Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Jum’at 18 Mei 2007 dan sebagian hingga Senin 21 Mei 2007, berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang. Ombak setinggi 2-3 meter telah menyapu kawasan pantai, bahkan masuk ke daratan hingga 50-200 meter. Berbeda dengan tsunami yang selalu didahului dengan gempa di dasar laut, gelombang pasang ini praktis tidak terdeteksi dari awal. Akibatnya penduduk pantai hanya dapat pasrah menyaksikan rumah-rumah mereka tergerus gelombang, tambak mereka rusak, dan perahu-perahu mereka terseret ke tengah laut.
Banyak teori dilontarkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut. Teori-teori ini dibangun dari analisis data yang ada, yang meliputi data pasang surut paras laut, kecepatan angin hingga temperatur permukaan laut. Tidak semua analisis itu dianggap memuaskan oleh para ilmuwan. Di antara teori tersebut yang paling kuat adalah bahwa gelombang pasang ini merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak yakni: (1) Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali. Pada 17 Mei terjadi bulan baru sehingga bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum), sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai pasang maksimal. (2) Gelombang Kelvin – yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang mengimbangi gaya Coriolis (gaya akibat rotasi bumi). Gaya ini mengarah dari masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang Kelvin dari arah yang berlawanan di equator. (3) Gelombang Swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih besar daripada riak (ripples). Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemananasan. Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan yang berbeda.
Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula. Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai, puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai menimbulkan bencana yang mengerikan.
Perlindungan Pantai
Lepas dari penyebab gelombang pasang dan mekanismenya yang barangkali masih menarik bagi para peneliti hingga beberapa saat ke depan, yang harus kita siapkan adalah sistem antisipasinya. Perlindungan kawasan pantai memang sudah saatnya menjadi perhatian serius negeri ini, mengingat panjang garis pantainya lebih dari 81.000 kilometer. Gelombang pasang, tsunami, dan abrasi mengancam di banyak lokasi. Lebih dari itu perubahan ekosistem pantai karena pendangkalan (sedimentasi) maupun pencemaran masih terus terjadi.
Sistem pertahanan alam yang paling efektif sebenarnya adalah hutan bakau (mangrove). Keberadaan mangrove di lepas pantai dapat meredam gelombang pasang bahkan tsunami hingga kekuatannya tinggal sepertiganya. Keberadaan mangrove juga mampu menjaga lingkungan pantai dari abrasi. Mangrove juga menjadi habitat dari banyak organisme pantai, sehingga kerusakan mangrove bisa berarti kepunahan keragaman hayati.
Namun derap kapitalisme telah membuat kerusakan mangrove kita sangat cepat. Selain terjadi konversi besar-besaran area mangrove menjadi tambak atau pemukiman, kerusakan mangrove juga terjadi karena penjarahan untuk dijadikan kayu bakar akibat mahalnya bahan bakar minyak. Di beberapa lokasi, pantai bahkan diurug (direklamasi) dengan mengorbankan lahan yang sebelumnya tumbuh mangrove.
Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan data luas mangrove yang tersisa secara nasional, apalagi mendapatkan data perkembangannya dari tahun ke tahun. Kerusakan memang kasat mata bila kita mendatangi lokasi-lokasi yang dulu diketahui memiliki mangrove, namun untuk menghitungnya secara nasional diperlukan data dari citra satelit. Karena ”sabuk” mangrove di pantai sebenarnya tidak terlalu lebar, maka perlu citra satelit resolusi tinggi untuk dapat merekamnya.
Untuk dapat melakukan pencegahan atau mitigasi dari bencana yang mengancam kawasan pantai, pemerintah dapat melakukan pemetaan daerah rawan (zonasi). Secara umum, kawasan-kawasan budidaya (permukiman, tambak, infrastruktur) di pantai yang landai, menghadap laut lepas tanpa pelindung seperti pulau atau karang, serta tidak memiliki mangrove, adalah zona-zona rawan. Kawasan itu perlu mendapatkan persiapan khusus untuk menghadapi bencana dari arah laut.
Selain mitigasi, sistem peringatan dini (early warning system) sebaiknya juga dibangun. Pasca tsunami Aceh 2004, memang ada usaha dari pemerintah untuk membangun TEWS (tsunami early warning system). Hanya saja sistem yang terdiri dari GPS, seismometer, sensor tekanan air di dasar laut, stasiun pasang surut dan super komputer ini memang belum tuntas terkoneksi satu dengan yang lain, apalagi siap dioperasikan di lapangan. Namun andaikata sudah lengkappun, sistem ini hanya efektif untuk tsunami, belum untuk gelombang pasang.
