Hikmah di balik Merapi
Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Selasa 16 Mei 2006.
Merapi akhirnya meletus Senin (15/5/2006) pagi. Meski sudah cukup merepotkan dan sempat membuat jenuh pengungsi dan pemerintah yang mengurusinya, letusan ini agak “melegakan”. Ibarat orang kebelet tapi belum bisa kentut, sekarang kentutnya sudah keluar.
Namun tentu tidak begitu bagi para ilmuwan yang terkait gunung api. Karena aktivitas Merapi ini ternyata “diikuti kawan-kawannya”, yaitu Marapi dan Talang di Sumatera Barat, Anak Krakatau di Selat Sunda, Gede dan Pangrango di Jawa Barat, Dieng di Jawa Tengah, Semeru dan Kelud di Jawa Timur, Tambora di Nusa Tenggara Barat, Lokon, Soputan dan Karangetang di Sulawesi Utara, dan Awu di Sangir Talaud.
Secara fisik, magma dalam tiap gunung api tersebut tidak selalu berhubungan langsung. Namun gunung-gunung tersebut berada pada satu lempeng benua yang saling bergerak. Para ahli geodesi telah memonitor pergerakan ini dengan cara sebagai berikut:
Pertama, mereka menentukan titik-titik pada batuan yang dianggap stabil di sejumlah tempat. Di atas titik-titik itu dipasang alat ukur posisi yang amat teliti dengan perangkat Global Positioning System (GPS). Pengukuran ini memakan waktu setidaknya tiga kali 24 jam dan harus dilakukan serentak. Dengan pengukuran teliti ini, didapatkan koordinat yang kesalahan relatifnya kurang dari 5 milimeter.
Beberapa tahun kemudian, dilakukan pengukuran ulang di tempat yang sama dengan metode serupa. Dari dua koordinat beda waktu ini, didapatkan data adanya pergerakan lempeng benua beberapa centimeter per tahun.
Kemudian pada pengukuran ketiga, didapatkan arah dan kecepatan gerakan lempeng benua tadi. Karena penelitian geodinamika ini dilakukan di seluruh dunia, maka didapatkanlah peta pergerakan lempeng benua. Lempeng ini bergerak beserta seluruh mahluk di atasnya, termasuk gunung-gunung. Dalam Qur’an tertulis:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).
Lempeng-lempeng ini memiliki ketebalan kurang-lebih 20-30 km. Karena besarnya massa lempeng ini (bayangkan batu seluas benua setebal 20-30 km), maka meski geraknya hanya 5-10 cm pertahun, energi kinetiknya sangat dahsyat. Terkadang energi ini tertahan bertahun-tahun. Artinya, ketika geodinamika mencatat pergerakan yang melambat, atau bahkan terhenti, maka kita justru harus curiga. Ketika elastisitas material di dalam bumi tidak sanggup lagi menampung energi yang tertahan ini, dia bisa “ejakulasi” dalam bentuk gempa tektonik mendadak yang sangat berbahaya (apalagi bila terjadi di laut dan menyebabkan tsunami), atau dalam bentuk muntahan material (magma) lewat gunung-gunung berapi di perbatasan lempeng. Kalau teratur, muntahan itu bisa dikendalikan dalam bentuk energi panas bumi, namun sebagian besar keluar tak terkendali dalam bentuk awan panas, lava pijar atau hujan abu.
Yang jelas, mekanisme ini sepertinya memang sengaja didesain untuk menjaga stabilitas energi geodinamik. Dalam Qur’an tertulis:
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu … (QS 16 – an-Nahl: 15).
Indonesia “beruntung” berada di perbatasan tiga lempeng utama, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia (termasuk Samudra Hindia) dan lempeng Eurasia. Dari data seismik dan vulkanik ratusan tahun, dunia juga mencatat adanya dua “cincin api” yang terbentang mengelilingi Samudra Pasifik dan mengikat dari Nusa Tenggara ke Himalaya sampai kawasan Mediterania di Eropa. 90% gempa dan 81% gempa terbesar dicatat di cincin api ini. Hebatnya lagi: dua cincin api ini bertemu di Indonesia. Kita memang berada di kawasan terpilih!
Dengan memahami cincin api ini, kita tak perlu heran ketika gunung Lascar di Chile, dan Ubinas di Peru juga “ikut-ikutan demo” bersama Merapi dan sejumlah gunung lain di Indonesia.
Banyak teori yang dilontarkan tentang penyebab pergerakan benua. Ada yang mencoba mengaitkan dengan aktivitas kosmik (revolusi bulan mengelilingi bumi, padahal distribusi massa kedua benda ini tidak merata; atau juga munculnya bintik di matahari atau “sunspots”). Teori lain menganggap itu adalah sisa energi dari proses pembentukan bumi berjuta tahun yang lalu, yang semula adalah gas dan kemudian mendingin, namun di dalamnya masih bergolak dengan api. Teori lain menganggap aktivitas itu karena proses peluruhan nuklir di dalam bumi.
Apapun penyebabnya, fakta kita di Indonesia harus hidup bersama 129 gunung api. Sebagian ahli vulkanologi meyakini, bahwa di masa lalu bisa jadi pernah terjadi letusan gunung api maha dahsyat (Supervolcano). Letusan itulah yang barangkali pernah menciptakan danau Toba – atau mungkin juga kaldera “Segorowedi” di gunung Bromo. Bahkan ada teori yang menduga bahwa punahnya dinosaurus jutaan tahun yang lalu bisa jadi bukan karena asteroid yang menabrak bumi, namun lebih karena Supervolcano ini. Yach di dunia ini serba mungkin.
Yang jelas, fenomena gempa (termasuk tsunami) dan gunung api ini adalah bagian dari mekanisme yang diberikan Allah untuk mendaur ulang material-material di dalam bumi. Dengan mekanisme ini, ada mineral seperti emas atau besi yang dinaikkan ke dekat permukaan bumi sehingga lebih mudah ditambang, atau sampah organik akan dihimpit dengan suatu tekanan sehingga nantinya menjadi tambang hidrokarbon (migas, batubara), atau juga setidaknya abu vulkanik ini akan memberi mineral tambahan bagi para petani di sekitar gunung api tersebut.
Mungkin juga, bagi bangsa yang sudah sangat terkutuk, mekanisme ini jugalah yang dipakai Allah untuk “mendaur ulang” mereka.
Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). (Qs. 35 – al-Faatir:16)
Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk bertobat. Dan potensi alam yang begitu besar di negeri ini dapat kita jadikan gardu epos untuk membaktikan potensi tersebut sebagai rahmat ke seluruh semesta.
Leave a Reply