Sekarang syariah sudah mulai “nge-trend”. Di mana-mana orang sudah semakin tidak “phobi” atau “risih” dengan label syariah. Sudah semakin banyak bank atau asuransi berlabel syariah. Bahkan hotel dan restoran syariah pun muncul bak cendawan di musim hujan.
Tentu saja orang masih bisa berdebat sejauh mana syariah benar-benar ada pada lembaga-lembaga itu. Maka sudah saatnya dirumuskan indikator suatu hal disebut “sesuai syariah”, agar pelabelan itu bisa terukur, sehinga yang sudah bisa dipertahankan, dan yang kurang bisa dilengkapi.
Maka lalu muncul pertanyaan, seperti apa “kota syariah” itu? Apakah sekadar kota yang tak ada maksiat di dalamnya? Tak ada lokalisasi pelacuran, tak ada miras, tak ada judi, tak ada diskotik atau “salon aneh-aneh”? Atau kota syariah adalah sebuah kota yang “menggiring” (tak cuma memfasilitasi) seluruh warganya agar melaksanakan seluruh syariah?
Beberapa walikota di Indonesia mendapat penghargaan internasional atas keberhasilannya membangun kota yang lebih humanis, kota yang tidak dilalap oleh gegap gempita investasi, kota yang juga untuk mereka yang lemah dan kurang beruntung. Sedang kota syariah adalah sebuah kota yang dirancang sedemikian rupa sehingga membuat mudah semua orang untuk selamat agamanya; sehat fisik, jiwa dan sosialnya; meningkat ilmu dan kecerdasannya; berkah rezekinya; dan mereka dapat meninggalkan dunia dengan khusnul khatimah.
Tentu saja, kota syariah pasti bukan kota yang setiap hari dihantui kesemrawutan atau kemacetan di jalanan, banjir setiap musim hujan, kumuh permukimannya, tidak aman jalanannya dan rawan terhadap bencana apa saja. (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang terpikir oleh orang akan kota Jakarta? Survei membuktikan bahwa jawaban terbanyak adalah: macet!
Macet adalah dampak dari sebuah kota yang kurang terrencana. Setiap hari, tiga juta orang harus bergerak dari luar Jakarta untuk bekerja di Jakarta. Mereka harus tinggal di luar Jakarta, karena di Jakarta tidak lagi tersedia permukiman yang layak dan terjangkau oleh mereka. Sementara itu, penciptaan lapangan kerja masih tetap berpusat di Jakarta. Akibatnya timbul pergerakan massal. Celakanya, untuk pergerakan massal ini tidak tersedia sarana transportasi massal yang memadai. Jalur kereta api kita sangat terbatas, kumuh dan tidak aman. Konsentrasi penduduk yang sangat tinggi ini juga kurang ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti air bersih, pengolahan sampah, taman bermain apalagi fasilitas penanggulangan bencana. Kata Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ruang Terbuka Hijau di DKI tinggal 9,1 persen, padahal menurut Undang-Undang no 26/2007 tentang Penataan Ruang mestinya 30 persen. Makanya setelah macet, Jakarta juga langganan banjir. Kalau dikatakan itu karena letak geografisnya yang lebih rendah dari muka air laut pasang, maka Amsterdam di Belanda sebenarnya lebih rendah lagi, yakni rata-rata tujuh meter di bawah muka laut), tetapi kota itu sudah sekian puluh tahun tidak pernah kebanjiran. Sedang kalau dikatakan bahwa Jakarta seperti itu karena populasi yang sangat tinggi, maka sebenarnya populasi Jakarta dan sekitarnya belum ada setengahnya Tokyo Jepang yang saat ini berpenduduk 39 juta jiwa. Saat ini Tokyo adalah kota terbesar dan terpadat di dunia, yang juga menghadapi ancaman bencana seperti gempa dan taifun. Namun siapapun yang pernah ke Tokyo tidak mendapati masalah seperti yang dihadapi Jakarta kecuali masalah itu teratasi.
Kuncinya adalah usaha tak pernah henti untuk merencanakan kota dengan baik, melaksanakan rencana dan mengawasinya supaya tidak ada pelanggaran. Ada banyak teknologi yang dapat dilibatkan agar penataan kota itu berjalan optimal. Dan ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu!
Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa. Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.
Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.
Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah. Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.
Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.
Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota. Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 Kilometer. Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir. Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama. Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya. Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.
Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.
Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah pada tahun 637. Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.
Kejayaan Baghdad baru surut pasca serangan tentara Tartar pada tahun 1258 M, yang terjadi setelah ada pengkhianatan di antara pejabat Khilafah. Serangan ini berakibat terbantainya sekitar 1,6 juta penduduk Baghdad dan musnahnya khazanah ilmu yang luar biasa setelah buku-buku di perpustakaan Baghdad dibuang ke sungai Tigris, sampai airnya menghitam.