Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Haji Mabrur yang Transformatif

Monday, November 27th, 2006

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.
Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci.  Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun.  Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.  Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara.  Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar).  Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji.  Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah.  Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri.  Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya.  Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil.  Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru.  Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun.  Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama.  Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan.  Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”.  Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya.  Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”.  Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi.  Bumi berthawaf mengelilingi matahari.  Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh.  Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku.  Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran.  Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas.  Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah.  Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya.  Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i.  Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini.  Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia.  Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya.  Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat.  Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam.  Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita.  Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah.  Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.

Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini.  Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci.  Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.

Penelitian, Kebenaran dan Kreativitas dalam Paradigma Islam

Thursday, November 23rd, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Terbaik Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 2001 Bidang Teknologi Rekayasa
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Institut Pertanian Bogor
famhar@telkom.net

 

Abstrak

Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan peradaban manusia.  Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.

 


1          Penelitian

Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya.  Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh.  Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi.  Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.

Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian.  Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis.  Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia.  Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.

Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti?  Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang.  Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif!  Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”.  Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,-  Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta.  Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!

Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”.  Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB  Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB.  Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap.  Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset.  Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri.  Di negeri asal itulah ada R&D.  Di sini, mau buat apa?  Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …

Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti.  Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.

Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik.

Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship.  Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah.  Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat.  Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD.  Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain.  Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala).  Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.

Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis.  Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.

 

2          Kebenaran

Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb. 

Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits.  Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.

Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.

Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif.  Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.

Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif.  Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng.  Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan.  Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif.  Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.

Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita.  Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.

Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima.  Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll).  Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.

Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif.  Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun.  Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih.  Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.

Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak.  Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci.  Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.

Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram).  Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.

Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar.  Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. 

Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah.  Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.

Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar.  Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal.  Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein.  Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius.  Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.

Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif.  Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA.  Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya.  Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.

Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain.  Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK).  Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut.  Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis. 

Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat.  Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL).  Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH.  Dan ini sangat subjektif.

3          Kreatifitas

Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini.  Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.

Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3.  Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif.  Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.

 

inovatif 7  Nobel 8  Nobel 9  Paten
modifikatif 4 5 6  Paten
aplikatif 1 2 3
  observatif analitif kreatif

 

Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.

Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru.  Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang sebelumnya sulit didekati.  Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati fenomena mahluk halus?

Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan menggunakan pisau analisis yang telah ada.  Kembali di sini, jarang ditemukan pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi.  Riset jenis inilah yang paling populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada riset tanpa statistik dan data real.  Padahal untuk riset jenis kreatif, kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan.

Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.

Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel atau yang setara dengan itu.  Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten – agar tidak dibajak oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.

Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.

4          Paradigma Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku.  Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan[i].   Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama[ii].</P>

Hunke[iii] dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal. 

Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik.  Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam.  Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi.  Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu.  Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini.  Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis.  Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama dan teknologi yang bebas nilai. 

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma.  Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. 

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun guideline. 

Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb[iv]

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu[v], yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari  atau diteliti.  Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18).  Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari surat al-Ghasiyah tersebut.

Kaidah“Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar.  Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb.  Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing. 

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya[vi].

Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari.  Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun.  Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya.  Oleh karena itu, ilmu seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan.  Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu.  Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan.  Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya.  Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan tertentu[vii].

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’.  Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya.  Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.  Oleh karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin[viii] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.

5          Masa Depan

Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah.  Akibatnya, mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia Islam.  Ada tiga ketertinggalan teknologi:

Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai.  Berbagai usaha meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain)[ix].  Sebagian kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi negaranya.  Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.

Kedua, anggaran riset yang rendah.  Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat.  Dana riset menjadi tidak memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri.  Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau peralatan pengganti juga hampir tak ada.  Selain itu riset belum benar-benar terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu menghasilkan sesuatu secara ekonomis[x].

Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang sangat rendah.  Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia industri[xi].

Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan skop sebuah negara.

Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam.  Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada masyarakat.

Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah terutama ilmuwan muslim.  Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.

Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah ini nantinya.

 

Bacaan Lanjut

[i] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami.  Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.

[ii] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History.  Unesco, 1986.  (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam.  Bandung, Mizan, 1993).

[iii] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland.  Frankfurt, Fischer, 1990.

[iv] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah.  Bandung, Rosda, 1991.

[v] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif.  Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.

[vi] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.

[vii] Darell Huff: How to Lie with Statistics.  New York, W.W. Norton, 1960

[viii] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik.  Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.

[ix] Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam.  Bandung, Rosda, 1989.

