oleh: Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini para pemimpin dunia berkumpul di Rio de Janeiro (Brazil) untuk membahas suatu agenda yang disebut “Rio Post-20”. Dua puluh tahun yang lalu (1992) di tempat yang sama, para penguasa dunia saat itu juga berkumpul memikirkan langkah-langkah menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan yang semakin serius. Sayang, banyak rekomendasi yang ditelurkan saat itu justru tidak diratifikasi oleh negara pemboros sumber daya alam dan pembuat pencemaran terbesar di dunia saat ini, yaitu Amerika Serikat!
Padahal bumi ini memiliki mekanisme sendiri. Dia akan terus mengeluarkan berkah tanpa henti, selama dikelola dengan syariah. Dan umat Islam dalam sejarah telah membuktikan. Mereka juga tidak berhenti hanya dalam bentuk pengaturan syariah, tetapi juga mengembangkan segala teknologi untuk menjadikan bumi makin berkah.
Para ilmuwan Islam terdahulu telah menjadikan ilmu bumi (geografi) sebagai ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi). Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik). Yang hidup pun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.
Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk mengubahnya sesuai kebutuhan kita. Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang. Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.
Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama. Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi. Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan. Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram. Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes. Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu. Penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.
Setelah kejatuhan Romawi, terjadi migrasi dari geografi Eropa ke dunia Islam. Alquran memerintahkan untuk melakukan penjelajahan demi penjelajahan (QS Ar Ruum: 9). Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.
Namun tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan kata-kata. Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi yang dikenal sebelumnya. Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu. Al-Balkhi bahkan mendirikan “Mazhab Balkhi” untuk pemetaan di Baghdad.
Al-Biruni menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan. Dialah yang pertama kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator (1512-1594). Al-Biruni dikenal sebagai sosok yang paling trampil dalam soal pemetaan kota dan pengukuran jarak antar kota, yang dia lakukan untuk banyak kota di Timur Tengah dan anak benua India. Dia mengombinasikan antara kemampuan astronomis dan matematika untuk mengembangkan berbagai cara menentukan posisi lintang dan bujur. Dia juga mengembangkan teknik mengukur tingginya gunung dan dalamnya lembah. Dia juga mendiskusikan tentang habitabilitas planet (syarat-syarat planet yang dapat didiami) dan menaksir bahwa seperempat permukaan bumi dapat didiami manusia. Dia juga menghitung letak bujur dari kota Khwarizm dengan menggunakan tinggi matahari dan memecahkan persamaan geodetis kompleks untuk menghitung secara akurat jari-jari bumi yang sangat dekat dengan nilai modern. Metode al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi yang berbeda. Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.
John J O’Connor dan Edmund F Robertson menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Important contributions to geodesy and geography were also made by Biruni. He introduced techniques to measure the earth and distances on it using triangulation. He found the radius of the earth to be 6339.6 km, a value not obtained in the West until the 16th century. His Masudic canon contains a table giving the coordinates of six hundred places, almost all of which he had direct knowledge.”
Seiring dengan al-Biruni, Suhrab pada abad ke-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi equi-rectangular atau cylindrical-equidistant. Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.
Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi membuat peta dunia yang detil atas permintaan raja Roger di Sicilia, yang waktu itu dikuasai Islam. Peta al-Idrisi ini disebut di Barat “Tabula Rogeriana”. Peta ini masih berorientasi ke Selatan. Al-Hamawi menulis Kitab Mu’jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu. Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak meninggalkan catatan. Sementara itu Ibnu Khaldun menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.
Geografer Muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.
Geografi di kalangan kaum Muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih menegakkan jihad. Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi pun mengendur. Kaum Muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan mereka dalam peta geopolitik dunia. Akibatnya satu demi satu tanah air mereka lepas atau sumber dayanya diperas atau dicemari penjajah kafir. Maka keberkahan dari bumi pun lenyap sudah.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Harga Bahan Bakar Minyak memang tidak jadi naik per tanggal 1 April 2012 ini. Bagi sebagian kalangan, itu dianggap bukti keberhasilan berbagai demonstrasi di seluruh antero negeri. Bagi sebagian yang lain, itu bukti bahwa masyarakat tidak lagi dapat dibodohi dengan argumentasi ngawur bin tidak akurat, yang diboncengi oleh agenda liberalisasi energi. Tapi ada sebagian yang tetap kritis, apakah dengan ini berarti ada “hikmah” yang juga tak jadi diraih?
Dalam sejarah, respon manusia terhadap kesulitan selalu ada dua macam: pertama marah, kedua mengambil hikmah – bahkan “berkah”. Dalam sejarah umat Islam yang panjang, ternyata mereka lebih sering mengambil hikmah.
Krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali. Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi. Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.
Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi. Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan. Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi. Muncullah penggunaan energi non hayati. Rentang masa ini cukup panjang. Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).
Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien. Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.
Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.
Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun! Namun Khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom Khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah). Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog. Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin. Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.
Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka. Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.
Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan. Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain. Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya. Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.
Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.
Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter). Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.
Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”. Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral. Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan. Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga. Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.
Meski pada saat itu batubara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinya pun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, eksploitasi batubara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.
Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat. Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat. Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat. Hanya dengan itu, keterbatasan energi benar-benar justru mendatangkan berkah![]
Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik: Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:
1. Tentang POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan. Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid! apalagi di jalanan!
Sayangnya mereka keliru!
Sholat memang sebuah ibadah. Masjid juga tempat ibadah. Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik! Aktivitas politik adalah fardhu kifayah. Dan jumlah fardhu kifayah itu bila dihitung-hitung, sesungguhnya melebihi jumlah fardhu ain. Termasuk fardhu kifayah adalah mengupayakan adanya air bersih, ada listrik, ada jalan, ada sekolah, ada fasilitas kesehatan, ada pengelolaan sampah, ada sarana transportasi publik, ada petugas keamanan, ada layanan informasi kesempatan kerja, dsb. Dan mengupayakan itu semua adalah aktivitas politik!
2. Tentang ORGANISASI POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, partai politik adalah satu-satunya kendaraan untuk aktivitas politik. Itu benar manakala yang dimaksud adalah untuk mendudukkan orang-orang di Parlemen atau Kekuasaan secara legitimate (LEGITIMASI politik). Tetapi fungsi dari parpol menurut teori seharusnya tidak cuma itu, tetapi juga EDUKASI politik, ADVOKASI politik, AGREGASI politik, dan REPRESENTASI politik. Rakyat perlu diedukasi agar tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam bermasyarakat dan bernegara. Bila mereka dizalimi, atau dalam posisi lemah berhadapan dengan pihak yang lebih kuat ataupun penguasa, maka harus ada advokasi bagi mereka. Oleh karena itu mereka harus dapat dikumpulkan (diagregasi) dengan suatu platform dan tujuan yang sama. Dan karena itulah, mereka dapat menunjuk seorang atau beberapa wakil yang representatif untuk mewakili mereka. Ini adalah fungsi-fungsi organisasi politik. Kalau melihat fungsi-fungsi ini, maka aktivitas politik ternyata juga bisa dilakukan dalam skala kecil oleh sebuah LSM, atau dalam skala yang lebih besar oleh Ormas. Ormas itu bisa berbasis profesi (seperti Ikatan Dokter Indonesia), berbasis kepemudaan (seperti KNPI), ataupun berbasis agama (seperti HTI). Anehnya, justru parpol-parpol di Indonesia saat ini hanya eksis menjelang agenda legitimasi politik (yaitu pemilu), dan mereka nyaris abai terhadap 4 aktivitas yang lain (edukasi, advokasi, agregasi dan representasi). Akibatnya, mereka jadi bahan banyolan dari rakyat di bawah.
3. Tentang DEMOKRASI
Bagi sebagian besar orang, demokrasi hanyalah pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil. Ini sebenarnya hanya demokrasi prosedural. Hakekat demokrasi bukan itu, tetapi “kedaulatan bersumber dari [keinginan] rakyat”. Kalau rakyatnya senang minum bir seperti di Jerman, keluarlah UU yang melegalkan produksi dan peredaran miras. Kalau rakyatnya mentolerir narkoba seperti di Belanda, keluarlah UU yang melegalkan narkoba secara terbatas. Kalau rakyatnya menganggap pernikahan sejenis itu bukan masalah seperti di Swedia, keluarlah UU yang melegalkan pernikahan sejenis. Dan kalau rakyatnya setuju untuk menyerbu negara lain seperti di AS (dengan agresinya ke Irak dan Afghanistan), maka keluarlah UU-APBN yang membiayai serbuan itu, serta terpilihnya kembali presiden yang menginginkan agresi. Jadi, demokrasi tidak bisa mencegah malapetaka seperti ini. Kalau persoalannya bersumber dari tingkat kesadaran masyarakat, dan orang diminta optimis, bahwa bila masyarakatnya terdidik secara islami, maka mustahil demokrasi akan menghasilkan keputusan UU yang fatal seperti itu, maka berarti lebih tepat kita berjuang untuk memberi penyadaran masyarakat, bukan berjuang untuk bertarung di pentas demokrasi! Tanpa didahului dengan upaya penyadaran masyarakat, maka proses demokrasi di negeri-negeri Islam tidak akan menjadikan Islam sebagai pemenang. Bahkan di negeri yang Islam menang pun, kalau militernya belum sadar, militer masih bisa mengintervensi demokrasi. Partai FIS di Aljazair, meraih 88% kursi dalam pemilu 1992, tapi lantas militer membatalkan pemilu. Partai Refah di Turki, meraih mayoritas suara dan ketuanya (Erbakan) menjadi Perdana Menteri, tapi tak lama kemudian militer mengkudetanya dengan tuduhan membahayakan konstitusi sekuler, sekalipun Erbakan ketika dilantik sudah bersumpah akan membela konstitusi Turki yang sekuler. Dan Partai Hamas di Palestina yang menang pemilu, juga akhirnya hanya dapat berkuasa di sebagian kecil wilayah Palestina yang merupakan basis massa pendukungnya. Jadi terus jalan apa yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan?
