Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Indonesia mengalami krisis listrik. Alasannya cuaca buruk berkepanjangan, sehingga pasokan batubara dengan kapal di beberapa pembangkit besar di Jawa tidak lancar. Stock habis. Beberapa pembangkit pun padam. Terjadilah defisit listrik. Tentu saja ada kritik yang mengatakan bahwa PLTU Paiton di Jawa Timur yang milik swasta tidak mengalami keadaan itu. Mereka punya perencanaan dan manajemen yang lebih baik. Jadi, apakah alasan cuaca tadi sekedar cara untuk mendorong agar PLN diprivatisasi saja?
Pembangkitan Listrik
Listrik berdaya kecil dapat dibuat secara sederhana dengan buah-buahan yang ditusuk dua elektroda dari logam yang berbeda. Namun listrik berdaya besar pada umumnya dibangkitkan dengan sebuah generator listrik. Generator ini berada pada suatu Pusat Listrik dan digerakkan dengan sumber tenaga primer, yang di Indonesia terutama berupa minyak bumi (PLTGU, PLTD), batubara (PLTU), gas (PLTG), dan air/hidro (PLTA). Untuk membangkitkan listrik sebesar 22.000 MW, Indonesia masih sedikit memakai energi panas bumi, angin, ombak, pasang surut laut atau energi surya. Sementara itu energi nuklir baru ada dalam skala reaktor penelitian di Badan Tenaga Nuklir Nasional. Grafik berikut menggambarkan komposisi energi primer PLN.
Dari komposisi di atas, penggunaan BBM beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat meski harga minyak mentah sudah menembus US$ 100/barrel dan PLN mesti membeli dari Pertamina dengan harga pasar (non subsidi). Banyak PLTGU yang sebenarnya dapat dijalankan dengan gas atau BBM, tetapi justru selama ini menggunakan BBM. Gas sebenarnya lebih murah, namun sayangnya gas Indonesia banyak dijual dengan kontrak jangka panjang ke Cina dengan harga US$ 2,8 / mmbtu. Di pasar spot saat ini gas dihargai US$ 7-8 / mmbtu.
Kapasitas PLN 22.000 MW bila dibagi jumlah penduduk Indonesia didapatkan sekitar 100 W/orang. Andai saja listrik ini hanya untuk penerangan orang per orang saja barangkali cukup. Kenyataannya listrik juga dipakai untuk industri, perkantoran, pengaturan dan penerangan jalan umum dan sebagainya. Sebagian rumah tangga juga menggunakan listrik untuk aktivitas non penerangan, seperti menyedot air, menyetrika, memasak, menghidupkan televisi hingga mendinginkan udara. Akibatnya, baru 54% rumah tangga Indonesia yang sudah menikmati listrik (PLN Statistics 2005 dalam Indonesia Energy Outlook, hlm 64).
Dari komposisi di atas dapat dipahami bahwa pembangkitan listrik amat tergantung pada pasokan bahan bakar. Realitanya, tambang bahan bakar terletak jauh di pelosok, bahkan di pulau lain, sementara pembangkit listrik harus berada lebih dekat ke konsumen untuk mengurangi susut energi pada transmisi. PLTU atau PLTG biasanya ditaruh di tepi laut untuk mempermudah mendapatkan air pendingin serta transpor bahan bakar melalui laut. Karena itu pembangkit listrik seperti ini amat terkait dengan teknologi optimasi rantai suplly bahan bakar, sejak penambangan, pemindahan, penampungan hingga pengolahan limbahnya.
