Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini tahun ajaran baru di sekolah-sekolah dimulai. Anak-anak kecil yang baru masuk sekolah masih antusias dengan lingkungan dan teman-teman baru. Anak-anak yang lebih besar tampak kurang bersemangat. Liburan yang menyenangkan telah lewat. Kini rutinitas yang menjemukan telah dimulai lagi.
Menjemukan? Ya, di negeri ada ribuan sekolah dan jutaan siswa. Mereka menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Mereka melakukan banyak hal, kecuali belajar. Mereka mendapatkan banyak hal, kecuali ilmu!
Ironis. Tapi itulah kenyataannya. Salah satu penyebab murid tak bersemangat adalah guru yang tak termotivasi. Dan salah satu penyebab guru tak termotivasi adalah pemerintah yang tidak memiliki visi. Bagi pemerintah, pendidikan adalah urusan kesejahteraan rakyat yang menghabiskan uang, bukan urusan perekonomian yang mendatangkan uang. Pendidikan tidak pernah dipandang sebagai suatu investasi. Kalaupun ada pendidikan yang dianggap investasi, itu hanyalah program studi tertentu saja yang nanti alumninya akan menjadi profesional yang dapat menangguk penghasilan tinggi. Jadi kalau swasta dilibatkan, mereka hanya tertarik membuka sekolah yang prospektif secara bisnis. Maka sekolah swasta juga hanya tertarik menjaring siswa yang kaya atau yang cerdas. Mereka yang kaya meski kurang cerdas, atau miskin namun cerdas, akan mendapatkan solusi pendidikannya. Yang kaya bisa membayar. Yang miskin namun cerdas bisa mendapatkan beasiswa atau pinjaman. Pemberi beasiswa atau pinjaman yakin itu investasi.
Namun siapa yang akan memikirkan mereka yang kurang cerdas dan juga miskin? Karena miskin mereka kurang gizi, akibatnya kurang tenaga untuk belajar, jadinya kurang cerdas, sehingga tidak punya banyak pilihan dalam mencari nafkah, sehingga penghasilannya rendah, miskin. Harus ada yang memutus lingkaran setan ini!
Negaralah yang harus memutusnya. Negara dengan pemimpin pemerintahan yang memiliki visi. Inilah yang terjadi dengan Daulah Islam sejak berdirinya.
“Setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, hukumnya fardhu mencari ilmu” kata Rasulullah. Mencari ilmu dimasukkan dalam ibadah. “Kejarlah ilmu sampai ke liang lahat” – jadi mencari ilmu tidak berakhir dengan tercapainya gelar S3. Rasulullah juga menekankan, “Barang siapa mencari ilmu, dia sedang mencari Tuhan”, “Mempelajari ilmu bernilai seperti puasa, mengajarkan ilmu bernilai seperti shalat, barangsiapa mati dalam perjalanan mencari ilmu, dia seperti mati syahid dalam jihad fi sabilillah”. Pencarian ilmu akan memperdalam pengenalan seorang muslim pada Rabbnya. Semua ilmu berasal dari Allah dan ditujukan kepada Allah. “Kejarlah ilmu, dari sumber manapun!”, “Terimalah ilmu, sekalipun dari lisan seorang musyrik”.
Motivasi inilah yang menyebabkan bangsa Arab tiba-tiba menjadi “ilmu-mania” nomor satu di dunia.
Ketika Barat terjebak dalam kurungan kegelapan, dan menganggap kebenaran hanya ada di kitab suci, sedang pendapat para ilmuwan yang ada saat itu sebagai sumber kesesatan, kaum muslimin justru melihat bahwa Al-Quran adalah pedoman hidup, sedang ilmu-ilmu kehidupan seperti sains dan teknologi, adalah sesuatu yang wajib dipelajari dari mana saja, sekalipun sampai ke Cina.
Maka, tak sampai seabad setelah Islam memulai futuhat dan Quran selesai diwahyukan, ilmu pengetahuan mekar seperti lautan bunga musim semi setelah musim dingin.
Dan apa yang terjadi saat suatu futuhat (penaklukan) suatu negeri terjadi? Bukan penyerahan senjata, kunci pertambangan penting atau harta benda berharga yang menjadi syarat perjanjian perdamaian, namun seperti Khalifah Harun ar-Rasyid ketika menaklukkan Amuria dan Ankara: penyerahan buku-buku manuskrip Yunani kuno! Buku-buku yang sebenarnya telah ratusan tahun terabaikan dan dilupakan oleh dunia Kristen.