4. Tentang PERUBAHAN
Bagi sebagian besar orang, perubahan otomatis akan terjadi ketika seseorang yang shaleh terpilih menjadi penguasa. Mereka menyangka, masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu. Jadi ketika individu-individu itu sholeh, otomatis masyarakatnya akan sholeh. Mereka keliru!
Sebuah gedung terdiri dari batu, besi, semen, kayu dan kaca. Tetapi kumpulan itu semua tidak otomatis menjadi gedung. Bahan bangunan itu perlu ditata atau diatur dengan suatu pola sedemikian rupa agar menjadi gedung.
Demikian juga masyarakat. Kumpulan orang sholeh itu perlu ditata dan diatur agar menjadi sebuah masyarakat yang sholeh. Mereka ditata dengan suatu pemikiran dan perasaan kolektif (atau kita sebut opini umum atau KULTUR), dan diatur dengan suatu peraturan yang disepakati (atau kita sebut STRUKTUR). Kultur dan Struktur ini bersama-sama disebut SISTEM. Perubahan kultural dilakukan melalui aksi-aksi pembentukan opini, sedang perubahan struktural dilakukan melalui kontak-kontak kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat. Kalau kedua hal ini bisa berjalan seiring, maka perubahan itu pasti akan terjadi. Tapi kongkritnya bagaimana?
5. Tentang CONTOH KONKRIT
Tidak usah jauh-jauh menyebut contoh dari Eropa Timur (jatuhnya Komunisme) atau Afrika Selatan (tumbangnya rezim Apartheid), di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa. Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik mendesak Soeharto turun. Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi. Jadilah Soeharto lengser. Hanya saja, people-power seperti ini terbukti kemudian tidak solid, karena common-enemy mereka hanya person Soeharto. Selanjutnya dalam agenda reformasi, ternyata mereka tidak fokus, pijakannya tidak sama, serta kepentingan lain-lain.
Tetapi bisa kita bayangkan, bahwa suatu hari nanti, setelah kondisi ekonomi makin buruk, sementara panutan pemerintah ini yaitu AS & Eropa juga makin hancur terkena krisis ekonomi global yang akhirnya juga menyeret Jepang, Cina dan India, maka suatu hari Presiden meminta para tokoh nasional untuk berkumpul. Mereka terdiri dari para Pimpinan TNI, para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara (MA, MK, DPR, DPD), para Menteri strategis, Gubernur BI, Jaksa Agung, Ketua KPK, para pimpinan Parpol, Tokoh Intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Pengusaha, Tokoh Media dll.
Presiden lalu curhat, “Saya kemarin saat kunjungan ke Amerika bertemu seorang pengusaha kelas dunia. Kami berdiskusi, dan saya terkejut ketika dia bilang bahwa ekonomi Amerika ini tak lama lagi akan tenggelam. Dia menyarankan agar kita menengok pada jalan alternatif. Dan tadi malam, saya bermimpi bertemu almarhum eyang saya, seorang Kyai Kharismatis di masa Perjuangan Kemerdekaan dulu. Dia menasehati saya agar menegakkan syariat Islam di negeri ini, karena itu adalah amanat perjuangan kemerdekaan, ini kalau kita tidak ingin kapal Indonesia ini ikut tenggelam, sementara saya sekarang nakhodanya. Bagaimana pendapat Saudara-saudara?”
Maka tokoh paling senior di forum itu, yang kebetulan menjabat Ketua MPR mengatakan, “Saudara Presiden, akhir-akhir ini saya melihat bahwa yang disuarakan oleh gerakan-gerakan syariah dan khilafah sejak tahun 2000 itu barangkali benar. Persoalannya, kita selama ini terlalu angkuh dengan kedudukan kita. Dan perlu Saudara Presiden ketahui, di akar rumput partai saya, yang meskipun sebuah partai nasionalis dan demokratis, semakin hari saya rasakan semakin banyak yang mendesak agar elit partai mendukung penerapan syariah & khilafah. Saya jadi memberanikan diri untuk bertanya kepada Ketua MUI, Ketua Muhammadiyah, Ketua NU dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, apa benar kalau kita terapkan syariah dan khilafah itu nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih mudah terwujud?”