Untuk gelombang pasang sepertinya perlu ada tambahan dan modifikasi di beberapa elemen TEWS. Sistem ini misalnya harus memasukkan data pantauan temperatur laut hingga ribuan mil di seputar Indonesia, sehingga munculnya gelombang Swell dapat terdeteksi. Pelampung (buoys) yang terhubung ke sensor tekanan dasar laut juga mestinya tidak hanya berfungsi sebagai pengirim data ke pusat pengolah data TEWS namun juga sensor gelombang itu sendiri. Bahkan jumlah buoys ini harus ditambah cukup signifikan untuk ”memagari” pantai kita – tidak hanya menghadap ke arah patahan lempeng kontinen yang potensial terjadi gempa dan tsunami, tetapi juga ke segala arah potensial datangnya gelombang Kelvin dan gelombang Swell.
Yang disesalkan, andaikata sistem ini telah terbangun, kita bisa jadi belum bisa merawatnya. Tanpa edukasi ke masyarakat yang intensif, sistem ini barangkali dalam waktu singkat akan tidak operasional lagi. Saat ini saja, banyak buoys milik Dirjen Perhubungan Laut yang hilang dicuri orang, padahal buoys itu hanya berfungsi sebagai rambu-rambu pelayaran dan tidak memiliki komponen elektronik yang mahal seperti untuk TEWS.
Dengan demikian, perlindungan pantai memang memerlukan tindakan yang komprehensif. Teknologi bisa saja berguna untuk meredam dampak bencana. Namun dalam jangka panjang perlu langkah-langkah rekondisi masyarakat agar mereka peduli bencana, termasuk hanya mengkonversi kawasan pantai dengan menyiapkan mitigasinya, tidak merusak atau menghilangkan alat-alat yang dipasang untuk sistem peringatan dini, juga tidak membuat politik ekonomi yang berakibat mangrove semakin cepat musnah.
Sementara itu hanya dengan penerapan syariat Islam yang mengatur masalah pantai sebagai kepemilikan umum (yang siapapun seharusnya memiliki akses dan menarik manfaatnya), sehingga tidak secara sembrono dikonversi menuruti keinginan para kapitalis, maka pantai kita akan lebih lestari, untuk dapat kita wariskan ke anak cucu kita.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam, no. 19, minggu III-IV April 2007
Adakah teknologi ramah perempuan? Bila ada, perlukah kita teknologi spesifik tersebut? Apakah istilah ”ramah perempuan” ini bukan bias gender?
Tema ini diangkat pada edisi paruh kedua bulan April ini karena tanggal 21 April sering diperingati sebagai Hari Kartini, hari kebangkitan kaum perempuan.
Kebutuhan Perempuan
Adalah fakta bahwa perempuan memiliki beberapa ciri-ciri fisik yang berbeda dengan laki-laki, dan karena itu perempuan memiliki sejumlah kekhususan. Perempuan tidak bisa kencing sambil berdiri, perempuan mengalami menstruasi, bisa hamil dan melahirkan, perlu menyusui dan paling cocok kalau seorang balita diasuh ibunya. Karena kebutuhan khususnya itu, Islam mensyari’atkan agar perempuan menutup auratnya dan mengenakan jilbab (baju kurung terusan) dan khimar (kerudung) bila berada di tempat publik. Pergaulan laki-laki dan perempuan pun sedapat mungkin dibatasi kecuali pada hal-hal yang secara syar’i diijinkan. Oleh karena itu jelas bahwa ada beberapa jenis teknologi yang akan lebih terasa ramah perempuan bila aspek spesifik tadi diperhatikan.
Selama ini bila orang bicara teknologi spesifik perempuan yang terbayang tidak jauh dari urusan ”macak-masak-manak”, atau berhias, memasak dan mengurus anak.
Berhias adalah aktivitas seputar kosmetik, perawatan rambut, wewangian, pakaian – termasuk pakaian dalam, pembalut, perhiasan hingga sepatu dan asesori lainnya.
Memasak – meski banyak laki-laki juga pandai memasak – tetaplah aktivitas yang lebih didominasi ibu rumah tangga. Ini aktivitas yang dapat melibatkan segala jenis alat dapur seperti pisau, panci, kompor hingga kulkas sampai makanan atau bumbu siap saji.
Mengurus anak – adalah aktivitas yang tidak tergantikan bagi seorang perempuan. Aktivitas ini dimulai sejak hamil, melahirkan, memandikan, menyuapi, mengajak tidur – termasuk memasangkan popok, sampai mengajak bermain sambil belajar.