Tak heran bahwa pembangkitan listrik dalam skala besar selalu merupakan sesuatu yang padat teknologi dan karenanya padat modal. Para insinyur kita mungkin mampu membuat satu generator lengkap yang teknologinya sudah menjadi public domain (karena patent dari Siemens beberapa puluh tahun yang lalu pasti sudah kedaluarsa). Namun untuk membangun satu sistem Pusat Listrik sekelas Suralaya, tentu bukan perkara sederhana. Diperlukan banyak sekali teknologi. Karena saat ini tidak ada kontraktor lokal yang siap dan berpengalaman membangun Pusat Listrik besar sebesar ini, maka sebagian besar teknologinya masih diimpor. Karena diimpor dari negara maju, harganyapun terserah mereka. Diperlukan modal sekitar 10 Trilyun Rupiah untuk membangun PLTU sekelas Suralaya. Kalau ini dilepas ke mekanisme pasar, maka yang mampu dan berani membangunnya hanya konglomerat sangat besar kelas dunia (baca: asing). Dan mereka tentu akan minta syarat-syarat yang menguntungkan, misalnya jaminan dibeli oleh pemerintah di atas tarif dasar listrik (seperti kasus Paiton). Jika tidak, maka harga pembuatan pembangkit itu akan lebih tinggi lagi. Kita didikte, karena tidak menguasai teknologi dengan sebenar-benarnya.
Interkoneksi
Volume energi yang dibangkitkan harus dibuat sedemikian rupa agar PLN mampu memenuhi kapasitas terpasang dari konsumen. Jika kapasitas terpasang 16.000 MW, maka PLN harus siap jika seluruh konsumen menyalakan listriknya sehingga tercapai beban puncak 16.000 MW tersebut. Kemudian untuk antisipasi manakala ada pembangkit yang mati, terganggu atau ada sabotase (pencurian listrik), maka PLN harus memproduksi listrik lebih banyak, yakni hingga 22000 MW. Andaikata realitas beban jauh di bawah kemampuan maksimum PLN, maka energi listrik yang terbangkitkan akan hilang karena dalam jumlah besar energi listrik tidak bisa disimpan lagi.
Demi efisiensi, sistem listrik di Jawa-Bali dibuat interkoneksi sehingga daya yang dibangkitkan dapat digunakan bersama-sama, dan padamnya satu pembangkit karena gangguan atau perawatan tidak membuat satu kawasan padam. Sistem ini memerlukan teknologi yang handal dan ”cerdas” untuk memperkirakan dan membagi beban dari jarak jauh. Karena itu dalam sistem interkoneksi ada sejumlah pembangkit yang berfungsi sebagai pembangkit ”taktis”, yang dinyalakan begitu terdeteksi adanya kenaikan beban. Pembangkit taktis ini harus relatif mudah dihidup-matikan, misalnya pada PLTA atau PLTD.
Pada sistem yang belum terinterkoneksi seperti di luar Jawa, biaya pembangkitan listrik menjadi sangat mahal. Karena TDL berlaku nasional, maka selama ini terjadi subsidi silang dari pelanggan di Jawa ke luar Jawa.
Un-bundling
Melihat teknologi PLN seperti di atas, akan terlihat bahwa untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat yang saat ini masih rendah, idealnya seluruh aktivitas pembangkitan listrik memang terpadu, baik dari rantai produksi sejak dari sumber energi primer, maupun dari interkonektivitas antar wilayah. Jadi idealnya, PLN, Pertamina dan PGN pun disatukan saja, sehingga tidak perlu PLN membeli BBM Pertamina dengan harga pasar. Demikian juga dengan kapal tanker atau pengangkut batubara, pabrik-pabrik pembuat mesin-mesin listrik dan peralatan pertambangan, serta Perhutani yang menguasai hutan-hutan pada daerah tangkapan air PLTA-PLTA pun harusnya juga satu keluarga (”holding”) dengan PLN.
Karena itu, secara teknis rencana un-bundling atau melepas bagian-bagian dari PLN secara vertikal (menjadi perusahaan pembangkitan, perusahaan transmisi, perusahaan distribusi dan perusahaan pelayanan) maupun secara horizontal (per wilayah) justru akan tidak efisien. Kalaupun saat ini ada operasional salah satu bagian dari PLN yang tidak efisien atau mis-manajemen, maka cukup bagian itu saja yang disehatkan, dan tidak harus merombak struktur PLN yang justru merupakan penyatuan beberapa perusahaan listrik pada era pasca kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, masalah PLN seharusnya tidak disimplifikasi dengan un-bundling (dan lebih jauh lebih privatisasi) atau krisis sumber energi primer akibat cuaca, tetapi adalah masalah politik teknologi untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi di balik seluruh instalasi listrik PLN, politik investasi agar negara memiliki ketahanan energi, hingga politik ekonomi energi agar semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar energi secara murah, dan tidak terhalangi memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global. Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten. Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?
Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar. Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang? Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah. Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:
Pangan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah. Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing. Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang. Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.
Energi
Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.
Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.
Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2
Solar panel terbesar di dunia, proyek GAIA di Jepang
Dulu, energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi. Namun pendapat ini kini telah berubah. PLTN mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.
Yang kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit). Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.
Transportasi
Alat transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda! Sudah banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari. Sepeda semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer.
Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Untuk transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan dibanding mobil biasa. Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar (fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan (elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen. Reaksi hidrogen-oksigen akan menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air. Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak pasar).
Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.
Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” – mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Di laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis! Layar ini dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.
Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.
kapal modern dengan layar mekanis
Informasi dan Komunikasi
Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit. Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.
Kesimpulan
Dengan demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju, yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang bernuansa penjajahan.
Teknologi yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh siapapun. Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri dari negara-negara maju.
Jadi tak benar bila semuanya urusan bisnis. Masalah transfer teknologi adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta niat baik negara maju untuk berbagi.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Beberapa waktu yang lalu dunia dikejutkan dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham BUMN Singapura Temasek di Indosat dan Telkomsel yang dianggap dapat mengancam persaingan di bisnis telekomunikasi.
Biaya telekomunikasi di Indonesia sering dikeluhkan oleh banyak pihak sebagai yang termahal di dunia. Meski sekarang banyak aksi-aksi “banting harga” dari berbagai provider telepon seluler (baik GSM maupun CDMA) namun tidak sedikit dari tawaran itu yang masih menuliskan kecil “syarat dan ketentuan berlaku”, yang ujung-ujungnya tarif-tarif itu sama saja mahalnya. Karena itu gebrakan KPPU ini dapat dianggap sebagai angin surga bagi konsumen, namun bagi investor tentu sebaliknya. Ada yang ingin membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional, karena Indonesia dianggap mengingkari perjanjian internasional.
Apapun yang nanti terjadi, kenyataan ini menyadarkan kita semua akan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK adalah dunia yang sangat pesat kemajuannya, sangat signifikan pengaruhnya pada ekonomi, dan sangat besar dampaknya dalam kehidupan sosial budaya.
TIK adalah teknologi yang menggunakan listrik arus lemah untuk penyaluran isyarat (informasi), baik searah maupun dua arah (komunikasi). Dalam kehidupan sehari-hari, teknologi informasi biasanya diasosiasikan dengan persinyalan dan penggunaan komputer. Sedang teknologi komunikasi diasosiasikan dengan telepon, radio dan televisi. Internet masuk dalam keduanya, karena dapat menyalurkan informasi maupun digunakan untuk komunikasi. Internet adalah konvergensi semua teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi pada bentuknya yang sekarang, ketika internet dapat diakses oleh telepon genggam dengan fasilitas 3G.
Pesatnya TIK dapat digambarkan pada perkembangan kemampuan dan harga komputer. Pada tahun 1987 sebuah komputer pribadi dengan prosesor Intel 80386SX – 20 MHz, 2 MB RAM dan 40 MB Harddisk harganya sekitar USD 4000,- Tahun 2007 dengan uang yang sama, kita bisa mendapatkan 10 komputer pribadi yang prosesornya Pentium 4 – 1 GHz, 1 GB RAM dan 40 GB Harddisk. Faktor peningkatan kemampuannya adalah 50x (prosesor), 500x (RAM) dan 1000x (Harddisk). Kalau diambil yang terrendah berarti performance naik 50x, dan harga turun 10x! Jadi performance meningkat 500 kali (!) dalam 20 tahun. Jadi kemajuan TIK ini adalah sekitar 25 kali per tahun (!).
