Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam, no. 19, minggu III-IV April 2007
Adakah teknologi ramah perempuan? Bila ada, perlukah kita teknologi spesifik tersebut? Apakah istilah ”ramah perempuan” ini bukan bias gender?
Tema ini diangkat pada edisi paruh kedua bulan April ini karena tanggal 21 April sering diperingati sebagai Hari Kartini, hari kebangkitan kaum perempuan.
Kebutuhan Perempuan
Adalah fakta bahwa perempuan memiliki beberapa ciri-ciri fisik yang berbeda dengan laki-laki, dan karena itu perempuan memiliki sejumlah kekhususan. Perempuan tidak bisa kencing sambil berdiri, perempuan mengalami menstruasi, bisa hamil dan melahirkan, perlu menyusui dan paling cocok kalau seorang balita diasuh ibunya. Karena kebutuhan khususnya itu, Islam mensyari’atkan agar perempuan menutup auratnya dan mengenakan jilbab (baju kurung terusan) dan khimar (kerudung) bila berada di tempat publik. Pergaulan laki-laki dan perempuan pun sedapat mungkin dibatasi kecuali pada hal-hal yang secara syar’i diijinkan. Oleh karena itu jelas bahwa ada beberapa jenis teknologi yang akan lebih terasa ramah perempuan bila aspek spesifik tadi diperhatikan.
Selama ini bila orang bicara teknologi spesifik perempuan yang terbayang tidak jauh dari urusan ”macak-masak-manak”, atau berhias, memasak dan mengurus anak.
Berhias adalah aktivitas seputar kosmetik, perawatan rambut, wewangian, pakaian – termasuk pakaian dalam, pembalut, perhiasan hingga sepatu dan asesori lainnya.
Memasak – meski banyak laki-laki juga pandai memasak – tetaplah aktivitas yang lebih didominasi ibu rumah tangga. Ini aktivitas yang dapat melibatkan segala jenis alat dapur seperti pisau, panci, kompor hingga kulkas sampai makanan atau bumbu siap saji.
Mengurus anak – adalah aktivitas yang tidak tergantikan bagi seorang perempuan. Aktivitas ini dimulai sejak hamil, melahirkan, memandikan, menyuapi, mengajak tidur – termasuk memasangkan popok, sampai mengajak bermain sambil belajar.
Sepintas saja sudah mulai terbayang bahwa teknologi haruslah dapat meringankan tugas kaum perempuan pada aktivitas-aktivitas klasik itu. Padahal kebutuhan dan tugas kaum perempuan tidak hanya itu. Perempuan juga wajib menuntut ilmu, wajib berdakwah – termasuk di dalamnya ada aktivitas yang bersifat politis (menasehati orang yang berkuasa). Dalam menjalankan aktivitasnya itu, seorang perempuan terkadang harus berkomunikasi, bepergian, makan di restoran atau menginap di hotel.
Ramah Perempuan
Sesuatu disebut ramah perempuan kalau dia dapat memenuhi segala yang dibutuhkan perempuan, tanpa perempuan itu menjadi terusik harkat keperempuannya. Karena itulah suatu toilet disebut ramah perempuan kalau pertama-tama dia terpisah dari toilet laki-laki. Perempuan tak akan nyaman kalau harus antri di depan toilet bercampur laki-laki, sekalipun toilet itu sama-sama tertutup dan tidak harus berdiri. Namun yang kedua: toilet itu sendiri harus ”ramah”.
Contoh: di Jepang dikenal piranti ”Washlet”, yaitu toilet yang sudah dilengkapi alat penyemprot air untuk cebok. Di situ ternyata ada dua penyemprot, satu universal (ke arah dubur), dan satu variatif – ke kemaluan, dan ini jelas beda letaknya antara laki-laki dan perempuan.
