Dr. Fahmi Amhar
Pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, Departemen Komunikasi dan Informatika (kominfo) mendapat bos baru, salah seorang mantan petinggi parpol Islam. Mungkin bagi sebagian orang, hadirnya seorang “ustadz” di dunia kominfo diharapkan dapat membersihkan dunia media massa dan telekomunikasi – termasuk internet – dari segala hal yang kurang islami, seperti pornografi, tayangan kekerasan, mistik hingga gossip yang menyaru sebagai infotainment. Sebaliknya, fasilitas-fasilitas itu dimanfaatkan secara maksimal untuk mencerdaskan anak bangsa, meningkatkan ketaqwaan, memberi motivasi, tetapi juga kritis kepada kebijakan publik yang tidak berpijak pada kebenaran dan keadilan.
Dunia kominfo adalah dunia yang amat sangat cepat berkembang. Nyaris seluruh teknologi yang digunakan dewasa ini, seperti komputer, multimedia, internet, televisi digital, dan telepon seluler baru dipakai luas dalam tiga dekade terakhir. Kalangan keagamaan sering merasa kerepotan karena banyak sekali aktivitas muamalah via saluran kominfo yang bagi mereka masih abu-abu. Misal jual beli melalui e-commerce, perjanjian via internet atau selingkuh di dunia maya?
Di sisi lain, memang didapati realita bahwa masih ada jurang komunikasi dan informasi di masyarakat yang menyebabkan orang-orang dengan akses informasi lebih diuntungkan dalam segala aspek kehidupan. Mereka jadi tahu harga pasaran produk pertanian, jadi tahu kapan harus berganti pola tanam karena bakal ada perubahan musim dan sebaiknya. Sebaliknya, mereka dengan akses terbatas menjadi serba tertinggal, termarjinalkan, dan termiskinkan.
Timbul pertanyaan, apakah fenomena kominfo ini belum pernah terjadi dalam sejarah Islam? Daulah Islam di masa lalu mencakup wilayah yang sangat luas, membentang dari tepian Atlantik hingga tepian Pasifik, dari pegunungan Ural sampai gunung Kilimanjaro. Bagaimana cara-cara mereka dulu berkomunikasi, menyebarkan informasi dan membangun masyarakat yang beradab, kuat dan bermartabat dengan teknologi yang ada saat itu? Sejauh apa kontribusi ilmuwan muslim bagi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi?
Dalam rangka pengumpulan atau koleksi informasi, sejak tahun 650-M, para khalifah bani Umayyah sudah memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah dari Mesir dan India. Usaha ini makin massif sekitar seabad kemudian, ketika pada tahun 763-M, Khalifah Harun al Rasyid dari bani Abbasiyah mendirikan Baitul Hikmah, semacam Akademi Ilmu Pengetahuan, tempat informasi dikumpulkan, disaring, diuji kembali dan ditata rapi sebagai suatu “asset” dalam suatu “organization of knowledge”.
Pada 794-M berdiri pabrik kertas pertama di Baghdad. Dengan demikian, penyebaran atau diseminasi informasi ke masyarakat dapat dilakukan jauh lebih efisien. Sebelumnya kertas hanya dibuat secara individual dalam jumlah terbatas.
Dalam hal penyaluran atau transmisi informasi, pada abad pertengahan, komunikasi jarak jauh dilakukan dengan kurir berkuda, burung merpati pos atau dengan sinyal-sinyal api. Kurir berkuda atau merpati pos memerlukan waktu tempuh 50 km/jam atau 120 km/jam dan setelah beberapa waktu harus dilakukan estafet. Sinyal api dapat bergerak lebih cepat, namun memerlukan menara-menara yang dibangun di puncak-puncak gunung atau setiap jarak 30 kilometer dengan petugas jaga untuk menerima dan meneruskan sinyal. Namun karena kapasitas informasinya terbatas, sinyal api memerlukan perjanjian terlebih dulu tentang makna di balik setiap sinyal.
Setiap transmisi informasi ada peluang disadap oleh pihak yang tidak berhak. Karena itu para ilmuwan muslim juga mendalami teknik untuk merahasiakan pesan, sehingga sekalipun informasi jatuh ke pihak asing, mereka tidak mampu memahaminya. Sekitar 850-M, al-Kindi menulis makalah tentang mengunci dan membuka pesan terenkripsi. Inilah dasar cryptography. Pekerjaan ini dimungkinkan setelah tahun 820-M al-Khawarizmi merumuskan metode memecahkan persamaan linear dalam kitabnya al-Jabar wal Muqabalah. Lalu pada 825-M beliau menulis cara menggunakan angka India. Buku ini yang tersisa adalah edisi bahasa Latin yang berjudul Algoritmi de numero Indorum. Dari sinilah muncul istilah “algoritma” – yang semula adalah kesalahan dari penerjemahnya ketika menyangka nama penulisnya (al-Khawarizmi) adalah bagian dari judul dari buku tersebut. Kini istilah algoritma adalah istilah paling lazim dalam setiap pemrograman komputer. Tentang mesin yang dapat diprogram itu sendiri, pada 1206-M, al-Jazari sudah menciptakan mesin orkestra yang dapat diprogram, meski masih digerakkan oleh manusia atau tenaga air.