Dengan gambaran ini, tak heran bahwa para investor TIK harus saling berpacu dengan para inventor. Ketika suatu penemuan TIK dinilai layak industri, maka investor harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk dapat menguasai pasar. Kalau investasi ini belum kembali lalu sudah ada penemuan baru, maka investasi yang pertama akan hangus. Karena itu, dibuatlah strategi pengamanan, yang bila perlu penemuan baru ini tidak dikeluarkan dulu.
Dan karena para investor ini adalah perusahaan asing, maka jadilah mekanisme “pengamanan” dilakukan oleh mereka. Tarif telekomunikasi dibiarkan saja tetap mahal seperti sekarang, meski kini banyak bermunculan teknologi baru yang jauh lebih murah.
Di bidang telepon misalnya, teknologi Voice over Internet Protokol (VoIP) sudah tidak lagi bisa dibendung. Orang yang memiliki akses internet akan mendapatkan bahwa komunikasi yang paling murah, bahkan gratis (di luar biaya koneksi internet) adalah dengan Yahoo-Messenger (messenger.yahoo.com), Google-Talk (google.com/talk) atau Skype (skype.com). Skype bahkan bisa menghubungi ke telepon biasa maupun ponsel di luar internet (Skype-Out) atau dihubungi dari luar (Skype-In). Tarifnya pun hanya tergantung negara sasaran, untuk telepon ke Eropa dari seluruh dunia biaya permenitnya hanya 2 Eurocent (sekitar Rp. 275,-). Bandingkan dengan tarif pulsa telpon lokal dari Telkom yang Rp. 250,- per pulsa (3 menit). Google bahkan lebih jauh lagi mencanangkan proyek telepon gratis, yakni telepon dengan inada sambung berisi iklan.
Dengan VoIP ini telekonferensi juga dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Anehnya, fasilitas ini masih jarang digunakan. Kita teringat bagaimana peradilan masih memilih telekonferensi berbiaya tinggi saat meminta keterangan saksi atau saksi ahli di luar negeri.
Kemampuan telekomunikasi saat ini sudah dapat digunakan untuk teleworking, yaitu tatkala pekerja pada beberapa sektor (terutama sektor jasa atau informasi) tidak harus ke kantor, cukup bekerja dari laptop atau PDA masing-masing. Kalau hal ini dilakukan, tentu amat menghemat energi untuk transportasi, mengurangi kemacetan dan polusi udara (sekaligus pemanasan global!), menghemat biaya ruang kantor dan para pekerja dapat mengalihkan waktu 2-4 jam yang semula habis di jalan untuk keluarga. Teleworking akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Tinggal adaptasi budaya saja yang harus disiapkan.
Bahkan penyelenggaraan pemilu atau pilkada dapat dihemat sangat signifikan dengan telekomunikasi. Di sejumlah negara maju, pemilu dilakukan dengan suatu alat serupa tablet-PC dengan pemindai sidik jari dan layar sentuh. Alat ini dapat dihubungkan langsung ke server database KPU via saluran telepon atau telepon satelit untuk daerah terpencil. Di dalam alat itu juga dipasang GPS sehingga posisi keberadaan alat itu di TPS dapat dikontrol. Seluruh sistem ini secara aliran informasi sudah diaudit seperti layaknya sistem ATM milik perbankan, sehingga kerahasiaan pilihan dan keamanan data tetap dijamin. Dengan sistem ini, hasil pemilu dapat diketahui sore itu juga, dan konsistensi angka di level TPS dengan rekapitulasi nasional dapat terjamin. Kalau di seluruh Indonesia ada 70.000 desa, dan untuk setiap desa cukup piranti TI seharga Rp. 15 juta termasuk pelatihan, maka biayanya hanya sekitar Rp. 1 Trilyun. Alat ini asal tidak rusak juga dapat dipakai berkali-kali, tidak perlu membuat surat suara, kotak suara dan bilik suara baru. Juga dapat menghemat proses perhitungan. Tentu sangat murah dibandingkan dengan usulan anggaran KPU yang lebih dari Rp. 49 Trilyun. Jika sebagian besar perangkat keras dan lunak untuk Pemilu seperti ini dapat diproduksi di dalam negeri, tentu suatu impuls yang lumayan untuk membangkitkan industri TIK dalam negeri. Beberapa negara lain boleh jadi akan memesan sistem semacam ini ke kita.
