Munculnya Diktator Liberal
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 15 Juni 2006.
Muncul keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani “Kelompok Islam Anarkis” (Media Indonesia 12/06/2006). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran”.
Karena para penebarnya memiliki akses media, maka propaganda provokatif itu berlangsung massif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).
Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarkisme kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir: pembubaran, pembekuan atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkisme. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfir yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfir yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik – apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.
Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu-domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/05/2006), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/05/2006), bahkan pada akhirnya Gus Dur sendiri (27/05/2006), yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkisme tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekedar minta maaf sampai pembubaran.
Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti “hilang” dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atasnama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda ini, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.
Munculnya Diktator Liberal
Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, adalah bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi beragumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan: pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi Diktator Liberal, Diktator yang mengatasnamakan kebebasan.
Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina al-Qur’an, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariat Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariat Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariat Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.
Sejujurnya, mana pasal / ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana pasal / ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ngotot seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?
Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariat Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini, bahwa demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.
Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana? <>Kalau logika itu dipakai, maka tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khutbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet sementara jurusan syariah, madrasah dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja. Ataukah propaganda ini memang untuk membendung Islamisasi, yang sering kali disebut Talibanisasi, Arabisasi, dan sebagainya itu?
Tuduhan bahwa HTI dengan konsep Khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing, dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh, dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki “tanah-air”? Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa mereka sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.
Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, Liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabatnya diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikitpun, saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.
Tags: Islam, Sosial Pilitik, syariah
Leave a Reply