Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Terbaik Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 2001 Bidang Teknologi Rekayasa
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Institut Pertanian Bogor
famhar@telkom.net
Abstrak
Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan peradaban manusia. Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.
Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya. Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh. Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi. Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.
Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian. Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis. Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.
Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti? Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang. Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif! Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”. Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,- Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta. Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!
Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”. Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB. Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap. Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset. Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri. Di negeri asal itulah ada R&D. Di sini, mau buat apa? Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …
Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti. Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.
Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik.
Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship. Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah. Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat. Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD. Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain. Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala). Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.
Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis. Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.
Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb.
Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits. Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.
Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.
Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.
Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif. Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng. Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan. Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif. Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.
Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita. Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.
Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima. Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll). Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.
Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif. Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun. Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih. Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.
Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak. Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci. Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.
Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram). Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.
Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar. Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah. Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.
Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar. Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal. Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein. Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius. Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.
Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif. Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA. Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya. Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.
Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain. Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK). Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut. Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis.
Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat. Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL). Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH. Dan ini sangat subjektif.
Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini. Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.
Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3. Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif. Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.
inovatif | 7 Nobel | 8 Nobel | 9 Paten |
modifikatif | 4 | 5 | 6 Paten |
aplikatif | 1 | 2 | 3 |
observatif | analitif | kreatif |
Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.
Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru. Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang sebelumnya sulit didekati. Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati fenomena mahluk halus?
Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan menggunakan pisau analisis yang telah ada. Kembali di sini, jarang ditemukan pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi. Riset jenis inilah yang paling populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada riset tanpa statistik dan data real. Padahal untuk riset jenis kreatif, kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan.
Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.
Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel atau yang setara dengan itu. Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten – agar tidak dibajak oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.
Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan[i]. Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama[ii].</P>
Hunke[iii] dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama dan teknologi yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb[iv].
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu[v], yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah“Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya[vi].
Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Oleh karena itu, ilmu seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan tertentu[vii].
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain. Oleh karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin[viii] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah. Akibatnya, mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia Islam. Ada tiga ketertinggalan teknologi:
Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai. Berbagai usaha meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain)[ix]. Sebagian kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi negaranya. Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.
Kedua, anggaran riset yang rendah. Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat. Dana riset menjadi tidak memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri. Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau peralatan pengganti juga hampir tak ada. Selain itu riset belum benar-benar terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu menghasilkan sesuatu secara ekonomis[x].
Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang sangat rendah. Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia industri[xi].
Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan skop sebuah negara.
Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam. Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada masyarakat.
Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah terutama ilmuwan muslim. Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.
Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah ini nantinya.
Bacaan Lanjut
[ii] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
[iii] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.
[iv] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
[v] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.
[vi] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.
[vii] Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960
[viii] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.
[ix] Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam. Bandung, Rosda, 1989.
[x] International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.
[xi] S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 1998.
Republika Selasa, 21 Nopember 2006
Oleh :
Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Sejauh mana ketergantungan ekonomi Indonesia pada Amerika? Sejauh kepentingan ekonomi, atau sejauh ketakutan secara politik/militer? Pertanyaan ini akan dicoba dijawab dengan beberapa indikator.
Neraca perdagangan
Menurut CIA World Fact Book (https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/id.html), hingga 2005 ekspor Indonesia ke AS ditaksir sekitar 9,62 miliar dolar AS per tahun (dengan komoditas utama migas, elektronik, kayu lapis, tekstil, dan karet). Sedangkan impor dari AS adalah 4,16 miliar dolar AS (dengan komoditas utama mesin, bahan kimia, bahan makanan). Sayang tidak ada statistik lebih detail untuk masing-masing komoditas tersebut. Data dari CIA ini berdekatan dengan data resmi BPS (http://www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.pdf? Halaman 43): ekspor Indonesia ke AS 2005 9,87 miliar dolar AS (11,5 persen total ekspor) sedangkan impor dari AS 3,88 miliar dolar AS (6,7 persen).
Ini artinya, bila terjadi pemutusan hubungan dagang dengan AS (baik karena kita memboikot produk AS, atau AS mengembargo kita), maka dampak ekonomi yang ditimbulkan tidaklah seluas yang dicemaskan orang–dengan catatan negara-negara lain seperti Uni Eropa, Jepang atau Cina tidak ikut-ikutan. Memang bagi pihak-pihak terkena langsung, seperti para pebisnis dengan ekspor/impor ke AS beserta para pekerjanya, mereka akan merasakan dampak yang berat.