[x] International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.

[xi] S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 1998.


Koreksi atas buku WAMY dan buku derivatnya

Thursday, July 13th, 2006

Allah swt berfirman, artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (al-Hujurat;6).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (al-Hujurat;11).

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat:12).

Sengaja kami mengutip firman Allah swt di atas untuk mengingatkan, agar kita tidak terjatuh ke dalam kesimpulan-kesimpulan prematur setelah membaca buku terbitan WAMY. Sungguh, setelah kami melakukan kajian mendalam dan jernih terhadap buku WAMY, dan menafikan aspek-aspek emosional dan kepentingan kelompok, buku ini (termasuk derivatnya, misalnya Al-Thariq ila Jamaa’at al-Muslimin) adalah buku yang syarat dengan fitnah dan akan menjatuhkan siapapun yang terlibat dalam “pembuatan, penerbitan dan juga penyebarluasan buku tersebut” ke dalam dosa yang sangat besar. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membuat sunnah yang jelek, dia akan mendapat dosanya, dan dosa dari orang yang mengerjakan sunnah yang jelek tersebut hingga hari kiamat, “(lihat dalam Riyadlus Shalihin, Imam al-Nawawiy). Namun demikian, kami sebagai seorang muslim yang selalu ingin memupuk ukhuwah Islamiyyah, sekaligus sebagai refleksi dari amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar, tidak akan pernah lelah untuk mengingatkan kaum muslimin terhadap berita-berita sepihak, fitnah, dan syarat dengan kepentingan busuk dan keji itu. Semoga Allah swt meluluhlantakkan musuh-musuhnya, dan memberikan kesadaran kepada kaum muslim yang selama ini terbelenggu dengan informasi sepihak dan beracun itu. Kami menyerukan agar anda melakukan tabayyun. Terutama pihak-pihak yang tidak mengetahui duduk persoalan sebenarnya, dan tidak mengetahui latar belakang lahirnya buku itu, dan sekaligus kesalahan-kesalahan yang terkandung dalam buku tersebut. Tentu, sikap hanya mau menerima informasi sepihak, kemudian memberikan justifikasi secara serampangan terhadap pihak lain –tanpa ada proses tabayyun terlebih dahulu-merupakan sikap gegabah yang tidak sejalan dengan kaedah-kaedah dasar Islam. Alangkah baiknya, jika kita tidak tergesa-gesa memberi justifikasi sebelum kita mendengar keseluruhan informasi dari kedua belah pihak, sikap tabayyun juga akan menghindarkan kita dari berbagai macam fitnah yang justru akan memperlemah kekuatan kaum muslimin itu sendiri.

Kami takut, buku WAMY ini (termasuk pula, buku al-Thariq ila Jaami’ah al-Muslimin, dan juga buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyriyyah), justru akan menimbulkan masalah serius bagi hubungan antar gerakan Islam sendiri. Bahkan, kami menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri, buku ini telah disebarluaskan, dan dijadikan buku rujukan di beberapa kuliah di Timur Tengah, dan juga menjadi salah satu rujukan yang disarankan untuk dibaca oleh sebagian kelompok Islam, di negeri ini. sedihnya, buku ini tidak pernah menyebutkan argumentasi balik dari pihak yang dinilai dalam buku itu. Lepas dari apa tendensi pihak yang menyebarkan buku-buku semacam ini, kami hanya mengingatakan kepada siapa saja yang membaca buku tersebut, termasuk pihak yang sengaja menyebarkan, dan mencetak buku ini, untuk bisa berfikir jernih dan mau melakukan tabayyun dari pihak-pihak yang dinilai negatif di dalam buku itu. Kami juga menyeru kepada kaum muslimin yang sudah terlanjur menganggap benar informasi-informasi mengenai gerakan-gerakan Islam (selain Ikhwanul Muslimin) yang termuat di dalam buku WAMY itu, untuk menyadari kesalahannya dan mau melakukan tabayyun kepada Hizbut Tahrir, atau kepada gerakan-gerakan yang dinilai buruk oleh tokoh Ikhwanul Muslimin itu (Jama’ah Tabligh, dll).

