Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007
Sebuah kasus pertanahan yang cukup kolosal sedang menarik perhatian anak negeri. Areal seluas 59 hektar, yang di atasnya telah berdiri ribuan bangunan, termasuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, yang mayoritas mengantongi sertifikat tanah, tiba-tiba terancam tergusur, karena konon proses jual belinya puluhan tahun yang lalu bermasalah. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah memerintahkan agar tanah di Meruya Selatan Jakarta Barat itu dikosongkan karena telah menjadi hak PT Porta Nigra.
Masyarakatpun resah. Harga tanah dan bangunan di sana mendadak turun. Real estate merugi. Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan mafia tanah untuk dapat memborong tanah dengan harga murah. Gubernur DKI konon siap pasang badan membela masyarakat melakukan upaya Peninjauan Kembali. Sementara itu pengacara PT Porta Nigra menuduh BPN telah sewenang-wenang saat memberikan sertifikat atas tanah yang sedang dijadikan sita jaminan.
Lepas dari soal kepastian hukum kasus yang sedang hangat ini, sebenarnya sejauh mana ”state of art” dari teknologi yang dapat digunakan untuk mencegah kasus semacam ini terulang lagi di masa depan?.
Administrasi Pertanahan
Kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) – yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda – dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.
Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB. Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut. Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap. Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.
Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu. Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).
Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu. Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.
Teknologi Pertanahan
Untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, dewasa ini tersedia setidaknya tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.
(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan. Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut. Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah. Ortofoto dan batas-batas ini lalu diumumkan minimal dua bulan di kantor pemerintah setempat. Pada masa kini, data semacam ini dapat ditayangkan di internet – mirip yang ada dalam bentuk yang lebih sederhana di Google Earth.
Bila tidak ada komplain, maka setelah dua bulan klaim itu dapat dinyatakan sah. Bila ada sengketa, maka dilakukan penegasan batas (ajudikasi) di lapangan, di mana kedua belah pihak bertemu, sepakat, untuk kemudian dibuat berita acara.
Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu. Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan. Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah. Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS). Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS.
(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya. Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim), sehingga dapat ditemukan tanah-tanah terlantar yang tidak produktif – yang umumnya tanah-tanah yang dikuasai seseorang namun tak termanfaatkan.
(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya. Di negara-negara maju, LIS ini terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam. LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan. Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud. LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang. Bahkan LIS dapat digunakan untuk mencegah pemberian izin atau konsesi yang tumpang tindih (misalnya antara hutan lindung dan pertambangan).
LIS juga dapat membantu mendata dengan cepat tanah-tanah yang harus dibebaskan untuk suatu proyek publik (misalnya pengadaan tanah untuk sekolah, saluran pencegah banjir atau pengadaan makam). Kalau LIS ini digunakan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam, LIS ini dapat digunakan untuk memantau tanah pertanian yang terlantar lebih dari tiga tahun (sehingga menurut syariat Islam harus disita oleh negara), atau mendeteksi kemungkinan penyewaan tanah pertanian bila tanah itu dimiliki seseorang yang domisilinya sangat jauh.
Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara merencanakan kawasan pertanian pangan – termasuk alih fungsinya, menghitung subsidi penggarapan lahan atau zakat untuk komoditi pertanian tertentu, hingga membuat perencanaan ruang yang lebih rapi. Kota-kota peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi. Kota dari abad-8M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik. Ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang relatif rapi, yang teknologi saat ini semestinya lebih mendukung lagi.
Insya Allah dengan sistem pertanahan syari’ah, yang dilaksanakan oleh aparat yang amanah dan kafaah (capable), serta didukung dengan teknologi pertanahan yang tepat, kisruh pertanahan di masa depan tidak terjadi lagi.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 16 minggu I-II Maret 2007
Benarkah flu burung sudah menjadi bencana besar di Indonesia? Apakah ini bukan cuma konspirasi untuk membesarkan sesuatu yang remeh guna mengalihkan perhatian masyarakat pada hal-hal yang lebih serius? Persoalannya, Indonesia sudah dibelit begitu banyak masalah serius: banjir, lumpur panas, utang, korupsi, demam berdarah, pornografi, kecelakaan kapal dan pesawat, dsb.
Namun fakta, tahun 2005, Indonesia meraih posisi kedua setelah Vietnam. Ketika tahun 2006 Vietnam dinyatakan nol flu burung, Indonesia langsung meraih juara satu!
Kasus flu burung yang terjadi di Indonesia saat ini berstatus stadium tiga. Virus yang dikenal saat ini masih menular dari unggas ke manusia, belum manusia ke manusia. Namun, tidak mustahil kasus itu meningkat menjadi pandemi, saat virus tersebut menular dari manusia ke manusia. Kalau sudah begitu, maka penyakit ini akan berdampak sosial ekonomi yang amat serius.
Pada tahun 1918 pernah terjadi pandemi flu yang menyebabkan sepertiga penduduk dunia (saat itu sekitar 500 juta orang) sakit dan 50 juta di antaranya meninggal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah berhitung jika kini flu burung menjadi pandemi, namun masalah yang menyibukkan kita di Indonesia memang masih terlalu banyak.
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A yang menyebar antarunggas. Virus ini kemudian diketahui mampu menyebar ke spesies lain seperti babi, kucing, anjing, dan manusia. Virus tipe A memiliki subtipe yang dicirikan dari adanya Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada sembilan varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 yang memiliki masa inkubasi tiga sampai lima hari. Ciri-ciri orang terkena flu burung adalah demam tinggi dan sesak nafas, serta diketahui dia sempat berada di wilayah yang diketahui ada unggas mati mendadak.
Untuk antisipasi flu burung, ada sejumlah perusahaan multinasional yang terkait unggas, yang menyiapkan monitor suhu (dengan kamera inframerah) di kantor. Jika ada karyawan yang suhunya tinggi maka akan langsung dilarikan ke rumah sakit sebagai ”suspect avian flu”.
Pencegahan utama memang penerapan biosecurity, di tempat yang berhubungan dengan unggas. Semua pekerja harus menggunakan sarung tangan, masker, dan sepatu boot. Sedangkan di luar yang berhubungan unggas adalah dengan pola hidup sehat dan higienis. Namun di Indonesia hal ini tidak mudah, karena unggas sering dipelihara dalam jumlah kecil sebagai hobby atau pekerjaan sambilan di tengah-tengah pemukiman.
Idealnya memang Dinas Kesehatan atau Dinas Peternakan memiliki suatu sistem informasi geografis yang menunjukkan lokasi-lokasi unggas. Dengan demikian, setiap kematian unggas mendadak yang mengindikasiikan flu burung dapat segera dilokalisir. Pemerintah setempat dapat segera memotong jalur-jalur kontak secara terarah, atau bahkan mengkarantina penduduk setempat, namun tak perlu sampai membuat generalisasi seperti larangan memelihara atau bahkan pemusnahan massal untuk suatu daerah administrasi yang cukup besar seperti Kabupaten atau Provinsi.
Vaksinasi
Sejauh ini flu burung belum ada obatnya, namun sudah ditemukan vaksinnya. Vaksin ini dikembangkan di Amerika Serikat dan Inggris dari virus yang diisolasi pada manusia di Hongkong tahun 2003. Pada Agustus 2006, WHO telah mengeluarkan prototype strains H5N1 untuk diproduksi. Perusahaan Aventis Pasteur (sekarang Sanofi Pasteur) di Pennsylvania dan Chiron Corporation di California (keduanya di AS) mendapatkan kontraknya. Upaya baru yang sedang berjalan adalah menciptakan vaksin universal melawan influenza yang tidak perlu tiap tahun direkaulang untuk menghadapi mutan virus yang baru. Perusahaan Inggris Acambis menyatakan telah sukses mencoba vaksin itu pada binatang, namun uji coba pada manusia masih memerlukan waktu.
Di lapangan, upaya vaksinasi tidak selalu berjalan mulus. Ada sinyalemen bernuansa politis bahwa virus flu burung itu sengaja disebar oleh negara kafir penjajah untuk membuat ketergantungan pada vaksin buatan mereka yang dipatenkan. Sinyalemen ini mirip seperti isu bahwa tsunami Sumatra 2004 dipicu oleh bom nuklir AS.
Dan secara umum, vaksinasi manusia yang diprogram secara massal seperti vaksinasi polio (misal melalui Pekan Imunisasi Nasional – PIN) pernah dicurigasi diisi dengan zat yang melemahkan kaum muslimin. Karena itu ada kalangan yang menolak imunisasi yang disponsori WHO ini karena kekhawatiran yang berlatarbelakang politis.
Kekhawatiran ini mirip yang terjadi pada gerakan anti-vaccinationist di Eropa abad-19 yang menolak vaksinasi dengan alasan keagamaan. Namun secara objektif-medis, kekhawatiran ini tidak beralasan. Meskipun Amerika Serikat melakukan politik penjajahan yang keji di negeri-negeri muslim, namun vaksin yang diberikan dalam program PIN itu juga vaksin yang dipakai di AS atau negara-negara maju lainnya. Semua ilmuwan (terutama ahli biokimia atau farmasi) dapat menguji apakah di dalam vaksin tersebut ada zat-zat berbahaya atau tidak. Bahwa di sejumlah negara program vaksinasi tidak lagi dilakukan secara massal, itu karena kasus penyakit tersebut di sana sudah sangat jarang akibat membaiknya mutu gizi, sanitasi dan lingkungan. Namun di sejumlah negara bagian di AS, vaksinasi lengkap masih merupakan syarat seorang anak masuk Sekolah Dasar. Dan di militer, semua prajurit wajib diimunisasi sebelum dikirim ke medan perang.