Utang LN
Menurut Koalisi Anti Utang (www.kau.or.id), utang LN Indonesia kepada AS terdiri dari utang multilateral, yakni dengan beberapa lembaga keuangan yang didominasi AS seperti IBRD (Bank Dunia) = 7,86 miliar dolar AS (12,7 persen dari seluruh utang LN Indonesia) dan utang bilateral 3,53 miliar dolar AS (5,7 persen). Sayangnya data resmi Depkeu malah sulit didapatkan di internet. Melihat porsi utang tersebut, sebenarnya tak layak AS selalu memaksakan agendanya ke Indonesia.
Investasi
Idealnya ada data total investasi AS di Indonesia menurut bidang investasinya serta jumlah perusahaannya. Namun, sementara ini data yang didapat dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (www.bkpm.go.id/en/figure.php?mode=baca&t=Facts%20and%20Figures) adalah bahwa AS bukanlah negara asal yang menonjol dalam investasi.
Dari 2001-September 2006, total investasi AS di Indonesia hanya berjumlah 208 investasi (2,60 persen dari seluruh PMA di Indonesia) atau hanya senilai 1,1 miliar dolar AS (1,49 persen). Jadi sebenarnya sangat kecil. Namun angka investasi ini adalah di luar investasi sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan nonbank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, serta perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Bidang investasi yang tidak didata di BKPM ini adalah bidang yang justru sangat strategis (Freeport, Newmont, ExxonMobile, Chevron dll), namun keberadaannya di Indonesia hanya mungkin terjadi oleh manipulasi hukum serta perilaku koruptif para pejabatnya.
Wisatawan AS di Indonesia
Menurut BPS (http://www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.pdf? Halaman 52) jumlah kunjungan wisata dari AS pada 2005 adalah 160.597 orang dan setiap kunjungan mereka rata-rata selama 13 hari dan mengeluarkan uang rata-rata 1.334 dolar AS/orang/kunjungan. Dengan demikian bila Indonesia ditutup bagi wisman AS, maka kehilangan per tahun ditaksir adalah 214,2 juta dolar AS. Namun ini ternyata hanya 4,7 persen dari total penerimaan sektor wisata dari kunjungan wisman.
Orang Indonesia di AS
Warga negara Indonesia yang belajar atau bekerja di AS akan terkena dampak langsung hubungan Indonesia-AS. Bila hubungan memburuk, mereka terancam berhenti belajar atau bekerja. Sayangnya jumlah mereka tak diketahui dengan pasti. Informasi dari KBRI Washington (http://www.embassyofindonesia.org/) hanya menyebutkan jumlah paspor yang dikeluarkan oleh KBRI, yang jumlahnya hanya berkisar 1.000 paspor/tahun. Paspor dari KBRI biasanya hanya diberikan pada WNI yang menetap di AS namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia. Dengan asumsi paspor berlaku 10 tahun, maka jumlah mereka berkisar 10 ribu orang.
Namun seorang WNI yang tinggal di AS dan sering bolak-balik ke Indonesia (pelajar atau pengusaha), tidak selalu harus berurusan dengan KBRI. Info ini lebih tepat dicari pada kedutaan AS di Jakarta (http:www.usembassyjakarta.org/). Sayangnya di sana juga tidak ada data jumlah visa yang diberikan untuk WNI untuk pergi ke AS.
Hal serupa juga terjadi pada warga negara AS yang bekerja di Indonesia untuk jangka lama. Warga AS bebas visa bila hanya berkunjung 1 bulan. Jadi mereka yang mondar-mandir ke Indonesia dan tiap bulan pergi ke Singapura, tidak perlu visa. Sebenarnya di Ditjen Imigrasi Departemen Luar Negeri mestinya ada data tentang warga AS yang masuk ke Indonesia. Namun data ini tidak didapatkan di internet.
Kepentingan militer
Kepentingan militer diduga paling dominan dalam hubungan ekonomi Indonesia-AS. Kepentingan yang dimaksud adalah berupa (1) pembelian persenjataan dari AS; (2) pelatihan personel militer ke AS; dan (3) bantuan (grant) untuk program-program militer di Indonesia–semacam pembentukan Densus-88 Antiteror. Sayang informasi di bidang ini justru paling sulit didapat. Kalau misalnya ada data perbandingan negara asal persenjataan yang dimiliki TNI, barangkali kita akan tahu, serapuh apakah kita terhadap AS. Namun sejak embargo senjata AS tahun 1991 (kasus Dili), Indonesia telah memutuskan untuk melakukan diversifikasi negara tempat membeli senjata. Indonesia telah membeli kapal dari Jerman, tank dari Perancis, pesawat tempur dari Russia, pistol dari Austria, dan sebagainya.