Kami ingatkan kepada pihak-pihak yang getol menyebarluaskan buku ini, bila kalian melakukan upaya-upaya pencitraan buruk terhadap gerakan Islam lain (termasuk di dalamnya Hizbut Tahrir) dengan cara-cara murahan seperti itu—bukan dengan mengkritik dan mengkritisi ide-idenya–, maka ingat, jika umat sudah mengetahui duduk persoalan sebenarnya, pasti mereka berbondong-bondong akan meninggalkan anda, dan akan melecehkan cara-cara anda itu.

Muslim sejati bukanlah orang bodoh yang mudah di provokasi oleh berita-berita sepihak. Kaum muslim juga tidak akan mudah percaya begitu saja kepada ucapan-ucapan orang yang menganggap dirinya tokoh, tapi lemah dalam argumentasi dan berdalil. Kami sangat yakin bahwa siapapun yang membaca, dan mengkaji buku ini dengan pembacaan yang jernih, intelektual, tidak tendensius, dan non emosional, akan bersikap bijak, dan tidak gegabah membuat kesimpulan atau malah ikut-ikutan menyebarkan berita fitnah yang sepihak itu! Seharusnya, siapapun yang mendapatkan buku itu, mau melakukan proses tabayyun agar mereka mengetahui kebenaran hakikinya, sehingga tidak mendzalimi pihak yang lain.

Kami juga ingatkan kepada siapapun, lebih baik anda mengkritisi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir, ketengahkan dalil-dalil anda, dan insya Allah, Hizbut Tahrir sebagai organisasi politik—yang hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya mabda’nya, dan selalu berjuang di jalan Allah tanpa kenal menyerah – akan sangat terbuka dan senang hati menerima dan mengkajinya. Jika ada pendapat yang lebih kuat dan jernih, pasti Hizbut Tahrir akan mengadopsi pendapat itu, dan akan meninggalkan pendapatnya yang lemah. Hizbut Tahrir bukanlah organisasi yang dogmatis. Hizbut Tahrir juga bukan organisasi Politik yang pendapatnya sering mencla-mencle. Hizbut Tahrir bukanlah organisasi politik yang gemar mengutuk dan mendiskreditkankelompok-kelompok Islam lain.

Di salah satu forum yang diadakan di Jakarta, kami pernah membahas buku al-Thariq ila Jamaa’ah al-Muslimin, dan kami telah menjelaskan kesalahan metodologis buku itu. Bahkan kami juga telah mengingatkan agar buku itu tidak disebarluaskan. Sebab, buku itu telah menimbulkan fitnah dan penuh dengan kebohongan. Kami hanya ingin agar ikhwan-ikhwan kami tidak terjatuh kepada dosa dan terjatuh dari tindakan menghalalkan segala cara. Namun, ghafarallahu lana! Buku itu tetap saja masih disebarkan!.

Namun demikian, kami tidak akan memusuhi kelompok Islam lain. Sekiranya kritik HT kepada kelompok lain itu sangat keras, bukan berarti HT memusuhi kelompok itu. Akan tetapi, kritik itu dilakukan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bukanlah organisasi politik dogmatis yang hanya mau menerima berita sepihak. Sungguh, apa yang dinyatakan dalam buku WAMY itu sangat jauh dari kenyataan, dan merupakan FITNAH yang membahayakan bagi pembuat dan penyebar bukunya, dan orang-orang yang termakan provokasinya. Buku itu sama sekali tidak membahayakan Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, buku WAMY tidak lebih sekedar ujian dan cobaan yang menimpa HT. Hizbut Tahrir akan selalu bersabar atas celaan dan penghinaan. Hizbut Tahrir hanya mengharapkan keridloan Allah swt. Hizbut Tahrir –sebagai sebuah organisasi politik-tidak akan menyibukkan dirinya untuk menanggapi fitnah-fitnah murahan dan picik itu. Betapa Hizbut Tahrir –semoga Allah memberkahi anda dan kaum muslim-telah distigma dengan berbagai tulisan, semisal, tulisan yang dikeluarkan oleh WAMY, buku al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin, dll. Namun, apa pernah Hizb sebagai sebuah organisasi, mengeluarkan bantahan atas fitnah-fitnah dan stigma-stigma itu? Hizb akan menjelaskan bagi mereka yang ingin tabayyun! Sebab, Hizbut Tahrir tidak ingin disibukkan dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya malah akan menyelewengkan kaum muslimin dari perjuangannya menegakkan hukum-hukum Allah.

