Mencoba menghitung luas “tanah mati”
Tanah mati dengan definisi “tanah yang ditelantarkan / tidak dikelola selama 3 thn” – yang oleh karena itu bisa disita oleh negara – di Indonesia saat ini masih sangat sulit diidentifikasi kecuali ada sinergi yang baik dari aspek hukum & teknis.
Yang ada adalah:
(1) lahan kritis, yaitu yang kurang subur, meski dikelola tiap hari dan bayar PBB. Ini ada datanya di Deptan. Luasnya 22 juta ha dari 107 juta ha lahan pertanian di Indonesia.
(2) lahan nunggak pajak, yaitu lahan yang tidak dibayar pajaknya, baik karena alasan ekonomis (kurang menghasilkan), politis (enggan bayar pajak) ataupun karena ditelantarkan (si empunya mungkin sudah lupa).
Persoalannya sebagai berikut:
(1) secara teknis lahan kritis gampang dideteksi secara visual ataupun dengan penginderaan jauh. Namun apakah lahan itu ditelantarkan, maka perlu ada cross data dengan survei sosial-pertanian untuk menemukan fakta bahwa benar-benar tidak ada orang yang diserahi tugas untuk menggarapnya.
(2) secara hukum lahan nunggak pajak juga gampang dideteksi, karena Direktorat PBB sudah punya peta dasar perpajakan di seluruh Indonesia. Tetapi apakah nunggak pajak itu karena ditelantarkan (ini asumsi yang lazim dari masa lalu), maka masih perlu survei. Faktanya di sisi lain, lahan yang rajin bayar pajak juga tidak otomatis tidak ditelantarkan. Banyak lahan yang hanya menjadi objek investasi / spekulasi — nunggu harga naik. Bukankah tanah adalah sumber daya yang terbatas, sedang kebutuhannya terus naik, sehingga harganya pasti naik? Buat para spekulan ini, lahan yang diterlantarkanpun tetap ekonomis, karena harganya toh naik terus.
Solusi:
Perlu ada model pengawasan tanah yang sudah diserahkan menjadi hak milik pribadi. Pengawasan tidak boleh hanya semata-mata dengan instrumen PBB, tetapi juga dari instrumen survei pemetaan (untuk melihat sejauh mana lahan itu dapat diharapkan produktivitasnya) dan survei sosial (untuk melihat aktivitas pengelolaan lahan tsb).
Tags: hukum tanah, mawaris, tanah mati
Leave a Reply