Teknologi kominfo saat ini juga tak akan lepas dari penggunaan gelombang elektro-magnetik. Sesungguhnya dasar-dasar elektromagnetik dibuat oleh ibn al-Haytsam (Alhazen) yang pada 1021-M menerbitkan bukunya tentang teori cahaya yang menjadi dasar lebih lanjut para fisikawan mempelajari gelombang elektro-magnetik.
Penggunaan satu kanal cahaya atau gelombang elektro-magnetik sebagai medium komunikasi dalam waktu singkat menunjukkan keterbatasan kapasitasnya. Untuk itu informasi perlu dipampatkan (dikompres). Di zaman modern, teknologi CDMA adalah contoh bagaimana kapasitas kanal bisa diperbesar dengan pemampatan terkode (Code Division Multiple Access). Dasar-dasar teknik pemampatan ini diletakkan pada sekitar tahun 1400-M oleh Ahmad al-Qalqasyandi, yang memberikan daftar kunci dalam kitabnya “Subh al-a’sya” yang mencakup baik substitusi maupun transposisi, dan untuk pertama kalinya suatu kunci dengan substitusi ganda untuk sembarang teks terbuka. Ini adalah dasar analisis frekuensi yang dipakai untuk kompresi data dalam komunikasi modern.
Dengan demikian, meski ketika negara khilafah tegak, komunikasi radio belum ditemukan, apalagi komputer dan internet, namun para ilmuwan muslim telah membangun dasar-dasar bagi suatu revolusi komunikasi dan informasi di kemudian hari. Dan meski dalam ukuran sekarang teknologi saat itu masih cukup sederhana, namun negara khilafah telah menggunakannya secara efisien dan efektif untuk mengumpulkan informasi, menyalurkannya ke segala penjuru secara aman, mengelolanya menjadi asset pengetahuan yang rapi, dan menyebarkan ke masyarakat sehingga masyarakat menjadi cerdas.
Bukti tak terbantahkan dari itu semua adalah bahwa saat itu negara khilafah menjadi negara paling luas, paling kuat, paling beradab dan paling bermartabat selama beberapa abad.
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang anda pikirkan tentang kincir angin? Energi alternatif, yang bersih dan terbarukan? Negeri Belanda nan elok yang dijuluki Negeri Kincir Angin, karena sejak berabad-abad telah secara massif menggunakan kincir angin baik untuk menggiling gandum maupun untuk memompa air demi mengeringkan negerinya yang lebih rendah dari laut? Apapun yang anda pilih, bila anda menyangka Negeri Belanda adalah negeri kincir angin pertama, boleh jadi anda keliru.
Yang benar, negeri kincir angin pertama-tama pastilah suatu wilayah dalam Daulah Khilafah. Daulah Khilafah memiliki banyak wilayah yang kering, di mana air saja cukup langka, apalagi sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Karena itu, di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin dapat dikembangkan sebagai alternatif sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara. Dan kincir angin pertama kali digunakan di propinsi Sistan, Iran timur sebagaimana dicatat oleh geografer Istakhri pada abad ke-9 M. Jadi masuk akal bila Sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam” (Joseph Needham, 1986. Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2, Mechanical Engineering. Taipei: Caves Books Ltd. Vol 4).
Kincir angin pertama memiliki sumbu vertikal dan terbuat dari enam hingga duabelas layar yang terbuat dari textil dan dipakai untuk menggiling biji-bijian atau menaikkan air, dan bentuknya agak berbeda dari yang belakangan dipakai di Eropa. Deskripsi rinci alat ini terdapat pada Kitab Nukhbat al-Dahr karya Al-Dimasyqi, ditulis sekitar 700 H / 1300 M. Dari sini dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah terdapat kincir angin bersumbu horizontal yang dikelilingi dinding-dinding penahan angin kecuali pada satu sisi. Kincir angin ini mulai dipakai di Mesir untuk menggiling tebu dan akhirnya dipakai meluas di seluruh wilayah khilafah pada abad ke-12 M dan mencapai Eropa melalui Spanyol (Kaveh Farrokh, 2007, Shadows in the Desert, Osprey Publishing)
Di Eropa, bentuk kincir angin lambat laun dimodifikasi sehingga memungkinkan kincir untuk menyesuaikan arah hadapnya dengan arah angin yang di Eropa Utara sering berubah-ubah sehingga dapat beroperasi lebih ekonomis. Rancangan dasarnya digambarkan besar-besar di buku Machinae Novae (Mesin-mesin Baru) dari tahun 1615 karya uskup sekaligus insinyur Fauntus Verantius. Needham berpikir bahwa “hal ini jelas merupakan penyebaran ke arah barat dari kebudayaan Iberia yang dulunya berasal dari Spanyol Muslim”.