Wahai kum muslimin! Umat sudah terlalu lama menderita akibat diterapkannya aturan-aturan kufur. Lalu, mengapa kita masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan semacam ini? Mengapa kita tidak segera bersatu menegakkan aturan-aturan Allah dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyyah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah?.

Demikianlah, buku itu tidak membahayakan Hizbut Tahrir, akan tetapi justru akan membahayakan orang yang menulis dan pihak yang mau terprovokasi dengan tulisan-tulisan yang termuat dalam buku itu! Sungguh “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”. Siapapun yang melakukan hal itu, kelak wajahnya akan dibakar oleh apai neraka!.

KOREKSI METODOLOGIS ATAS BUKU WAMY
Buku WAMY itu banyak merujuk pada karangan Shadiq Amin, yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah. Penyusun buku WAMY itu sangat jarang merujuk kepada buku-buku primer yang dileluarkan oleh HT. Jikalau ada, kutipan-kutipan tersebut cenderung dipreteli, tidak lengkap, dikutip sebagian-sebagian, dan distigma sehingga makna utuhnya menjadi kabur bahkan menyimpang dari makna sebenarnya (makna yang dipahami HT).

Sungguh, buku yang dijadikan rujukan oleh penyusun buku WAMY itu—yakni buku al Da’wah al Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karangan Shadiq Amin—adalah buku yang secara ilmiah diragukan, bahkan terjadi kekacuan metodologis yang sangat parah. Mulai dari kesalahan pengutipan, pendustaan yang di sandarkan kepada Hizbut Tahrir, dan pengutipan kalimat yang tidak sempurna sehingga makna yang terkandung menjadi kacau dan salah. Bahkan kutipan-kutipan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan makna yang dikehendaki oleh HIZB. Layaknya orang membaca “Celakalah orang-orang yang mengerjakan Sholat”, namun kalimatnya tidak diteruskan, sehingga maknanya menyimpang sangat jauh. Walhasil kami menyimpulkan bahwa buku WAMY beserta derivat-derivatnya telah gugur secara ilmiah. Sebab sumber rujukannya, yakni buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, telah hancur secara akademis.

Agar kaum muslim mengetahui duduk persoalan sebenarnya, sekaligus memahami kesalahan metodologis buku WAMY itu, maka kami akan mengetengahkan fakta-fakta kesalahan, pendustaan serta pemelintiran yang terdapat dalam buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karya Shadiq Amin. Kami ingatkan kembali, bahwa buku karya Shadiq Amin adalah sumber rujukan utama bagi buku WAMY, dan juga al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin. Anda bisa membayangkan sendiri, bila rujukannya saja ngacau, lantas betapa lebih ngacaunya buku yang menginduk kepadanya, yakni buku WAMY dan al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin itu. Fakta kesalahan metodologis itu tampak pada kenyataan-kenyataan berikut ini:

1. Pendustaan atas nama pendapat Hizb Tahrir. Dr. Shadiq Amin dalam bukunya al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, hal.101 menyatakan, “ Anda akan dapatkan diantara pengemban dakwah mereka (HT red.), orang-orang yang suka meninggalkan dan mengentengkan urusan Sholat. “ Ia juga menyatakan, “HT telah mengabaikan ibadah nawafil dan dzikir… Oleh karena itu. Kita akan dapatkan betapa lemah dan rendahnya ruhiyyah para anggota HT, lemahnya hubungan mereka dengan al-Quran dan Sunnah, dan ketidakterikatan mereka dengan hukum-hukum Syara’.’

Jelas, statement ini sangat bertentangan dengan ide-ide, dan pemikiran-pemikiran HT yang selalu menekankan untuk selalu terikat dengan hukum syara’. Ini juga sangat bertentangan dengan instruksi HT kepada para anggotanya untuk selalu meningkatkan aspek ruhiyyah, dan juga giat dengan ibadah nawafil. Statement ini juga bertolak belakang dengan fakta keanggotaan Hizb Tahrir. Hizb telah menetapkan, muslim yang tidak sholat tidak boleh menjadi anggota HT, wanita yang tidak mengenakan Jilbab tidak boleh menjadi anggota Hizb. Berdasarkan kenyataan ini, lalu apa mungkin ada anggota Hizb yang tidak mengerjakan sholat, sementara HT telah menetapkan bahwa orang yang tidak sholat tidak boleh menjadi anggota HT. Silahkan renungkan sendiri.  (Untuk itu anda bisa membaca buku-buku HT, semisal Mafaahim Hizb al-Tahrir, Nidzam al-Islaam,dll ). Dan juga banyak pendustaan-pendustaan lain yang tidak perlu kami ketengahkan semuanya dalam tulisan ini. (Jika anda ingin membaca bantahan dari syabab Hizb, agar anda tidak dibohongi dan disesatkan oleh buku penuh tipuan ini, bacalah risalah karya Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitaab, al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah karangan Dr. Shadiq Amin,. “Bantahan atas buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah karangan Dr. Shadiq Amin).

