Dengan Aljabar Kau Kulamar
Dr. Fahmi Amhar
Setelah kemampuan membaca dan menulis, tingkat kecerdasan sebuah bangsa adalah pada matematika. Kalau kemampuan matematika bangsa ini dihitung dalam skala 0-100, berapa nilai yang pantas kita berikan?
Ada guyonan, bahwa mereka yang terpandai dalam matematika di sekolah akan menjadi dokter, insinyur atau pilot, yang ketika menghitung dosis obat, kekuatan bangunan atau tinggi terbang memang perlu kemampuan berhitung yang cepat nan akurat. Yang pas-pasan dalam matematika akan menjadi pedagang yang tidak perlu menghitung yang rumit-rumit, tetapi harus bisa memastikan bahwa bisnis masih untung. Sedang yang matematika di sekolahnya paling jeblok akan menjadi politisi, orang partai, anggota DPR atau kepala daerah. Mereka ditengarai sama sekali tidak bisa berhitung. Dalam proses politik saja mereka sering sudah salah hitung tentang potensi perolehan suara. Sedang bila sudah berkuasa, mereka terbukti tidak mampu berhitung bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuatnya – seperti konsesi, privatisasi, dan utang luar negeri – telah membuat negeri dan rakyatnya ini semakin bangkrut. Dari matematika, yang mereka kuasai cuma menambah (beban pajak), mengurangi (subsidi) dan mengalikan (gaji diri sendiri). Yang tersulit adalah membagi (kekayaan umum kepada rakyat). Tapi sekali lagi ini cuma guyonan.
Namun para pemimpin yang hebat dalam sejarah dunia sejatinya adalah para pecinta dan pengguna matematika yang baik. Tentu saja yang kita ceritakan bukanlah Eropa abad pertengahan, namun adalah negeri Daulah Khilafah.
Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi khalifah al-Mansur yang berkuasa di Bagdad antara 754-775 M. Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang teknik berhitung (aritmetika), yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik. Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet. Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”. Belakangan karya ini diedit ulang oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.
Dengan karya ini, angka India menjadi populer. Ketika pada tahun 706 M Khalifah al-Walid I menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti dengan bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya. Namun ketika buku al-Fasari dan kemudian al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.
Al-Khawarizmi adalah tokoh matematikawan besar yang ditarik oleh khalifah al-Makmun ke istana. Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika. Dan al-Makmun tidak salah. Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India.
Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka. Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan luas lingkaran, yaitu bilangan pi (π). Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu. Dewasa ini, dengan superkomputer, nilai pi sudah dicoba didekati hingga semilyar angka di belakang komma, dan tetap saja tidak berhenti atau ditemukan keteraturan.
Kalau sebuah bidang datar memotong sebuah kerucut secara miring dan membentuk ellips, lalu pertanyaannya berapa luas dan panjang keliling ellips tersebut, maka geometri Yunani tak lagi memberi jawaban. Pada saat yang sama, seni berhitung (arimetika) ala India juga tidak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini. Di sinilah al-Khawarizmi mencoba “mengawinkan” geometri dan aritmetika. Perpotongan kerucut dengan bidang datar secara miring menghasilkan beberapa unknown (variabel yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, rumus kerucut dan kemiringan perpotongan dijadikan satu lalu diselesaikan. Inilah aljabar. Dan model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai oleh Galileo, Kepler, dan Newton dalam meramalkan gerakan planet.
Namun karya terbesar al-Khawarizmi yang sebenarnya justru bukanlah makalah ilmiah yang berat, tetapi dua buah buku kecil yang sengaja ditulis untuk kalangan awam tentang penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Buku perrtama memang menyandang judul yang sangat teoretis, “Aljabar wa al-Muqobalah” – kitab tentang persamaan-persamaan dan penyelesaiannya. Namun isi sebenarnya ringan. Ketika orang Barat menerjemahkan buku ini ke bahasa Latin, judul Arabnya tetap bertahan – hingga hari ini: Algebra.
Buku kedua yang ditulis al-Khawarizmi justru membuat namanya abadi. Buku ini tentang teknik berhitung dengan menggunakan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa. Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.
Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian lupa asal-usul kata algoritma. Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru. Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung objek sebanyak pasir di pantai. Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus. Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma. Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya. Sebagaimana diketahui, huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.
Pada masa rennaisance di Eropa, menguasai aljabar menjadi sesuatu yang sangat prestisius. Maka tentu tak sulit membayangkan, bahwa kalau di dunia Islam orang dapat melamar seorang gadis dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, maka di Eropa, orang dapat melamar seorang gadis dengan mengajarkan aljabar!
[ GAMBAR ]
Adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang berhitung dengan abakus Yunani) dengan kaum Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.
Tags: aljabar
Leave a Reply