Pejuang khilafah itu memang wajib berdiri tengah,
Musuhnya yang sebenarnya itu adalah kafir penjajah,
Tetapi apakah kalian pernah membaca sejarah?
Penjajah hanya menang ketika kita terpecah belah.
Maka hati-hatilah wahai kawan, jangan mudah hilang arah.
Dari kanan, kadang ada orang yang mudah mencap bid’ah.
Dari kiri, ada yang menuduh kita ahistoris alias lupa sejarah.
Dari belakang, ada yang mendorong agar kita ikut menyerah.
Mereka menuduh kita ini ahli bid’ah dalam amal dan aqidah.
Kata mereka, tak pernah Rasul mendakwahkan khilafah.
Tak pernah pula Rasul berdemonstrasi untuk tausiyah.
Apalagi menggunakan akal untuk soal-soal akidah.
Tetapi kalau kita ingin menjelaskan pikiran kita dengan ramah,
Mereka menolak dengan sangat marah,
karena katanya duduk dengan ahli bid’ah, itu haram jaddah.
Mereka menuduh kita ini ahistoris alias lupa sejarah.
Sejarah khilafah adalah sejarah kelam yang berdarah-darah.
Dan Rasulullah itu katanya tak lebih dari seorang lurah.
Aneh, padahal Nabi mengangkat panglima dan gubernur kepala daerah.
Juga mengirim duta-duta besar ke para raja di seluruh wilayah.
Tetapi ketika argumentasi intelektual mereka kalah,
Mereka lalu meminjam tangan penguasa dengan berbagai fitnah.
Mereka ingin agar pada permainan demokrasi kita menyerah.
Katanya, kalau tak suka demokrasi, dari negeri ini sana enyah!
Katanya pula, kita ini orang-orang yang tidak istiqomah.
Anti demokrasi, tapi koq menikmatinya dengan renyah.
Terbukti datang ke DPR, ketika ada RUU yang bikin resah.
Atau jadi Pegawai Negeri Sipil tanpa merasa bersalah.
Ya itulah, cara berpikir mereka yang kelewat “nggladrah”.
Tapi itulah wahai kawan, dinamika para pelaku sejarah.
Mereka harus siap menghadapi hidup yang sungguh tidak mudah.
Tetapi mereka sungguh beriman kepada Nabi, mesti tak bertemu wajah.
Karena istirahat dan kenikmatan yang sesungguhnya itu nanti di Al-Jannah.
Dr. Fahmi Amhar
Banjir besar yang melumpuhkan Jakarta baru-baru ini telah membuat wacana pemindahan ibu kota menghangat kembali. Jakarta tidak saja terancam oleh bencana banjir yang kronis, tetapi juga oleh kemacetan yang semakin hari semakin menggerogoti sumberdaya energi dan waktu, sehingga kota metropolitan ini makin terasa tidak pantas berada di jajaran kota-kota kelas dunia. Bagaimana jalannya pemerintah pusat tidak terganggu, bila ratusan ribu pegawainya tidak bisa masuk kantor akibat rumahnya tergenang, atau jalannya terputus akibat kebanjiran.
Selama ini gambaran kota modern yang ada di benak awam (termasuk sebagian besar pejabatnya) adalah kota dengan banyak gedung-gedung pencakar langit, mal, apartemen dan jalan-jalan tol layang. Mereka jarang menghitung bahwa keberadaan infrastruktur yang efisien dan tahan bencana adalah justru kunci terpenting sebuah kota, apalagi itu ibukota negara, yang menjadi etalase negeri. Banyak calon investor yang urung berinvestasi di Indonesia karena stres menghadapi kemacetan yang parah setiap hari di Jakarta, atau belum-belum sudah dikepung oleh banjir meski sudah di kawasan elite.
