Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Indonesia mengalami krisis listrik. Alasannya cuaca buruk berkepanjangan, sehingga pasokan batubara dengan kapal di beberapa pembangkit besar di Jawa tidak lancar. Stock habis. Beberapa pembangkit pun padam. Terjadilah defisit listrik. Tentu saja ada kritik yang mengatakan bahwa PLTU Paiton di Jawa Timur yang milik swasta tidak mengalami keadaan itu. Mereka punya perencanaan dan manajemen yang lebih baik. Jadi, apakah alasan cuaca tadi sekedar cara untuk mendorong agar PLN diprivatisasi saja?
Pembangkitan Listrik
Listrik berdaya kecil dapat dibuat secara sederhana dengan buah-buahan yang ditusuk dua elektroda dari logam yang berbeda. Namun listrik berdaya besar pada umumnya dibangkitkan dengan sebuah generator listrik. Generator ini berada pada suatu Pusat Listrik dan digerakkan dengan sumber tenaga primer, yang di Indonesia terutama berupa minyak bumi (PLTGU, PLTD), batubara (PLTU), gas (PLTG), dan air/hidro (PLTA). Untuk membangkitkan listrik sebesar 22.000 MW, Indonesia masih sedikit memakai energi panas bumi, angin, ombak, pasang surut laut atau energi surya. Sementara itu energi nuklir baru ada dalam skala reaktor penelitian di Badan Tenaga Nuklir Nasional. Grafik berikut menggambarkan komposisi energi primer PLN.
Dari komposisi di atas, penggunaan BBM beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat meski harga minyak mentah sudah menembus US$ 100/barrel dan PLN mesti membeli dari Pertamina dengan harga pasar (non subsidi). Banyak PLTGU yang sebenarnya dapat dijalankan dengan gas atau BBM, tetapi justru selama ini menggunakan BBM. Gas sebenarnya lebih murah, namun sayangnya gas Indonesia banyak dijual dengan kontrak jangka panjang ke Cina dengan harga US$ 2,8 / mmbtu. Di pasar spot saat ini gas dihargai US$ 7-8 / mmbtu.
Kapasitas PLN 22.000 MW bila dibagi jumlah penduduk Indonesia didapatkan sekitar 100 W/orang. Andai saja listrik ini hanya untuk penerangan orang per orang saja barangkali cukup. Kenyataannya listrik juga dipakai untuk industri, perkantoran, pengaturan dan penerangan jalan umum dan sebagainya. Sebagian rumah tangga juga menggunakan listrik untuk aktivitas non penerangan, seperti menyedot air, menyetrika, memasak, menghidupkan televisi hingga mendinginkan udara. Akibatnya, baru 54% rumah tangga Indonesia yang sudah menikmati listrik (PLN Statistics 2005 dalam Indonesia Energy Outlook, hlm 64).
Dari komposisi di atas dapat dipahami bahwa pembangkitan listrik amat tergantung pada pasokan bahan bakar. Realitanya, tambang bahan bakar terletak jauh di pelosok, bahkan di pulau lain, sementara pembangkit listrik harus berada lebih dekat ke konsumen untuk mengurangi susut energi pada transmisi. PLTU atau PLTG biasanya ditaruh di tepi laut untuk mempermudah mendapatkan air pendingin serta transpor bahan bakar melalui laut. Karena itu pembangkit listrik seperti ini amat terkait dengan teknologi optimasi rantai suplly bahan bakar, sejak penambangan, pemindahan, penampungan hingga pengolahan limbahnya.
Tak heran bahwa pembangkitan listrik dalam skala besar selalu merupakan sesuatu yang padat teknologi dan karenanya padat modal. Para insinyur kita mungkin mampu membuat satu generator lengkap yang teknologinya sudah menjadi public domain (karena patent dari Siemens beberapa puluh tahun yang lalu pasti sudah kedaluarsa). Namun untuk membangun satu sistem Pusat Listrik sekelas Suralaya, tentu bukan perkara sederhana. Diperlukan banyak sekali teknologi. Karena saat ini tidak ada kontraktor lokal yang siap dan berpengalaman membangun Pusat Listrik besar sebesar ini, maka sebagian besar teknologinya masih diimpor. Karena diimpor dari negara maju, harganyapun terserah mereka. Diperlukan modal sekitar 10 Trilyun Rupiah untuk membangun PLTU sekelas Suralaya. Kalau ini dilepas ke mekanisme pasar, maka yang mampu dan berani membangunnya hanya konglomerat sangat besar kelas dunia (baca: asing). Dan mereka tentu akan minta syarat-syarat yang menguntungkan, misalnya jaminan dibeli oleh pemerintah di atas tarif dasar listrik (seperti kasus Paiton). Jika tidak, maka harga pembuatan pembangkit itu akan lebih tinggi lagi. Kita didikte, karena tidak menguasai teknologi dengan sebenar-benarnya.
