Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Islam masuk sampai ke Dapur

Wednesday, May 26th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri.  Bagaimana anda menilai dapur anda saat ini?  Type masakan apa yang dominan anda siapkan?  Masakan Jawa?  masakan Padang?  masakan Cina?  masakan Barat?  atau Masakan Timur Tengah?

Kalau anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa.  Kalau anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang.  Kalau anda suka mie, itu Cina.  Kalau anda suka roti dengan selai, itu Barat.  Dan kalau anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.

Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam?  Bukankah itu semua mubah-mubah saja?  Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.

Benar.  Yang akan kita bahas kali ini kita memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur?  Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:

Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula.  Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.

Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.

Ketiga adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.

Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.

Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non muslim.  Sebagai contoh Jerman atau Perancis saat ini sangat terkenal aneka minuman kerasnya.  Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi teknik pembuatan bir.  Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”.  Islam ternyata telah masuk sampai ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.

Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada akhir abad-5 H (11 M).  Satu aspek penting revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru seperti padi, sorghum, gandum keras (triticum durum – digunakan untuk membuat pasta), tebu dan berbagai jenis bunga, sayuran dan buah-buahan.  Adanya tanaman baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.  Al-Marqasi (awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat.  Ibn al-Bassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.  Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.  Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.

Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.

Sebagai bahan pangan utama, padi berada pada posisi kedua setelah gandum.  Padi adalah salah satu tumbuhan yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.  Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di berbagai daerah.

Ada berbagai jenis roti yang dibuat di negeri-negeri Islam.  Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar duabelas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.  Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibuat dari gandum serta dibakar dengan cara sederhana.

Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang membuat adonan roti di rumah lalu membawanya ke toko roti untuk dibakar.  Tukang roti diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya agar konsumen terlindungi.

Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan dan penyebarannya berhutang banyak pada peradaban Islam.  Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi belum menjadi bahan makanan di masa pra-Islam.  Literatur Barat sebelum abad ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula.  Hingga abad pertengahan, bahan pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.

Dari semua jenis makanan di abad pertengahan, gula adalah satu-satunya bahan yang membutuhkan proses kimia.  Pembuatan gula membutuhkan kecakapan teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun proses pembuatannya.  Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan sejak awal negara memainkan peran utama dalam perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula.  Dalam kitab Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab  dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai perkebunan tebu di berbagai negeri Islam.  Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina.  Kali ini bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”, tetapi “mengajarlah sampai ke negeri Cina”.  Menurut Marco Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan menggunakan abu kayu bakar.

Selama abad ke-4 dan ke-10 H (ke 10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku masakan (tabikh).  Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.  Dari buku-buku itu dapat dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negeri-negeri muslim yang lain.  Kitab At-Tabikh yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep masakan di Baghdad.  Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18 hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan sederhana, berbagai masakan ayam, 9 kue kering dan bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue pastel, 5 hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue manis, 10 mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).  Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan penjabaran perlengkapan dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.

Pengawetan makanan juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan muslim.  Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan, pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan dengan bumbu.  Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan makanan dalam buku-buku mereka.  Es-es pada musim dingin disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.

Kalau sekarang banyak makanan tiruan seperti daging vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang lalu.  Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang dibuat tanpa daging, telor dadar yang dibuat tanpa telor, kue beras tanpa beras dan kue halwa tanpa madu/gula.  Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab khusus tentang rahasia para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak tanpa sedikit peniruan.  Itulah gunanya para muhtasib juga memiliki ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya.

Hizbut Tahrir – sebuah analisis politik

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.

1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.

3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen.  Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.

4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).

5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.

6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.

7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.

8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.

9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.

10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.

11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.

12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.

13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!

14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.

15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.

16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.

18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.

Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.

Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.

19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.

Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif

20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.

HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.