Sepintas saja sudah mulai terbayang bahwa teknologi haruslah dapat meringankan tugas kaum perempuan pada aktivitas-aktivitas klasik itu. Padahal kebutuhan dan tugas kaum perempuan tidak hanya itu. Perempuan juga wajib menuntut ilmu, wajib berdakwah – termasuk di dalamnya ada aktivitas yang bersifat politis (menasehati orang yang berkuasa). Dalam menjalankan aktivitasnya itu, seorang perempuan terkadang harus berkomunikasi, bepergian, makan di restoran atau menginap di hotel.
Ramah Perempuan
Sesuatu disebut ramah perempuan kalau dia dapat memenuhi segala yang dibutuhkan perempuan, tanpa perempuan itu menjadi terusik harkat keperempuannya. Karena itulah suatu toilet disebut ramah perempuan kalau pertama-tama dia terpisah dari toilet laki-laki. Perempuan tak akan nyaman kalau harus antri di depan toilet bercampur laki-laki, sekalipun toilet itu sama-sama tertutup dan tidak harus berdiri. Namun yang kedua: toilet itu sendiri harus ”ramah”.
Contoh: di Jepang dikenal piranti ”Washlet”, yaitu toilet yang sudah dilengkapi alat penyemprot air untuk cebok. Di situ ternyata ada dua penyemprot, satu universal (ke arah dubur), dan satu variatif – ke kemaluan, dan ini jelas beda letaknya antara laki-laki dan perempuan.
Washlet – WC ramah perempuan, lazim di Jepang
Dalam aktivitas yang spesifik perempuan, teknologi pada umumnya sudah didesain ramah perempuan, walaupun tentu saja ada yang lebih ramah dari yang lain. Namun pada urusan yang bersifat umum, masih banyak teknologi yang harus dimodifikasi.
Dalam dunia transportasi misalnya. Hingga sekarang masih jarang kita temui sepeda motor yang dapat dipakai berdua namun ramah perempuan. Perempuan yang duduk miring sebenarnya telah meningkatkan resiko keselamatannya dalam berkendaraan. Namun kalau duduk lurus, dia mengalami masalah dengan busananya.
Masih terkait transportasi adalah halte bus / kereta dan tempat parkir. Untuk kereta, bisa didesain wagon khusus perempuan, sehingga haltenyapun otomatis terpisah. Pada wagon yang tidak khusus perempuan, sebaiknya perempuan disertai suami atau mahramnya.
”This car is only for women” – kereta di Jepang
Untuk bus hal ini sulit direalisir, karena komposisi penumpang yang naik sepanjang rute bus itu bisa bervariasi.
Untuk tempat parkir, terlebih yang ada di basement suatu gedung, perlu fasilitas yang lebih ramah perempuan, misalnya pencahayaan yang lebih baik. Kalau hal itu dirasa akan memboroskan listrik, maka dapat dibuat karcis khusus perempuan yang juga dilengkapi pemancar kecil untuk menghidupkan lampu tambahan, dan sekaligus juga sebagai alarm kalau terjadi sesuatu.
Perempuan yang sering memiliki keperluan syar’i untuk bepergian juga perlu teknologi untuk membela diri. Teknologi ini tidak cuma penyemprot larutan cabe atau mrica, namun dapat pula berisi alarm dengan sirene yang sangat keras. Di dunia global positioning system (GPS) dikembangkan pula chip yang dapat memberi informasi lokasi seseorang yang membawanya ke suatu komputer yang terhubung. Jadi dapat diimajinasikan: seorang perempuan yang membawa chip itu, dan rute perjalanannya sudah jelas, maka bila tiba-tiba tanpa penjelasan ada penyimpangan rute hingga di luar toleransi, ada kemungkinan dia dalam bahaya. Maka komputer ini bisa mengaktifkan satuan pengamanan untuk menolong perempuan itu.
Kemudian di dunia pendidikan. Pada kelas campuran atau kelas perempuan dengan guru laki-laki, terkadang ada kecanggungan ketika berinteraksi, sekalipun itu sebatas transfer ilmu. Di sinilah teknologi berperan. Material belajar mandiri secara interaktif dapat dipandang sebagai teknologi yang lebih ramah perempuan. Demikian pula dengan komunikasi via internet, di mana perempuan dapat berdakwah atau bahkan beraktivitas politis lainnya secara langsung, tanpa harus keluar rumah dan bersinggungan dengan laki-laki, sekalipun internet belum mampu menggantikan 100% aktivitas di lapangan.