Adanya kincir angin di Tarrragona, Spanyol selama masa pemerintahan Islam dituliskan oleh para penulis Muslim, misalnya dalam Kitab al-Rawd al Mi’tar (Kitab Taman yang Haram) karya al-Himyari pada tahun 661 H / 1262 M.
Beberapa pihak mengasumsikan bahwa kincir-kincir angin di Eropa adalah temuan asli Eropa. Namun yang jelas kemunculan kincir angin di Eropa adalah lebih lambat beberapa abad dari pada di dunia Islam.
Dengan datangnya revolusi industri, nilai penting kincir angin sebagai sumber energi primer untuk industri lambat laun tergeser oleh mesin uap atau mesin berbahan bakar fosil, kecuali di tempat-tempat yang memang terisolasi atau terpencil.
Namun demikian, krisis energi akhir-akhir ini menjadi momentum kebangkitan kembali kincir angin. Kincir angin modern dihubungkan dengan generator dan disebut “generator angin”. Satu generator angin terbesar sanggup menghasilkan listrik 6 MW (bandingkan dengan satu generator uap besar yang mampu menghasilkan listrik antara 500 sampai 1300 MW). Kebangkitan energi angin ini seharusnya juga terjadi di wilayah Daulah Khilafah yang dulu pernah memiliki kincir angin terbanyak di dunia.
Perbandingan ilmuwan, saintek dan produknya dalam sistem Islam vs sistem lainnya
Dr. Fahmi Amhar
Benarkah saintek bebas nilai sehingga dapat diambil dari mana saja? Ataukah tidak, sehingga demi kehati-hatian semuanya harus difilter dan “diislamkan” lebih dulu?
Mereka yang menganggap saintek bebas nilai, memberi contoh bagaimana Rasulullah menyuruh para sahabat belajar sampai ke Cina, yang tentunya bukan belajar ilmu agama tetapi saintek, hingga mereka dapat menguasai matematika, pembuatan kertas hingga cara membuat mesiu. Saintek ini kemudian juga dikembangkan lebih lanjut secara sangat kreatif oleh para ilmuwan muslim.
Sedang yang menganggap saintek tidak bebas nilai menyebut teori evolusi Darwin, determinisme Newton yang menolak peran Tuhan dalam mekanisme alam hingga penggunaan senjata pemusnah massal. Lahirnya teori-teori ekonomi komunis maupun neoliberal pun dianggap bukti bahwa saintek tidak bebas nilai. Saintek yang bersandar pada sesuatu di luar Islam terbukti bermasalah, dan ilmuwan yang menekuninya lebih sering dihitung sebagai ilmuwan sekuler, yakni ilmuwan yang memandang bahwa agama tidak perlu dilibatkan dalam pengaturan urusan kehidupan publik.
Fakta, dua kelompok tadi berikut contohnya memang ada. Kekeliruan menaruh suatu objek saintek pada suatu kelompok dapat berakibat fatal. Masih di masa sahabat, kaum muslim sudah menuliskan mushaf al-Quran di atas kertas yang teknologinya baru saja dipelajari dari Cina. Namun mereka menunda beberapa abad untuk mencetak al-Quran dengan mesin cetak yang ditemukan Guttenberg dari Jerman. Kehadiran mesin cetak disambut dengan curiga seperti menghadapi masuknya teori evolusi. Memang saat itu, kemajuan saintek dinisbatkan pada sekulerisme. Akibatnya penolakan terhadap sekulerisme dianggap juga penolakan terhadap saintek Barat yang berkembang setelah munculnya ideologi sekuler.
Tampak di sini bahwa selepas abad-10 H (abad-17 M) taraf berpikir kaum muslim mulai mundur sehingga tak dapat lagi membandingkan secara jernih saintek mana yang bebas nilai dan mana yang tidak. Tulisan singkat ini berupaya memberi pencerahan agar kaum muslim dapat secara jernih membandingkan dua mazhab riset sains & teknologi – yakni Islam vs sistem lainnya, terutama sistem sekuler yang dominan di masa sekarang.
Untuk melakukan komparasi mazhab ristek tersebut memang perlu diperjelas parameter yang dibandingkan. Salah satu parameter yang paling menyeluruh adalah telaah menurut tiga aspek filsafat ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas hal-hal yang terkait mengapa suatu penelitian atas objek tertentu perlu dilakukan. Epistemologi membahas tentang tata cara suatu penelitian harus dilakukan. Sedang aksiologi membahas sejauh mana hasil penelitian dapat digunakan.
