Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah. Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700. Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium.
Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik. Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah. Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis. Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir.
Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global. Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata. Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986. Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.
Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas. Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor. Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.
Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan. Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui. Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.
Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung. Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-fram). Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik. Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan. Efisiensinya juga masih rendah. Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.
Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, gelombang laut, perbedaan panas laut dan bahan nabati.
Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM – Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro. Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007).
Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik. Beberapa negara maju punya ”kebun-angin” (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PTLB). Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan. Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa.
Demikian juga dengan gelombang laut yang terjadi antara lain oleh angin. Dengan alat yang tepat, gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi. Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai. Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan.
Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu.
Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy). Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi. Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini.
Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir. Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati. Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun. Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas). Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel. Dan biodiesel yang dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar.
Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel. Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun. Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar). Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel.
Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar. Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)!
Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura. Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses. Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis. Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya.
Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga. Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut. Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007). Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat.
Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan. Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mengembangkan.
Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan. Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan. Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.