Satelit Surveillance
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Dari zaman dulu, hampir setiap manusia ingin mengamati lingkungan sekitarnya. Setiap raja ingin memantau baik kondisi fisik maupun sosial wilayah kekuasaannya. Ketika dunia memasuki era ruang angkasa tahun 1950-an, impian itu mulai menjadi kenyataan. Sejak itu sudah ribuan satelit buatan yang diluncurkan ke orbit atau bahkan ke bulan dan planet-planet lain. Meski semula menjadi dominasi dunia militer, lambat laun teknologi pemantauan bumi menjadi kebutuhan sehari-hari. Dunia penerbangan, pelayaran dan pertanian tak bisa lepas dari ramalan cuaca yang sebagian besar datanya berasal dari satelit cuaca. Dunia bisnis properti juga semakin akrab memakai citra satelit beresolusi tinggi. Kemudian sejak beberapa tahun yang lalu, citra satelit bahkan dapat diakses semua orang lewat internet, sejak Google membuat layanan earth.google.com yang gratis.
Tak heran bahwa di tanah air, muncul obsesi memiliki satelit pemantau (surveillance satellite) sendiri untuk memantau seluruh penjuru Nusantara. Dengan satelit ini diharapkan pelanggaran wilayah laut oleh kapal-kapal asing, baik penyelundupan maupun penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), pembalakan hutan (illegal logging), penambangan liar (illegal mining) hingga bencana alam, kecelakaan transportasi dan kerusuhan dapat dimonitor secara terus menerus.
Pertanyaannya, masuk akalkah impian ini? Bagaimana sebenarnya sistem pengawasan melalui satelit saat ini?
Teknologi Satelit
Bila kita bicara satelit, kita mengenal setidaknya enam jenis satelit. Yang paling awal adalah satelit untuk tujuan mempelajari ruang angkasa. Inilah satelit pertama yaitu SPUTNIK yang diluncurkan Uni Soviet tahun 1959, juga satelit stasiun ruang angka internasional (International Space Station ISS) yang sekarang menjadi tempat kerja sejumlah astronot Amerika, Eropa, Rusia dan Jepang.
Yang kedua adalah satelit telekomunikasi, sebagai contoh adalah satelit Palapa yang dibeli Indonesia pada 1970-an dan sudah disusul berbagai generasi. Satelit jenis inilah yang faktanya paling populer. Di beberapa kalangan, bila bicara satelit, yang dimaksud adalah antena parabola penerima siaran televisi yang dipancarkan dari satelit.
Yang ketiga adalah satelit navigasi, yang kini semakin populer dengan semakin murahnya harga sistem penentu posisi global (Global Positioning System, GPS) yang mengandalkan satelit yang dipasang militer AS namun dapat dipakai kalangan sipil di seluruh dunia dengan akurasi lebih rendah.
Yang keempat adalah satelit militer yang dibekali dengan senjata laser. Inilah proyek star wars Ronald Reagan, presiden Amerika tahun 1980-an di era Perang Dingin.
Yang kelima adalah satelit pemantau langit atau satelit astronomi, misalnya pembawa teleskop “Hubble”, radio-astronomy “Hyparchos” atau pemantau matahari “Soho”.
Dan yang terakhir adalah satelit pemantau bumi, sesuai missi NASA yang beralih dari misi ke planet lain ke “Mission to Planet Earth”. Dan inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.
Satelit Pemantau Bumi
Sebelumnya perlu diketahui bahwa untuk memantau bumi, satelit harus terbang pada ketinggian orbit tertentu. Makin jelas objek yang ingin dipantau, makin rendah orbit itu. Namun makin rendah orbitnya, area cakupannya makin sempit, dan kunjungan ulang (revisit) pada daerah yang sama makin lama. Ini sesuatu yang saling bertentangan dengan keinginan kita. Kita maunya melihat seluruh nusantara, detil, dan terus menerus sepanjang waktu.
Satelit pemantau cuaca global seperti Meteosat, harus dipasang pada orbit geostasioner pada ketinggian 36000 Km di atas permukaan bumi. Satelit ini praktis diam di atas satu titik dan dapat melihat sepertiga permukaan bumi terus menerus. Namun titik elemen gambar (pixel) yang terlihat sangat kasar (sekitar 8 km x 8 km). Satelit cuaca ini dapat memantau pergerakan awan, namun tidak bisa melihat kapal induk apalagi mobil.