Karena itu wacana pemindahan ibukota tentu saja masuk akal. Ibukota bisa dipindahkan ke “kota satelit” terdekat – semacam Putra Jaya dengan Kuala Lumpur di Malaysia, atau sama sekali ke satu kota yang baru – seperti Sydney ke Canberra di Australia, atau disebar ke beberapa kota sekaligus – seperti di Jerman yang meski kedudukan parlemen dan kanselir di Berlin, tetapi pusat finansial tetap di Frankfurt dan kedudukan yudikatif di Karlsruhe. (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Akhir-akhir ini kasus pungli di KUA marak diberitakan. Di Indonesia ini banyak kasus nikah yang tidak didaftarkan resmi (nikah siri). Sebagian nikah siri ini memiliki alasan rumitnya berpoligami di Indonesia (mesti ada izin istri-1, ada izin atasan bagi PNS, menghadapi pandangan miring masyarakat, dsb.), sedang sebagian lagi beralasan mahalnya biaya (pungli) di KUA. Memang biaya pencatatan nikah resmi cuma Rp. 30.000. Tetapi kalau petugas KUA diminta datang ke rumah, apalagi di luar jam kerja atau di hari libur di musim banyak orang nikah, maka selain perlu biaya transportasi dan lembur, juga terjadi hukum ekonomi: jasa yang banyak dicari, padahal suplainya terbatas, akan menjadi lebih mahal.
Padahal, tanpa surat nikah, maka anak yang akan dilahirkan akan kesulitan akta kelahiran atau di akta kelahiran tidak bisa ditulis nama ayahnya. Tanpa akta kelahiran, nanti anak akan kesulitan masuk sekolah. Tanpa akta kelahiran juga nanti akan sulit mengurus KTP atau paspor. Tanpa paspor, maka orang tidak bisa naik haji, sekalipun dapat warisan milyaran rupiah.
Sistem administrasi negeri ini memang semrawut. Sebenarnya aturannya jelas tetapi masih banyak celah yang multitafsir atau belum dibarengi sistem mekanis yang memaksa untuk mengikuti sistem tetapi sekaligus juga adil. Beberapa waktu yang lalu, seorang anak kelas IV SD dipaksa kembali ke kelas 1 karena rapornya hilang. Padahal mestinya di sekolah ada buku induk yang bisa dipakai untuk membuatkan rapor duplikat.
Ada lagi seorang pembuat paspor dengan nama dua kata (misalnya Muhammad Ali), ketika petugas imigrasi tahu dia bikin paspor untuk pergi umrah, dipaksa menambah namanya jadi 3 kata (misalnya jadi Muhammad Ali Usman). Ternyata belakangan penambahan nama ini jadi problem saat dia check-in di bandara, karena tiketnya dipesan dengan dua nama saja.
Mungkin karena di negeri ini sistem administrasi baru ada setelah era kemerdekaan. Di zaman penjajahan, Belanda sudah memperkenalkan sistem administrasi, tetapi masih sporadis, hanya di kota-kota, dan cenderung diskriminatif. Padahal berabad-abad sebelumnya, Daulah Khilafah sudah melakukannya secara cermat dan efisien.
Umar bin Khattab sudah memerintahkan pencatatan warga negara khilafah secara lengkap, bahkan meliputi data kapan mereka masuk Islam, sudah berapa kali ikut berjihad dan sebagainya. Walhasil, pungutan dan pembagian zakat di masa khilafah sesudahnya sudah berjalan tepat sasaran (efektif).
Masih ingat Mariam Ammash? Dia terdata dalam dokumen kelahiran keluaran otoritas Utsmaniyah tahun 1888, yang kemudian dijadikan dasar otoritas Israel untuk membuatkan kartu identitas bagi Mariam. Nenek yang wafat tahun 2012 ini tercatat sebagai warga bumi tertua.
Bagi mayoritas orang, dokumen dengan bentuk fisik dan visual memang dianggap lebih otentik dan dapat berbicara lebih banyak dibandingkan dengan klaim atau pengakuan. Itulah mungkin yang sempat menjadikan isu (hoax) “KTP Utsmani” di balik foto Mariam santer beredar di dunia maya. Walaupun demikian dokumen-dokumen resmi Khilafah Utsmaniyah sebenarnya banyak tersimpan dan dipamerkan di museum maupun perpustakaan di Turki, Suriah, Mesir dan sebagainya.
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa negara Khilafah waktu itu memang “mendahului zaman”. Bahwa negara itu akhirnya runtuh, itu hanya menunjukkan bahwa administrasi memang hanya sistem pendukung (supporting system) dalam sebuah negara, yang berada di bawah sistem politik, hukum dan ekonomi. Namun dengan sistem administrasi yang baik, maka kebaikan yang ada dalam sebuah sistem politik akan lebih baik lagi, dan merupakan dakwah yang sempurna.