Ternyata 4 orang yang ditanya itu semua menganggunk-angguk tanda setuju.
Seorang tokoh media yang paling berpengaruh bicara, “Sebenarnya selama ini memang aktivitas gerakan syariah dan khilafah makin luas mendapat dukungan. Mereka bergerak di tataran akademis maupun di tengah masyarakat. Jumlah pendukung aksi pro syariah di jalan-jalan mencapai puluhan ribu orang di hampir 500 kota di Indonesia. Tetapi kami kalangan media memang selama ini kurang menayangkan karena jarang ada insiden di aksi-aksi itu. Tidak ada news”.
Gubernur BI menambahi, “Saya kemarin diskusi panjang dengan ajudan saya yang ternyata sangat cerdas, dan saya kini semakin yakin bahwa dengan sistem moneter syariah kita tidak perlu repot lagi menjaga nilai tukar mata uang ataupun menghitung nilai suku bunga yang tepat”.
Ketua KPK menimpali, “Saya juga berapa waktu yang lalu diyakinkan dalam diskusi terbatas bidang hukum bahwa dengan sistem syariah yang komprehensif maka pencegahan dan penindakan korupsi akan jauh lebih efektif”.
Tiba-tiba Panglima TNI angkat bicara, dengan suaranya yang khas, berat dan berwibawa, “Saudara Presiden, saya yakin, kalau Saudara, dengan sepersetujuan MPR, sepakat agar kita mengubah tata negara kita menjadi Negara Khilafah dan menerapkan syariat Islam di dalam dan di luar negeri, saya yakin, kemampuan kita dalam menjaga kedaulatan NKRI akan makin meningkat, bahkan mungkin, beberapa wilayah kita yang telah lepas seperti Timor-Leste, atau selama ini terancam separatis seperti Aceh dan Papua, akan justru menjadi yang pertama mendukung Negara Khilafah itu. Oleh karena itu, kami pimpinan TNI – dan saya yakin juga Saudara Kapolri – akan siap berbaiat kepada Saudara sebagai Khalifah, dan kami siap membela Anda dalam menerapkan syariat Islam, lebih dari membela anak dan istri kami sendiri”.
Semua terkesiap. Tetapi seorang tokoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang hadir menimpali, “Kami warga Kristen, termasuk yang di Indonesia Timur, sebenarnya selama ini banyak berinteraksi dengan gerakan pro syariah khilafah itu, dan sudah hilang keraguan kami, bahwa penerapan syariah itu justru akan melindungi kami dari aksi-aksi anarkis seperti selama ini”.
Seorang tokoh pengusaha nasional nyeletuk, “Kami para pengusaha nasional, juga yakin, bahwa kekuatan industri kita, sumberdaya alam kita, dan pasar dalam negeri kita, cukup kuat bila sewaktu-waktu karena keputusan ini ada embargo atau sanksi internasional” .
Menteri Ristek menambahkan, “Pengalaman Iran dengan embargo yang dijatuhkan Amerika sejak revolusi Islam dulu justru positif. Embargo justru meningkatkan kemandirian dan kreatifitas anak bangsa. Kata Presiden Ahmadinejad, embargo justru berkah terbesar bagi Iran. Karena embargo, Iran justru mampu membangun sendiri PLTN-nya serta wahana ruang angkasa tanpa bantuan asing”.
Akhirnya wajah Presiden menjadi cerah. Dia lalu mengatakan, “Kalau demikian halnya, saya minta blocking space kepada seluruh pimpinan media, besok jam 10 pagi, kita akan akan proklamasikan berubahnya negeri ini menjadi Daulah Khilafah di depan Sidang Istimewa MPR. Mohon pimpinan MPR mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti saya minta Menteri Hukum beserta Mensesneg untuk segera merumuskan apa saja yang dianggap perlu dalam proses konversi dan transisi dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Apakah masih ada yang tidak setuju?” Ternyata tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan. “Apakah semua setuju?” tanya Presiden kembali meyakinkan. Semua tunjuk tangan.
Begitulah, akhirnya di negeri antah berantah itu Khilafahpun berdiri tegak, dibela oleh rakyatnya di bumi, dan didoakan oleh mereka yang ada di langit.
** proses perubahan revolusioner mirip seperti ini terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994. Pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya.