Manajemen-Riset-para-Mujtahid
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang menyebabkan bangsa Indonesia tak punya daya saing ekonomi? Sebagian orang menjawab, “kandungan teknologi dalam produk kita sangat rendah sehingga harganya murah”, dan “itu karena riset kita tidak kuat”, alasannya “anggaran riset kita hanya 0,2% dari APBN”.
Kalau masalahnya adalah uang, bagaimana kalau dicoba ditambah secara signifikan? Pada tahun 2009 lalu, Departemen Pendidikan Nasional yang diguyur 20% APBN mengalokasikan dana riset yang sangat besar melalui Dirjen Pendidikan Tinggi. Sebagian besar dana itu ditujukan kepada para dosen baik negeri maupun swasta, dan Rp. 400 milyar ditujukan pada para peneliti di Litbang Departemen di luar Depdiknas dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Ternyata, cuma sekitar 250 milyar yang terserap. Apa masalahnya?
Persoalannya adalah manajemen riset kita yang sangat jelek, yaitu aturan-aturan yang kontra produktif dan kultur birokrasi yang tidak kondusif.
Sebagai contoh, aturan tadi menyebutkan bahwa setiap peneliti maksimum hanya boleh diberi honor tambahan 4 jam perhari, @ Rp. 27.500,-. Jadi kalau peneliti itu bekerja 5 hari seminggu dan 50 minggu setahun, dia hanya akan dapat tambahan Rp. 27.500.000,- Dalam penelitiannya itu, tidak boleh ada pembelian alat atau barang modal. Tidak boleh juga ada perjalanan ke luar negeri, sekalipun untuk mempresentasikan papernya di simposium ilmiah internasional. Karena jatah setiap peneliti adalah Rp. 50 juta, maka sisa uang tersebut harus dipertanggungjawabkan untuk pengadaan bahan riset, pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas dalam negeri dan mengikuti atau mengadakan seminar di dalam negeri. Dampak aturan ini: sekitar 3000 peneliti enggan mengajukan proposal. Terkesan main-main saja.
Sementara itu, banyak hibah riset yang dikompetisikan secara internasional, yang juga tidak termanfaatkan oleh peneliti kita. Pasalnya, salah satu kriteria seleksinya adalah rekam jejak manajemen riset yang baik. Kalau muncul proposal dari berbagai institusi Indonesia yang tumpang tindih, maka itu indikasi manajemen riset di Indonesia amburadul. Akibatnya, ribuan dana hibah riset bergensi di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, lebih banyak dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti Cina dan India. Dari negeri-negeri Islam sangat sedikit. Dan Indonesia di nomor buncit.
Para peneliti kita lebih sering disibukkan oleh banyak hal di luar dunia riset. Seorang akademisi dengan jenjang S3 (Doktor) kerap dianggap kampiun di segala hal, atau setidaknya punya kecerdasan di atas rata-rata, sehingga lebih sering diminta duduk di birokrasi atau setidakknya dalam berbagai tim dan kepanitiaan, sehingga tak sempat lagi fokus melakukan riset. Dan mereka yang fokus riset pun hasil-hasilnya lebih sering tidak dipakai oleh para penentu kebijakan. Kebijakan publik lebih didominasi oleh para pembisik, baik dari kalangan politik, pengusaha maupun paranormal.
Inilah wajah dunia riset kita. Bagaimanakah dunia riset di masa keemasan Islam, di masa para mujtahid dan ilmuwan bersinergi menciptakan karya-karya peradaban yang sangat kreatif dan monumental hingga sekarang?
Riset di bidang sains dan teknologi tidak banyak berbeda dengan ijtihad seorang mujtahid di bidang hukum syara’. Keduanya sama-sama mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan jawaban suatu persoalan. Yang satu persoalan teknis, yang lain persoalan hukum. Mujtahid mencari jawaban itu dari dalil-dalil syara’, sedang ilmuwan mencarinya dari metode experimental (misalnya di bidang ilmu-ilmu alam) atau metode rasional untuk menurunkan pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah ada (misalnya di bidang matematika atau fisika teoretik).