Washlet – WC ramah perempuan, lazim di Jepang
Dalam aktivitas yang spesifik perempuan, teknologi pada umumnya sudah didesain ramah perempuan, walaupun tentu saja ada yang lebih ramah dari yang lain. Namun pada urusan yang bersifat umum, masih banyak teknologi yang harus dimodifikasi.
Dalam dunia transportasi misalnya. Hingga sekarang masih jarang kita temui sepeda motor yang dapat dipakai berdua namun ramah perempuan. Perempuan yang duduk miring sebenarnya telah meningkatkan resiko keselamatannya dalam berkendaraan. Namun kalau duduk lurus, dia mengalami masalah dengan busananya.
Masih terkait transportasi adalah halte bus / kereta dan tempat parkir. Untuk kereta, bisa didesain wagon khusus perempuan, sehingga haltenyapun otomatis terpisah. Pada wagon yang tidak khusus perempuan, sebaiknya perempuan disertai suami atau mahramnya.
”This car is only for women” – kereta di Jepang
Untuk bus hal ini sulit direalisir, karena komposisi penumpang yang naik sepanjang rute bus itu bisa bervariasi.
Untuk tempat parkir, terlebih yang ada di basement suatu gedung, perlu fasilitas yang lebih ramah perempuan, misalnya pencahayaan yang lebih baik. Kalau hal itu dirasa akan memboroskan listrik, maka dapat dibuat karcis khusus perempuan yang juga dilengkapi pemancar kecil untuk menghidupkan lampu tambahan, dan sekaligus juga sebagai alarm kalau terjadi sesuatu.
Perempuan yang sering memiliki keperluan syar’i untuk bepergian juga perlu teknologi untuk membela diri. Teknologi ini tidak cuma penyemprot larutan cabe atau mrica, namun dapat pula berisi alarm dengan sirene yang sangat keras. Di dunia global positioning system (GPS) dikembangkan pula chip yang dapat memberi informasi lokasi seseorang yang membawanya ke suatu komputer yang terhubung. Jadi dapat diimajinasikan: seorang perempuan yang membawa chip itu, dan rute perjalanannya sudah jelas, maka bila tiba-tiba tanpa penjelasan ada penyimpangan rute hingga di luar toleransi, ada kemungkinan dia dalam bahaya. Maka komputer ini bisa mengaktifkan satuan pengamanan untuk menolong perempuan itu.
Kemudian di dunia pendidikan. Pada kelas campuran atau kelas perempuan dengan guru laki-laki, terkadang ada kecanggungan ketika berinteraksi, sekalipun itu sebatas transfer ilmu. Di sinilah teknologi berperan. Material belajar mandiri secara interaktif dapat dipandang sebagai teknologi yang lebih ramah perempuan. Demikian pula dengan komunikasi via internet, di mana perempuan dapat berdakwah atau bahkan beraktivitas politis lainnya secara langsung, tanpa harus keluar rumah dan bersinggungan dengan laki-laki, sekalipun internet belum mampu menggantikan 100% aktivitas di lapangan.
Internet juga memiliki potensi mengoptimalkan sebagian aktivitas klasik perempuan. Misalnya ”smart kitchen”. Sebuah dapur dilengkapi komputer yang menyimpan ratusan resep dan merekomendasikan menu harian yang sehat dan berimbang. Menu ini bisa diprogram sesuai selera isi rumah selama misalnya sebulan. Ibu rumah tangga cukup mengikuti saran yang diberikan setiap hari. Setiap bahan masakan yang diambil dilewatkan dulu ke suatu scanner untuk didata. Dengan demikian komputer selalu tahu apa saja yang tersedia di rumah, dan kapan dia secara otomatis harus memesan belanjaan yang diperlukan, sebelum semuanya habis. Kalau sistem ini terhubung dengan on-line-shopping, maka petugas supermarket terdekat akan mengantar belanjaan yang dibutuhkan, tanpa sang ibu repot-repot keluar rumah. Dia dapat memiliki waktu lebih banyak untuk suaminya, anak-anaknya atau untuk dirinya sendiri.
