Dr. Fahmi Amhar
Indonesia bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan manusianya yang ramah, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah. Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik. Kita punya 129 gunung api aktif. Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika, sebagaimana baru saja terjadi di Sumatera Barat dan Jambi tahun 2009 ini. Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik. Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung. Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa sedunia banyak belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bala bencana baru dihadapi dan diratapi sebatas dengan doa?
Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga tak cuma kaya sumber daya alam tetapi juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam. Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara tak pelak lagi rawan kekeringan. Banyak sahara yang setiap saat dapat mengirimkan badai gurun yang menyebabkan gagal panen dan berarti paceklik dan kelaparan. Wilayah lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak adalah wilayah rawan banjir. Wilayah Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga wilayah yang sangat rawan gempa. Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti baik penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya penyakit cacar atau pes. Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elit politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.
Untuk mengantisipasi kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga untuk antisipasi bila ada serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.
Sementara itu untuk mengantisipasi banjir, para penguasa muslim berusaha keras untuk membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini. Astronom dan Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun melakukan pengukuran, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan sebuah bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu. Adalah Ibn al-Haitsam, yang semula tinggal di Irak yang berminat dengan sayembara itu, dan dia memenangkan kontrak pembangunannya. Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi yang tepat untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan pyramid-pyramid raksasa yang dibangun Fir’aun di sana. Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun pyramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?” Karena malu atau takut menanggung konsekuensi hukumnya karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dijatuhi tahanan rumah dan seluruh hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga dia lalu menjadi Bapak fisika optika. Dia baru dilepas beberapa tahun kemudian setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai melupakan kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan pada masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam menemukan mekanika lanjut dari pengamatan planet melalui teleskop. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang terletak berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Jadi bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar. Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan yang tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat. Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi yang terburuk. Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.
Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat. Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau ikut meratap dalam doa bersama.
Tulisan ini pernah saya tulis untuk sebuah koran guna “menyambut” keluarnya novel serial “Harry Potter” jilid 7. Sayang koran yang bersangkutan tidak menanggapinya. Novel Rowling ini mengajari kita bahwa tidak ada yang “instan” di dunia ini, sekalipun di dunia sihir ….
Dr. Fahmi Amhar
(pecinta spiritualitas, sains dan sastra).
Bicara alam ghaib selalu menarik, karena ini menyangkut “pengalaman istimewa” seseorang. Beragam acara televisi dalam topik ini selalu ramai seperti “Dunia Lain”, “Misteri”, “Uji Nyali” sampai ke cerita anak-anak seperti sinetron “Bidadari”. Demikian juga seminar-seminar. Pengalaman menunjukkan bahwa seminar ilmiah, agama atau politik, tidak akan pernah seramai seminar tentang jin.
Konyolnya, orang mencoba menyelami dunia ghaib ini karena terdorong motivasi “instanisme”. Rakyat kita yang lemah, bodoh dan miskin, sudah lama ingin terlepas dari kesulitannya itu secara cepat. Dan mereka percaya, pertolongan ghaib adalah cara yang paling masuk akal untuk itu. Mereka percaya, bahwa dengan suatu ritual tertentu (yang tidak terlalu berat), suatu kekuatan yang tak kelihatan akan membantu mereka manakala kesulitan menghadang. Dan semua yang tak kelihatan, dan kemudian tak bisa dijelaskan itu mereka sebut alam ghaib.
Persoalan alam ghaib akan sangat dekat dengan ilmu sihir. Ilmu sihir sering didefinisikan dengan kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak masuk akal. Ragam pekerjaan ini sangat luas, mulai dari melihat menembus ruang atau waktu, memindahkan benda-benda secara ghaib – termasuk mengirim benda-benda tertentu (misalnya paku) ke dalam atau keluar tubuh, menimbulkan perasaan tertentu pada seseorang (sedih, marah, benci, sayang, tergila-gila), sampai dengan membaca atau mengendalikan pikiran orang lain. Maka acara-acara sulap (David Copperfield, Valentino) maupun sihir cukup laris menjadi tontonan, baik life di circus maupun di TV (Dedy Cobuzier, Romi Rafael, …).
