Pekerjaan paling banyak di Indonesia itu adalah IBU RUMAH TANGGA.
Tapi koq belum ada sekolah yang mendidik jadi calon Ibu Rumah Tangga ya?
Padahal banyak sekali keahlian yang harus dimiliki seorang Ibu Rumah Tangga.
Ini sekedar khayalan kurikulum sebuah “Jurusan Ilmu Rumah Tangga”.
Gelar akademisnya mungkin “S.IRT” (Sarjana Ilmu Rumah Tangga”).
1. Fiqih keluarga & Kepribadian Islam
2. infrastruktur dan teknologi dalam rumah tangga
3. desain interior
4. arsitektur exterior
5. gizi dan nutrisi
6. pengetahuan kuliner
7. fashion dan perawatan pakaian
8. perawatan kecantikan
9. penjagaan kesehatan & kebugaran
10. deteksi & penanganan dini masalah kesehatan
11. olahraga keluarga
12. perencanaan & manajemen keuangan
13. bisnis rumahan
14. bertani di lahan sempit
15. hukum seputar rumah tangga
16. beladiri untuk keluarga
17. manajemen acara keluarga
18. pendidikan anak
19. psikologi keluarga
20. perawatan pasien dan manula
21. perawatan kehamilan dan menyusui
22. media informasi dan komunikasi
23. perencanaan transportasi
24. pengetahuan seputar belanja
25. sosiologi bertetangga
26. kontribusi wanita dalam masyarakat
27. dokumentasi dan informasi keluarga
28. pengembangan kreatifitas anak
29. dakwah di dan dari rumah
30. literatur keluarga
31. metode relaxasi (pijat, yoga)
32. hiburan dan rekreasi islami
33. kesehatan reproduksi
34. tanggap darurat dan kebencanaan
35. politik ramah keluarga
ada masukan lagi?
Dr. Fahmi Amhar
Iran adalah sebuah negeri yang unik. Setelah revolusi Islam, tidak ada orang asing datang ke Iran untuk mencari hiburan. Nyaris tidak ada hiburan di sana – kalau hiburan itu diartikan pesta minum-minuman keras, berjudi, bermalas-malasan di pantai, ataupun mencari sex. Mereka yang hari-hari ini ke Iran datang untuk mencari alam yang indah (seperti kelompok “Kartini Petualang” yang akan mendaki gunung Damavand), spiritualitas (mengunjungi kota suci Syiah Qom), mencari celah bisnis (mumpung di Iran sejak diembargo tidak ada lagi perusahaan Amerika seperti Coca Cola, McDonald atau Microsoft!) atau berinteraksi dengan para ilmuwan Iran.
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam. Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang. Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan. Berikut ini cuplikannya saja.
Di bidang matematika ada Abū ʿAbdallāh Muḥammad ibn Mūsā al-Khwārizmī lahir 780 M di Khwarezm, provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang. Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika. Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten. Al-Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.
Di bidang astronomi ada Abū al-Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Katsīr al-Farghānī alias Alfraganus pada abad 9 M. Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah al-Ma’mun. Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Müller von Königsberg (1436–1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus. Al-Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.
Di bidang kimia ada Abu Musa Jābir ibn Hayyān (Geber) yang lahir tahun 721 M di Tus Khorasan, Iran dan wafat 815 M in Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia experimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), beliau juga seorang astronom, geologist, dokter dan insinyur. Beliau menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.
Di bidang kedokteran ada Abū ʿAlī al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allāh ibn Sīnā (Avicenna), yang lahir tahun 980 M di Afshana, masuk provinsi Khurasan Raya. Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan. Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat luas, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran. Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18. Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.
Di bidang ilmu bumi ada Abū al-Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad al-Bīrūnī (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran. Beliau adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.
Monumen al-Biruni di Laleh Park, dekat Univ. of Teheran
Pada masa rezim sekuler Syah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk. Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik. Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri. Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.
Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000% antara 1995-2004. Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 % dari total output sains dunia. Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang). Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit. Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, China, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).
Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apalagi kalau Khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.
Dr. Fahmi Amhar
Seorang ahli teknik sipil bertanya, seperti apa konsep infrastruktur transportasi negara khilafah? Tentu tidak dengan serta merta pertanyaan ini dapat dijawab. Apalagi bagi banyak orang, persoalan transportasi seakan hanya persoalan teknis. Dan di zaman dulu teknologinya masih sangat berbeda, dan jumlah penduduknya juga masih sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin tidak pernah ada.
Tetapi, bagi seorang muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur transportasi, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam ujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.
Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap Khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.
Perang Dunia-I mengakhiri semuanya. Tak cuma Khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.