Ini saja sudah cukup untuk membuktikan betapa Dr. Shadiq Amin telah melakukan pendustaan. Anehnya, buku ini malah dijadikan rujukan oleh buku WAMY. lalu, layakkah secara ilmiah buku yang penuh dengan pendustaan ini dijadikan rujukan? Bila rujukannya lemah, maka betapa lemahnya buku yang merujuknya.

2. Pendustaan pengutipan. Pada halaman 105 buku karangan Shadiq Amin itu disebutkan, “Dalam Kitab al-‘Uqubaat, karangan ‘Abdurrahman al-Malikiy disebutkan, “Siapapun yang berzina (man zany) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu, dan saudara perempuan dipenjara 10 tahun.” Bahkan tidak cukup dengan itu, Shadiq Amin juga menyatakan beberapa statement yang ia klaim berasal dari kitab Nidzam al-‘Uqubaat edisi akhir karya ‘Abdurrahman al-Malikiy semoga dirahmati Allah. Perlu anda ketahui, Kitab Nidzam a—‘Uqubaat adalah buku karya salah seorang anggota Hizb yang terkenal fakih, dan cerdas, bernama Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy. Buku ini membahas tentang sistem persanksian di dalam Islam. Statement Shadiq Amin dalam bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, “Siapapun yang berzina (man zany) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu, dan saudara perempuan dipenjara 10 tahun”, ia (Shadiq Amin) klaim, dikutip dari edisi awal kitab Nidzam al’Uqubaat. Padahal, kitab Nidzam al-‘Uqubaat hanya diterbitkan sekali, sejak tahun 1965, dan tidak ada cetak ulang. Lalu, dari mana ia bisa menyatakan ada edisi awal dan akhir Kitab Nidzam al-‘Uqubat? Jelas ini hanya pendustaan saja. Selain itu, bila anda melihat dalam buku asli karangan ‘Abdurrahman al-Malikiy, anda akan dapatkan bahwa teks aslinya berbunyi, “(Man tazawwaja) Siapapun yang menikah dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun” Bukan, “man zany” sebagaimana klaim Shadiq Amin. Lalu, pernyataan yang salah kutip ini ia jadikan senjata untuk menikam Hizbut Tahrir. Shadiq Amin (yang juga dikutip oleh WAMY) menyatakan, bahwa hukuman orang berzina sudah sangat jelas, yakni dirajam, atau dijilid. Oleh karena itu, kasus zina harus dimasukkan dalam bab hudud, bukan ta’zir. Selanjutnya ia berkomentar, apa yang dilakukan oleh HT dengan cukup memenjara 10 tahun bagi orang yang melakukan perzinaan dengan mahram abadi termasuk penyimpangan terhadap hukum syara’.

Sebelumnya perlu kami sampaikan, bahwa kitab Nidzam al-Uqubat meskipun merupakan kitab yang dikeluarkan oleh HT, namun kitab tersebut bukanlah kitab mutabannat (kitab yang diadopsi oleh HT). Sehingga tidak bisa mewakili pemikiran HT dalam masalah ‘Uqubat (persanksian).