Buku-buku itu tidak kemudian dikonservasi dan disimpan di museum, namun dihidupkan kembali untuk dibawa ke era modern. Caranya? Diterjemahkan!
Buku-buku itu tidak diterjemahkan ke bahasa yang hanya dikuasai segelintir kaum elit, seperti halnya bahasa Latin di Eropa; namun diterjemahkan ke bahasa yang pasti akan hidup hingga akhir zaman, yaitu bahasa Qur’an: bahasa Arab! Setiap muslim wajib mempelajari Qur’an, jadi setiap muslim wajib dapat membaca dan mengerti tulisan Arab. Maka dengan menerjemahkan semua buku-buku ilmu ke dalam bahasa Arab, itu berarti membuka akses ilmu bagi semua orang.
Kesuksesan pekerjaan penerjemahan tidak sedikitpun di bawah kesuksesan pekerjaan pengumpulan buku. Harun ar-Rasyid memerintahkan untuk mendatangkan para pakar segala bahasa ke istananya. Mereka bekerja di bawah koordinasi Yahya bin Masawih menerjemahkan segala buku ilmiah yang bisa diperoleh dari manapun hingga saat itu. Untuk memperbanyak tim penerjemahan, Khalifah al-Makmun mendirikan Akademi Penerjemahan.
Begitulah, para ulama Islam dengan penerjemahannya telah menjaga karya-karya ilmiah antik dari kehilangan total. Tanpa pekerjaan mereka, dunia kita sekarang tidak akan mengenal buku anatomi dari Galens; buku mekanika dan matematika dari Heron, Philo dan Menelaos; buku astronomi dari Ptolomeus; buku geometri dari Euklides; buku tentang irisan kerucut dari Appolonius; buku tentang kesetimbangan di air dari Archimedes dan sebagainya.
Buku-buku itu kemudian disalin ribuan kali oleh para waraqin (yang berfungsi seperti mesin foto copy), kemudian dikirim ke perpustakaan-perpustakaan. Setiap masjid punya perpustakaan. Setiap rumah sakit memiliki ruang tunggu yang lengkap dengan perpustakaan. Dan semua orang dapat membaca atau meminjamnya. Sebuah kota kecil seperti Najaf di Iraq saja abad 10 M memiliki perpustakaan dengan koleksi 40.000 buku! Perpustakaan itu menjadi bursa ilmu pengetahuan yang paling mudah, tempat orang dapat bertemu dengan para pakar untuk bertransaksi ilmu. Dan ilmu – seperti kata Imam Ali – adalah sesuatu yang ketika diberikan tidak berkurang, namun justru bertambah!
Belajar menjadi murah, ketika akses ilmu pengetahuan dibuat mudah oleh negara. Negara memiliki visi yang dibuktikan dengan tindakan. Negara mempromosikan ilmu sehingga rakyat cinta ilmu, sehingga orang-orang kaya berlomba wakaf fasilitas pembelajaran, sehingga para cerdik pandai mencari ilmu dan mengajarkannya dengan semangat mencari Tuhan.
Maka spiral kegelapan pada mereka yang kurang cerdas dan miskin pun terputus. Tidak ada orang miskin yang terhalang belajar oleh kemiskinannya. Dan tidak ada orang yang dianggap kurang cerdas dalam mencari Tuhannya.
Dr. Fahmi Amhar
Tahukah anda parameter sebuah world-class city? Kota kelas dunia. Banyak negara berkembang yang ingin memacu peringkat kota-kota yang dimilikinya dengan even-even internasional, semacam Olympiade atau Piala Dunia. Sejak sepuluh tahun yang lalu, Afrika Selatan telah bekerja ekstra keras membangun sejumlah kota yang sekarang menjadi ajang pagelaran Piala Dunia Sepakbola. Kota-kota itu harus sudah disulap sedemikian rupa sehingga aman dan nyaman untuk didatangi ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Kota-kota itu harus setara atau lebih baik dengan kota-kota kelas dunia yang sebelumnya pernah menjadi tuan rumah acara serupa, seperti Tokyo, Muenchen atau Buenos Aires.
Apa saja yang dibangun? Yang pasti, infrastruktur! Para pecandu bola yang jauh-jauh datang dari segala penjuru tentu akan marah besar kalau mereka telat menonton pertandingan gara-gara macet. Jadi jaringan kereta listrik yang menjangkau seluruh kota harus sudah siap. Para supporter itu juga pasti akan marah kalau sampah ada di mana-mana. Jadi sistem pengelolaan sampah juga harus sip. Demikian seterusnya. Tentu saja infrastruktur itu tidak hanya berfungsi selama even berjalan, tetapi juga bermanfaat selanjutnya untuk kehidupan masyarakat kota itu. Baru pantas itu disebut kota kelas dunia.
