Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi untuk Menutup Aurat

Friday, March 5th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

 

Pernahkah anda mendengar istilah “industri kreatif”?  Di era perdagangan bebas sekarang ini, konon industri yang akan bertahan terhadap “serangan” produk massal dari Cina adalah “industri yang tidak massal”, karena dibuat dengan melibatkan intelektualitas SDM yang dimiliki.  Di Departemen Perdagangan RI, yang dicatat sebagai industri kreatif ada 15, yakni (1) jasa periklanan; (2) arsitektur; (3) seni rupa; (4) kerajinan; (5) desain; (6) mode (feisyen); (7) film; (8) musik; (9) seni pertunjukan; (10) penerbitan; (11) riset dan pengembangan; (12) piranti lunak; (13) televisi dan radio; (14) mainan; dan (15) video game.  Dari 15 macam ini yang kontribusinya pada PDB paling besar adalah fesyen (43,71 %), diikuti oleh kerajinan (25,51%), dan sisanya masing-masing lebih kecil dari 10%, bahkan untuk riset dan pengembangan kurang dari 1%,

Kalau kita bicara feisyen maka kita bicara tentang dua hal: pertama tentang bahan baku feisyen, yaitu tekstil; dan kedua tentang tujuan feisyen yaitu berpakaian, yang menurut pandangan Islam adalah menutup aurat.  Karena itu teknologi feisyen yang islami adalah teknologi untuk menutup aurat.

Industri tekstil termasuk industri pelopor pada masa Islam.  Ini wajar karena menutup aurat adalah kewajiban sekaligus kebutuhan dasar masyarakat.  Pengaruh industri tekstil di masa Islam tampak dari kata-kata Arab untuk tekstil yang ada pada bahasa-bahasa Eropa, misalnya kata damask, muslin dan mohair  dalam bahasa Inggris.

Serat tertua yang digunakan dalam tekstil Muslim adalah wol.  Lapisan bulu bagian dalam domba Angora yang disebut mohair (dari bahasa Arab mukhayyar) digunakan untuk syal yang halus dan bagian yang lembut pada jas, sedang bulu onta digunakan untuk bahan-bahan lain.

Domba dicukur dengan sebuah gunting besar dan sebelum dipintal, wol mentah ini terlebih dulu disortir berdasarkan kualitas, kemudian dibersihkan, dihilangkan lemaknya dan disisir.

Dari zaman Fir’aun, Mesir terkenal dengan linennya, tetapi di zaman Islam pembuatan linen menyebar ke Iran dan negeri Islam lain.  Rami dari Mesir diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa, mendominasi pasar sampai tahun 1300 M.  Rami diproses untuk diambil seratnya.

Kapas dikenal di India dan Mesir kuno, tetapi baru setelah kedatangan Islam kapas menjadi bahan baku tekstil yang penting.  Salah satu hasil revolusi pertanian Muslim adalah penyebaran tanaman kapas ke seluruh wilayah Islam, ke Timur maupun Barat.  Umat Islam jugalah yang memperkenalkan industri tekstil kapas ke Spanyol di abad-2 M (abad-8 H).  Di sini tanaman kapas tumbuh subur sebelum menyebar ke Perancis abad-12 M, ke Belgia abad-13 M, ke Jerman abad-14 M dan ke Inggris seabad kemudian.  Dia juga menjadi faktor utama revolusi industri tiga abad belakangan.

Di pabrik, buah kapas diproses sebelum dipintal.  Serat dipisahkan dari bijinya, kemudian dibersihkan dari pengotor.  Petunjuk untuk memperkirakan kualitas kapas yang telah dipisahkan dan bebas dari biji serta kulit diberikan dalam sebuah manual (alhisba) yang disiapkan sebagai panduan bagi para muhtasib.

Selain wol, serat rami dan kapas, sutera juga menjadi bahan baku tekstil.  Bahan baku sutera diperoleh dari kokon ulat sutera yang dijemur di terik matahari atau direndam air mendidih hingga larva di dalamnya mati.  Kemudian filamen dari kokon itu digulung atau dipintal seperti wol atau kapas.

