Remaja Pecinta Ilmu Mengisi Kemerdekaan
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 22 Agustus 2006
Dr Ing Fahmi Amhar, Anggota Dewan Juri Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI..
PADA 2006 ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kembali mengadakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke 37. Lomba ini seperti biasanya akan diikuti secara langsung oleh ratusan remaja usia SMP dan SMU dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka wajib mengirim karya ilmiah yang merupakan hasil penelitiannya sendiri. Jadi ini adalah adu kreativitas ilmiah, bukan sekadar adu kecerdasan seperti halnya olimpiade-olimpiade sains yang akhir-akhir ini cukup marak, apalagi adu kebolehan tarik suara dan tampil memukau di muka publik (AFI, KDI, Indonesian Idol).
Dari ratusan atau bahkan ribuan karya ilmiah yang masuk itu kemudian dipilah-pilah menjadi tiga bidang: bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan bidang Teknologi. Dewan juri kemudian akan memilih lima terbaik di setiap bidang untuk dipanggil sebagai finalis ke Jakarta. Mereka akan diminta membuktikan bahwa karya ilmiah itu benar-benar hasil penelitian mereka sendiri bukan salinan karya orang lain, bukan pula dibuat sepenuhnya atas petunjuk pembimbingnya.
Ada suatu masa ketika kontes ini begitu bergengsi. Ketika penulis sendiri tiga kali menjadi finalis, LKIR-LIPI tahun 1984-1986, para “LKIR-wan” ini disejajarkan dengan para teladan. Selain audiensi dengan berbagai pejabat teras negeri ini, mereka juga diundang dalam peringatan 17 Agustus di istana. Hadiah juga berdatangan dari sponsor maupun Pemerintah Daerah tempat finalis berdomisili. Mereka juga hampir selalu mendapat surat sakti (rekomendasi) untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes. Perhatian publik juga cukup besar karena saat itu LKIR selalu bekerja sama dengan satu-satunya televisi yang ada: TVRI.
Namun ini zaman sudah berganti. Kini sudah banyak televisi dengan ragam acara partisipatif yang menarik. Pilihan remaja yang tertarik dalam bidang ilmiahpun tidak cuma LKIR. Selain LKIR juga ada LPIR — Lomba Penelitian Ilmiah Remaja dari Depdiknas. Berbagai olimpiade sains bahkan mendapat gengsi yang lebih tinggi, terlebih sejak beberapa tahun terakhir ini kontingen Indonesia selalu meraih medali emas di kancah internasional. Dan orang tahu, finalis olimpiade internasional selalu ditawari beasiswa untuk sekolah di Luar Negeri. Jelas lebih mentereng. Meski tentu saja tidak gampang meraihnya.
Baiklah, kita tidak perlu mempertentangkan lomba-lomba ini. Suatu hal yang perlu disoroti adalah bahwa minat ilmu pada remaja harus selalu ditumbuhkan. Tanpa mengurangi arti minat remaja dalam bidang lainnya minat ilmu banyak diyakini sebagai minat yang akan menyelamatkan Indonesia dari penjajahan untuk kedua kalinya. Penjajahan teknologi, yang juga akan berdampak pada penjajahan ekonomi dan politik.
Menjadi remaja pecinta ilmu memerlukan lebih banyak keberanian di era konsumtif, materialistis dan kapitalistik seperti sekarang ini. Arus utama remaja adalah arus pemimpi kehidupan mudah — atau bahkan glamor — yang diraih secara instan, sebagaimana dijajakan sepanjang waktu oleh hampir semua kanal televisi. Oleh karena itu para remaja pecinta ilmu senantiasa harus berani “tampil beda”. Mereka harus proaktif menemukan masalah yang perlu diteliti secara kritis dan tekun. Tidak semua orang peka terhadap berbagai masalah itu. Kalaupun ada yang berpikir ke sana atau memiliki ide yang sama, tidak banyak yang lalu menindaklanjuti sampai dari ide itu menjadi suatu karya yang bermanfaat.
Sebagai contoh, di antara karya-karya yang sampai ke meja dewan juri kali ini: ada yang sudah melakukan eksperimen membuat batu bata dari lumpur panas Lapindo Brantas. Analisis laboratorium atas kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) pun dilakukannya, dengan meminta bantuan sebuah perguruan tinggi. Ada juga yang membuat saklar lampu rumah yang dapat diaktifkan dengan sinyal GSM. Manfaatnya, orang yang meninggalkan rumah berhari-hari, dapat menghidup-matikan lampu rumahnya dari ponselnya saja, sehingga tidak terkesan rumahnya kosong yang akan mengundang maling.
Di tahun-tahun sebelumnya, ada siswi SMP yang membuat aquarium yang memiliki mekanisme tertentu sehingga bisa dibersihkan tanpa menguras airnya. Dia begitu cerdas menjawab pertanyaan dewan juri, bahkan ketika pertanyaan itu kami ajukan dalam bahasa Inggris.
Yang saya lihat, berbeda dengan remaja-remaja “biasa” seusianya yang meski gemar berdiskusi namun kebebasan berpikirnya cenderung “liar”, para remaja pecinta ilmu dibatasi oleh rambu-rambu metode dan etika ilmiah. Pendapat mereka tak cukup sekadar “kreatif” namun juga harus argumentatif, yakni memiliki akar empiris yang kuat dan logis dalam penarikan kesimpulan.
Andaikata sikap-sikap cinta ilmu seperti ini bisa ditumbuhkan pada — minimal — 20% mahasiswa dan 10% para politisi kita, barangkali Indonesia tidak seterpuruk seperti sekarang ini. Mengisi kemerdekaan mungkin akan jauh lebih mudah. Kita akan punya cukup SDM yang andal untuk menjaga agar kemerdekaan yang sudah diraih dengan darah dan air mata oleh para pendahulu kita itu tidak tergadai lagi. Kita akan terlindungi dari mitos dan takhayul yang menghalangi kita dari kerja nyata, terlindungi dari utang yang bertumpuk-tumpuk, dan juga terlindungi dari korupsi yang membudaya dan menggurita. q – g
Tags: Generasi Penarus, Indonesia, pendidikan, Remaja
Leave a Reply