Di abad pertengahan, orang menganggap semua fenomena yang belum bisa dipahami adalah bernuansa ghaib atau karena pengaruh sihir. Maka yang dituduh sebagai penyihir tidak cuma praktisi sihir yang sesungguhnya, namun juga sebagian ahli kimia, fisika atau kedokteran.
Ahli kimia, dengan kemampuannya mengubah berbagai jenis zat yang memiliki sifat-sifat yang sama sekali berbeda, didaulat untuk mencari “batu bertuah” – yang akan menjadi semacam katalis untuk merubah besi menjadi emas. Dan sungguh ada masa ketika ribuan orang berburu batu bertuah ini – dan mereka semua gagal.
Demikian juga dengan ahli fisika. Penemuan-penemuan di bidang optika, magnet, dan listrik menimbulkan ketakjuban yang luar biasa pada sebagian orang, atau juga ketakutan dan kebencian pada sebagian yang lain. Pihak-pihak yang takut ini pernah menuduh Galileo Galilei mengerjakan sihir, karena menunjukkan lewat teleskopnya bulan-bulan planet Jupiter.
Para dokter juga pernah menghadapi kasus di mana orang sakit dikira karena pengaruh mahluk ghaib, sehingga bila dokter itu menyembuhkan (mungkin setelah memberi anti-biotik untuk membunuh jasad renik / bakteri), maka mereka dipandang sebagai penyihir (yang baik).
Hal yang sama terjadi pada para Nabi. Seorang Nabi yang membawa mukjizat yang jelas, hampir selalu dituduh melakukan sihir (yang buruk).
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb mereka”. Orang-orang kafir itu berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad s.a.w.) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Qs. 10:2)
Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir”. (Qs. 15:14-15)
Kini ketika ilmu pengetahuan semakin maju, semakin sedikit orang percaya pada alam ghaib atau sihir. Secara alamiah, kedua hal ini hanya tinggal dipercaya para penganut “instanisme” – atau oleh orang-orang yang memang sedang mencari hiburan – artinya cerita alam ghaib atau sihir hanya dicari untuk menghibur, bukan untuk menyelesaikan suatu masalah.
Pengertian ghaib yang syar’i
Dalam al-Qur’an, istilah ghaib selalu ditujukan kepada sesuatu yang tidak cuma tak kelihatan, namun juga tak mungkin didekati dengan cara apapun – kecuali sekedar informasi Ilahiyah.
Kalau sekedar tak kelihatan, maka gelombang radio atau virus juga tidak kelihatan. Apakah ini ghaib? Namun peristiwa penciptaan Adam, hari kiamat, surga – neraka atau malaikat, jelas merupakan hal-hal ghaib yang wajib diimani. Dengan cara apapun, mustahil manusia bisa menyelidiki mereka secara empiris.
Lalu bagaimana dengan jin? Sangat menarik bahwa Qur’an justru menyebut bahwa jin sendiri – yang tak kelihatan dan sering kita sebut mahluk ghaib – ternyata tak mengetahui yang ghaib.
Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan. (Qs. 34:14)
Dengan demikian, rupanya penyebutan kita kepada jin dengan “mahluk ghaib” harusnya direvisi.
Mungkin demikian juga dengan ilmu sihir. Tentang sebagian dunia ilmu kimia atau fisika yang pernah dianggap bagian dari sihir baiklah kita abaikan. Maka ternyata akan ditemukan beberapa hal yang menarik dari apa yang selama ini dianggap orang ilmu sihir.
Sebagian sihir itu sekedar fatamorgana.
Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamulah yang akan melempar lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan”. (Qs. 7:115)
Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!”. Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Qs. 7:116)
Sihir tipuan mata ini, meski tidak membuat atau merubah sesuatu yang sifatnya fisis, tapi bila disalahgunakan sudah bisa sangat berbahaya, karena seorang lelaki bisa mengelabuhi mata seorang wanita asing, seakan-akan dia suaminya, sehingga bisa tidur bersama wanita itu; atau menipu mata para karyawan suatu kantor, seakan-akan dia adalah atasan mereka, sehingga bisa leluasa berbuat sesuatu di kantor itu.
