Tradisi menulis biografi sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Namun tradisi ini menguat di zaman Islam, karena ada sebuah kepentingan yang luar biasa, yaitu menjaga kemurnian hadits. Berbeda dengan Qur’an yang terjaga redaksi maupun substansinya dengan bahasa al-Quran itu sendiri, sehingga kesalahan dapat dikenali dengan sendirinya; hadits tidak memiliki mekanisme itu. Hadits hanya dapat dijaga dengan kredibilitas mata rantai (sanad) periwayatnya (rawi). Dan untuk itu diperlukan informasi tentang semua orang yang menjadi mata rantai, itulah “Ilm ar-Rijaal”, atau “biografi kritis”. Begitu pentingnya ilmu kritik biografi ini, sampai-sampai Ali ibn al-Madini, penulis biografi kritis awal mengatakan, “Mengetahui rawi adalah setengah dari pengetahuan”.
Dan soal rawi ini, ternyata tak hanya relevan untuk ilmu hadits, tetapi juga untuk sains modern, yakni ketika menilai tingkat akurasi data yang dikumpulkan di lab atau di lapangan. Dalam sains modern, ada tiga jenis kebenaran: Pertama adalah kebenaran deduktif, yakni kebenaran karena hasil kreatifitas. Adalah pasti benar ketika perusahaan Research In Motion (RIM) menyebut produknya “Blackberry”, karena gadget canggih itu hasil kreativitas mereka, jadi mereka punya wewenang penuh menamainya demikian. Kedua adalah kebenaran induktif, yakni penarikan kesimpulan dari berbagai hal. Kebenaran ini hanya tergantung pada sejauh mana akurasi data yang digunakan dan sejauh mana penarikan kesimpulan itu logis atau tidak mensisakan kejanggalan. Jadi kebenaran induktif tidak tergantung pada siapa yang berbicara, soleh tidak, sarjana tidak, punya wewenang tidak. Ketiga adalah kebenaran naratif, yaitu menyampaikan data dari medan kenyataan ke pengguna apa adanya. Di sinilah, kebenaran tergantung kepada narator, apakah dia akurat, apakah integritasnya dikenal?
Di zaman modern ini ada ilmuwan-ilmuwan yang dikenal sangat hati-hati dalam menyampaikan data, tetapi ada pula yang justru biasa membungkus data sedemikian rupa – bahkan dengan statistik – untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak etis atau bahkan melanggar hukum. Mereka inilah yang sampai membuat bursa efek hancur, padahal sebelumnya prediksi pertumbuhan ekonomi begitu cerah. Seorang pakar statistik Darel Huff sampai menulis buku “Lie with Statistics” – untuk menelanjangi cara-cara berdusta dengan statistik.
Ilmu kritik biografi dimulai pada generasi tabi’in, seperti dikatakan Muhammad ibn Sirin, “Sebelumnya mereka tak bertanya tentang sanad, sampai akhirnya ada kekacauan pasca kemelut Ali-Mu’awiyah, sehingga mereka bertanya, ‘Sebut para rawimu!’.” Maka ahli sunnah akan diterima haditsnya, sedang ahli bid’ah tidak. Pada generasi setelah itu, rawi yang lemah semakin banyak, sehingga muncul ulama yang mengkhususkan diri pada klarifikasi mutu rawi untuk memisahkan hadits yang asli dari yang palsu.
Menurut Ibn as-Salah, ahli kritik biografi pertama adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj, diikuti oleh Yahya ibn Sa’id al-Qattan, Ahman ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in. Al-Bulqini menambah beberapa nama seperti Ali ibn al-Madini dan Amr ibn Ali al Fallas, lalu Malik ibn Anas dan Hisyam ibn Urwah.
Para rawi itu dinilai dari kondisi: lurus (al-‘adalah) yang menyangkut moral (taqwa) dan kesalehan sosial (al-muru’ah), dan presisi (al-ḍabṭ) yang terkait presisi ingatan dan presisi catatan. Banyak metode evaluasi para narator ini, mulai dari menanyakan tingkat religiositasnya pada ulama lain sezaman, dan kalau sang narator mengatakan dia mendengar hadits dari seseorang yang sudah wafat, maka ditanya kapan bertemunya, di mana, kemudian dibandingkan dengan catatan-catatan lain untuk menguji apakah ceritanya itu akurat. Kalau ceritanya itu bertentangan dengan fakta yang lain, maka seluruh isi narasinya akan menjadi lemah.
Apapun yang terjadi dalam proses ini, maka ilmu biografi menjadi hidup. Dan orang yang menuliskan sejarah pun menjadi hati-hati, agar tidak asal menuliskan apa yang diceritakan seseorang, tetapi juga menguji bahwa orang yang meriwayatkan itu akurat, tidak asal cerita sesuai versi dan kepentingannya.
Hasilnya, ada dua: pertama, kita mewarisi sebuah tradisi ilmu untuk menjaga kemurnian penyampaian data, dari para peneliti yang melihat dekat fenomena ke mereka yang sulit atau tidak akan pernah sampai ke fenomena itu. Tradisi ini merasuk baik pada ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam, kecuali pada segelintir mereka yang hanya mencari popularitas atau uang dengan cara yang haram.
Kedua, kita mewarisi satu koleksi raksasa biografi orang-orang terdahulu yang luar biasa, yang pengalamannya maupun integritasnya dapat menginspirasi kita.
Alhamdulillah tradisi biografi ini masih berlanjut hingga hari ini. Dr. Muhammad Akram Nadwi, seorang ilmuwan muslim yang mendapat beasiswa dari Oxford Center for Islamic Studies, menulis buku berbahasa Inggris berjudul: Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam, London and Oxford: Interface Publications; 2007. Buku ini menceritakan biografi ratusan wanita yang bekerja keras berkelana dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu yang lain di berbagai penjuru dunia untuk mengumpulkan hadits. Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.