Para cendekiawan muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subjek-subjek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoretis. Ini tampak misalnya dalam Mafatih al ‘Ulum karya al-Khwarizmi, Ihsa al-Ulum karya al-Farabi, al-Fihrist karya ibn an-Nadim, Muqaddimah karya ibn Khaldun hingga Al-I’lam bi-manaqib al-Islam karya al-Amiri. Dalam menggambarkan mekanika atau rekayasa Al-Amiri (wafat 991 M) menulis:
Mekanika adalah disiplin yang menerapkan matematika dan ilmu alam. Mekanika memampukan seseorang mengambil air yang tersuruk di bawah tanah, juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengangkut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan banyak hal lain, yang jika disebutkan semua membutuhkan banyak ruang.
Ilmuwan dan rekayasawan (muhandisun) mendapatkan kedudukan yang tinggi. Para khalifah dan sultan dekat dan hormat pada mereka. Dan seperti para mujtahid, ilmuwan di masa itu juga berani menyampaikan fakta ilmiah, sekalipun boleh jadi bertentangan dengan opini masyarakat atau penguasa. Sebagai contoh: al-Haitsam akhirnya menyimpulkan bahwa dengan teknologi saat itu sungai Nil mustahil dibendung, yang artinya proyek Sultan Mesir mesti dibatalkan. Akibat sikapnya itu, dia harus mengalami tahanan rumah bertahun-tahun dengan tuduhan telah gila. Ada sejarahwan yang menulis bahwa dia memang pura-pura gila untuk menghindari hukuman akibat wanprestasi. Kedua hal ini tak pernah diklarifikasi. Yang jelas, tidak mudah berpura-pura gila bertahun-tahun. Faktanya selama dalam tahanan, al-Haitsam tak berhenti meneliti, dan hasilnya adalah kitab dasar-dasar optika.
Secara umum, meski penguasa politis silih berganti, namun komitmen pada dunia ilmiah nyaris tidak berubah. Para ilmuwan disediakan dana yang nyaris tak terbatas, selama hasil penelitian mereka sebelumnya terbukti dapat diterapkan secara praktis. Bahkan di bidang ilmu dasar seperti astronomi dan matematika pun para peneliti wajib menjadikan masyarakat paham, atau minimal “terhibur” dengan ilmu. Majelis-majelis sains dan teknologi ramai dikunjungi khalayak. Karena itulah orang-orang kaya juga terpancing ikut mensponsori penelitian. Wakaf suatu perpustakaan atau laboratorium menjadi trend. Sultan dan aghniya’ bersaing agar namanya diabadikan menjadi nama suatu tabel astronomi yang berguna dalam navigasi, nama atlas dunia baru, atau nama ensiklopedia baru.
Setiap kali seorang ilmuwan selesai menulis sebuah buku, buku ini langsung dilelang. Tak sedikit aghniya yang menawar dengan emas seberat beberapa kali lipat timbangan buku itu. Setelah dilelang, buku itu akan diserahkan ke perpustakaan dan ratusan waraqien, atau tukang salin, akan menyalinnya dengan tangan untuk disebar ke masyarakat. Buku itu, beserta ilmu di dalamnya menjadi milik publik. Dan sang ilmuwan, dengan emas yang didapatnya, dapat meneliti kembali untuk menghasilkan karya selanjutnya.
Hasilnya, pada saat kedatangan pasukan Mongol di Baghdad tahun 1258 M, koleksi buku di perpustakaan khalifah di Baghdad lebih dari dua juta buku! Jumlah yang fantastik mengingat saat itu belum ada komputer dan mesin cetak. Semua buku itu adalah manuskrip tulisan tangan.
Manajemen riset di dunia Islam masih berjalan baik hingga pertengahan era khilafah Utsmaniyah. Namun riset yang dilakukan tinggal didominasi teknologi terapan, seperti di bidang arsitektur atau persenjataan, sedang riset dasar seperti fisika atau matematika nyaris terhenti. Masyarakatpun sudah tidak antusias dengan dunia ilmiah. Walhasil, ketika dunia Barat bangkit dengan riset dasar yang kuat, ilmuwan muslim merasa gagap mengejarnya. Mereka menunggu suasana kondusif masyarakat maupun negara seperti di awal era khilafah muncul kembali.
Leave a Reply