Industri sutera dibawa dari Cina sebelum zaman Islam.  Namun di masa Islamlah pabrikasi sutera menjadi hal penting sehingga akhirnya “sutera Islam” menggantikan sutera Byzantium di pasaran Eropa dan mendominasi hingga abad-13 M.  Sutera tetap menjadi komoditas ekspor terpenting masyarakat Islam ke Barat hingga abad-19 M.  Sutera-sutera ini bertuliskan Arab setidaknya untuk menunjukkan tempat dan tahun pembuatan.  Tak heran, hingga kini, masih ada kain penutup dari sutera di berbagai gereja di Barat yang bertemakan penggalan kalimat syahadat Islam.

Mesin pintal untuk membuat benang dari berbagai bahan tadi mengalami evolusi sejak zaman Cina kuno hingga bentuknya yang sempurna di zaman Revolusi Industri.  Ibnu Miskawayh (wafat 1030 M) dalam Kitab Tajari al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa) memberikan deskripsi tentang mesin pemintal sutera di masanya yang sudah terdiri dari banyak gelondong.  Dalam kitab Maqamat  karya al-Hariri (1237 M) terdapat ilustrasi tentang seorang gadis yang bekerja pada roda pemintal.

Setelah pemintalan dilakukan serangkauan persiapan sebelum penenunan (untuk membuat kain dari benang).  Prinsip dasarnya adalah menganyam seberkas benang.  Meski perkakas tenun sudah ada sejak zaman pra Islam, para insinyur muslim menambahkan beberapa komponen yang signifikan, misal pedal untuk menaik-turunkan benang.  Jika salah satu pedal ditekan, kumparan dilontarkan dari satu tangan ke tangan lain melalui sela di antara benang-benang, lalu ditimpa dengan sisir benang, kemudian pedal yang lain ditekan untuk membuka bukaan yang berlawanan, kumparan kembali melintas dan benang kembali ke tempat semula.  Demikianlah seterusnya, dan semua ini terjadi dengan sangat cepat.

Proses tenun ini bahkan bisa didesain dengan berbagai jenis dan warna benang sehingga membentuk pola atau motif tertentu.  Deskripsi menarik tentang perkakas tenun gambar ini dilaporkan oleh al-Nuwairi (wafat 1376 M).

Ibn al-Mubarrid (abad-16 M) menulis dalam Kitab al-Hisba tentang 100 tipe penenun!  Dia memberikan daftar tentang sepuluh jenis penenun katun, lebih dari dua puluh penenun linen, lebih dari empat puluh untuk sutera, lebih dari sepuluh untuk permadani dan karpet, dan lebih dari lima untuk kanvas dan karung goni.

Banyak profesi terkait dengan industri tekstil.  Mulai dari saudagar penjual pakaian baru, pedagang pakaian bekas dan kain lap, pedagang sutera dan benang, pengelantang, pengempa, pencelup, pemintal dan berbagai pengrajin lain.  Seorang muhtasib bertugas mengawasi mutu dan pelaksanaan peraturan-peraturan pemerintah, sehingga seluruh profesi ini berhasil menyediakan penutup aurat yang bermutu tinggi dan sesuai selera konsumen.

Pada zaman sekarang, ketika tekstil yang tahan lama telah dapat diproduksi dengan murah, dunia feisyen lalu didorong agar produk industri tekstil tetap dapat diserap pasar.  Feisyen menjadi industri kreatif nomor satu.  Pertanyaannya, apakah tujuan semula untuk menutup aurat telah tercapai?  Mungkin diperlukan kembali institusi hisbah untuk mengawasinya.

 

 

Alat Tenun Bukan Mesin

 

 

Mesin Pintal Modern

Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia adalah negara kepulauan.  Konon ada lebih dari 13.000 pulau di sana.  Garis pantainya lebih dari 90.000 kilometer.  Luasnya hampir delapan juta kilometer persegi.  Namun hasil laut kita cuma sepersepuluh Cina yang negara benua.  Demikian juga Angkatan Laut kita teramat kecil, jauh lebih kecil dari Angkatan Darat.  Kapal perang hanya 148 dari jumlah ideal 500 untuk menjaga seluruh batas perairan.  Dan itupun tidak semua berlayar.  Ada yang tidak lengkap suku cadangnya atau tidak punya solar.  Kita cuma punya dua kapal selam, padahal Singapura yang hanya sebuah pulau kecil saja punya 20 kapal selam.  Tak heran jika hasil laut kita lebih banyak dijarah kapal-kapal asing (illegal fishing).  Dan kita tidak mampu berbuat banyak.  Bagaimana mau mengejar kalau kapal-kapal asing itu dapat berenang lebih cepat?

Mungkin semua ini karena kita tidak punya visi negara adidaya.  Sebuah negara adidaya, atau yang bervisi menjadi adidaya, pasti membangun kekuatan lautnya.  Amerika Serikat contohnya.  Angkatan laut AS jauh lebih besar dari angkatan daratnya.  Juga Cina yang galangan kapalnya mampu membangun 400 kapal setiap tahun!  Dan jangan lupa: Daulah Islam pun ternyata demikian.

Adalah Umar bin Khattab yang memutuskan membangun armada muslim demi menghadapi Romawi.  Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah.  Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien.  Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum muslim harus membangun angkatan laut.

Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian.  Ada pelaut yang mengoperasikan kapal.  Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah.  Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan kemana mereka harus menuju.  Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat.  Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi.  Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup.  Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar.  Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal.  Seluruh hal-hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.

Ketika angkatan laut muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan.  Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Qur’an ataupun Hadits Rasulullah, bahwa kaum muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma.  Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan.  Maka sebagian kaum muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi.  Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang.  Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas.  Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta.  Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.

Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang.  Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pingir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah.  Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1500 orang.  Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Semua kapal muslim mencerminkan karakteristik tertentu.  Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang.  Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar tergantung fungsinya.  Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara.  Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter.  Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal.  Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi.  Dengan demikian kapal muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.

Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sina’a, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal.  Perhatian para penguasa muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi.  Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta ke pantai Syria untuk dirakit.  Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan Salib.

Uji kualitas atas bahan-bahan pembuat kapal seperti kayu sant (Acacia Nilotica), juga rami untuk bahan tali dan tekstil terpal untuk layar, dilakukan dengan ketat agar kapal yang dihasilkan juga bermutu tinggi.

Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat.  Di luar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara real sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi yang terkait kelautan.

Tanpa teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumberdayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara.  Dengan teknologi kelautan, negara khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya.

 

 

Kapal dengan type layar lateen

 

 

Kapal khas arab

Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Hari-hari ini sebagian kota-kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik bergilir.  Sebagian orang langsung menuduh bahwa PLN memang tidak becus mengurus listrik.  Dan itu menjadi dalih bahwa sudah saatnya urusan listrik diserahkan kepada swasta, agar timbul iklim kompetisi, sehingga efisien dan optimal.  PLN menjawab bahwa persoalannya terletak pada energi primer yaitu gas yang tidak diberikan ke PLN.  Mayoritas pembangkit PLN dapat menggunakan dua jenis energi primer: BBM dan gas.  Gas jauh lebih murah.  Namun produsen gas di Indonesia tidak mau menjual gas ke PLN.  Gas mereka sudah dikontrak ekspor ke Cina, sehingga industri di Cina lebih berdaya saing.  Demikian juga dengan sejumlah daerah di Kalimantan yang beberapa tahun terakhir ini pemadaman listrik menjadi agenda mingguan.  Meski mereka penghasil batubara, namun hanya sedikit yang boleh digunakan di sana.  Selebihnya adalah untuk membuat kota-kota di Korea Selatan terang benderang.

Ketersediaan energi bagi sebuah negara memang suatu hal yang vital.  Energi digunakan untuk industri, menggerakkan roda transportasi, menyalakan penerangan, memanaskan rumah dan alat dapur, menghidupkan peralatan elektronik, hingga intensifikasi pertanian, karena pada hakekatnya pemberian pupuk adalah subsidi energi ke produk tanaman.

Tidak heran bahwa setiap kali pasokan energi berkurang, terjadilah krisis.  Namun dalam sejarah manusia, krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

 

Lampu tambang karya Banu Musa dengan pelindung yang dirancang agar diputar oleh angin ke arah yang melindungi lampu dari tiupan angin.

 

Mesin keruk dalam manuskrip Banu Musa,
dari koleksi Staatsbibliothek Berlin.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

 

Alat ventilasi pertambangan karya Banu Musa, terdiri dari buluh peniup dan pipa-pipa yang memompa udara segar ke dalam untuk mengusir gas-gas beracun.

 

Ilustrasi pompa dan rantai untuk mengangkat air di lokasi pertambangan, karya Taqiyuddin (abad 10M).

 

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batu bara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinyapun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, exploitasi batu bara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat.