Dr. Fahmi Amhar
Indonesia adalah negara kepulauan. Konon ada lebih dari 13.000 pulau di sana. Garis pantainya lebih dari 90.000 kilometer. Luasnya hampir delapan juta kilometer persegi. Namun hasil laut kita cuma sepersepuluh Cina yang negara benua. Demikian juga Angkatan Laut kita teramat kecil, jauh lebih kecil dari Angkatan Darat. Kapal perang hanya 148 dari jumlah ideal 500 untuk menjaga seluruh batas perairan. Dan itupun tidak semua berlayar. Ada yang tidak lengkap suku cadangnya atau tidak punya solar. Kita cuma punya dua kapal selam, padahal Singapura yang hanya sebuah pulau kecil saja punya 20 kapal selam. Tak heran jika hasil laut kita lebih banyak dijarah kapal-kapal asing (illegal fishing). Dan kita tidak mampu berbuat banyak. Bagaimana mau mengejar kalau kapal-kapal asing itu dapat berenang lebih cepat?
Mungkin semua ini karena kita tidak punya visi negara adidaya. Sebuah negara adidaya, atau yang bervisi menjadi adidaya, pasti membangun kekuatan lautnya. Amerika Serikat contohnya. Angkatan laut AS jauh lebih besar dari angkatan daratnya. Juga Cina yang galangan kapalnya mampu membangun 400 kapal setiap tahun! Dan jangan lupa: Daulah Islam pun ternyata demikian.
Adalah Umar bin Khattab yang memutuskan membangun armada muslim demi menghadapi Romawi. Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah. Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien. Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum muslim harus membangun angkatan laut.
Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian. Ada pelaut yang mengoperasikan kapal. Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah. Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan kemana mereka harus menuju. Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat. Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi. Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup. Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar. Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal. Seluruh hal-hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.
Ketika angkatan laut muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan. Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Qur’an ataupun Hadits Rasulullah, bahwa kaum muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma. Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan. Maka sebagian kaum muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi. Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang. Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas. Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta. Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.
Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang. Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pingir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1500 orang. Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Semua kapal muslim mencerminkan karakteristik tertentu. Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang. Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar tergantung fungsinya. Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara. Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter. Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal. Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi. Dengan demikian kapal muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.
Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sina’a, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal. Perhatian para penguasa muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi. Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta ke pantai Syria untuk dirakit. Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan Salib.
Uji kualitas atas bahan-bahan pembuat kapal seperti kayu sant (Acacia Nilotica), juga rami untuk bahan tali dan tekstil terpal untuk layar, dilakukan dengan ketat agar kapal yang dihasilkan juga bermutu tinggi.
Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat. Di luar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara real sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi yang terkait kelautan.
Tanpa teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumberdayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara. Dengan teknologi kelautan, negara khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya.
Kapal dengan type layar lateen
Kapal khas arab
Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini sebagian kota-kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik bergilir. Sebagian orang langsung menuduh bahwa PLN memang tidak becus mengurus listrik. Dan itu menjadi dalih bahwa sudah saatnya urusan listrik diserahkan kepada swasta, agar timbul iklim kompetisi, sehingga efisien dan optimal. PLN menjawab bahwa persoalannya terletak pada energi primer yaitu gas yang tidak diberikan ke PLN. Mayoritas pembangkit PLN dapat menggunakan dua jenis energi primer: BBM dan gas. Gas jauh lebih murah. Namun produsen gas di Indonesia tidak mau menjual gas ke PLN. Gas mereka sudah dikontrak ekspor ke Cina, sehingga industri di Cina lebih berdaya saing. Demikian juga dengan sejumlah daerah di Kalimantan yang beberapa tahun terakhir ini pemadaman listrik menjadi agenda mingguan. Meski mereka penghasil batubara, namun hanya sedikit yang boleh digunakan di sana. Selebihnya adalah untuk membuat kota-kota di Korea Selatan terang benderang.
Ketersediaan energi bagi sebuah negara memang suatu hal yang vital. Energi digunakan untuk industri, menggerakkan roda transportasi, menyalakan penerangan, memanaskan rumah dan alat dapur, menghidupkan peralatan elektronik, hingga intensifikasi pertanian, karena pada hakekatnya pemberian pupuk adalah subsidi energi ke produk tanaman.