Kesimpulan
AS sendirian sebenarnya tidak terlalu signifikan bagi ekonomi Indonesia, baik secara perdagangan, utang, investasi, pariwisata, ekspatriat, bahkan mungkin militer. AS baru berbahaya ketika sikap atau kebijakannya diikuti oleh negara-negara lain, terutama yang memiliki peran ekonomi besar atas Indonesia, seperti Jepang, Cina, Uni Eropa, atau Australia. Namun dengan diplomasi aktif yang baik ke seluruh negara di dunia, risiko ini bisa ditekan.
Ketakutan pemerintah Indonesia atas sanksi ekonomi, politik, dan militer AS, sehingga begitu tunduk kepada AS–terbukti dari penyambutan yang berlebihan di Bogor tgl 20 November ini–sangat tidak beralasan. Sebaliknya Indonesia justru dapat memainkan peran strategisnya, agar hubungannya dengan AS tidak seperti jongos terhadap juragan, tetapi sama tegak antara sesama negara merdeka. Bahkan Indonesia harus memandang rendah AS, karena mereka adalah negara yang telah mendzalimi bangsa-bangsa lain di dunia.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
dimuat di Suara Islam, minggu III-IV November 2006
Salah satu yang akan dikeluhkan oleh warga Bogor menjelang kunjungan Presiden Amerika George Walker Bush tanggal 20 November 2006 nanti adalah pematian ponsel selama 10 jam. Aktivitas ini tidak dilakukan oleh provider ponsel melainkan merupakan SOP para pengawal Bush demi mengamankan sang penjagal umat Islam di Afghanistan dan Irak itu. Untuk kunjungan 6 jam itu pemerintah menganggarkan minimal Rp. 6 Milyar, 18000 personil keamanan, menutup hampir seluruh jalan protokol di Bogor (yang memang hampir semuanya bersentuhan dengan Kebun Raya Bogor, tempat mendarat Bush) dan meliburkan sekolah-sekolah. Biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat Bogor akan jauh berlipat-lipat.
Ketika lalu lintas macet karena berbagai penutupan jalan, maka komunikasi seluler adalah salah satu jalan keluar bagi orang-orang yang memiliki urusan. Namun apa daya, saat kunjungan itu, telekomunikasi seluler (dan juga handy-talky) juga dimatikan.
Pematian ponsel adalah salah satu bentuk radio jamming. Ponsel menggunakan suatu informasi terkode yang ditumpangkan (dimodulasikan) di atas gelombang radio pembawa (carrier). Gelombang radio memiliki sifat dapat berinterferensi dengan gelombang radio lain yang fasenya berbeda. Interferensi membuat kedua gelombang itu saling memusnahkan (bila beda fasenya persis setengah gelombang) atau minimal jadi sangat terganggu. Walhasil kedua gelombang jadi “kacau” atau “mati”.
Untuk gelombang ponsel, ketika frekuensi pembawanya kacau, maka dapat dipastikan kode yang termodulasi di atasnya (baik TDMA seperti pada GSM maupun CDMA) tidak bisa lagi diterjemahkan. Dan hasilnya, ponsel itu akan “mati. Secara teknis dapat dibuat suatu pemancar multi-frekuensi untuk menginterferensi seluruh gelombang radio yang ada. Khusus untuk mengganggu provider seluler, alat ini disebut cell phone jammer.
Alat sejenis juga dipakai untuk mematikan seluruh pemancar radio atau televisi (broadcasting), handytalky, remote control yang menggunakan radio (bukan yang dengan inframerah) dan juga peralatan radar. Konon pesawat siluman Stealth selain memiliki body yang tidak tertangkap oleh radar, juga mampu mematikan radar musuh. Istilah mematikan sebenarnya tidak pas, karena alatnya sendiri sebenarnya tidak mati. Hanya alat itu tidak efektif lagi karena pancaran gelombangnya praktis dimatikan dengan interferensi.
