Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Beberapa bulan terakhir ini Menteri Kesehatan dan departemennya masuk berita. Pertama terkait ungkapan Menkes dalam bukunya bahwa telah terjadi konspirasi antara WHO dan beberapa perusahaan farmasi yang melanggar hak-hak bangsa Indonesia. Sebabnya, virus avian flu (flu burung) yang diserahkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO), ternyata dipakai oleh sejumlah perusahaan farmasi di negara maju untuk riset dan pengembangan vaksin flu burung tanpa seijin pemerintah Indonesia, dan kemudian justru akses bangsa Indonesia atas vaksin tersebut begitu sulit atau mahal. Padahal korban tewas flu burung sudah puluhan orang.
Yang kedua adalah adalah kasus publikasi sebuah penelitian di IPB tentang terkontaminasinya sejumlah susu bayi kemasan dengan suatu jenis bakteri yang bisa berbahaya. Menkes merah telinganya atas penelitian yang menurutnya dibuat tanpa kejelasan apa masalahnya, karena menurutnya selama ini tidak ada kasus keracunan susu bayi. Menurut beberapa sumber di IPB, sebenarnya penelitian tersebut sudah dilakukan tahun 2006 lalu, dan hasilnya juga sudah ditindaklanjuti Depkes. Entah apa motivasi di balik publikasi baru-baru ini.
Kita tidak ingin mengupas tuntas persoalan yang dihadapi Menteri Kesehatan. Namun kita ingin menyoroti bahwa semua persoalan di atas berpangkal dari jeleknya manajemen riset kita. Negeri ini sudah memiliki Undang-undang no 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian & Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sipteknas). Namun faktanya di lapangan masih banyak persoalan manajemen dan teknis yang harus dipecahkan.
Pertama, tentang riset apa yang mau dilakukan, antar para pelaku riset seperti tak ada koordinasi. Sebenarnya tidak masalah ada overlap antar peneliti, karena hal itu dapat menjadi ajang validasi hasil riset antar mereka. Namun validasi ini jarang dilakukan, karena justru overlap ini terjadi lebih karena mereka tidak saling tahu. Dalam hal ini perhimpunan-perhimpunan ilmiah juga belum mampu menjadi katalisator. Perhimpunan-perhimpunan ilmiah di negeri ini kebanyakan hanya ajang silaturahmi dan “konkow-konkow” elit pengurusnya. Pengurusnya ini juga kebanyakan justru birokrat atau pengusaha, bukan peneliti tulen, dan perhimpunan ilmiah itu sekedar dipakai alibi untuk jalan-jalan atau tidur di hotel atas biaya kantor. Maka dari awal sudah dapat ditebak bahwa riset kita banyak yang tidak nyambung, baik dengan lembaga sejenis maupun dengan calon penggunanya. Dampaknya, banyak hibah-hibah riset yang ditawarkan lembaga-lembaga multinasional (misalnya Asia Pacific Network atau Uni Eropa) yang sulit dimanfaakan oleh peneliti Indonesia, sebab mensyaratkan bahwa topiknya harus regional (minimal melibatkan 3 negara) dan dikerjakan oleh beberapa lembaga dari setiap negara yang saling mengisi. Ini sekaligus indikator bahwa lembaga-lembaga riset kita miskin jejaring.
Kedua, riset-riset yang telah dikerjakan, sangat sulit diketahui orang lain akan keberadaannya. Bahkan riset-riset di perguruan tinggi, yang sudah mencetak doktor atau magister, sulit kita dapatkan secara bebas sekalipun hanya daftar judulnya saja. Sejumlah orang beralasan itu agar ide dalam karya tersebut tidak dijiplak. Namun alasan itu tentu tidak masuk akal. Di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, tesis-tesis master atau PhD banyak yang ditaruh di web sehingga dapat diunduh oleh siapa saja melalui internet, sebagian bahkan tidak sekedar judul dan abstraknya, namun bahkan full text. Mereka tidak khawatir riset mereka dijiplak orang, karena sadar, bahwa penjiplak itu sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri. Penjiplak tak akan pernah lebih maju daripada yang dijiplak. Tatkala para penjiplak berbangga diri dengan karya yang sebenarnya bukan hasil pikirannya, “korbannya” justru telah melesat jauh meninggalkannya.