Tidak heran bahwa setiap kali pasokan energi berkurang, terjadilah krisis. Namun dalam sejarah manusia, krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali. Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi. Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.
Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi. Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan. Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi. Muncullah penggunaan energi non hayati. Rentang masa ini cukup panjang. Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).
Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien. Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.
Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.
Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun! Namun khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah). Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog. Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin. Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.
Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka. Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.
Lampu tambang karya Banu Musa dengan pelindung yang dirancang agar diputar oleh angin ke arah yang melindungi lampu dari tiupan angin.
Mesin keruk dalam manuskrip Banu Musa,
dari koleksi Staatsbibliothek Berlin.
Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan. Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain. Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya. Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.
Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.
Alat ventilasi pertambangan karya Banu Musa, terdiri dari buluh peniup dan pipa-pipa yang memompa udara segar ke dalam untuk mengusir gas-gas beracun.
Ilustrasi pompa dan rantai untuk mengangkat air di lokasi pertambangan, karya Taqiyuddin (abad 10M).
Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter). Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.
Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”. Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral. Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan. Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga. Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.
Meski pada saat itu batu bara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinyapun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, exploitasi batu bara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.
Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat. Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat. Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat.
Dr. Fahmi Amhar
Pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, Departemen Komunikasi dan Informatika (kominfo) mendapat bos baru, salah seorang mantan petinggi parpol Islam. Mungkin bagi sebagian orang, hadirnya seorang “ustadz” di dunia kominfo diharapkan dapat membersihkan dunia media massa dan telekomunikasi – termasuk internet – dari segala hal yang kurang islami, seperti pornografi, tayangan kekerasan, mistik hingga gossip yang menyaru sebagai infotainment. Sebaliknya, fasilitas-fasilitas itu dimanfaatkan secara maksimal untuk mencerdaskan anak bangsa, meningkatkan ketaqwaan, memberi motivasi, tetapi juga kritis kepada kebijakan publik yang tidak berpijak pada kebenaran dan keadilan.
Dunia kominfo adalah dunia yang amat sangat cepat berkembang. Nyaris seluruh teknologi yang digunakan dewasa ini, seperti komputer, multimedia, internet, televisi digital, dan telepon seluler baru dipakai luas dalam tiga dekade terakhir. Kalangan keagamaan sering merasa kerepotan karena banyak sekali aktivitas muamalah via saluran kominfo yang bagi mereka masih abu-abu. Misal jual beli melalui e-commerce, perjanjian via internet atau selingkuh di dunia maya?
Di sisi lain, memang didapati realita bahwa masih ada jurang komunikasi dan informasi di masyarakat yang menyebabkan orang-orang dengan akses informasi lebih diuntungkan dalam segala aspek kehidupan. Mereka jadi tahu harga pasaran produk pertanian, jadi tahu kapan harus berganti pola tanam karena bakal ada perubahan musim dan sebaiknya. Sebaliknya, mereka dengan akses terbatas menjadi serba tertinggal, termarjinalkan, dan termiskinkan.
Timbul pertanyaan, apakah fenomena kominfo ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam? Daulah Islam di masa lalu mencakup wilayah yang sangat luas, membentang dari tepian Atlantik hingga tepian Pasifik, dari pegunungan Ural sampai gunung Kilimanjaro. Bagaimana cara-cara mereka dulu berkomunikasi, menyebarkan informasi dan membangun masyarakat yang beradab, kuat dan bermartabat dengan teknologi yang ada saat itu? Sejauh apa kontribusi ilmuwan muslim bagi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi?
Dalam rangka pengumpulan atau koleksi informasi, sejak tahun 650-M, para khalifah bani Umayyah sudah memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah dari Mesir dan India. Usaha ini makin massif sekitar seabad kemudian, ketika pada tahun 763-M, Khalifah Harun al Rasyid dari bani Abbasiyah mendirikan Baitul Hikmah, semacam Akademi Ilmu Pengetahuan, tempat informasi dikumpulkan, disaring, diuji kembali dan ditata rapi sebagai suatu “asset” dalam suatu “organization of knowledge”.
Pada 794-M berdiri pabrik kertas pertama di Baghdad. Dengan demikian, penyebaran atau diseminasi informasi ke masyarakat dapat dilakukan jauh lebih efisien. Sebelumnya kertas hanya dibuat secara individual dalam jumlah terbatas.