Interkoneksi
Volume energi yang dibangkitkan harus dibuat sedemikian rupa agar PLN mampu memenuhi kapasitas terpasang dari konsumen. Jika kapasitas terpasang 16.000 MW, maka PLN harus siap jika seluruh konsumen menyalakan listriknya sehingga tercapai beban puncak 16.000 MW tersebut. Kemudian untuk antisipasi manakala ada pembangkit yang mati, terganggu atau ada sabotase (pencurian listrik), maka PLN harus memproduksi listrik lebih banyak, yakni hingga 22000 MW. Andaikata realitas beban jauh di bawah kemampuan maksimum PLN, maka energi listrik yang terbangkitkan akan hilang karena dalam jumlah besar energi listrik tidak bisa disimpan lagi.
Demi efisiensi, sistem listrik di Jawa-Bali dibuat interkoneksi sehingga daya yang dibangkitkan dapat digunakan bersama-sama, dan padamnya satu pembangkit karena gangguan atau perawatan tidak membuat satu kawasan padam. Sistem ini memerlukan teknologi yang handal dan ”cerdas” untuk memperkirakan dan membagi beban dari jarak jauh. Karena itu dalam sistem interkoneksi ada sejumlah pembangkit yang berfungsi sebagai pembangkit ”taktis”, yang dinyalakan begitu terdeteksi adanya kenaikan beban. Pembangkit taktis ini harus relatif mudah dihidup-matikan, misalnya pada PLTA atau PLTD.
Pada sistem yang belum terinterkoneksi seperti di luar Jawa, biaya pembangkitan listrik menjadi sangat mahal. Karena TDL berlaku nasional, maka selama ini terjadi subsidi silang dari pelanggan di Jawa ke luar Jawa.
Un-bundling
Melihat teknologi PLN seperti di atas, akan terlihat bahwa untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat yang saat ini masih rendah, idealnya seluruh aktivitas pembangkitan listrik memang terpadu, baik dari rantai produksi sejak dari sumber energi primer, maupun dari interkonektivitas antar wilayah. Jadi idealnya, PLN, Pertamina dan PGN pun disatukan saja, sehingga tidak perlu PLN membeli BBM Pertamina dengan harga pasar. Demikian juga dengan kapal tanker atau pengangkut batubara, pabrik-pabrik pembuat mesin-mesin listrik dan peralatan pertambangan, serta Perhutani yang menguasai hutan-hutan pada daerah tangkapan air PLTA-PLTA pun harusnya juga satu keluarga (”holding”) dengan PLN.
Karena itu, secara teknis rencana un-bundling atau melepas bagian-bagian dari PLN secara vertikal (menjadi perusahaan pembangkitan, perusahaan transmisi, perusahaan distribusi dan perusahaan pelayanan) maupun secara horizontal (per wilayah) justru akan tidak efisien. Kalaupun saat ini ada operasional salah satu bagian dari PLN yang tidak efisien atau mis-manajemen, maka cukup bagian itu saja yang disehatkan, dan tidak harus merombak struktur PLN yang justru merupakan penyatuan beberapa perusahaan listrik pada era pasca kemerdekaan.
Lebih jauh lagi, masalah PLN seharusnya tidak disimplifikasi dengan un-bundling (dan lebih jauh lebih privatisasi) atau krisis sumber energi primer akibat cuaca, tetapi adalah masalah politik teknologi untuk merebut dan menguasai teknologi tinggi di balik seluruh instalasi listrik PLN, politik investasi agar negara memiliki ketahanan energi, hingga politik ekonomi energi agar semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar energi secara murah, dan tidak terhalangi memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.