Ketiga, masuknya sejumlah peneliti asing atau penelitian di Indonesia yang didanai asing tentu saja harus dicermati. Banyak peneliti di Indonesia tidak lebih dari buruh-buruh intelektual yang mau dibayar murah. Rendahnya apresiasi terhadap penelitian yang tercermin pada rendahnya APBN riset (kurang dari 0,2%) menyebabkan para peneliti terpaksa sering “mengasong”. Datangnya peneliti asing atau penelitian pesanan asing bagi mereka adalah berkah. Yang dicari sering hanya uang. Sering bahkan mereka tak tertarik menulis paper ilmiah berdasarkan data yang mereka kumpulkan sendiri. Akibatnya ribuan paper ilmiah tentang fenomena di Indonesia justru ditulis oleh orang asing.
Keempat, dunia bisnis di Indonesia masih jarang tertarik untuk terjun ke bidang baru yang sarat riset. Kalau ada insinyur Indonesia menemukan alat untuk meningkatkan efisiensi mesin mobil, mustahil dia dapat menjual alat itu agar dipakai oleh Honda di Indonesia. Agen Honda di Indonesia hanya tertarik dengan penjualan produk Jepang. Mungkin lain bila insinyur tadi ketemu chief scientist Honda di Jepang sana. Dari sini tampak, bahwa semestinya yang proaktif memasarkan hasil riset tadi adalah pemerintah.
Di beberapa negara maju, pemerintah mensponsori hasil riset untuk dikomersialisasikan dalam bentuk proyek yang berjudul Public-Private-Partnership (PPP). Contohnya, Badan Ruang Angkasa Jerman (DLR) mengembangkan satelit pemetaan berteknologi radar yang resolusinya 1 meter. Satelit bernama TerraSAR-X in dikembangkan dengan APBN Jerman (sektor publik) dan modal swasta. Operasionalisasi satelit ini, termasuk downlink data dan distribusi, juga dilakukan oleh suatu perusahaan swasta. Inilah partisipasi sektor privat. Selama masa PPP ini, data TerraSAR-X dipakai baik secara komersial (berbayar) maupun saintifik (gratis) untuk komunitas para peneliti, bahkan ke peneliti di luar negeri. Padahal 1 scene citra TerraSAR-X itu berharga 4500 Euro (sekitar Rp. 60 juta). Setelah lima tahun (yakni tahun 2012) akan dievaluasi apakah negara Jerman masih perlu membiayai proyek ini, atau keseluruhan sistem TerraSAR-X harus dibiayai swasta. Saat ini ada beberapa satelit pemantau bumi yang sepenuhnya dibiayai secara komersial, antara lain Ikonos atau Quickbird.
Model PPP sangat menarik bagi banyak investor. Tetapi tentu saja tidak segala jenis pelayanan publik (jika setuju bahwa riset seharusnya merupakan layanan publik pemerintah kepada rakyatnya) dapat dijalankan model PPP. Salah satu model PPP yang sekarang sedang dimatangkan oleh Kantor Menristek adalah membangun sistem informasi bencana. Inisiatif ini adalah untuk memberi informasi secepatnya ke semua pengguna telepon seluler di suatu lokasi bila ada bencana (misal tsunami) secara gratis. Karena pemerintah (Bakornas Penanggulangan Bencana) tidak punya cukup dana untuk menyebarkan informasi ini, maka swasta masuk. Kompensasi untuk swasta adalah mereka diberi kesempatan menyelipkan iklan. Namun secara teknis, model ini barangkali baru dapat optimal bila pengguna ponsel berteknologi 3G sudah cukup banyak. Namun bila diasumsikan yang akan memakai layanan ini adalah para turis asing yang sebagian besar sudah membawa ponsel 3G dan ingin merasa aman berwisata di pantai Kuta (Bali), mungkin kita dapat memahami.
Namun banyak pertanyaan yang muncul di sini. Bila proyek itu rugi, sejauh mana swasta ikut menanggung? Bila untung, apakah negara sebagai wakil publik ikut mendapatkan bagi hasilnya? Bila sistem gagal, sejauh mana tanggungjawab pemerintah? Lalu swasta siapa yang akan dipilih? Boleh ada berapa swasta agar tidak ada monopoli? Apakah sistemnya transparan dan bagaimana menguji akuntabilitasnya? Banyak hal-hal ini yang harus diklarifikasi dari awal. Agar PPP, terutama yang terkait dengan penelitian, tidak justru menjadi seperti sengketa operator busway dengan Badan Layanan Umum Transjakarta.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Indonesia mengalami krisis listrik. Alasannya cuaca buruk berkepanjangan, sehingga pasokan batubara dengan kapal di beberapa pembangkit besar di Jawa tidak lancar. Stock habis. Beberapa pembangkit pun padam. Terjadilah defisit listrik. Tentu saja ada kritik yang mengatakan bahwa PLTU Paiton di Jawa Timur yang milik swasta tidak mengalami keadaan itu. Mereka punya perencanaan dan manajemen yang lebih baik. Jadi, apakah alasan cuaca tadi sekedar cara untuk mendorong agar PLN diprivatisasi saja?
Pembangkitan Listrik
Listrik berdaya kecil dapat dibuat secara sederhana dengan buah-buahan yang ditusuk dua elektroda dari logam yang berbeda. Namun listrik berdaya besar pada umumnya dibangkitkan dengan sebuah generator listrik. Generator ini berada pada suatu Pusat Listrik dan digerakkan dengan sumber tenaga primer, yang di Indonesia terutama berupa minyak bumi (PLTGU, PLTD), batubara (PLTU), gas (PLTG), dan air/hidro (PLTA). Untuk membangkitkan listrik sebesar 22.000 MW, Indonesia masih sedikit memakai energi panas bumi, angin, ombak, pasang surut laut atau energi surya. Sementara itu energi nuklir baru ada dalam skala reaktor penelitian di Badan Tenaga Nuklir Nasional. Grafik berikut menggambarkan komposisi energi primer PLN.
Dari komposisi di atas, penggunaan BBM beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat meski harga minyak mentah sudah menembus US$ 100/barrel dan PLN mesti membeli dari Pertamina dengan harga pasar (non subsidi). Banyak PLTGU yang sebenarnya dapat dijalankan dengan gas atau BBM, tetapi justru selama ini menggunakan BBM. Gas sebenarnya lebih murah, namun sayangnya gas Indonesia banyak dijual dengan kontrak jangka panjang ke Cina dengan harga US$ 2,8 / mmbtu. Di pasar spot saat ini gas dihargai US$ 7-8 / mmbtu.
Kapasitas PLN 22.000 MW bila dibagi jumlah penduduk Indonesia didapatkan sekitar 100 W/orang. Andai saja listrik ini hanya untuk penerangan orang per orang saja barangkali cukup. Kenyataannya listrik juga dipakai untuk industri, perkantoran, pengaturan dan penerangan jalan umum dan sebagainya. Sebagian rumah tangga juga menggunakan listrik untuk aktivitas non penerangan, seperti menyedot air, menyetrika, memasak, menghidupkan televisi hingga mendinginkan udara. Akibatnya, baru 54% rumah tangga Indonesia yang sudah menikmati listrik (PLN Statistics 2005 dalam Indonesia Energy Outlook, hlm 64).
Dari komposisi di atas dapat dipahami bahwa pembangkitan listrik amat tergantung pada pasokan bahan bakar. Realitanya, tambang bahan bakar terletak jauh di pelosok, bahkan di pulau lain, sementara pembangkit listrik harus berada lebih dekat ke konsumen untuk mengurangi susut energi pada transmisi. PLTU atau PLTG biasanya ditaruh di tepi laut untuk mempermudah mendapatkan air pendingin serta transpor bahan bakar melalui laut. Karena itu pembangkit listrik seperti ini amat terkait dengan teknologi optimasi rantai suplly bahan bakar, sejak penambangan, pemindahan, penampungan hingga pengolahan limbahnya.
Tak heran bahwa pembangkitan listrik dalam skala besar selalu merupakan sesuatu yang padat teknologi dan karenanya padat modal. Para insinyur kita mungkin mampu membuat satu generator lengkap yang teknologinya sudah menjadi public domain (karena patent dari Siemens beberapa puluh tahun yang lalu pasti sudah kedaluarsa). Namun untuk membangun satu sistem Pusat Listrik sekelas Suralaya, tentu bukan perkara sederhana. Diperlukan banyak sekali teknologi. Karena saat ini tidak ada kontraktor lokal yang siap dan berpengalaman membangun Pusat Listrik besar sebesar ini, maka sebagian besar teknologinya masih diimpor. Karena diimpor dari negara maju, harganyapun terserah mereka. Diperlukan modal sekitar 10 Trilyun Rupiah untuk membangun PLTU sekelas Suralaya. Kalau ini dilepas ke mekanisme pasar, maka yang mampu dan berani membangunnya hanya konglomerat sangat besar kelas dunia (baca: asing). Dan mereka tentu akan minta syarat-syarat yang menguntungkan, misalnya jaminan dibeli oleh pemerintah di atas tarif dasar listrik (seperti kasus Paiton). Jika tidak, maka harga pembuatan pembangkit itu akan lebih tinggi lagi. Kita didikte, karena tidak menguasai teknologi dengan sebenar-benarnya.
Interkoneksi
Volume energi yang dibangkitkan harus dibuat sedemikian rupa agar PLN mampu memenuhi kapasitas terpasang dari konsumen. Jika kapasitas terpasang 16.000 MW, maka PLN harus siap jika seluruh konsumen menyalakan listriknya sehingga tercapai beban puncak 16.000 MW tersebut. Kemudian untuk antisipasi manakala ada pembangkit yang mati, terganggu atau ada sabotase (pencurian listrik), maka PLN harus memproduksi listrik lebih banyak, yakni hingga 22000 MW. Andaikata realitas beban jauh di bawah kemampuan maksimum PLN, maka energi listrik yang terbangkitkan akan hilang karena dalam jumlah besar energi listrik tidak bisa disimpan lagi.
Demi efisiensi, sistem listrik di Jawa-Bali dibuat interkoneksi sehingga daya yang dibangkitkan dapat digunakan bersama-sama, dan padamnya satu pembangkit karena gangguan atau perawatan tidak membuat satu kawasan padam. Sistem ini memerlukan teknologi yang handal dan ”cerdas” untuk memperkirakan dan membagi beban dari jarak jauh. Karena itu dalam sistem interkoneksi ada sejumlah pembangkit yang berfungsi sebagai pembangkit ”taktis”, yang dinyalakan begitu terdeteksi adanya kenaikan beban. Pembangkit taktis ini harus relatif mudah dihidup-matikan, misalnya pada PLTA atau PLTD.
Pada sistem yang belum terinterkoneksi seperti di luar Jawa, biaya pembangkitan listrik menjadi sangat mahal. Karena TDL berlaku nasional, maka selama ini terjadi subsidi silang dari pelanggan di Jawa ke luar Jawa.