Kalau teknologi ramah perempuan ini dikembangkan juga oleh para insinyur muslim pecinta syari’ah, insya Allah dia akan menjadi ”teknologi ramah muslimah”.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 18, minggu I-II April 2007
Beberapa waktu yang lalu, ribuan warga menyandera Kereta Api Jakarta – Rangkas Bitung. Aksi ini berakibat mandegnya sejumlah KA jurusan itu. Ribuan penumpang terlantar. Kenapa ada aksi penyanderaan? Ternyata karena KA yang beroperasi sering telat. Dan sejak banjir tempo hari, ada jembatan yang rapuh, sehingga PT KAI mengurangi gerbong maupun frekuensi perjalanannya. Ini di luar fakta bahwa kondisi KA dan pelayanannya amat memprihatinkan. Berjejalnya penumpang di dalam gerbong mendorong sebagian penumpang duduk di atas gerbong, yang tentu amat berbahaya. Pada tulisan ini kita akan membandingkan sistem perkeretaan kita dengan yang ada di dunia saat ini.
Dalam istilah teknis, kereta api adalah bagian dari sistem transportasi rel, yang terdiri dari kendaraan (kereta) dan jalan permanen yang dapat berupa rel konvensional, monorel maupun maglev (rel magnetis yang mengangkat kereta sehingga melayang beberapa milimeter). Sistem penggeraknya ada pada lokomotif yang digerakkan mesin diesel atau listrik yang disuplai oleh sistem sepanjang rel.
Sistem kereta terdiri dari kereta jarak jauh dan komuter. Kereta jarak jauh sering memiliki wagon restoran dan untuk yang berjalan di malam hari ada wagon tidur. Ada juga kereta kecepatan tinggi, yang umumnya berjalan di siang hari dan dapat bersaing dengan pesawat terbang. Di Jepang, Tokyo-Osaka (sekitar 500 Km) dihubungkan dengan Shinkansen. Di tikungan, kereta ini akan miring sedemikian rupa sehingga penumpang tidak mengalami gaya sentrifugal.
Pada jarak dekat, area kota dan sekitarnya dihubungkan dengan kereta komuter. Di sini, beberapa wagon didesain untuk memiliki lebih banyak tempat berdiri dibanding kursi. Ada juga tempat untuk menaruh kereta bayi, sepeda ataupun kursi roda. Di beberapa negara bahkan ada kereta susun (double-decked trains).
Kota-kota besar sering juga memiliki sistem metro, atau disebut juga subway, tube atau underground. Mereka digerakkan listrik melalui rel ketiga dan jaringannya terpisah: di terowongan atau di struktur layang.
Sementara itu satu atau dua kereta yang berjalan di atas jalan raya, secara konvensi tidak disebut kereta tetapi tramway, light-rail atau streetcar.
Di Tokyo, beberapa kereta komuter memiliki wagon khusus yang kursinya dapat dilipat untuk memberi tempat berdiri lebih longgar saat jam sibuk. Kereta ini bahkan memiliki pintu yang lebih banyak. Ditaksir 3,5 juta penumpang terangkut oleh satu jalur saja dari Yamanote-Line di Tokyo (yang mungkin memiliki jaringan kereta komuter terbaik di dunia).
Kalau di Jabotabek, banyak penumpang tidak membayar, itu salah satunya karena sistem ticketing yang masih jauh dari optimal. Di Jepang, tiket dijual oleh mesin. Penumpang lalu memasukkan tiket magnetis itu pada pintu otomatis menuju peron yang hanya cukup untuk satu orang dan hanya terbuka kalau penumpang memiliki tiket yang sah. Setelah itu tiket keluar lagi untuk nanti dilakukan prosedur yang sama di stasiun tujuan. Kalau tiket kurang, pintu keluar tidak mau terbuka. Penumpang harus membayar dulu kekurangannya, juga pada mesin otomatis. Untuk orang ingin hemat waktu, dia dapat membeli tiket multipakai, ada yang berlaku sehari, seminggu bahkan setahun dan di semua jalur. Dengan sistem ini, Jepang dapat mengatasi jutaan penumpang setiap harinya, bahkan dengan tenaga pengawas stasiun minimal. Petugas stasiun ini sering merangkap sebagai pemberi informasi kepada orang asing. Mereka umumnya lancar berbahasa Inggris.