Seribu tahun yang lalu, peringkat pertama dan kedua kota kelas dunia diraih oleh dunia Islam: Baghdad dan Cordoba. Baghdad kini masih dalam status perang sejak invasi Amerika. Cordoba kini statusnya tenang …. Sejak kaum muslim terusir dari sana lebih dari tujuh abad yang silam!
Cordoba terlatak di region Andalusia, Spanyol selatan. Andalusia dimerdekakan oleh pasukan muslim dari penjajahan Romawi pada tahun 711 M. Pada 750, di ibukota khilafah Damaskus terjadi revolusi penumbangan dinasti Umayyah yang korup. Nyaris seluruh keluarga Bani Umayyah dihabisi. Abdurrahman, seorang pemuda bani Umayyah yang baru 20 tahun berhasil lolos. Lima tahun ia berkelana dalam kemiskinan dan kebingungan di Afrika Utara, hingga ia diterima para pemuka di Andalusia.
Akhirnya, pada 756 ia dibaiat sebagai khalifah guna mengatasi kemelut politik yang masih berkecamuk hingga 33 tahun sesudah itu. Namun lambat laun, anak cucunya mengakui bahwa Baghdad lebih berhak pada khilafah, karena sesungguhnya di dunia Islam hanya boleh ada satu khalifah. Namun sejarah terlanjur mencatat eksistensi kedua khilafah ini, meski antar mereka tak ada lagi perang. Yang ada adalah kompetisi peradaban yang mengangkat umat Islam ke periode keemasannya.
Ciri suatu permukiman Islam adalah masjid. Untuk itu Abdurrahman membeli sebuah gereja tua yang telah rusak dengan harga 500.000 Dirham, atau dengan kurs Dirham saat ini sekitar Rp. 30 ribu, nilainya sama dengan Rp 15 Milyar. Ini agak aneh, biasanya pemenang perang langsung menghancurkan tempat ibadah bangsa yang ditaklukan, tetapi dengan uang itu orang-orang Nasrani malah bisa membangun gereja besar di tempat lain.
Abdurrahman menghancurkan sisa gereja itu lalu di atasnya dibangun masjid yang indah, yang arsitekturnya menginspirasi Eropa yang sebelumnya bergaya Yunani.
Ketika politik stabil dan ekonomi membaik, penguasa Cordoba mulai memikirkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Al-Hakam yang memerintah tahun 796-822 sejak hari pertama pemerintahannya ingin menjadikan rakyatnya bangsa termaju di dunia. Setiap masjid digabungkan dengan sekolah, dan di tiap bagian kota dibangun perpustakaan dan balai latihan keahlian, di mana anak-anak dapat belajar tanpa membayar, karena guru-gurunya telah dibayar negara. Al-Hakam juga mengirim duta-duta ke seluruh dunia untuk mencari ilmuwan atau membeli karyanya. Tak jarang, karya yang ditulis di Baghdad sudah beredar di Andalusia sebelum khalayak Baghdad mengetahuinya. Orang-orang Kristen Eropa juga bangga, bila bisa belajar di Cordoba, seperti pada abad-21 ini banyak ilmuwan muslim bangga belajar di Amerika. Bahkan Gerbert dari Aurillac, yang pada tahun 999 M diangkat menjadi Paus di Roma pun bangga, pernah belajar matematika di Cordoba. Eropa yang saat itu harus mengakui supremasi militer muslim keheranan, bahwa penguasa di Cordoba ternyata tidak dikelilingi oleh para jenderal yang perkasa nan bengis, tetapi oleh para ulama, ilmuwan, dan pujangga.
Gerbert pertama kali melihat cara orang Islam berhitung saat dia mengunjungi pasar di perbatasan Andalusia tahun 971. Saat itu Andalusia sudah menjadi wilayah yang sangat maju. Di Cordoba selain istana khalifah dan para wazirnya, sudah terdapat 113.000 rumah, 600 masjid, 300 pemandian, 50 rumah sakit, 80 sekolah umum, 17 sekolah tinggi (yang mahasiswa fakultas syariahnya saja 4000 orang) serta 20 perpustakaan umum, yang sebagian dengan koleksi di atas setengah juta buku.