Un-bundling
Melihat teknologi PLN seperti di atas, akan terlihat bahwa untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat yang saat ini masih rendah, idealnya seluruh aktivitas pembangkitan listrik memang terpadu, baik dari rantai produksi sejak dari sumber energi primer, maupun dari interkonektivitas antar wilayah. Jadi idealnya, PLN, Pertamina dan PGN pun disatukan saja, sehingga tidak perlu PLN membeli BBM Pertamina dengan harga pasar. Demikian juga dengan kapal tanker atau pengangkut batubara, pabrik-pabrik pembuat mesin-mesin listrik dan peralatan pertambangan, serta Perhutani yang menguasai hutan-hutan pada daerah tangkapan air PLTA-PLTA pun harusnya juga satu keluarga (”holding”) dengan PLN.
Karena itu, secara teknis rencana un-bundling atau melepas bagian-bagian dari PLN secara vertikal (menjadi perusahaan pembangkitan, perusahaan transmisi, perusahaan distribusi dan perusahaan pelayanan) maupun secara horizontal (per wilayah) justru akan tidak efisien. Kalaupun saat ini ada operasional salah satu bagian dari PLN yang tidak efisien atau mis-manajemen, maka cukup bagian itu saja yang disehatkan, dan tidak harus merombak struktur PLN yang justru merupakan penyatuan beberapa perusahaan listrik pada era pasca kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, masalah PLN seharusnya tidak disimplifikasi dengan un-bundling (dan lebih jauh lebih privatisasi) atau krisis sumber energi primer akibat cuaca, tetapi adalah masalah politik teknologi untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi di balik seluruh instalasi listrik PLN, politik investasi agar negara memiliki ketahanan energi, hingga politik ekonomi energi agar semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar energi secara murah, dan tidak terhalangi memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.
Saya sangat suka dengan training, melihat jiwa-jiwa muda yang terbakar semangatnya dengan kalimat-kalimat bijak yang kebetulan saya ingat dan saya kutip.
Namun saya sangat sedih. Pasalnya ada beberapa training yang gagal dari awal. Indikator gagal ini banyak, di antaranya adalah:
1. Training sukses, tetapi hasil training tidak tampak. Peserta yang saat training tampak semangat itu, selepas training ya kembali semula lagi, tidak ada yang kemudian menunjukkan peningkatan performance.
2. Suasana training sudah tidak kondusif. Waktu yang dialokasikan jadi terlalu pendek karena salah pengorganisasian dari panitia. Tempat dipindah mendadak, atau terlalu tersembunyi sehingga banyak peserta telat. Listrik tidak cukup untuk menyalakan LCD. Atau tempat training dilihat dari sisi pencahayaan atau akustik sangat tidak pas. Cahaya dari luar terlalu banyak sehingga tayangan LCD tidak jelas. Akustik jelek sekali sehingga suara bergaung atau bising jalan masuk dengan leluasa. Atau peserta terlalu banyak dan gaduh sendiri. Mereka hadir bukan karena merasa perlu ikut training tetapi karena sekedar kewajiban. Ditambah dengan pencahayaan dan akustik yang parah, suasana training demikian adalah penderitaan baik bagi trainer maupun peserta. Pengorganisasian yang parah bisa tercium juga ketika panitia penghubung gonta-ganti, atau satu orang tetapi nomor handphone-nya gonta-ganti. Saya heran, ada orang-orang yang suka menghemat 10.000-20.000 rupiah dari pulsa hp (dengan gonta-ganti SIM-card), tetapi menyulitkan dan merugikan orang banyak dengan jumlah yang lebih besar.
3. Training batal dari awal. Trainer sudah siap-siap, bahkan untuk kota yang jauh sudah beli tiket pesawat segala, tetapi mendekati hari H, tiba-tiba dibatalkan karena berbagai sebab. Ada yang karena konon tidak mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Ada juga yang karena peserta terlalu sedikit. Macam-macam. Kadang-kadang trainer juga diminta bersabar saja. Jangankan yang training batal dari awal; yang training sukses saja, kadang-kadang honor untuk trainer (yang kadang sekedar ganti tiket pesawat doang – sementara taksi dari rumah ke bandara kelupaan … ) sering tertunda berbulan-bulan.