Referensi:

Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

Ekonomi Umat tak hanya Zakat

Saturday, August 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Menjelang pilpres lalu muncul gagasan ekonomi rakyat sebagai antitesis isu neoliberal yang menghinggapi salah satu cawapres.  Selain ekonomi rakyat, ada istilah “ekonomi umat” – yang berkonotasi ekonomi yang dekat dengan pemeluk agama mayoritas negeri ini, yaitu umat Islam, yaitu ekonomi rakyat yang memperhatikan aspek halal-haram.  Ekonomi umat juga sering disebut ekonomi syariah.  Sejak hampir dua dekade ini, ekonomi syariah mengalami booming.  Bank-bank syariah bermunculan.  Disusul asuransi syariah, dan kini bahkan ada gagasan membuat pasar modal syariah.  Namun volume perbankan syariah dalam realita baru sekitar 2% dari volume perbankan nasional.  Dan masih banyak orang yang memandang bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang menjadikan norma-norma ahlaq sebagai basis, ekonomi yang bebas riba dan mendorong zakat, wakaf, infaq dan shadaqah.  Akibatnya ekonomi syariah dianggap sudah terbangun dengan adanya UU zakat, UU perbankan syariah, dan terakhir ini UU obligasi syariah (sukuk ritel).

Mungkinkah ekonomi umat tumbuh sempurna tanpa menjadikan syariah sebagai pilar peradaban semestanya? Bagaimana sebenarnya ekonomi umat di masa Daulah Islam mengalami kejayaannya?

Daulah Islam tidak tumbuh di ruang hampa.  Pada saat Rasul datang ke Madinah untuk memimpin negara baru itu, sudah ada produksi, sudah ada bisnis, sudah ada pasar, pendeknya sudah ada ekonomi.  Yang dilakukan Rasulullah adalah mendorong atau mendiamkan sebagian besar, dan melarang sebagian kecil.

Karena lebih mudah menghitung yang sedikit, maka kita mulai dari yang dilarang.  Di antara sebab kepemilikan yang dilarang adalah bisnis terkait maksiat, yang menutup “keberkahan umum”, semisal pelacuran, perdukunan, bisnis sarana penyembahan berhala, bisnis makanan atau minuman yang diharamkan, dan sejenisnya.

Sedang pengembangan harta yang dilarang antara lain penimbunan, pembiaran lahan tidur, judi dan riba.  Riba dilarang dengan tegas, baik riba itu sedikit ataupun banyak, baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif, baik yang melakukan yahudi ataupun muslim yang baik-baik, karena riba pertama yang dihapuskan adalah dari Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi sendiri, meski dia adalah penjaga sumur zam-zam yang paling ramah dalam melayani jama’ah haji.

Perkembangan Daulah Islam yang semula hanya kecil di Madinah namun kemudian bisa menjadi negara adidaya, tak lepas dari peran ekonomi syariah yang diembannya.  Tanpa sistem ini, mustahil ekonomi umat akan tumbuh, sehingga mereka mampu mengumpulkan kekuatan untuk menantang negara-negara adidaya yang telah berkuasa beberapa abad lamanya: Romawi dan Persia.

Nabi membiarkan mata uang dinar emas Romawi dan dirham perak Persia tetap digunakan.  Sepertinya Nabi memang dituntun wahyu untuk menggunakan mata uang yang tidak tergantung rezim yang sedang berkuasa.  Meski belakangan beberapa khalifah mencetak dinar emas yang memiliki ciri Islam seperti adanya kalimat tauhid, namun yang terpenting pada mata uang emas adalah berat dan kadarnya.  Dan itu berlaku universal.  Jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi ataupun IMF.

Nabi juga membiarkan sejumlah praktek ekonomi yang telah ada, seperti beberapa jenis aqad kerjasama bisnis atau syirkah (mudharabah, musyarakah, murabahah) dan melarang beberapa aqad yang lain, yang memang ternyata dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan kezaliman.  Nabi juga memberikan kepada sahabat suatu sumberdaya alam untuk dikelola, namun mencabut kembali bila diketahui sumber daya alam itu sangat besar, ibaratnya tak habis tujuh turunan.