Selain Konstantinopel, saat itu tidak ada kota Eropa Kristen yang berpenduduk di atas 30.000 orang, atau punya rumah sakit umum, universitas atau perpustakaan. Pada saat itu jalan-jalan kota di Eropa masih belum diperkeras dan di mana-mana masih bereceran kotoran dan sampah. Bahkan pada 28 Maret 1819, koran di kota Koln (Jerman) “Kolnische Zeitung” masih mencela proyek penerangan jalan dengan gas. Alasannya, “gelapnya malam adalah aturan Tuhan, dan seharusnya manusia haram merubahnya”.
Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, Paris memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba, menjadi world-class city.
Pada akhir abad-11, kaum muslimin seluruh penjuru khilafah mulai terlena oleh kemakmuran yang dicapai. Jihad tak lagi mendapat perhatian serius. Stabilitas politik dijaga, namun melupakan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Mereka lupa bahwa saat itu masih banyak belahan dunia yang belum mendengar syiar Islam, masih tenggelam dalam kejahilan dan kezhaliman.
Demikianlah ketika akar-akar pohon khilafah mulai lapuk, tentara Salib berhasil menduduki Yerusalem tahun 1076, dan baru bisa diusir Shalahuddin al-Ayyubi 111 tahun kemudian (yakni 1187). Jadi posisi negara Khilafah memang lemah ketika pada 1236 Cordoba diserang tentara Kristen di bawah Fernando III. Apalagi sudah hampir 5 abad, kota ini berstatus separatis, tidak sepenuhnya di bawah kendali dan perlindungan Khilafah di Baghdad. Tak heran kota ini lalu takluk nyaris tanpa perlawanan. Saat itu sebenarnya ada perjanjian, bahwa kaum Nasrani mengambil alih pemerintahan, namun tak boleh mengganggu penduduk muslim, sebagaimana kaum muslim tidak mengusik mereka saat masuk Cordoba lima abad sebelumnya.
Namun benarlah firman Allah dalam QS At-Taubah:8 “Bagaimana bisa (ada perjanjian dengan orang-orang musyrik), padahal bila mereka memperoleh kemenangan, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Kaum muslim, dan semua yang tidak sepaham dengan penguasa (termasuk Yahudi dan sekte-sekte Kristen minoritas) ditindas dengan kejam, dan akhirnya harus memilih: mati atau meninggalkan Cordoba (mirip yang terjadi di Palestina saat ini).
Itulah yang menjelaskan mengapa Cordoba saat ini hanya berpenduduk sekitar 300 ribu orang dan tak lagi penting di Eropa. Setelah kaum muslim habis, tak ada lagi sumber daya manusia yang mampu meneruskan peradaban di Cordoba. Infrastruktur, universitas dan rumah-rumah sakit hancur satu demi satu dimakan usia. Sisa-sisa isi perpustakaan Cordoba berpindah ke museum di Eropa. Buku-buku antik itulah saksi bisu zaman keemasan Cordoba. Dalam hal ini nasib Cordoba sedikit lebih mujur daripada Baghdad yang seluruh koleksi bukunya dilemparkan ke sungai Tigris dan dijadikan jembatan oleh tantara Mongol tahun 1258. Bedanya, Baghdad beruntung karena tiga tahun kemudian (1261) Mongol sudah dikalahkan di Ain Jalut dan Baghdad dapat direbut kembali. Sedang Cordoba hingga kini belum pernah direbut kembali.
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda bertemu seorang Polymath? Polymath adalah orang yang sangat kompeten tidak hanya dalam satu bidang ilmu, namun dalam beberapa bidang ilmu sekaligus. Mungkin orang akan mengatakan bahwa fokus di satu bidang akan membuatnya lebih hebat lagi, namun itu tidak berlaku bagi seorang Polymath. Mereka memang sangat hebat dalam beberapa bidang sekaligus. Sejarah keemasan Islam mencatat cukup banyak polymath, salah satu di antaranya adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al Biruni, yang hidup antara 973 M sampai 1048 M.
Sebagaimana lazimnya anak-anak di masa itu, al-Biruni sudah hafal Qur’an sebelum baligh. Tentu saja dia juga belajar ilmu fiqih dasar dan dia mempelajarinya dengan serius sehingga pada saat berusia baligh dia sudah mengenal semua syariat Islam yang wajib diketahui dalam kehidupan sehari-hari. Dia memiliki kualitas seorang alim. Dia lalu menekuni berbagai cabang ilmu sesuai minatnya.
