Dr Fahmi Amhar
Bicara teknologi, sering orang terdikotomi – atau bahkan terpolarisasi – pada pembagian teknologi “tepat guna” dan “teknologi canggih”. Teknologi tepat guna sering dipahami sebagai teknologi yang menyentuh kehidupan rakyat kecil yang merupakan mayoritas, dan dengan mudah dapat diterapkan untuk menaikkan kualitas hidup.
Sedang teknologi canggih diasosiasikan sebagai teknologi yang eksklusif, hanya mampu digunakan oleh orang-orang kaya, atau yang berpendidikan tinggi. Penggunaan teknologi canggh juga tidak secara signifikan menaikkan kualitas hidup, kecuali hanya menaikkan gengsi dari penggunanya. Teknologi tepat guna juga secara umum dapat dibuat sendiri oleh penduduk lokal dengan bahan-bahan lokal, sedang teknologi canggih lebih sering masih harus diimpor.
Karena itu, teknologi tepat guna sering diasosiasikan dengan teknologi untuk mendapatkan air, teknologi meningkatkan produksi pertanian dan peternakan, teknologi energi yang murah, teknologi kesehatan dan obat-obatan dari bahan-bahan yang tersedia dan murah, juga teknologi transportasi yang tidak memerlukan teknologi tinggi. Teknologi tinggi sering dicontohkan dengan teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi hankam. Ini tidak menutup mata pada eksistensi teknologi canggih di bidang pangan, energi, kesehatan dan transportasi; atau juga teknologi tepat guna di bidang informasi, komunikasi serta hankam.
Pada masa keemasan peradaban Islam, sebagian besar teknologi yang berkembang berangkat dari kebutuhan mayoritas rakyat. Karena itu mayoritas teknologi yang ada dapat disebut tepat guna.
Misalnya teknologi pangan. Di dunia pertanian muncul Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan ternak dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī (828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya. Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu. (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Baru saja tak cuma negeri kita terkena isu penyadapan oleh intelijen asing – bahkan kanselir Jerman pun berang pada Amerika Serikat yang dituduh menyadapnya. Dan itu sebenarnya bukan hal yang baru, bahwa setiap negara memiliki dinas mata-mata, yang salah satu tugasnya adalah memata-matai negara lain, baik kawan apalagi lawan – karena yang dulu kawan pun bisa saja di kemudian hari menjadi lawan yang lebih berbahaya.
Penyadapan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang dengan menanam suatu mikrofon amat kecil lengkap dengan pemancar radionya di dekat target yang mau disadap. Alat ini bisa ditaruh tanpa mencurigakan di kamar hotel, ruang rapat atau kendaraan target. Untuk kendaraan, kadang ditaruh GPS amat kecil – juga berpemancar – sehingga gerak gerik target bisa diikuti.
Yang sedikit lebih rumit adalah menyadap lalu lintas komunikasi. Penyadap perlu melacak frekuensi sinyal yang digunakan. Kalau komunikasi itu menggunakan internet, maka perlu mendeteksi lewat komputer mana saja email atau data itu mengalir. Bukan soal yang mudah. Karena itu, Amerika sampai mempekerjakan ribuan ahli matematika dan telematika untuk urusan sadap menyadap ini.
Timbul pertanyaan, apakah fenomena ini di masa lalu pernah terjadi dalam sejarah Islam? Daulah Islam di masa lalu mencakup wilayah yang sangat luas, membentang dari tepian Atlantik hingga tepian Pasifik, dari pegunungan Ural sampai gunung Kilimanjaro. Bagaimana cara-cara mereka dulu berkomunikasi, menyebarkan informasi dan membangun masyarakat yang beradab, kuat dan bermartabat dengan teknologi yang ada saat itu? Bagaimana mereka melindungi komunikasi mereka saat itu agar tidak jatuh ke tangan yang salah? Sejauh apa kontribusi ilmuwan Muslim dalam melindungi saluran komunikasi dari penyadapan? (more…)
Acara Miss World yang kontroversial itu telah berlalu. Dampak negatifnya telah jelas. Masyarakat Muslim di Indonesia dicekoki nilai-nilai asing melalui ruang frekuensi – yang sebenarnya milik publik. Masyarakat diarahkan untuk berpikir bahwa kehebatan seorang wanita itu terutama oleh penampilannya, baik itu kecantikannya, tutur kata yang menunjukkan kecerdasannya, dan kelakuannya yang diatur oleh pengarah gaya. Motto mereka adalah “Beauty, Brain & Behaviour”. Tapi semua orang tahu, bahwa beauty atau kecantikan adalah syarat penentu. Kalau ada seorang gadis yang sangat cerdas, bahkan mungkin memiliki dua gelar doktor (syariah dan fisika), juga telah memiliki kiprah yang dirasakan luas di masyarakat, misalnya menemukan kompor murah hemat energi yang dibagi luas ke sejuta petani, juga mendirikan klub-klub cinta fisika yang menginspirasi jutaan pelajar SD, tetapi bibirnya sumbing dan tubuhnya tidak proporsional, sepertinya mustahil dia akan terpilih menjadi Miss World.
Adapun dampak positifnya (seperti naiknya kunjungan wisata manca negara ke Indonesia) tidak terjadi. Kunjungan wisata hanya bisa ditingkatkan kalau infrastruktur di negeri ini (terutama transportasi publik) diperbaiki, dan orang merasa aman dari kejahatan atau perlakuan tidak profesional aparat kita. (more…)