Sementara itu di Eropa, ada sistem tiket kereta api yang cocok untuk wisatawan. Interrail atau Eurail namanya. Dengan tiket itu orang dapat dapat naik kereta apapun di seluruh Eropa selama sebulan tanpa perlu bayar lagi. Ada juga pilihan lainnya, seperti 15 hari perjalanan dalam kurun sebulan dan sebagainya. Sangat praktis. Turis yang baru tahu akan suatu objek dapat tanpa pikir panjang menuju tempat itu, tanpa takut pengeluarannya membengkak. Yang harus dipegang cukup buku jadwal kereta – yang umumnya dipatuhi.
Sebagian besar barang di dunia ternyata sudah diangkut dengan kereta. Di AS, sistem rel bahkan mayoritas digunakan untuk cargo. Bila barang yang diangkut banyak dan jaraknya jauh, sistem ini diyakini lebih ekonomis dan efisien dibanding transportasi jalan.
Memang angkutan rel tidak terlalu fleksibel, sehingga popularitasnya sempat turun. Banyak pemerintah negara industri yang lalu kampanye memindahkan cargo dari jalan ke rel. Sistem pemindahan praktis atas kontainer dari kereta ke truk pun dibangun. Untuk jarak jauh, mobil penumpangpun lebih ekonomis digendong kereta. Di Austria, istilah Autobahn (jalan tol) diberi makna baru dengan ditulis Auto-Bahn (artinya mobil naik kereta). Tujuannya mengurangi kepadatan jalan raya dan polusi, menghemat energi dan menurunkan angka kecelakaan. Sistem ini bahkan wajib untuk kereta Inggris-Perancis yang lewat terowongan Selat Kanal.
Secara umum memang transportasi rel lebih hemat lahan dan ekologis. Hanya saja, dia perlu organisasi yang jauh lebih rapi. Jika Indonesia sistem kereta api masih susah maju, mungkin itu karena masyarakat kita masih sulit diatur dalam suatu organisasi yang rapi. Orang masih semaunya sendiri, terlebih di jalan raya.
Kalau di Indonesia banyak pemukiman baru yang belum terlayani angkutan umum atau pemerintah kebingungan untuk membebaskan tanah guna pembangunan jalan, maka di Jepang, mal atau apartemen baru justru baru diijinkan dibangun bila jaringan kereta telah tersedia di sana. Walhasil, banyak stasiun kereta yang berada di dalam superblock yang juga terdiri dari mal dan apartemen. Tak heran ada pepatah, kalau mau melihat kehidupan orang Jepang, pergilah ke stasiun kereta.
Di Indonesia bila akan naik pesawat sediakan waktu aman 2-3 jam (karena akses ke bandara sulit diprediksi dan sering lebih lama dari naik pesawatnya sendiri), maka di Jepang akurasi waktu tempuh naik kereta menjadi jaminan, bahkan bila orang mau ke bandara.
Itu semua seperti belum cukup. Beberapa jalur kereta masih menyediakan wagon khusus perempuan. Maklum pada jam sibuk, rupanya perempuan Jepangpun risih kalau harus berdesakan dengan laki-laki asing. Mestinya di negeri kita hal ini lebih diperhatikan lagi. Sebenarnya kalau mau hal itu tidak susah. Masyarakat dengan karakter yang mirip kita seperti Malaysia juga faktanya bisa. Kereta jalur PUTRA di Malaysia bahkan digerakkan secara otomatis, tanpa masinis.