Internet juga memiliki potensi mengoptimalkan sebagian aktivitas klasik perempuan. Misalnya ”smart kitchen”. Sebuah dapur dilengkapi komputer yang menyimpan ratusan resep dan merekomendasikan menu harian yang sehat dan berimbang. Menu ini bisa diprogram sesuai selera isi rumah selama misalnya sebulan. Ibu rumah tangga cukup mengikuti saran yang diberikan setiap hari. Setiap bahan masakan yang diambil dilewatkan dulu ke suatu scanner untuk didata. Dengan demikian komputer selalu tahu apa saja yang tersedia di rumah, dan kapan dia secara otomatis harus memesan belanjaan yang diperlukan, sebelum semuanya habis. Kalau sistem ini terhubung dengan on-line-shopping, maka petugas supermarket terdekat akan mengantar belanjaan yang dibutuhkan, tanpa sang ibu repot-repot keluar rumah. Dia dapat memiliki waktu lebih banyak untuk suaminya, anak-anaknya atau untuk dirinya sendiri.
Kalau teknologi ramah perempuan ini dikembangkan juga oleh para insinyur muslim pecinta syari’ah, insya Allah dia akan menjadi ”teknologi ramah muslimah”.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 18, minggu I-II April 2007
Beberapa waktu yang lalu, ribuan warga menyandera Kereta Api Jakarta – Rangkas Bitung. Aksi ini berakibat mandegnya sejumlah KA jurusan itu. Ribuan penumpang terlantar. Kenapa ada aksi penyanderaan? Ternyata karena KA yang beroperasi sering telat. Dan sejak banjir tempo hari, ada jembatan yang rapuh, sehingga PT KAI mengurangi gerbong maupun frekuensi perjalanannya. Ini di luar fakta bahwa kondisi KA dan pelayanannya amat memprihatinkan. Berjejalnya penumpang di dalam gerbong mendorong sebagian penumpang duduk di atas gerbong, yang tentu amat berbahaya. Pada tulisan ini kita akan membandingkan sistem perkeretaan kita dengan yang ada di dunia saat ini.
Dalam istilah teknis, kereta api adalah bagian dari sistem transportasi rel, yang terdiri dari kendaraan (kereta) dan jalan permanen yang dapat berupa rel konvensional, monorel maupun maglev (rel magnetis yang mengangkat kereta sehingga melayang beberapa milimeter). Sistem penggeraknya ada pada lokomotif yang digerakkan mesin diesel atau listrik yang disuplai oleh sistem sepanjang rel.
Sistem kereta terdiri dari kereta jarak jauh dan komuter. Kereta jarak jauh sering memiliki wagon restoran dan untuk yang berjalan di malam hari ada wagon tidur. Ada juga kereta kecepatan tinggi, yang umumnya berjalan di siang hari dan dapat bersaing dengan pesawat terbang. Di Jepang, Tokyo-Osaka (sekitar 500 Km) dihubungkan dengan Shinkansen. Di tikungan, kereta ini akan miring sedemikian rupa sehingga penumpang tidak mengalami gaya sentrifugal.
Pada jarak dekat, area kota dan sekitarnya dihubungkan dengan kereta komuter. Di sini, beberapa wagon didesain untuk memiliki lebih banyak tempat berdiri dibanding kursi. Ada juga tempat untuk menaruh kereta bayi, sepeda ataupun kursi roda. Di beberapa negara bahkan ada kereta susun (double-decked trains).
Kota-kota besar sering juga memiliki sistem metro, atau disebut juga subway, tube atau underground. Mereka digerakkan listrik melalui rel ketiga dan jaringannya terpisah: di terowongan atau di struktur layang.
Sementara itu satu atau dua kereta yang berjalan di atas jalan raya, secara konvensi tidak disebut kereta tetapi tramway, light-rail atau streetcar.
Di Tokyo, beberapa kereta komuter memiliki wagon khusus yang kursinya dapat dilipat untuk memberi tempat berdiri lebih longgar saat jam sibuk. Kereta ini bahkan memiliki pintu yang lebih banyak. Ditaksir 3,5 juta penumpang terangkut oleh satu jalur saja dari Yamanote-Line di Tokyo (yang mungkin memiliki jaringan kereta komuter terbaik di dunia).
