Tanpa sengaja, ketika membuka kotretan-kotretan lama,
saya menemukan kembali dua rangkaian kata-kata
yang saya tulis beberapa masa yang telah lama tiada.
Mungkin bisa jadi inspirasi untuk anda semua …
Wassalam
Fahmi Amhar
(** Sastrawan Jalanan yang kesasar jadi Peneliti …. 🙂
—————————————————————–
Mariott
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Lantai marmer, lampu kristal, pokoknya mewah
Tapi tidak punya tempat ibadah
Tempat peserta seminar melepas lelah
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Hawa dingin AC menusuk-nusuk tulang
Aku heran kenapa segitu banyak uang
Hanya untuk membuat investor asing senang
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Datanglah wahai bule, investasikan uangmu di sini
Bukalah kesempatan kerja untuk ribuan anak negeri
Kita sudah tak punya uang sendiri, semua habis dikorupsi
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Tahun duaributiga dia dibom oleh teroris
Yakni mereka yang sepintas ditampakkan lebih agamis
Padahal boleh jadi di belakangnya negara adidaya iblis
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Seribu pertanyaan, seribu misteri
Seribu kebingungan, seribu ilusi
Ah andaikata syari’at jadi sumber inspirasi …
(FIG-Regional Conference, Hotel JW Mariott Jakarta, 4-6 Oktober 2004)
—————————————————————–
Janji
Apakah janji tinggal janji
Dan rakyat cuma gigit jari
Menonton para pejabat berpesta-pora di sana sini
Bila dua belas juta penganggur terbuka diidentifikasi
Sementara setengah penganggur tigapuluh juta diestimasi
Mereka adalah bara yang tinggal ditiup untuk menjadi api
Bila tanah rakyat digusur tanpa henti
Sedang sumber daya air jadi milik korporasi
Namun pertambangan di hutan lindung justru oleh hukum dipagari
Bila BUMN terus diprivatisasi
Sehingga harga BBM bakal meroket lagi
Lalu listrikpun makin mahal walau sering mati
Bila pendidikan terus dikapitalisasi
Maka kekerasan pelajar akan terus menghias televisi
Lalu jadi apa anak cucu kita nanti
Bila kita butuh solusi
Untuk selamatkan negeri dari azab Ilahi
Tak ada selain terapkan Islam di negeri ini
(saat anggota DPR RI disumpah, Oktober 2004)
Dr. Fahmi Amhar
M. Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal dalam tulisannya “Kekerasan Atas Nama Fatwa” di Koran Tempo, Jum’at 23 September 2005 mengkhawatirkan fatwa-fatwa yang memvonis seseorang atau suatu kelompok sebagai sesat atau murtad. Meski fatwa itu tidak eksplisit memerintahkan kekerasan atau pembunuhan pada pihak tervonis, namun kaidah umum yang berlaku seperti “man baddala dinahu faqtuluhu” (“barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”) telah meniupkan kekuatan bagi siapa saja, tanpa merasa berdosa, untuk mengeksekusi pihak yang divonis, tanpa ada proses klarifikasi atau pembelaan.
Romli memberi contoh dari sejarah klasik seperti ketika Abu Bakar memerangi pihak-pihak yang menolak membayar zakat setelah divonis murtad, kemudian Ali yang dibunuh oleh orang Khawarij setelah difatwa kafir karena dianggap bertahkim kepada manusia, hingga al-Dzahabi, ulama Al-Azhar yang dibunuh setelah difatwa murtad oleh Jama’ah Takfir wal Jihad. Intinya adalah fatwa-fatwa yang dijatuhkan secara sepihak, kemudian dilaksanakan secara sewenang-wenang.
Realitas yang ingin ditunjukkan Romli memang menarik: fenomenologis – sebagaimana lazimnya gaya kajian para pengamat Islam di Barat, yang diikuti oleh para aktivis liberal. Namun tulisan atau kajian itu selalu meninggalkan tiga cacat: (1) kajian itu tidak menyertakan analisis sistemik; (2) kajian itu selalu cenderung menggeneralisir; (3) kajian itu kurang kritis pada sistem di luar Islam – sehingga seakan itu hanya khas Islam.
Fatwa ditinjau dari segi bahasa maupun hukum, adalah sebuah pendapat hukum. Pendapat ini bisa muncul dari orang yang berkualifikasi itu (ahli hukum, mujtahid) ataupun tidak, dari yang diberi otoritas untuk itu (mufti) ataupun tidak.
Dalam Islam, fatwa yang diambil berdasarkan suatu dalil Qur’an/Sunnah –meskipun lemah- tetaplah sebuah hukum syara’. Hukum syara’ ini mengikat bagi sang pembuat fatwa atau yang memintanya. Ketika sebuah negara membentuk lembaga fatwa (seperti Indonesia dengan MUI), maka secara tak langsung negara itu meminta fatwa dan terikat dengan fatwa yang nantinya akan dikeluarkan. Namun fatwa itu baru benar-benar berlaku untuk seluruh manusia atau penduduk hanya setelah otoritas negara itu mengadopsi fatwa itu menjadi suatu hukum yang positif, lepas dari soal apakah fatwa itu sendiri suatu pendapat hukum yang bermutu atau tidak.
Sebenarnya hal yang sama terjadi di semua sistem hukum, tidak cuma hukum Islam. Di hukum Barat, para ahli hukum berbeda pendapat misalnya tentang hukuman yang pantas bagi pemerkosa pada anak-anak, pengedar narkoba atau pelaku terorisme. Sebagian berfatwa (=berpendapat) pelakunya wajib dihukum mati, sebagian lain berfatwa hukuman mati wajib dihapuskan karena bertentangan dengan HAM. Sebagian berfatwa bahwa tersangka terorisme tidak boleh didampingi pengacara. Demikian seterusnya. Bila fatwa itu hanya berasal dari individu atau lembaga yang tidak otoritatif, maka paling-paling akan menjadi wacana publik yang paling jauh dibawa ke parlemen untuk divoting. Namun bila fatwa itu keluar dari lembaga yang otoritatif, semacam dari Mahkamah Konstitusi, maka dia akan langsung mengikat dan wajib bagi pemerintah untuk melaksanakannya.
Dari sini kita bisa melihat dengan adil, bahwa fatwa Abu Bakar bukanlah fatwa yang illegal atau inkonstitusional, karena memang dia yang diberi mandat dan otoritas untuk mengadopsi fatwa – yang kebetulan sama dengan pendapat pribadi beliau. Ini kurang lebih sama dengan keputusan Presiden untuk menghadapi gerakan separatis, apakah ditumpas dengan aksi militer, atau dirangkul dengan aksi persuasi. Pasti akan banyak “fatwa” yang beraneka. Tapi yang akan dilaksanakan tentu yang diadopsi Presiden.
Dan sebenarnyalah, dalam kasus Abu Bakar, perlu diluruskan bahwa para penolak pembayar zakat sebenarnya tidak dihukum murtad – namun hanya bughat (pembangkangan). Mereka hanya diperangi sampai mereka tunduk kembali kepada otoritas politik yang sah. Pada saat itu memang ada kelompok lain yang murtad setelah Nabi wafat. Pada yang murtadpun sebelum dihukum bunuh ada aturan Islam yang mewajibkan penguasa untuk melakukan persuasi, penyadaran dengan memberikan tempo untuk dialog.
Sementara itu, eksekusi oleh pihak-pihak di luar pemilik otoritas, seperti yang dilakukan oleh Khawarij dan Jama’ah Takfir wal Jihad jelas illegal, karena mereka bukan pemilik otoritas.
Adanya pihak-pihak yang sewenang-wenang dan tanpa klarifikasi memvonis dengan suatu fatwa kemudian mengeksekusinya, tidak boleh lantas mendorong kita untuk menggeneralisasir dengan mengharamkan berfatwa dalam bidang itu. Bila ini terjadi, maka ini lebih gawat dari pemasungan pluralitas pendapat seperti yang diperjuangkan teman-teman dari kelompok liberal.
Pluralitas pendapat atau pluralitas fatwa adalah realitas sejak zaman Nabi, para shahabat, para imam Madzhab dan seterusnya. Ada perkara-perkara yang oleh satu imam dianggap halal, namun oleh imam yang lain dianggap haram. Perbedaan ini bahkan masuk ke bidang aqidah – seperti yang terjadi pada kelompok Mu’tazilah. Kelompok yang sangat mengagungkan akal ini (dan sangat dihormati di kalangan liberal) berpendapat bahwa Qur’an adalah mahluk – berbeda dengan jumhur yang berpendapat Qur’an kalam Ilahi (bukan mahluk atau Khalik). Tentu ada fatwa tambahan di kalangan Mu’tazilah yang kemudian diadopsi oleh Khalifah al-Ma’mun, sehingga kemudian ada kekerasan terhadap para ulama yang tidak setuju dengan fatwa Mu’tazilah itu. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu korbannya. Namun beliau bukan korban fatwa an sich, namun korban eksekusi dari penguasa yang secara legal memang punya otoritas menerapkan fatwa. Hanya saja fatwa tersebut memang tidak berkualitas. Dan belakangan Khalifah sendiri yang mencabut fatwa itu setelah dalam suatu dialog dia menyadari kejanggalannya.