Sebagian sihir adalah pekerjaan jin
Fakta, sebagian praktisi sihir melakukan aktivitasnya dengan melakukan ritual (seperti membakar dupa, bersesaji atau meniup-niup guna memantrai sesuatu) untuk memanggil mahluk halus.
Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Shubuh … dari kejahatan-kejahatan tukang-tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, (Qs. 113:1, 4)
Setelah dimantrai, mahluk halus itulah yang kemudian diminta menjalankan suatu tugas, seperti memindah barang, masuk ke dalam suatu pusaka, atau bahkan masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga orang itu –misalnya– menjadi kebal terhadap senjata.
Allah mengingatkan praktek semacam ini akan sangat dekat kepada kemusyrikan, dalam ayatnya:
Dan bahwasannya ada beberapa laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Qs. 72:6)
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara Jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka), (Qs. 37:158)
Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (Qs. 34:41)
Ayat terakhir ini juga sekaligus menunjukkan bahwa jin –meski tak tampak– bukanlah hal ghaib sesungguhnya yang wajib diimani. Namun kita meyakini keberadaan mereka karena kita mengimani Qur’an yang telah mengabarkan eksistensi jin itu.
Dedy Cobuzier pernah mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga jenis magician (“penyihir”).
Pertama adalah black-magician, yaitu penyihir yang memakai jasa mahluk halus. Inilah yang dilakukan tukang tenung atau praktisi Vodoo.
Kedua adalah ilusionist, yang mengandalkan suatu trick yang cukup cepat dan canggih sehingga menipu mata. Inilah yang dilakukan pesulap dunia David Copperfield. Tak heran setiap show di manapun, David selalu membawa perlengkapan hingga 30 ton. Namun pesulap lain seperti Valentino dalam suatu serial TV telah menunjukkan sebagian rahasia trick Copperfiled, entah itu membuat seekor gajah “hilang” atau tidak cedera sedikitpun meski tubuh “dipotong-potong”.
Ketiga adalah mentalist, yaitu kemahiran penggunaan kekuatan mental. Dengan suatu latihan konsentrasi, kekuatan mental manusia mampu melakukan berbagai hal yang luar biasa, seperti membaca pikiran orang, mempengaruhi pikiran orang (hipnotis), berkomunikasi dengan gelombang pikiran (telepati), bahkan sampai menggerakkan atau memindahkan benda tanpa menyentuhnya (telekinesis). Inilah antara lain yang dilakukan Dedy Cobuzier atau para ahli hipnotis. Juga barangkali para penyihir yang dikalahkan Nabi Musa.
Di sini kita tahu bahwa “sihir” type black-magic sudah pasti keharamannya karena mengandung kemusyrikan. “Sihir” ilusi hanya permainan untuk tujuan menghibur, yang barangkali hukumnya mubah. Sedang “sihir” mental tergantung kepada untuk apa itu digunakan. Hipnotis sebagai ganti obat bius dalam operasi medis, barangkali halal digunakan. Sedang telepati atau telekinesis kalau dipakai jihad barangkali juga mubah.
Kisah nabi Sulaiman barangkali adalah kisah paling menakjubkan yang didambakan oleh setiap pecinta instanisme. Bagaimana tidak, Sulaiman adalah Nabi yang diberi Allah kerajaan yang kaya raya, serta berbagai “kemampuan gaib” seperti bicara dengan binatang atau mengendarai angin.
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (Qs. 27:16)
Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. … (Qs. 34:12)
Apakah kemampuan Nabi Sulaiman ini mukjizat – yang artinya hanya bukti kenabian beliau, ataukah itu sesuatu yang bisa dipelajari manusia lain? Bagaimana dengan kalimat “Allah telah alirkan carian tembaga baginya” – yang maknanya Nabi Sulaimanlah orang pertama yang menguasai teknik pengolahan tembaga. Sama seperti Daud dengan teknik baju besi.
Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untukmu, guna memeliharamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur. (Qs. 21:80)
Dugaan bahwa ilmu bicara dengan binatang atau mengendarai angin (entah bagaimana caranya) ini adalah “sains yang telah hilang” – bukan mukjizat dan bukan sihir, dikuatkan ayat lain tentang kemampuan seorang manusia biasa di masa itu.
Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antaramu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (Qs. 27:38)
Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya”. (Qs. 27:39)
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau ingkar (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (Qs. 27:40)
Ayat ini menunjukan dua hal: teknik pemindahan seketika menembus ruang (teleportasi) ini dikerjakan manusia biasa – berarti bukan mukjizat, dan juga tidak atas pertolongan jin. Jadi ilmu ajaib ini memang ada! Apakah dia pantas disebut sihir?
Allah membantah spekulasi itu:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Qs. 2:102)
Dari ayat ini tampak bahwa asal muasalnya, ilmu-ilmu ajaib ini bersifat netral. Untuk melakukannya, baik manusia maupun jin harus mempelajarinya dengan susah payah. Diduga bahwa pada dasarnya, keduanya adalah olah mental untuk melatih konsentrasi. Dan jin, meski tak memiliki raga, jelas memiliki mental (ruh), dan dengan latihan itu akan mampu melakukan berbagai hal. Manusiapun juga, bahkan bisa lebih baik dari jin. Itulah mengapa seorang manusia di zaman Sulaiman mampu mengalahkan jin ifrit yang paling cerdik dan kuat. Dan itulah juga, mengapa seorang manusia yang terlatih mampu mengusir jin – lepas dari soal apakah dia menggunakan Qur’an atau tidak.
Hanya, manusia yang malas, akan mengambil jalan pintas. Daripada susah-susah latihan konsentrasi, dia minta tolong saja sama jin yang sudah ahli, tentunya dengan syarat-syarat yang diminta jin. Dan inilah salah satu pangkal kekufuran.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (Qs. 6:112)
Jin itu sendiri
Jin diciptakan sebelum manusia. Karakteristik fisik dan dimensi alam mereka berbeda dengan manusia. Karena itu, syari’at mereka juga berbeda. Maka tak heran meski ajaran tauhid juga tertuju kepada jin, namun Nabi tidak pernah mengajak jin untuk membantu jihadnya.
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (Qs. 15:27)
Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya: sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (Qs. 72:1)
Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (Qs. 55:33)
Karena itu sulit juga diterima mu’amalah dengan jin, apakah itu transaksi yang melibatkan jin (jual beli jin) ataukah pernikahan dengan jin. Sebagian ulama secara teoretis hanya menganggap mubah pernikahan lelaki manusia dengan wanita jin, dan anaknya pasti manusia. Namun mereka menganggap haram bila sebaliknya, atau menganggap bila lelakinya jin, maka anaknya pasti jin – dan tidak tampak. Hal ini karena, kalau anaknya bisa manusia, maka akan muncul pengakuan seorang wanita yang punya anak, meski diketahui tidak bersuami, bahwa dia bersuamikan jin. Dan ini harus dicegah secara syar’i. Adapun kalau lelakinya manusia, maka anak jin yang manusia itu toh harus lahir dari ibu manusia. Artinya, laki-laki yang seperti ini harus sudah punya istri yang manusia. Dan istri jinnya, ketika akan bersetubuh dengan suami manusianya itu, harus merasuk dulu ke tubuh istrinya yang manusia. Rumit ya … Apakah teori ini ditemui dalam kenyataannya, wallahu a’lam.
Namun fenomena jin merasuk ke tubuh manusia bisa ditemui di banyak tempat. Orang yang kerasukan akan berbicara dengan suara atau bahkan bahasa yang sangat asing, yang mustahil dia pernah menyadarinya. Atau bisa juga dia menjadi sangat kuat, kebal, mampu melompat sangat jauh atau sejenisnya. Namun tanpa badan kasar begini, jin hanya mampu mengerahkan kekuatan mentalnya – inipun kalau terlatih.