Statement yang benar terdapat dalam kitab Nidzam al-‘Uqubat adalah, “Siapapun yang menikah (bukan berzina) dengan salah seorang mahram yang abadi, seperti ibu dan saudara perempuan, dipenjara 10 tahun.” Ada perbedaan mendasar antara “siapa yang berzina” dengan “siapa yang menikahi”. Siapapun yang melakukan perzinaan dengan mahram yang abadi akan dikenai had zina. Oleh karena itu, perzinaan termasuk dalam bab hudud, bukan ta’zir. Akan tetapi untuk kasus orang yang melakukan pernikahan dengan mahramnya yang abadi, berbeda dengan fakta orang yang melakukan perzinaan dengan mahramnya yang abadi. Kasus orang yang melakukan pernikahan dengan mahramnya yang abadi, termasuk dalam akad nikah yang fasid. Al-Mukarram ‘Abdurrahman al-Malikiy berpendapat bahwa orang yang menikahi mahramnya yang abadi tidak boleh dikenai had zina, sebab masih ada syubhat akad yang menghalalkan farji seseorang, meskipun akad itu fasid. Pendapat yang dipegang oleh ‘Abdurrahman al-Malikiy ini senada dengan pendapat ulama Hanafiyyah. ‘Abdul Qadir al-Audah dalam kitabnya (al-Tasyrii’ al-Janaaiy, jus II, hal.363), menyatakan”, Akan tetapi Abu Hanifah sendiri berpendapat, orang yang menikahi ibunya, anak perempuannya, bibi, (mahram abadi), kemudian menyetubuhinya, maka untuk kasus ini tidak dikenai had zina, meskipun mereka mengaku, bahwa mereka mengetahui hal itu adalah tindakan haram. Untuk kasus semacam ini cukup dikenai hukuman ta’zir.” Ia melanjutkan, “Imam Abu Hanifah tidak menjatuhkan had untuk kasus semacam ini karena ada syubhat.” Tampaknya, pendapat Abu Hanifah ini diadopsi oleh Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy dalam kitab Nidzam al-Uqubat. Oleh karena itu, apa yang dinyatakan oleh Dr. ‘Abdurrahman al-Malikiy dalam kitab Nidzam al-Uqubat itu, bukanlah pendapat yang menyimpang. Bahkan penadapat ini merupakan pendapat tangguh yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Walhasil, pendapat ‘Abdurrahman al-Malikiy tersebut merupakan pendapat yang Islamiy, dan tidak perlu dijadikan bahan untuk menikam saudaranya sendiri.

Juga tentang ciuman. Hizb dikatakan membolehkan mencium wanita asing. Jelas ini merupakan fitnah keji yag ditikamkan kepada HT. Sungguh jika anda membaca buku primer HT yang berjudul al-Nidzaam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, edisi III, hal.58, anda akan segera sadar, bahwa isi yang terdapat dalam buku WAMY sekaligus buku rujukannya itu (karya Shadiq Amin di atas), penuh dengan kedustaan dan fitnah.di dalam kitab al-Nidzaam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir disebutkan, “Ini berbeda dengan ciuman, ciuman seorang laki-laki terhadap wanita asing yang diinginkannya, atau sebaliknya, adalah ciuman yang diharamkan. Sebab ciuman semacam ini termasuk pembukaan dari zina. Sebab ciuman pada umumnya adalah pembukaan menuju aktivitas zina, meskipun dilakukan tanpa syahwat.” Walhasil, jelaslah, bahwa Hizb sendiri telah mengharamkan seorang laki-laki mencium wanita asing yang bukan mahramnya. Kami bertanya, anda lebih percaya kepada rujukan asli dari Hizbut Tahrir atau buku yang penuh dengan kedustaan itu?.

Walhasil, tidak ada keraguan sedikitpun, buku yang dijadikan rujukan oleh buku terbitan WAMY itu, adalah buku yang penuh dengan tipuan dan pendustaan. Jika rujukannya saja sudah gugur secara metodologis, tentu gugur juga semua buku yang menginduk kepadanya. Walhasil, buku terbitan WAMY tidak ilmiah dan tidak layak dijadikan acuan dan sumber rujukan, dikarenakan rujukannya telah batal secara akademis.

Kami tegaskan kembali, jika buku Shadiq Amin, yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah itu dipertanggungjawabkan di depan kajian ilmiah, maka buku itu tidak bernilai ilmiah sama sekali, bahkan batal demi kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, untuk menilai apakah buku WAMY bisa dijadikan sebagai rujukan atau tidak, maka tolok ukurnya adalah apakah buku yang dijadikan rujukan dasar buku WAMY itu (buku al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah, karya Shadiq Amin) ilmiah atau tidak. Jika tidak, maka gugugrlah keilmiahan buku WAMY tersebut.

