Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah kita menghitung berapa banyak medali dari area kontes olahraga internasional yang dimenangkan oleh atlit dunia Islam? Minimal.
Pernahkah kita menghitung, berapa banyak olahraga beladiri yang dari Asia Timur (Cina, Korea, Jepang) dan berapa dari Dunia Islam (Timur Tengah)? Kita bahkan tidak tahu lagi, apa nama olahraga beladiri yang pernah dipelajari para mujahid. Yang pasti bukan kungfu, karate, kempo, aikido, iaido, judo, jiu jitsu ataupun taekwondo.
Padahal Rasulullah pernah memerintahkan agar anak-anak muslim diajari olahraga berenang, berkuda dan memanah, suatu tamsil olahraga-olahraga yang dapat digunakan untuk survival, membela diri, dan tentunya berjihad.
Kalau kita menengok pada sejarah dan kebudayaan di Nusantara, akan ditemukan berbagai jenis beladiri tradisional yaitu “silat”. Menurut Sheikh Shamsuddin (2005) dalam “The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong” silat adalah ilmu beladiri yang terbuka sejak awal, sehingga membawa unsur-unsur yang diserap dari para pedagang maupun prajurit dari India, Cina, Arab, Turki dan sebagainya. Legenda di Semenanjung Melayu meyakini bahwa Hang Tuah dari abad-14 adalah pendekar silat yang terhebat. Hal yang sama terjadi di Pulau Jawa, yang membanggakan Mas Karebet, alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kesultanan Pajang.
Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum ulama, seiiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual, karena sudah menjadi tradisi di pesantren-pesantren, bahwa ilmu silat tingkat tinggi hanya diberikan kepada santri yang telah khattam kitab-kitab fiqih dan tasawuf tingkat lanjut serta telah terbukti mampu menahan gejolak hawa nafsunya.
Apa yang terjadi dan masih dapat dibuktikan jejaknya di berbagai pesantren di Nusantara ini pastilah cerminan dari tradisi yang sama yang mungkin merata di Daulah Islam. Tidak akan mungkin Daulah Islam memiliki para mujahid yang tangguh manakala mereka tidak memiliki mata airnya, yaitu para santri yang mempraktekkan olahraga para mujahid. Dengan demikian, silat atau sejenisnya berkembang di dunia Islam oleh semangat jihad, bukan semangat ingin terkenal di arena kejuaraan, apalagi sekedar semangat mendapatkan materi ataupun balas dendam. Namun ketika aura jihad semakin redup dari dunia Islam, meredup pula tradisi tersebut.
Selain silat, olahraga yang sangat terkait dengan jihad adalah olahraga strategi, yaitu catur. Secara umum catur dipercaya berasal dari India pada masa kerajaan Gupta pada abad-6 Masehi. Catur berasal dari kata “caturaga”, yang berarti empat divisi di ketentaraan yakni infrantri (=prajurit yang berjalan kaki), kavaleri (=kuda), gajah, dan panser (=benteng). Permainan ini kemudian populer di wilayah kekaisaran Persia sekitar tahun 600 M. Ketika Persia dibebaskan oleh tentara Islam, permainan ini ikut diadopsi, karena dipandang baik untuk berlatih strategi. Istilah “skak” berasal dari kata Persia “Syah”, yang berarti raja. Tentu saja, suatu pasukan tidak akan memang jika hanya belajar strategi saja. Namun ketika ilmu strategi ini telah mengendap pada para komandan pasukan Islam, ditambah mereka memiliki kesiapan jasmaniyah – yang dilatih dengan silat – dan kesiapan ruhiyah yang dilatih dengan taqarrub ilallah, maka mereka menjadi pasukan yang sangat tangguh.