Untuk itu, terpaksa saya siasati begini:
1. Harus ada kejelasan dari panitia, training ini untuk apa? Untuk sekedar menegaskan eksistensi lembaga mereka, untuk meningkatkan performance atau untuk rekrutmen? sifatnya sosial atau komersial? dan sebagainya. Kalau training ini untuk rekrutmen, maka harus jelas, siapa yang akan mem-follow-up-i peserta training. Dengan cara apa? Karena susah juga ya: peserta training memiliki harapan tertentu ketika mereka memutuskan mengikuti training saya, mungkin karena temanya menarik, mungkin karena person trainernya. Ketika ini di-follow-up-i oleh orang lain, dengan tema yang berbeda, dan mungkin type orangnya juga berbeda dengan trainer, pasti tingkat sukses follow-up ini juga akan berbeda.
2. Harus ada kepastian dari panitia, terutama mengenai tanggal, jumlah peserta dan durasi. Ini terkait juga dengan biaya. Bagaimanapun juga, trainer juga mengeluarkan biaya, dia juga harus mencurahkan tenaga dan waktu untuk persiapan, apalagi kalau training dilakukan jauh di kota lain. Untuk itu, terkadang saya meminta jumlah minimal peserta 30 orang (untuk training yang bersifat komersial) atau 100 orang (untuk training yang bersifat sosial). Tenaga yang dikeluarkan trainer melatih 30, 100 atau 200 orang sebenarnya hampir sama. Karena itu sayang sekali bila sudah jauh-jauh, peserta cuma 10 orang. Apalagi kalau training ini bersifat sosial. Makanya untuk training yang bersifat sosial, saya meminta tetap harus ada fee bagi tiap peserta, biarpun kecil, untuk melihat siapa yang akan bersungguh-sungguh mengikuti training. Kalau dilepas begitu saja, training ini sudah dipastikan gagal dari awal. Saya meminta, seminggu sebelum acara training, tanggal, jumlah peserta dan durasi training harus sudah fixed. Untuk training komersial, saya bahkan meminta mereka sudah meneken kontrak dan membayar uang muka (DP). Repot juga kalau saya sudah di bandara, tiba-tiba ditelepon, training batal ….
3. Bisa juga sih, pas hari H, tiba-tiba saya yang berhalangan. Saya tiba-tiba jatuh sakit, atau ada hal mendadak yang jauh lebih urgen sehingga training harus dibatalkan. Untuk yang satu ini, kalau trainingnya bisa digantikan orang lain, saya akan bujuk agar panitia mau menerima trainer pengganti. Tetapi ini tidak selalu bisa. Kadang-kadang calon pengganti ini juga sudah ada acara. Atau bisa juga susah cari trainer yang tepat. Sebagai contoh, untuk training FSQ, saya hanya bisa memberi pengganti seseorang yang secara finansial maupun spiritual juga tidak bermasalah, sekaligus biasa memberi training. Repotnya, banyak orang bisa memberi training, atau setidaknya pernah mengikuti training FSQ beberapa kali sebagai asisten, tetapi dia sendiri punya masalah finansial (misal dibelit utang) atau masalah spiritual (misal berkali-kali tidak menepati janji). Kalau sudah begini saya terus terang juga bingung. Kalau training komersial, tentu saja semua uang muka akan saya kembalikan 100% dan saya tawarkan hari yang lain dengan harga diskon. Tetapi kalau training sosial, gimana ya? Namanya juga sosial. Tidak ada DP, jadi juga tidak ada yang bisa dikembalikan. Dan karena gratis, juga tidak ada diskon. Tetapi tentu saja mereka kecewa berat. Ada yang khawatir akan merusak nama baiknya, macem-macemlah …
Yang jelas, kalau semua pihak sudah paham dari awal, insya Allah suatu training tidak gagal dari awal.