Pada usia 17 al-Biruni sudah menghitung posisi lintang bujur dari Kath, Khwarizm, dengan metode tinggi matahari. Al-Biruni memecahkan persamaan geodesi kompleks untuk menghitung jari-jari bumi. Dan dia mendapatkan angka sekitar 6339,9 Km, hanya berselisih 16,8 Km dari nilai modern yaitu 6356,7 Km. Berbeda dengan pendahulunya yang menghitung jari-jari bumi dengan pengamatan simultan matahari dari dua tempat yang berbeda, al-Biruni mengembangkan metode trigonometris yang dapat dikerjakan satu orang dari satu lokasi. Dengan cara itu dia juga dapat mengukur tinggi gunung tanpa harus mendakinya.
Pada usia 22 tahun, al-Biruni sudah menulis sejumlah karya ilmiah, termasuk tentang proyeksi peta, penggunaan sistem koordinat 3D – Cartesian (waktu itu tentu saja belum disebut Cartesian) dan transformasinya ke sistem koordinat polar.
Ketika membahas geografi, al-Biruni menggabungkan pemetaan dengan sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Ketika membahas geologi India, dari data-data tanah dia berhipotesa bahwa wilayah itu dulunya adalah laut – apa yang dia abad modern semakin diperkuat oleh bukti-bukti fossil binatang laut di Himalaya.
Metode ilmiah al-Biruni hampir sama dengan metode ilmiah modern, terutama dengan perhatiannya pada eksperimen yang berulang. Al-Biruni sangat peduli pada kesalahan sistematis dan kesalahan acak (random), seperti kesalahan yang mungkin disebabkan oleh penggunaan alat yang renik dan kesalahan yang timbul oleh pengamat. Dia mengatakan bahwa alat memproduksi kesalahan karena kualitasnya tidak sempurna, sehingga pengamatan mesti dilakukan berulang, dan setelah itu dilakukan rata-rata aritmetis untuk mendapatkan perkiraan yang masuk akal.
Untuk pengamatan astronomi, Al-Biruni banyak membuat berbagai instrumen astronomi, seperti alat untuk mencari kiblat atau mengukur saat-saat sholat di semua tempat di dunia. Dia juga membangun prototype sextant, yaitu alat dasar survey. Dia juga membuat prototype hodometer, semacam komputer mekanik untuk membuat kalender, mirip yang kini ada pada jam mekanik.
Al-Biruni secara tegas membedakan astrologi dari astronomi . Dia menolak astrologi karena tidak empiris tetapi hanya menghubung-hubungkan dengan cara yang tidak logis.
Setelah membaca banyak data hasil pengamatannya, al-Biruni meyakini bahwa bumi ini bulat, berputar pada porosnya sehari sekali, dan beredar mengelilingi matahari setahun sekali. Ini hal yang bertentangan dengan pendapat umum saat itu, namun diyakini al-Biruni paling dekat dengan data-data empiris.
Al-Biruni juga memulai suatu tradisi baru dalam astronomi, yang disebut “astronomi- experimental”. Dia mulai memprediksi gerhana matahari total pada 8 April 1019 dan gerhana bulan pada 17 september 1019 secara detil, bahkan pada lokasi mana gerhana itu dapat disaksikan. Dan berbeda dengan Ptolomeus, yang hanya memilih data yang sesuai teorinya, al-Biruni memperlakukan “error” dengan perlakuan yang lebih ilmiah, termasuk memperbaiki teorinya. Inilah yang kemudian melahirkan dukungannya pada teori heliosentris, dan meninggalkan teori geosentris Ptolomeus. Dia juga mengatakan bahwa orbit planet-planet itu bukan lingkaran tetapi ellips.
Karya al-Biruni berjumlah total 146. Ini mencakup 35 buku tentang astronomi, 4 tentang astrolab (alat navigasi), 23 tentang astrologi, 5 tentang kronologi (cara pendataan temporal), 2 tentang pengukuran waktu, 9 tentang geografi, 10 tentang geodesi dan teori pemetaan, 8 tentang aritmetika, 5 tentang geometri, 2 tentang trigonometri, 2 tentang mekanika, 2 tentang kedokteran dan farmakologi, 1 tentang meteorologi, 2 tentang mineralogi, 4 tentang sejarah, 2 tentang India, 3 tentang agama dan filsafat, 16 tentang karya sastra, 2 tentang sihir, dan 9 tidak terklasifikasi. Dari semua karyanya ini tinggal 22 yang bertahan hingga kini dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Yang paling terkenal adalah:
Pakar sejarah ilmu George Sarton menyebutkan bahwa al Biruni adalah “one of the very greatest scientist of Islam, and, all considered, one of the greatest of all times”. Namanya telah diabadikan untuk sebuah kawah di bulan dan sebuah universitas teknologi di Tashkent Uzbekistan.