Adanya fatwa yang tidak bermutu, dan kemudian dieksekusi –sekalipun oleh pihak yang otoritatif– bukanlah monopoli dunia Islam. Ini mungkin yang disinyalir oleh Ulil Abshar Abdala sebagai “batas tipis antara otoritas dan otoriter”.
Jadi kuncinya adalah pada tingkat berpikir umat. Ketika tingkat berpikir umat sangat rendah, maka akan lahirlah intelektual dan ulama gadungan, yang berfatwa tanpa ilmu. Ketika fatwa ini dieksekusi, oleh siapaun, apapun bidangnya, maka yang muncul adalah musykilah baru.
Musykilah ini bisa berupa kekerasan yang dilakukan secara individual sebagaimana terjadi pada al-Dzahabi. Bisa pula oleh negara, sebagaimana di masa lalu oleh al-Ma’mun, di masa Orde Baru oleh Soeharto, dan kini di tingkat global oleh George W. Bush.
Musykilah ini bisa juga berupa perampasan hak publik, atau penyelesaian persoalan perdata tidak sebagaimana mestinya – seperti terjadi dengan berbagai fatwa-fatwa dalam bidang ekonomi, politik atau perdata akibat sistem kapitalisme-sekuler, seperti penaikan harga BBM, privatisasi sektor publik, perubahan status rumah sakit umum menjadi swasta, hingga fatwa suatu yayasan yang membolehkan pernikahan lintas agama. Semua lahir dari suatu fatwa, suatu pendapat. Memang tidak semua langsung berujud kekerasan. Namun bila di kemudian hari tidak ada rumah sakit yang mau merawat pasien miskin (sehingga pasien itu mati pelan-pelan), atau ada anak-anak bunuh diri karena orang tuanya yang beda agama akhirnya ribut terus, apakah itu bukan kekerasan? Atau mungkin lebih pantas kita sebut “kekerasan tertunda”?
Fatwa –sebagai suatu pendapat– bukanlah benda sakral yang pasti benar dan wajib dilaksanakan. Ketika fatwa itu didasarkan pada dalil Qur’an dan Sunnah, maka dia menjadi hukum syara’ yang mengikat pembuatnya – dan peminta fatwa itu. Namun siapa yang melaksanakan, tergantung apakah objek hukum dalam fatwa itu merupakan tugas dari individu, kelompok atau negara.
Dan ketika ada pendapat atau fatwa yang berbeda, maka dibuka diskursus publik. Fatwa mana yang akan dilaksanakan, haruslah fatwa yang paling bermutu, ditinjau dari ketepatannya dalam memahami realita, dan dalam menerapkan dalil Qur’an dan Sunnah – bukan ditinjau dari HAM, demokrasi atau manfaat ekonomi.
Dan ketika fatwa itu sudah diadopsi oleh otoritas publik, maka semua orang harus menaatinya – termasuk mereka yang semula menentangnya atau mengikuti fatwa yang lain, sampai kemudian fatwa itu dicabut kembali, demi fatwa lain yang argumentasinya lebih kuat lagi.
Menaati fatwa yang telah diadopsi suatu otoritas adalah satu hal, dan terus mengkritiknya dengan argumentasi yang lebih kuat adalah hal yang lain.
Wallahu a’lam bis shawab.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Harian Kedaulatan Rakyat, 7 September 2006
DALAM dunia psikologi, kecerdasan spasial (spatial quotient) termasuk salah satu jenis kecerdasan yang sering turut diukur dalam test IQ bersama-sama dengan kecerdasan verbal dan logikal. Biasanya, dalam mengukur kecerdasan ini kita diminta memilih pasangan yang tepat dari suatu gambar 2 dimensi ataupun 3 dimensi
Namun dalam praktik, kecerdasan spasial semestinya jauh lebih dari itu. Kecerdasan spasial adalah bagaimana seseorang dapat menempatkan aspek keruangan secara tepat dalam berbagai pengambilan keputusannya, baik dalam bekerja mapun berekreasi.