Ilmuwan Muslim
Ilmuwan muslim akan berontologi dengan (1) kebutuhan yang merupakan hajatul udhowiyah atau kewajiban syar’iyyah, tetapi dapat juga (2) terinspirasi suatu ayat Quran yang bermuatan pertanyaan yang dapat dikaji lanjut secara ilmiah, atau (3) termotivasi oleh suatu ayat Quran yang memberikan tantangan, yang mau tak mau berarti pengembangkan saintek terkait.
Contoh:
(1) Seorang ilmuwan muslim akan tergelitik untuk meneliti sehingga seluruh kebutuhan yang termasuk hajatul udhowiyah (atau disebut kebutuhan asasi seperti sandang-pangan-papan) dapat dipenuhi dengan baik. Selain itu juga agar seluruh kewajiban syar’iyah dapat terlaksana. Konon Imam Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar karena ingin membantu membagi waris dengan akurat.
(2) Ada ratusan ayat-ayat Qur’an yang seharusnya memberi inspirasi riset saintek pada ilmuwan muslim. Ayat tentang surga saja masih dapat memberikan inspirasi riset, misalnya:
وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيلًا
Di surga itu mereka diberi segelas minum yang campurannya adalah jahe. (QS. 76:17).
Seorang ilmuwan muslim pantas untuk tergelitik untuk meneliti jahe, ada apa di dalam jahe sehingga disebut sebagai campuran minuman ahli surga?
(3) Seorang muslim – apalagi ilmuwan – akan merasa tertantang oleh ayat-ayat Qur’an seperti ini:
Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. … (QS. 3:110)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya …. (QS. 8:60)
Dua ayat di atas mendorong kaum muslim untuk menjadi yang terbaik, yakni yang mampu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar di dunia, sedang untuk itu diperlukan kekuatan apa saja. Ketika musuhnya memiliki senjata nuklir, maka berarti ilmuwan muslim wajib mengembangkan saintek nuklir yang lebih hebat.
Kemudian secara epistemologi, ilmuwan muslim akan melakukannya dengan cara-cara yang dibatasi syariat: (1) tidak menolak suatu pernyataan yang harus diimani secara aqidah (yang tentu saja memerlukan dalil qath’i), dan (2) berjalan sesuai koridor perintah dan larangan.
Contoh:
(1) Seorang ilmuwan muslim tak akan meragukan bahwa malaikat itu ada. Maka dia akan mengarahkan penelitiannya tidak untuk menjawab apakah malaikat itu ada atau tidak (yang memang bukan domain riset saintek), tetapi mungkin dia dapat meneliti korelasi antara keimanan kepada malaikat dengan integritas pada kelompok sample masyarakat tertentu.
(2) Seorang ilmuwan muslim tak akan membiarkan suatu maksiat terjadi sekalipun demi kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu percobaan cloning pada manusia harus dilarang, karena bila berhasil berkonsekuensi melahirkan manusia tanpa nasab (yang akan menimbulkan berbagai masalah syara’), dan bila manusia itu ternyata memiliki sifat monster sehingga harus dibunuh, maka ini juga maksiat.
Sedang secara aksiologi, produk saintek ilmuwan muslim dikembangkan atau didesain sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat sebesar-sebesarnya sesuai syariat dan tidak disalahgunakan untuk aktivitas yang tidak syar’i.
Contoh:
Ilmuwan Sekuler
Sementara itu ilmuwan sekuler akan berontologi pada (1) kepuasan batin peneliti atau (2) kebutuhan dalam masyarakat kapitalis. Mereka akan tertarik untuk meneliti apa saja yang memberikan kepuasan batin, memenuhi selera konsumsi atau menjaga agar mereka tetap dalam standar hidup yang telah diraih. Walhasil banyak usaha yang dikeluarkan untuk suatu riset yang tidak menjawab masalah apa-apa kecuali keingintahuan sang peneliti, atau riset yang justru memperbudak manusia pada teknologi, atau memperbudak (menjajah) suatu masyarakat pada pihak yang menguasai teknologi.
Contoh:
Epistemologinya juga pada dasarnya bebas, tidak ingin diatur, sekalipun oleh hukum.
Contoh:
Sedang aksiologinya adalah yang memberi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Contoh:
Kesimpulan
Dengan demikian jelas bahwa memang ada bedanya antara saintek yang dikembangkan dalam sistem Islam dari sistem selain itu. Ada produk saintek yang tidak kompatibel dengan Islam. Dan uji ontologi, epistemologi maupun aksiologi ternyata dapat digunakan untuk memilah saintek mana yang kompatibel dari yang tidak.