Sejak Nabi masih hidup, negara sudah memiliki beberapa fungsi yang di zaman modern ini ada di Departemen Keuangan (urusan penarikan zakat dan distribusinya), Departemen Perdagangan (urusan pengawasan pasar), Bulog (urusan penyangga pangan), Departemen Sosial (urusan santunan bagi fakir miskin), hingga Kementrian BUMN (urusan industri strategis terkait pertahanan).  Fungsi-fungsi ini terus terjaga sepanjang sejarah khilafah, bahkan makin diperkuat baik dalam bentuk organisasinya maupun fisiknya.  Kalau di masa Rasul, urusan keuangan negara masih diselesaikan di rumah beliau, di masa Umar bin Khattab sudah harus dibuat bangunan khusus Baitul Maal yang juga memiliki areal padang rumput khusus untuk menggembalakan ternak-ternak zakat.  Umar tanpa ragu mengadopsi sistem administrasi Diwan dari Persia guna mengurus Baitul Maal.  Bagaimana tidak, seorang Abu Hurairah yang diutus Umar ke Bahrain saja pulang membawa harta 500 ribu dirham, atau dalam nilai sekarang sekitar 15 Milyar Rupiah.  Padahal di masa Umar wilayah Islam sudah amat luas dan mencakup daerah-daerah subur di Iraq, Syams atau Mesir.

Sistem khilafah yang bersifat kesatuan memungkinkan peredaran kemakmuran tidak hanya di daerah yang kaya saja.  Sumber-sumber keuangan seperti zakat, kharaj (pajak atas tanah yang dibebaskan oleh tentara Islam), ghanimah (pampasan perang), jizyah (pungutan pada non muslim ahlul dhimmah) dan fa’i semua diadministrasikan ke pusat.  Pusat mendistribusikan harta itu kembali sesuai kebutuhan.  Karenanya bisa jadi ada daerah-daerah Islam yang menjadi pensubsidi netto (karena paling kaya) atau tersubsidi netto (karena paling miskin).

Khilafah menggerakkan mesin negara berupa sistem pendidikan dan kesehatan gratis, juga pembangunan infrastruktur transportasi dan irigasi, agar daerah-daerah miskin itu perlahan-lahan bangkit menjadi daerah kaya.  Jalan-jalan itu bahkan dilengkapi dengan tempat-tempat singgah untuk para musafir.  Yang menarik, musafir dari negeri-negeri kafirpun akan dijamu dengan cuma-cuma selama maksimum tiga hari, bila singgah di sana.  Ini dilaporkan antara lain oleh pengelana Eropa paling legendaris: Marco Polo, yang pada abad-13 Masehi pergi dari Venezia Italia ke Cina melewati “jalur sutra”, yang berarti sebagian besar perjalanannya adalah wilayah Daulah Islam.  Islam memberikan jaminan keamanan bagi warga asing yang masuk negeri Islam, agar mereka dapat mendengarkan ayat-ayat Allah, dan melihat langsung bukti kehebatan Islam yang diamalkan.  Hingga hari ini, sisa-sisa jalan atau saluran air yang dibangun di masa khilafah itu masih dapat dilihat, bahkan di tempat paling terpencil di Asia Tengah, di Andalusia Spanyol atau di selatan Sahara di Afrika.  Sementara itu di tempat yang lebih ramai, jalan atau saluran itu tentu saja sudah direnovasi berulang kali dan kini menjadi bagian dari jalan atau kanalisasi modern.

Ketika Daulah Islam tegak dan menerapkan ekonomi syariat, perdagangan global adalah salah satu sarana dakwah yang efektif.  Bahkan lewat para pedagang itulah antara lain dakwah Islam sampai ke Nusantara, sehingga Kerajaan Hindu terbesar di sana (yaitu Majapahit) dapat berganti menjadi beberapa kesultanan Islam, praktis tanpa pertumpahan darah yang berarti.