Kalau di Jabotabek, banyak penumpang tidak membayar, itu salah satunya karena sistem ticketing yang masih jauh dari optimal. Di Jepang, tiket dijual oleh mesin. Penumpang lalu memasukkan tiket magnetis itu pada pintu otomatis menuju peron yang hanya cukup untuk satu orang dan hanya terbuka kalau penumpang memiliki tiket yang sah. Setelah itu tiket keluar lagi untuk nanti dilakukan prosedur yang sama di stasiun tujuan. Kalau tiket kurang, pintu keluar tidak mau terbuka. Penumpang harus membayar dulu kekurangannya, juga pada mesin otomatis. Untuk orang ingin hemat waktu, dia dapat membeli tiket multipakai, ada yang berlaku sehari, seminggu bahkan setahun dan di semua jalur. Dengan sistem ini, Jepang dapat mengatasi jutaan penumpang setiap harinya, bahkan dengan tenaga pengawas stasiun minimal. Petugas stasiun ini sering merangkap sebagai pemberi informasi kepada orang asing. Mereka umumnya lancar berbahasa Inggris.
Sementara itu di Eropa, ada sistem tiket kereta api yang cocok untuk wisatawan. Interrail atau Eurail namanya. Dengan tiket itu orang dapat dapat naik kereta apapun di seluruh Eropa selama sebulan tanpa perlu bayar lagi. Ada juga pilihan lainnya, seperti 15 hari perjalanan dalam kurun sebulan dan sebagainya. Sangat praktis. Turis yang baru tahu akan suatu objek dapat tanpa pikir panjang menuju tempat itu, tanpa takut pengeluarannya membengkak. Yang harus dipegang cukup buku jadwal kereta – yang umumnya dipatuhi.
Sebagian besar barang di dunia ternyata sudah diangkut dengan kereta. Di AS, sistem rel bahkan mayoritas digunakan untuk cargo. Bila barang yang diangkut banyak dan jaraknya jauh, sistem ini diyakini lebih ekonomis dan efisien dibanding transportasi jalan.
Memang angkutan rel tidak terlalu fleksibel, sehingga popularitasnya sempat turun. Banyak pemerintah negara industri yang lalu kampanye memindahkan cargo dari jalan ke rel. Sistem pemindahan praktis atas kontainer dari kereta ke truk pun dibangun. Untuk jarak jauh, mobil penumpangpun lebih ekonomis digendong kereta. Di Austria, istilah Autobahn (jalan tol) diberi makna baru dengan ditulis Auto-Bahn (artinya mobil naik kereta). Tujuannya mengurangi kepadatan jalan raya dan polusi, menghemat energi dan menurunkan angka kecelakaan. Sistem ini bahkan wajib untuk kereta Inggris-Perancis yang lewat terowongan Selat Kanal.
Secara umum memang transportasi rel lebih hemat lahan dan ekologis. Hanya saja, dia perlu organisasi yang jauh lebih rapi. Jika Indonesia sistem kereta api masih susah maju, mungkin itu karena masyarakat kita masih sulit diatur dalam suatu organisasi yang rapi. Orang masih semaunya sendiri, terlebih di jalan raya.
Kalau di Indonesia banyak pemukiman baru yang belum terlayani angkutan umum atau pemerintah kebingungan untuk membebaskan tanah guna pembangunan jalan, maka di Jepang, mal atau apartemen baru justru baru diijinkan dibangun bila jaringan kereta telah tersedia di sana. Walhasil, banyak stasiun kereta yang berada di dalam superblock yang juga terdiri dari mal dan apartemen. Tak heran ada pepatah, kalau mau melihat kehidupan orang Jepang, pergilah ke stasiun kereta.
Di Indonesia bila akan naik pesawat sediakan waktu aman 2-3 jam (karena akses ke bandara sulit diprediksi dan sering lebih lama dari naik pesawatnya sendiri), maka di Jepang akurasi waktu tempuh naik kereta menjadi jaminan, bahkan bila orang mau ke bandara.
Itu semua seperti belum cukup. Beberapa jalur kereta masih menyediakan wagon khusus perempuan. Maklum pada jam sibuk, rupanya perempuan Jepangpun risih kalau harus berdesakan dengan laki-laki asing. Mestinya di negeri kita hal ini lebih diperhatikan lagi. Sebenarnya kalau mau hal itu tidak susah. Masyarakat dengan karakter yang mirip kita seperti Malaysia juga faktanya bisa. Kereta jalur PUTRA di Malaysia bahkan digerakkan secara otomatis, tanpa masinis.
Di Indonesia, mungkin karena malas berpikir: PT KAI malah akan diprivatisasi, dan anehnya swasta maunya jalur gemuk seperti Jakarta-Bandung, dan menolak ikut mengurusi jalur-jalur ekonomi. Mungkin solusinya hanya satu: terapkan sistem perkeretaan syariah!