Cell phone jammer biasanya dipakai di area-area di mana komunikasi seluler dapat mengganggu atau bahkan berbahaya, misalnya di tempat ibadah, perpustakaan, gedung teater atau ruang operasi di rumah sakit. Juga untuk membatasi spionase di gedung-gedung tertentu. Alat ini jauh lebih murah daripada “sangkar Faraday” yang dulu dipakai untuk menolak seluruh gelombang radio masuk ke dalam ruangan tertentu. Sangkar Faraday biasanya dipasang di dalam gedung, dan tak mudah dipindah-pindahkan. Namun untuk keperluan khusus, misalnya menangkal peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh dengan radio (bom, robot mata-mata) sangkar Faraday jelas masih lebih aman.
Di masa lalu, ketika telephon seluler masih analog, cukup suatu jammer sederhana buat mematikannya. Namun dengan era digital, apalagi era 3G, perlu peralatan jammer yang juga lebih canggih.
Operasional
Jammer akan mengisolir ponsel dengan mengirim keluar gelombang radio dengan frekuensi yang sama dengan yang dipakai ponsel. Ini menyebabkan interferensi atau gangguan yang cukup sehingga komunikasi dari ponsel ke menara BTS praktis tidak bisa digunakan. Pengguna akan merasakan seperti diluar jangkauan layanan.
Mayoritas ponsel menggunakan band (kanal) yang berbeda untuk mengirim dan menerima informasi dari menara. Maka jammer akan bekerja dengan mengganggu frekuensi dari ponsel ke menara atau sebaliknya.
Model Jammer kecil ukuran tangan akan memblok seluruh kanal dari 800 MHz hingga 1900 MHz di dalam radius 10 meter. Jammer besar yang mahal seperti TRJ-89 dapat mencapai radius 8 kilometer. Jammer yang kuat ini juga bisa berbahaya karena dapat mengganggu alat-alat kedokteran, misalnya alat pacu jantung. Namun pada umumnya, alat-alat ini bekerja dengan power di bawah 1 Watt untuk mencegah beberapa masalah.
Di peperangan, penggunaan jammer baik untuk mematikan telekomunikasi, broadcast (radio/TV) maupun radar adalah termasuk bagian dari perang elektronik. Orang memimpikan dapat melindungi negerinya dari serangan pesawat atau rudal musuh cukup dengan mengganggu gelombang radionya. Rudal nuklir sekalipun, hanya dapat mencapai sasaran bila sistem navigasinya tetap berfungsi. Bila sistem navigasi ini hanya mengandalkan GPS, radar dan kontrol radio, maka dia akan dapat mudah dipatahkan dengan jammer. Ada dugaan bahwa peristiwa pesawat yang menabrak menara WTC tanggal 9 September 2001 adalah pesawat yang telah dijam seluruh sistem radionya, sementara radar Angkatan Udara juga telah dijam sehingga tidak melihat apa-apa di layar. Pesawat itu hanya tinggal bisa dilihat langsung secara visual.
Karena itu para ilmuwan sistem kontrol kemudian mengembangkan navigasi mandiri yang tidak tergantung gelombang radio. Navigasi ini memakai prinsip inersia dalam fisika, sehingga disebut inertial navigation system.
Demikian juga, para pengawal Bush tentunya juga harus memakai sistem telekomunikasi yang lain ketika seluruh gelombang radionya sendiri di-jam. Salah satu model yang akan selamat dari radio-jammer adalah menggunakan komunikasi inframerah atau ultrasonik. Meski sama-sama gelombang elektromagnetik, namun sinar inframerah memiliki sifat cahaya, yang berbeda dengan gelombang radio. Komunikasi inframerah dapat mencapai tempat yang jauh selama tidak ada penghalang yang berarti. Sedang ultrasonik adalah gelombang suara pada frekuensi yang tak terdengar telinga manusia, dan tak berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik.
Ketika seluruh gelombang radio yang operasional dijam oleh peralatan para pengawal Bush, maka para polisi biasa dan satpam Kebun Raya yang tidak dilengkapi alat komunikasi khusus juga tidak akan bisa berkomunikasi jarak jauh. Kalau pramuka jaman dulu mungkin masih bisa pakai semaphore atau kode asap, atau Ki Gendeng Pamungkas mungkin bisa pakai telepathy. Tapi sama siapa?
Begitulah teknologi yang ada saat ini. Manfaatnya tergantung pada siapa yang menggunakan. Dan untuk tujuan apa orang menggunakan, tergantung dari ideologi yang diyakininya.