Karena itu, asal menolak vaksinasi – termasuk untuk menangkal flu burung – dengan alasan politis-ideologis semata, dan tidak didasarkan pada kebenaran objektif, justru bukan tindakan syar’i yang tepat, tetapi adalah tindakan gegabah yang tidak bertanggungjawab.
Dalam Daulah Islam, negara harus menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu fokus maqashidus syari’ah, yaitu perlindungan jiwa. Negara harus mengembangkan sistem kesehatan yang komprehensif. Dalam sistem ini, upaya preventif (pencegahan) jauh lebih utama dan juga lebih murah dari upaya kuratif (pengobatan). Vaksinasi atau imunisasi adalah salah satu upaya preventif. Dalam hal apapun. Bahkan juga dalam hal aqidah / ideologi.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 20, minggu I-II Mei 2007
Apakah itu teknologi pendidikan? Apa pula teknologi pendidikan Islam? Apa bedanya dengan pendidikan teknologi?
Memperingati hari pendidikan nasional saat ini, banyak orang mengajak menoleh kepada teknologi di bidang pendidikan.
Pertama, pendidikan teknologi kita dapat dianggap gagal. Faktanya, pendidikan sains dan teknologi masih dianggap momok oleh mayoritas anak didik kita, sehingga masih banyak warga kita yang gagap teknologi (gaptek) – tidak terkecuali anggota DPR (yang jadi bahan lelucon karena minta Laptop), dan akibatnya makin hari kita makin tergantung pada impor teknologi yang menguras devisa kita dan memaksa kita terus berhutang ke luar negeri.
Kedua, pendidikan kita belum optimal, dan ini disinyalir karena belum digunakannya metode pendidikan kontemporer, termasuk teknologi pendidikan mutakhir. Teknologi pendidikan lebih sering dipahami secara konvensional dengan lab-lab yang relatif mahal – dan akibatnya tidak terjangkau oleh mayoritas sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.
Dengan demikian, pendidikan teknologi adalah pendidikan untuk menumbuhkan technological-attitude (sikap benar berteknologi) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga orang memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi, merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi. Sedang teknologi pendidikan adalah teknologi yang didesain untuk mendukung aktivitas pendidikan secara komprehensif. Aktivitas pendidikan adalah aktivitas untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni yang memiliki kedalaman iman, kecerdasan akal, kepekaan nurani, keluasan wawasan, kebijakan sikap, kreativitas karya, kehalusan estetika, keberanian berjuang dan seluruh nilai-nilai positif lainnya.
Dengan memahami pokok masalah di atas, maka jelas bahwa posisi Islam di sini adalah untuk memberi arah dan nilai dari pendidikan, dan demikian pula teknologi pendidikan. Karena itu teknologi pendidikan Islam bukanlah sekedar teknologi untuk membantu siswa belajar shalat atau belajar membaca Qur’an, namun teknologi yang seluas pendidikan itu sendiri. Teknologi pendidikan Islam membuat siswa mudah memahami sains dan ilmu-ilmu apapun, mampu menghubungkannya dengan Sang Pencipta dan menyadari apa tujuan diciptakannya alam serta bagaimana sains itu dapat dimanfaatkan secara syar’i. Dia akan menguasai sains dalam pandangan hidup Islam. Teknologi ini mengakselerasi siswa mendapatkan tujuan-tujuan pendidikan, sehingga membantu mengatasi keterbatasan kemampuan guru, sempitnya ruang kelas, kekurangan buku dan terbatasnya dana.
Di atas itu semua, teknologi pendidikan Islam seharusnya juga dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam, seperti kesederhanaan dan kemudahan. Jadi akan kontradiktif ketika teknologi pendidikan islam ini justru jadi tidak terjangkau oleh mayoritas umat karena dia terlalu canggih dan mahal.
Karena itu pertimbangan dasar teknologi pendidikan yang tepat harus juga melihat calon penggunanya. Di pedesaan yang sederhana, teknologi berbasis bahan lokal tentu lebih disukai. Namun di perkotaan di mana tersedia listrik, komputer dan akses internet, teknologi interaktif berbasis komputer atau web mungkin menjadi alternatif yang lebih baik dan termurah.
Bentuk Teknologi Pendidikan Islam
Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam?
Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia. Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari panca inderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3) mengolah / menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya.
Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.
Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan Islam berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam (1) Fisika, (2) Biologi, (3) Ekonomi.
(1) Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas. Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing). Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
(2) Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas. Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison). Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
(3) Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas. Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat. Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
Memang perlu kerja keras untuk merealisasi material teknologi pendidikan Islam untuk segala jenis topik di semua jenis pelajaran. Namun upaya semacam ini akan menjadi mudah ketika ada dukungan masyarakat. Dan bentuk masyarakat yang paling optimal untuk itu adalah dalam bentuk negara Khilafah.