Penelitian Parapsikologi
Di dunia ilmiah, yang mengandalkan observasi atas suatu fenomena yang bisa diukur dan karena itu harus bisa diulangi, memasukkan masalah alam gaib dan ilmu sihir ini ke dalam bahasan Parapsikologi. Para artinya “di atas”, artinya di atas batas capaian ilmu itu. Karena fenomena ini lebih banyak berkaitan dengan mental atau jiwa manusia, maka jadilah dia masuk para-psikologi.
Di Austria dan negara maju lainnya, riset parapsikologi tak cuma dilakukan psikolog. Organisasi parapsikologi juga bukan kumpulan para dukun. Justru anggotanya yang terbanyak datang dari para saintis dan fisikawan.
Mereka mengumpulkan fenomena-fenomena ajaib dari berbagai penjuru, dan mencoba mengulangi fenomena itu di laboratorium yang diawasi ketat. Faktanya fenomena seperti telepati (komunikasi pikiran), telekinesis (memindahkan benda tanpa menyentuh), clairvoyance (melihat menembus ruang), hipnotis (mengendalikan pikiran), levitasi (terbang melayang), teleportasi (memindahkan benda menembus ruang), transfigurasi (merubah bentuk) dll, itu memang ada.
Tentu saja, sains tidak puas dengan bukti adanya fenomena. Sains juga ingin mencoba membentuk teori untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi berdasarkan apa yang telah diketahui sebelumnya dengan pasti. Saat ini teori yang berkembang selalu berkaitan dengan dua asumsi: adanya gelombang mental (dengan partikel hipotetis “psychotron”) serta adanya ruang dimensi ke-empat, tempat segala masalah lompatan ruang dan waktu bisa dijelaskan. Tentang gelombang mental: sebagian bisa diukur dengan alat Electro-Ensephalograph (EEG). Sedang keberadaan dimensi di atas dimensi-3, dalam fisika quantum yang membahas partikel nuklir sudah bisa diukur keberadaannya, namun untuk ukuran makro belum bisa dideteksi. Jadi riset parapsikologi belum mendapatkan seluruh penjelasan yang memuaskan, selain bahwa ada orang-orang yang memang berbakat dalam parapsikologi. Artinya, meski nantinya teori itu terbangun, belum tentu semua orang akan mampu menerapkannya, kecuali dia berbakat. Jadinya, tampaknya ilmu ini lebih bersifat seni …
Memproporsionalkan Dunia Fiksi Gaib.
Dunia fiksi masa lalu melukiskan sihir sebagai ilmu serba bisa. Kisah 1001 malam penuh “Sim Sala Bim” atau “Abrakadabra”, dan seketika kesulitan berubah menjadi kesenangan. Mungkin inilah yang membuat orang menjadi penganut instanisme.
Namun di zaman modern ini, penulis-penulis fiksi mulai lebih proporsional. Novel bestseller “Harry Potter” menggambarkan dunia penyihir sebagai komunitas tersendiri yang menutupi eksistensinya dari pandangan “muggle” (non penyihir). Di “Kementrian Sihir” sampai perlu ada departemen “pembalikkan sihir tak sengaja pada muggle”. Dan tentu saja, untuk bisa menyihir, tak cukup sekedar membaca mantra dan mengayunkan tongkat sihir, namun harus belajar bertahun-tahun yang penuh lika-liku, dan inilah daya tarik novel ini.
Demikian juga di salah satu komik Doraemon, ketika Nobita yang pemalas ingin bisa menyelesaikan PR-nya dengan sihir, lalu menelepon Kotak Andaikan, sehingga seluruh dunia berubah jadi dunia sihir. Tetapi Nobita tetap saja murid terbodoh – karena dia belum belajar sihir sejak kelas 1 SD! Dan lucunya lagi, di dunia sihir juga banyak masalah, misalnya dengan gempa bumi yang makin sering – karena mendekatnya planet setan.
Kesimpulannya, baik alam gaib, ilmu sihir ataupun parapsikologi memang harus didudukkan dan dihadapi secara proporsional. Dan yang jelas, jangan berharap semua masalah bisa diselesaikan dengan instan!