Seorang pebisnis yang memiliki kecerdasan spasial cukup, akan relatif peka terhadap tempat-tempat strategis yang diharapkan potensial mendatangkan keuntungan, misalnya untuk didirikan warung Padang, mini market ataupun tempat kos-kosan. Dalam level yang lebih canggih, hal ini bisa didapatkan oleh operator telepon seluler (misal untuk optimasi lokasi menara seluler yang sangat mahal itu), perusahaan armada transportasi (untuk optimasi route yang dilalui), atau juga oleh investor yang tahu memilih daerah yang tepat untuk menanam modal di sektor real. Pebisnis ini dapat dikatakan telah melakukan spasial investing – investasi yang dipandu oleh kecerdasan spasial.
Seorang wisatawan yang memiliki kecerdasan spasial akan relatif peka dalam memilih tempat yang berharga untuk dikunjungi, termasuk rute perjalanannya yang paling efisien, juga bagaimana memilih hotel yang nyaman, murah dan strategis, bahkan hingga bagaimana mengatur bagasinya hingga ringkas dan tidak kena denda kelebihan muatan. Dalam hal ini, kecerdasan spasial dapat pula disebut kecerdasan berwisata (traveling quotient).
Dalam bidang olahraga, ternyata sebagian besar jenis olahraga pertandingan adalah terkait aspek spasial. Bagaimana strategi memenangkan piala dunia sepakbola, hampir 50% ditentukan oleh posisi pemain kawan, posisi pemain lawan, posisi bola dan posisi gawang musuh. Jadi ternyata ada bagian dari kecerdasan kinestetik (yang terkait gerak) dengan kecerdasan spasial. Dalam bidang penyelamatan, seperti pada saat ada musibah bencana, ataupun ada perang, kecerdasan spasial dapat memainkan peran antara hidup dan mati. Orang perlu tahu rute evakuasi yang aman, atau perilaku sebenarnya banjir, awan panas atau tsunami. Adapun kemampuan menyelamatkan diri pada saat kritis, adalah bagian dari kecerdasan bertahan hidup survival quotient).
Dalam pemerintahan, seorang kepala daerah yang cerdas spasial akan mengetahui dengan tepat posisi dan kondisi kantong-kantong kemiskinan sehingga dapat menaruh kawasan prioritas pembangunannya dengan optimal. Dia juga cepat memahami titk-titik munculnya masalah (misal wabah flu burung) sehingga dapat sigap mengantisipasinya.
Bahkan dalam pemberantasannya korupsi, cerdas spasial diperlukan baik untuk mencegah (preventif) maupun memberantas korupsi yang telah terjadi. Secara preventif misalnya, pemasangan alat GPS di tiap kendaraan suatu armada taksi, akan membuat sopir taksi tidak bisa seenaknya, karena pusat taksi jadi tahu persis posisi tiap taksi. Namun pada saat yang sama sopir taksi juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taksi terdekat yang sedang kosong. Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah harus dilampiri peta yang menunjukkan kondisi lingkungan dan distribusi kemakmuran sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya. Sedang dalam memberantas korupsi, kecerdasan spasial perlu untuk mengembangkan teknik-teknik intelijen atau penyelidikan.
Kecerdasan spasial bisa ditumbuhkembangkan secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Secara kognitif misalnya dengan mengenalkan seorang anak dengan material spasial, misal dengan sketsa, denah, foto, peta, maket, film bertema petualangan dan sebagainya.
Secara afektif atau untuk membangun sikap, apresiasi seorang anak terhadap dunia spasial bisa terbangun dengan membiasakan diri membaca peta, baik saat bermain di dalam rumah (misalnya dalam permainan monopoli atau quartet spasial) maupun saat bergerak di alam bebas (misalnya dengan peta wisata). Film “Dora” juga dapat dipandang turut berkontribusi di sini. Namun memang perlu disesali bahwa peta untuk awam yang tersedia bebas masih sangat sedikit. Padahal ini — kalau mau — bisa dibiayai melalui iklan.
Dan secara psikomotorik, life skill spasial akan tumbuh ketika seseorang jadi terbiasa dalam mendokumentasi aspek-aspek spasial meski hanya untuk catatan pribadi. Misalnya ketika membuat album foto yang bercerita tentang liburannya, dia juga membuat deskripsi yang cukup rinci, atau bahkan dilengkapi dengan sketsa atau denah tempat liburan tersebut.
Meski demikian, sudah ada start yang bagus, walaupun sederhana: sekarang ini makin banyak undangan pernikahan yang sudah dilengkapi denah lokasi tempat pesta. q – s