Sayangnya tingkat melek TIK dan akses TIK di Indonesia masih amat rendah, sekalipun di Indonesia kini ada 70 juta pengguna ponsel. Kalau akses ini sudah tinggi, akan mudah menghidupkan e-learning, e-bisnis dan e-government, suatu layanan pendidikan, bisnis atau pemerintahan secara elektronik, terutama via internet. Pelajar dan mahasiswa tak perlu mengeluhkan kurangnya buku di perpustakaan mereka, karena semua bisa didapat di internet. Isi situs ensiklopedia seperti en.wikipedia.org malah praktis tumbuh dan diupdate tiap hari. Demikian juga dengan peta seluruh dunia seperti di earth.google.com. Mahasiswa yang sedang penelitian juga dapat melihat jurnal, perpustakaan bahkan database paten dari mana saja (misalnya di www.uspto.gov – kantor paten Amerika). Ide pun akan lebih mudah dicari, sementara plagiat (penjiplakan) karya tulis ilmiah lebih mudah terdeteksi dan diatasi.
Seperti biasa, dunia bisnis memang jauh lebih tanggap. Beberapa maskapai penerbangan (misal AirAsia, Garuda) sudah menggunakan e-ticket. Tiket pesawat cukup dipesan via internet atau sms, juga dibayar dengan e- atau sms-banking. Beberapa toko juga sudah mulai menikmati tumbuhnya pasar seperti ini. Mereka mengembangkan mekanisme agar transaksi tetap dapat berjalan aman untuk kedua pihak, sekalipun payung hukumnya belum ada.
Di sisi dakwah, sebagian gerakan Islam sudah dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan TIK dengan cerdas. Informasi lebih mudah didapat ataupun disajikan via internet. Sebagian besar website bahkan bersifat dinamis dan interaktif. Namun ada juga kalangan yang pesimis dan ingin agar TIK dibatasi, karena khawatir disalahgunakan untuk menyebarkan pornografi. Namun secara teknis sebenarnya arus pornografi ini mudah difilter, dan secara budaya rating pornografi kini sudah dikalahkan oleh situs-situs komunitas yang bersifat interaktif.
Di bidang pemerintahan, TIK dapat dipakai pemerintah untuk mengumumkan seluruh aturan hukum di internet (baik yang masih rancangan maupun yang sudah disahkan), tender-tender (e-procurement), melayani pembayaran pajak (termasuk pajak kendaraan), pemesanan KTP/KK baru, hingga peringatan dini dan manajemen bencana. Pada situasi banyak bencana seperti saat ini, tersedianya informasi di internet yang cukup atas kondisi aktual di lapangan, jenis bantuan yang dibutuhkan, akses mencapai daerah itu dan sebagainya, tentu akan sangat membantu para relawan maupun orang yang ingin menyumbang untuk memulihkan situasi daerah korban.
Sekarang pun, asal ada kemauan kuat, sebenarnya sebagian besar layanan ini sudah bisa dikerjakan dalam hitungan hari. Teknologinya sudah tersedia. Namun kembali, masalah kemauan adalah masalah yang berkaitan dengan visi dan prinsip. Teknologi itu hanya alat. Jika para pelaku pelayanan publik ini melihat bahwa barangsiapa memudahkan urusan orang banyak Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akherat nanti, tentu seluruh teknologi informasi dan komunikasi ini akan diupayakan secara maksimal untuk memudahkan urusan pelayanan seluruh ummat.
Tetapi sepertinya, dalam iklim kapitalisme sekuler seperti sekarang ini, hal itu baru terwujud di “Republik Mimpi”. Apa ya harus menunggu “revolusi” dulu? Atau justru setiap muslim, terutama yang bekerja di sektor publik, sekarang juga perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga ketika sistem yang lebih manusiawi (khilafah) berdiri, seluruh SDM dan teknologinya sudah siap. Wallahu a’lam.