Satelit yang agak lebih detil, misalnya NOAA, ada pada orbit kutub setinggi 870 Km dan pixel 1 km x 1 km. Satelit ini biasanya dipakai untuk mengenali gunung es atau titik api (hotspot) pada kebakaran hutan. Namun untuk kehalusan seperti itu, NOAA sudah tidak geostasioner lagi. Dia mengelilingi bumi sehari beberapa kali untuk selalu dapat memantau daerah yang sedang siang hari. Akibatnya tempat yang sama baru dilintasi ulang setelah 101-102 jam (4 hari).
Untuk pemantauan sporadis, cukup banyak data satelit yang dapat kita beli, seperti LANDSAT dari NASA yang lazim dipakai Departemen Kehutanan untuk memantau perubahan landcover terutama kawasan hutan. Satelit ini terbang pada orbit setinggi 185 Km dengan revisit tiap 16 hari. Besar pixelnya adalah 30 x 30 m.
Selain LANDSAT ada juga satelit SPOT dari Perancis, Aster dan ALOS dari Jepang, dan IKONOS serta Quickbird dari Amerika. Saat ini satelit sipil yang pixelnya paling halus adalah Quickbird, yakni 60 cm x 60 cm. Sebuah mobil akan kelihatan cukup jelas pada satelit ini. Namun tempat yang sama baru akan dikunjungi lagi kurang lebih setelah dua bulan!
Semua satelit di atas memiliki sensor optis, yang bilamana permukaan bumi tertutup awan atau asap mereka tidak mampu menembusnya. Oleh sebab itu sangat sulit untuk memantau suatu daerah terus menerus, karena selain kunjungan ulang baru setelah 4-60 hari, juga ada kendala awan atau asap.
Yang mampu tembus awan adalah satelit dengan sensor radar, misalnya Radarsat (Canada), ERS (Eropa), ALOS-Palsar (Jepang) dan TerrasarX (Jerman). Citra radar ini membutuhkan SDM dengan kemampuan interpretasi yang lebih canggih, karena sifat-sifatnya sangat berbeda dengan citra optis biasa.
Namun baik sensor optis maupun radar, semuanya tidak akan mampu memantau permukaan nusantara secara terus menerus sekaligus. Mereka harus senantiasa mengelilingi bumi, sehingga rata-rata suatu lokasi di nusantara baru dapat dicitra ulang paling cepat 4 hari sekali. Adapun bila akan dicitra seluruhnya, masih akan memerlukan waktu minimal 3-4 bulan karena kemampuan teknis satelit yang masih terbatas.
Menuju Kemandirian Satelit.
Untuk wilayah Nusantara, sistem pengawasan terus menerus yang ada hanyalah dari satelit cuaca internasional (Meteosat, NOAA-AS, atau FengYun-Cina). Penerimaan data satelit ini dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Mereka menerima data ini dalam suatu kerjasama ilmiah, di mana BMG atau LAPAN wajib membiayai sendiri perawatan sistem penerima data dan membagi hasil analisisnya ke komunitas internasional.
Untuk Landsat atau SPOT, LAPAN pernah menggunakan sistem sewa tahunan (sekitar US$ 1 juta untuk Landsat). Setelah itu LAPAN berhak menjual data Landsat yang diterimanya (yaitu hanya atas wilayah Indonesia) kepada pihak ketiga.
Untuk citra satelit lainnya (Ikonos, ALOS, TerrasarX, dsb), biasanya dilakukan by project (kasus), scene by scene. Ada yang didapatkan dalam kerjasama ilmiah, namun pada umumnya suatu scene citra dibeli secara komersial (Ikonos sekitar US$ 26 / Km2 dan minimal US$ 2000, ALOS-avnir sekitar ¥ 5 / Km2 dan minimal ¥ 25000, sedang TerrasarX sekitar € 2.5 per km2, minimal 1 scene seluas sekitar 1800 Km2). Bila pengguna di dalam negeri semakin banyak dapat kita hitung berapa devisa yang harus dikeluarkan untuk impor citra satelit resolusi tinggi.
Kalau kita asumsikan daerah darat dan laut nusantara yang akan dipantau itu seluas 5 juta Km2, maka pencitraan dengan TerrasarX minimal sekali setahun akan menghabiskan dana € 12,5 juta atau Rp. 175 Milyar. Namun citra TerrasarX yang tembus awan ini mesti dilengkapi dengan misalnya ALOS atau IKONOS untuk beberapa analisis. Kalau diasumsikan wilayah perkotaan kita adalah 10% daratan Indonesia harus “disapu” dengan I
Tags: internet