Selain beladiri sebagai olahraga jihad, berenang dan menunggang kuda juga menjadi olahraga primadona di masa khilafah Islam yang panjang. Khilafah Islam banyak membangun pemandian umum di dalam gedung tertutup, di mana pemandian khusus pria terpisah sama sekali dari pemandian khusus wanita, dengan penjaga yang hanya dari jenis kelamin yang sama. Walhasil olahraga berenang dapat dipelajari dan dinikmati secara sehat, tanpa risiko-risiko pelanggaran terhadap syariat. Sebagian sisa-sisa pemandian ini masih dapat dilihat sampai sekarang di Cairo, Damaskus atau Istanbul. Model pemandian semacam ini oleh orang Eropa disebut dengan “Turkish Bath”.
Kemampuan berenang para mujahid Islam terbukti dalam beberapa peperangan di air, di mana mereka sengaja menabrakkan kapal-kapalnya ke kapal musuh, dan meloncat ke dalam air beberapa menit sebelumnya. Selanjutnya kapal musuh yang tersangkut kapal yang menabraknya itu dibakar dengan panah berapi.
Demikian juga dengan berkuda. Perhatian terhadap kuda adalah istimewa, karena kuda memiliki berbagai fungsi baik di masa damai maupun masa perang. Perhatian selama berabad-abad itu menghasilkan ras “kuda Arab” yang dikenal sebagai salah satu ras unggul di dunia, yang mampu mengarungi padang pasir dengan lebih cepat. Namun ras unggul itu hanya akan bermanfaat bila kendalinya dipegang oleh pengendara yang mahir. Karena itu, kemampuan menunggang kuda tingkat dasar sempat menjadi salah satu pelajaran yang wajib dikuasai seorang pelajar ibtidaiyah sebelum dinyatakan lulus.
Kemunduran olahraga beladiri secara signifikan terjadi merata di seluruh dunia (termasuk di Eropa) sejak ditemukannya senjata api. Ketika Eropa dengan intelijen dan tipu muslihatnya berhasil menjajah berbagai negeri di Asia, termasuk sebagian besar dunia Islam, mempelajari beladiri tradisional mulai dilarang secara sistematis. Ilmu-ilmu beladiri ini baru mengalami “reinkarnasi” jauh setelah penjajahan militer berakhir, dan setelah seni beladiri berhasil dimandulkan hanya untuk sekedar olahraga. Seni beladiri sebagai suatu kemampuan untuk bertarung yang sesungguhnya hanya tinggal ada di film-film laga, yang dalam hal ini film Jepang atau Cina memang selangkah lebih maju, sehingga berhasil membuat seni beladiri dari negeri itu terkenal dan berkembang di seluruh dunia.
Demikian juga kemampuan berenang di dunia Islam justru semakin turun sejak pemandian-pemandian umum yang syar’i tiada. Selain atlit perenang yang sedang berlatih, mayoritas orang datang ke kolam renang hanya untuk bersenang-senang, sambil suka tak suka menyaksikan aurat di sana-sini. Sementara itu, sejak ditemukannya sepeda dan kendaraan bermotor, berkuda menjadi sesuatu yang exklusif bagi kalangan berada. Padahal banyak sisi lain yang dapat dipelajari dari berkuda, yang tak ditemukan pada kendaraan lain.
Dr. Fahmi Amhar
Bila ada soal, “sebutkan contoh produk pertanian Islam!”, dapat diduga jawaban mayoritasnya adalah kurma. Sama seperti pertanyaan tentang “pengobatan ala Nabi” atau “Thibbun Nabawy” yang diasosiasikan dengan madu, habatussaudah dan bekam. Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian ataupun teknik pengobatan. Semua ini masuk dalam ilmu-ilmu yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”. Hanya saja, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”. Namun ini bukan semata-mata kesalahan mereka. Dunia kapitalisme telah mencampur-adukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”).
Dunia ilmu ekonomi mungkin termasuk bidang yang “tingkat ketercampuradukannya” tinggi, sedang ilmu kedokteran dan pertanian relatif netral. Bila Ibnu Sina meletakkan tujuh aturan dasar uji klinis atau Ishaq bin Ali Rahawi menulis kode etik kedokteran, maka di dunia pertanian ada Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan (zoologist) dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī(828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabâtdan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya. Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.
Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hinga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.
Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
Di Andalusia, pada abad-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah. Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.
Pada awal abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
Kemajuan pemikiran Islam tergambar pada realitas bahwa mereka sudah memikirkan ekologi dan rantai makanan. Al-Jāḥiẓ atau nama aslinya Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri (781-869) dalam bukunya Kitab al-Hayawansudah berteori akan adanya perubahan berangsur pada mahluk hidup akibat seleksi alam dan lingkungan. Meski ada perbedaan, pemikiran ini 1000 tahun mendahului Alfred Wallace atau Charles Darwin.
Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain. Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian. Kombinasi sinergik dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.
Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama. Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.
Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.
Mungkin ada pertanyaan: kalau kita pernah merevolusi pertanian, mengapa kita tidak ikut merevolusi industri? Penjelasannya adalah: siapapun yang tetap melakukan riset hingga abad-19 akan memiliki peluang lebih besar untuk mengkombinasikan lebih banyak teknologi dasar.
Kalau kita punya 2 benda, dengan kreativitas kita 2 benda itu dapat dikombinasikan menjadi satu benda yang baru. Misalnya kita punya teknologi ponsel dan camera, maka kita lalu terpikir ponsel berkamera. Kalau ada satu benda dasar lagi, misalnya GPS (alat navigasi global), maka dapat dibuat 3 benda baru lagi: ponsel ber-GPS, camera ber-GPS, dan ponsel camera dan ber-GPS.
Inilah kombinatorik, yang di matematika memiliki rumus n!/(k! * (n-k)!) atau kombinasi kelas k dari n benda dasar akan menghasilkan n faktorial dibagi perkalian dari k faktorial dan (n-k) faktorial. Kalau kita punya 2 benda (a,b), maka kombinatoriknya ada 1 (ab). Sedang kalau 3 benda (a,b,c), maka kombinatorik kelas 2-nya ada 3 (ab, ac, bc), dan kelas 3-nya ada 1 (abc), atau semuanya 4 benda baru. Dan kalau kita punya 4 benda, bisa dibuat 11 benda baru, dan kalau kita punya 10 benda, maka total dapat dibuat 1013 benda baru.
Itulah mengapa teknologi selalu makin lama makin cepat berkembang dan meletupkan revolusi demi revolusi. Ini karena bahan dasar yang bisa dikombinasikan semakin banyak. Tinggal pada sistem seperti apa para ilmuwan masih sempat bekerja secara ilmiah sehingga dapat mengembangkan penemuan baru bahkan revolusi baru.
Dr. Fahmi Amhar
Dewasa ini jika orang berbicara tentang kedokteran Islam atau “kedokteran ala nabi”, orang biasa menunjuk pada 4 hal: (1) kebiasaan sehat Rasulullah seperti puasa sunah, tidak makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang, dll; (2) menkonsumsi madu atau habatus saudah – sampai ada hadits bahwa “Habatus Saudah adalah obat segala penyakit kecuali maut”; (3) bila sampai sakit, terapinya adalah bekam; (4) dalam kondisi tak ada alat apapun, atau untuk penyakit karena pengaruh sihir dilakukan ruqyah syar’yah, seperti misalnya dengan dibacakan surat al-Fatihah.
Penyederhanaan seperti di atas tidak ada di masa kejayaan kedokteran Islam. Kaum muslimin secara sadar melakukan penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran secara orisinal dan memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang kedokteran, sehingga memiliki genre yang khas, melampaui genre yang ada saat itu, seperti kedokteran Yunani (seperti Unani), India kuno (Ayurveda), Persia (Akademi Gundishapur), dan karya-karya tokoh kedokteran kuno (seperti Hippocrates, Celcus atau Galen).
Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah adalah inspirator utama kedokteran Islam. Meski beliau bukan dokter, namun kata-katanya yang terekam dalam banyak hadits sangat inspiratif, semisal “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya” (HR Bukhari).