Di Indonesia, mungkin karena malas berpikir: PT KAI malah akan diprivatisasi, dan anehnya swasta maunya jalur gemuk seperti Jakarta-Bandung, dan menolak ikut mengurusi jalur-jalur ekonomi. Mungkin solusinya hanya satu: terapkan sistem perkeretaan syariah!
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007
Sebuah kasus pertanahan yang cukup kolosal sedang menarik perhatian anak negeri. Areal seluas 59 hektar, yang di atasnya telah berdiri ribuan bangunan, termasuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, yang mayoritas mengantongi sertifikat tanah, tiba-tiba terancam tergusur, karena konon proses jual belinya puluhan tahun yang lalu bermasalah. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah memerintahkan agar tanah di Meruya Selatan Jakarta Barat itu dikosongkan karena telah menjadi hak PT Porta Nigra.
Masyarakatpun resah. Harga tanah dan bangunan di sana mendadak turun. Real estate merugi. Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan mafia tanah untuk dapat memborong tanah dengan harga murah. Gubernur DKI konon siap pasang badan membela masyarakat melakukan upaya Peninjauan Kembali. Sementara itu pengacara PT Porta Nigra menuduh BPN telah sewenang-wenang saat memberikan sertifikat atas tanah yang sedang dijadikan sita jaminan.
Lepas dari soal kepastian hukum kasus yang sedang hangat ini, sebenarnya sejauh mana ”state of art” dari teknologi yang dapat digunakan untuk mencegah kasus semacam ini terulang lagi di masa depan?.
Administrasi Pertanahan
Kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) – yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda – dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.
Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB. Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut. Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap. Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.
Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu. Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).
Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu. Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.
Teknologi Pertanahan
Untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, dewasa ini tersedia setidaknya tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.
(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan. Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut. Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah. Ortofoto dan batas-batas ini lalu diumumkan minimal dua bulan di kantor pemerintah setempat. Pada masa kini, data semacam ini dapat ditayangkan di internet – mirip yang ada dalam bentuk yang lebih sederhana di Google Earth.
Bila tidak ada komplain, maka setelah dua bulan klaim itu dapat dinyatakan sah. Bila ada sengketa, maka dilakukan penegasan batas (ajudikasi) di lapangan, di mana kedua belah pihak bertemu, sepakat, untuk kemudian dibuat berita acara.
Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu. Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan. Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah. Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS). Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS.
(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya. Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim), sehingga dapat ditemukan tanah-tanah terlantar yang tidak produktif – yang umumnya tanah-tanah yang dikuasai seseorang namun tak termanfaatkan.
(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya. Di negara-negara maju, LIS ini terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam. LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan. Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud. LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang. Bahkan LIS dapat digunakan untuk mencegah pemberian izin atau konsesi yang tumpang tindih (misalnya antara hutan lindung dan pertambangan).
LIS juga dapat membantu mendata dengan cepat tanah-tanah yang harus dibebaskan untuk suatu proyek publik (misalnya pengadaan tanah untuk sekolah, saluran pencegah banjir atau pengadaan makam). Kalau LIS ini digunakan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam, LIS ini dapat digunakan untuk memantau tanah pertanian yang terlantar lebih dari tiga tahun (sehingga menurut syariat Islam harus disita oleh negara), atau mendeteksi kemungkinan penyewaan tanah pertanian bila tanah itu dimiliki seseorang yang domisilinya sangat jauh.
Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara merencanakan kawasan pertanian pangan – termasuk alih fungsinya, menghitung subsidi penggarapan lahan atau zakat untuk komoditi pertanian tertentu, hingga membuat perencanaan ruang yang lebih rapi. Kota-kota peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi. Kota dari abad-8M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik. Ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang relatif rapi, yang teknologi saat ini semestinya lebih mendukung lagi.
Insya Allah dengan sistem pertanahan syari’ah, yang dilaksanakan oleh aparat yang amanah dan kafaah (capable), serta didukung dengan teknologi pertanahan yang tepat, kisruh pertanahan di masa depan tidak terjadi lagi.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.