Kami mengingatkan dan mengajak kepada pihak-pihak yang selama ini terlanjur mempercayai kebenaran isi buku WAMY itu dan sudah terlanjur menjadikannya sebagai rujukan untuk menilai Hizbut Tahrir, agar mau bersikap obyektif dan mau menerima koreksi dan pembenaran. Sungguh penerimaan anda dengan penuh keikhlasan akan menuntun anda kejalan kebenaran. Kami juga menyarankan kembalilah kepada Islam yang benar, kepada yang sudah terlanjur menyebarkan buku itu, maka tarik dan bekukan buku itu. Jika tidak sungguh adzab Allah sangatlah pedih! Ingatlah sabda Rasulullah saw, tatkala beliau mengingatkan tentang kedustaan, “Barangsiapa yang berdusta maka mereka bukanlah golongan kami. Pembuat makar dan pengkhianat akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Na’im dalam al-Haliyah dari Ibnu Mas’ud).

Kami perlu memberitahukan juga bahwa pengarang al-Da’wah al-Islamiyyah Faridlah Syar’iyyah wa Dlarurah Basyariyyah (yang dijadikan sumber rujukan oleh WAMY). Dr. Shadiq Amin, mengarang buku ini dibawah tekanan bangsa Yordania saat itu. Bahkan, penguasa Yordania telah menetapkan buku ini sebagai buku yang harus dipelajari oleh mahasiswa dan dosen pada kuliah Syari’ah di Universitas Yordania. Hal yang perlu dikritisi adalah, (1) Mengapa Pemerintah Yordania sampai menetapkan agar buku ini dipelajari di perguruan tinggi di sana? Sedangkan pada saat yang sama, pengarangnya mengaku sebagai anggota dari gerakan Islam yang meruntuhkan rejim kufur ala pemerintahan Yordan? Betapa kontradiksinya! Kita semua memaklumi bahwa pemerintahan Yordan sangat benci terhadap gerakan Islam yang ingin menerapkan aturan-aturan Allah swt dengan cara menegakkan Khilafah Islamiyyah. Bahkan, setelah Hiizbut Tahrir sering mendapatkan dukungan untuk meraih kekuasaan, pemerintahan Yordania tidak tinggal diam. Lalu, dibuatlah makar untuk menyerang dan menjelek-jelekkan Hizbut Tahrir di hadapan rakyat. Mereka menyuruh orang untuk mengarang buku yang menjelk-jelekkan dan mendiskriditkan HT. Kita mengerti, pemerintahan Yordan sangat anti dengan penerapan Islam yang utuh. Bila pemerintahan Yordan berbaik hati menjadikan buku karangan Shadiq Amin itu sebagai bahan kuliah di Universitas Yordania, tentu maksudnya bulkan untuk menyadarkan kaum muslim dari kelompok dan perjuangan yang benar.

Kita bisa menyimpulkan, pemerintah Yordan menetapkan buku ini sebagai bahan ajar di perguruan tinggi Yordan bukan untuk menyebarkan Islam yang benar, tetapi untuk menikam gerakan-gerakan Islam yang ingin meruntuhkan rejim kufur di sana-yakni HT? Mana mungkin pemerintahan Yordan yang kufur itu mau bersekongkol dengan gerakan yang ingin menghancurkan eksistensi mereka? Bahkan, menjadikan “buku itu” sebagai bahan ajar? Semoga Allah melindungi dan menyadarkan kelompok itu, (2) Setelah ditelusuri dengan jernih dan mendalam, Dr. Shadiq Amin, bukanlah nama sebenarnya. Ia adalah nama samaran dari Dr. ‘Abdullah ‘Azzam, salah seorang pengajar di kuliah Syari’ah di Universitas Yordania, sekaligus seorang mursyid Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Kalau buku ini memang ditujukan untuk mengajak kaum muslim menghancurkan rejim kufur, lalu mengapa pada saat yang sama rejim kufur (Yordan) malah menetapkan buku ini sebagai buku rujukan pada kuliah syari’ah di Universitas Yordania? Dan juga kenapa teman-teman Ikhwan di sini juga getol menyebarkan buku yang di absahkan oleh penguasa Yordan yang fasiq dan dzalim itu? Apakah mereka benar-banar bertujuan untuk menyelamatkan umat? Ataukah mereka ingin mengelabui umat agar umat tidak bergabung dengan jama’ah yang benar-benar ikhlas berjuang di jalan Allah, dan ingin meruntuhkan sistem setan? Wahai renungkanlah?
Selesai dengan pertolongan Allah