Keyakinan ini memotivasi penelitian biomedis para dokter Islam generasi awal. Pada abad 9, Hunayn bin Ishaq menerjemahkan sejumlah besar karya-karya kedokteran Yunani, Persia dan India ke bahasa Arab. Namun kemudian mereka mengembangkan lebih lanjut di hampir segala bidang, seperti pada anasthesy, anatomy, dentistry, immunologi, opthalmology, perinatalogy, psychology, surgery, pharmakology, dsb. Salah satu karya monumental yang merangkum segala kemajuan ilmu kedokteran pada saat itu adalah Qanun fit Thib (The Canon of Medicine) dari Ibnu Sina, yang di dunia Barat disebut Avicenna. Selama abad 15 dan 16 saja, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 35 kali.
Dokter-dokter Islam adalah yang pertama kali mendirikan rumah-rumah sakit dalam pengertian modern. Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih, serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat. Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Dokter muslim sudah mampu menghilangkan katarak seribu tahun sebelum orang Barat mengetahui hakekat penyakit mata ini. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah.
Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan test-test kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab al-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.
Salah satu keunikan dalam kedokteran Islam adalah peranan staf perempuan, yang di masa itu sangat jarang ditemukan di tempat penyembuhan lain di dunia. Kedokteran Islam mempekerjakan perempuan sebagai perawat, bahkan dikenal juga dua perempuan dokter dari keluarga Banu Zuhr yang melayani penguasa Almohad Abu Yusuf Ya’qub al Mansur pada abad-12. Pada abad 15, perempuan dokter bedah pertama kali diberitakan di rumah sakit khilafah Utsmani.
Ada ratusan tokoh ilmuwan muslim yang berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam kedokteran Islam.
Pada abad-9, Al-Kindi menunjukkan aplikasi matematika untuk kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengukur derajat penyakit (sejenis termometer), mengukur kekuatan obat hingga dapat menaksir saat kritis pasien.
Ar-Razi pada abad-10 memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari eksperimennya yang dapat diverifikasi. Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar mengenali penyakit dari analisis urin.
Sedang Ibnu Sina sudah dianggap Bapak Kedokteran Modern. Dia meletakkan tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat.
Abu al-Qarim al-Zahrawi dianggap Bapak ilmu bedah modern, karena dalam kitab Tasrif (sebuah ensiklopedi dalam 30 jilid) yang dipublikasikan pada tahun 1000 M sudah menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bedah, termasuk plester dan 200 alat bedah. Sebagian besar alat ini belum pernah digunakan orang sebelumnya, termasuk beberapa alat bedah yang khas digunakan untuk wanita. Persoalan bedah juga terkait anasthesi (pembiusan). Beberapa zat bius seperti campuran opium sudah digunakan dengan tepat oleh Abu al-Qarim, Ibnu Zuhur maupun Ibnu Sina.
Ibnu an-Nafis adalah Bapak Fisiologi peredaran darah yang merupakan perintis bedah manusia. Pada tahun 1242 ia sudah dapat menerangkan secara benar sirkulasi peredaran darah jantung-paru-paru. Di Barat baru tahun 1628 William Harvey menemukan hal yang sama.
Pada abad 15, kitab Tashrih al-Badan karya Mansur bin Ilyas menggambarkan secara lengkap struktur tubuh manusia, termasuk sistem syaraf.
Semua prestasi ini terjadi tidak lain karena adanya negara yang mendukung aktivitas riset kedokteran untuk kesehatan umat. Umat yang sehat adalah umat yang kuat, yang produktif dan memperkuat negara, untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Kesehatan dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan kuratif (pengobatan). Anggaran negara yang diberikan untuk riset kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia. Filosofi inilah yang seharusnya ada di benak kaum muslimin sekarang ini, terutama para penguasanya, jika ingin kedokteran Islam jaya kembali.
(dimuat di Media Umat no. 2, November 2008)