Dalam hal penyaluran atau transmisi informasi, pada abad pertengahan, komunikasi jarak jauh dilakukan dengan kurir berkuda, burung merpati pos atau dengan sinyal-sinyal api. Kurir berkuda atau merpati pos memerlukan waktu tempuh 50 km/jam atau 120 km/jam dan setelah beberapa waktu harus dilakukan estafet. Sinyal api dapat bergerak lebih cepat, namun memerlukan menara-menara yang dibangun di puncak-puncak gunung atau setiap jarak 30 kilometer dengan petugas jaga untuk menerima dan meneruskan sinyal. Namun karena kapasitas informasinya terbatas, sinyal api memerlukan perjanjian terlebih dulu tentang makna di balik setiap sinyal.
Setiap transmisi informasi ada peluang disadap oleh pihak yang tidak berhak. Karena itu para ilmuwan muslim juga mendalami teknik untuk merahasiakan pesan, sehingga sekalipun informasi jatuh ke pihak asing, mereka tidak mampu memahaminya. Sekitar 850-M, al-Kindi menulis makalah tentang mengunci dan membuka pesan terenkripsi. Inilah dasar cryptography. Pekerjaan ini dimungkinkan setelah tahun 820-M al-Khawarizmi merumuskan metode memecahkan persamaan linear dalam kitabnya al-Jabar wal Muqabalah. Lalu pada 825-M beliau menulis cara menggunakan angka India. Buku ini yang tersisa adalah edisi bahasa Latin yang berjudul Algoritmi de numero Indorum. Dari sinilah muncul istilah “algoritma” – yang semula adalah kesalahan dari penerjemahnya ketika menyangka nama penulisnya (al-Khawarizmi) adalah bagian dari judul dari buku tersebut. Kini istilah algoritma adalah istilah paling lazim dalam setiap pemrograman komputer. Tentang mesin yang dapat diprogram itu sendiri, pada 1206-M, al-Jazari sudah menciptakan mesin orkestra yang dapat diprogram, meski masih digerakkan oleh manusia atau tenaga air.
Teknologi kominfo saat ini juga tak akan lepas dari penggunaan gelombang elektro-magnetik. Sesungguhnya dasar-dasar elektromagnetik dibuat oleh ibn al-Haytsam (Alhazen) yang pada 1021-M menerbitkan bukunya tentang teori cahaya yang menjadi dasar lebih lanjut para fisikawan mempelajari gelombang elektro-magnetik.
Penggunaan satu kanal cahaya atau gelombang elektro-magnetik sebagai medium komunikasi dalam waktu singkat menunjukkan keterbatasan kapasitasnya. Untuk itu informasi perlu dipampatkan (dikompres). Di zaman modern, teknologi CDMA adalah contoh bagaimana kapasitas kanal bisa diperbesar dengan pemampatan terkode (Code Division Multiple Access). Dasar-dasar teknik pemampatan ini diletakkan pada sekitar tahun 1400-M oleh Ahmad al-Qalqasyandi, yang memberikan daftar kunci dalam kitabnya “Subh al-a’sya” yang mencakup baik substitusi maupun transposisi, dan untuk pertama kalinya suatu kunci dengan substitusi ganda untuk sembarang teks terbuka. Ini adalah dasar analisis frekuensi yang dipakai untuk kompresi data dalam komunikasi modern.
Dengan demikian, meski ketika negara khilafah tegak, komunikasi radio belum ditemukan, apalagi komputer dan internet, namun para ilmuwan muslim telah membangun dasar-dasar bagi suatu revolusi komunikasi dan informasi di kemudian hari. Dan meski dalam ukuran sekarang teknologi saat itu masih cukup sederhana, namun negara khilafah telah menggunakannya secara efisien dan efektif untuk mengumpulkan informasi, menyalurkannya ke segala penjuru secara aman, mengelolanya menjadi asset pengetahuan yang rapi, dan menyebarkan ke masyarakat sehingga masyarakat menjadi cerdas.
Bukti tak terbantahkan dari itu semua adalah bahwa saat itu negara khilafah menjadi negara paling luas, paling kuat, paling beradab dan paling bermartabat selama beberapa abad.