Dr. Fahmi Amhar
Bunga tulip selalu diasosiasikan dengan Negeri Belanda. Pada musim semi, sekitar April sampai Mei, di taman Keukenhof Belanda yang seluas 32 hektar, mekar 4 juta kuntum dari 300 jenis tulip. Luar biasa. Mungkin inilah secuil taman surga yang digelar Allah di dunia.
Namun tahukah anda bahwa bunga tulip bukanlah asli Belanda?
Suatu riwayat mengatakan bahwa tulip dibawa ke Eropa oleh Oghier Ghislain de Busbecq, duta besar raja Ferdinand I dari Jerman untuk Sultan Sulayman al Qanuni (1520-1566) dari Daulah Utsmani. Sang duta besar ini amat mengagumi berbagai bunga di Istanbul yang bahkan mekar di tengah musim dingin.
Versi lain mengatakan bahwa bunga ini diperkenalkan ahli botani Universitas Leiden, Carolus Clusius, pada tahun 1573. Dia mendapat bibit bunga itu dari Austria. Di Austria, bunga ini diperkenalkan etnis Hungaria. Dan orang-orang Hungaria ternyata mengenal tulip dari orang-orang Khilafah Utsmaniyah, yang datang membebaskan Hungaria pada awal abad 16!
Ternyata, bunga tulip sebagai tumbuhan liar telah dikenal di Turki pada tahun 1000-an. Namun adalah Sultan Ahmed III (1718-1730) yang memerintahkan membudidayakan tulip secara massif. Para pejabat bertugas menilai bagus jeleknya berbagai jenis tulip. Masa pemerintahan Sultan Ahmaed III ini disebut juga Era Bunga Tulip.
Ilustrasi tulip oleh Abdulcelil Levni (1720)
Era Tulip (dalam bahasa Turki: Lale Devri) adalah periode dalam sejarah Utsmani yang relatif damai, di mana Daulah Utsmani sudah mulai melakukan politik yang lebih berorientasi pada industri dan perdagangan, dan mengurangi tensi terhadap Barat. Sejak kegagalan expedisi jihad ke Wina Austria pada tahun 1683 Daulah Utsmani telah sejenak melakukan “reses” dari jihad.
Selama periode tulip ini, masyarakat kelas elit telah membentuk minat yang besar untuk tulip. Tulip identik dengan gaya hidup bangsawan. Namun tulip juga merupakan romantisme yang mewakili kalangan elit dan kaya, yang pada saat yang sama menunjukkan kerapuhan dari pemerintahan despotik (yakni pemerintahan yang terkonsentrasi di tangan segelintir elit).
Apa yang Ada bayangkan mendengar kata “Belanda”? Tulip? Kincir Angin? Sepak bola? Atau bekas penjajah dan tokoh “Party for Freedom” Geert Wilders yang membuat film “Fitna” yang menyerang Islam?
Tahukah anda bahwa menurut Statistics Netherlands, 5 persen populasi Belanda (atau lebih dari sejuta orang) adalah Muslim. Dari 850.000 warga negara Belanda yang Muslim, 38 persen berasal dari etnis Turki, 31 persen Maroko, 26 persen Asia/Afrika lain, 4 persen Eropa lain, dan hanya 1 persen yang etnis Belanda. Di Belanda terdapat sekitar 400 masjid, di antaranya 200 masjid Turki, 140 masjid Maroko dan 50 masjid Suriname. Selain itu juga terdapat 45 sekolah dasar dan 2 SMA Islam.
Sebagian besar Muslim tinggal di empat kota terpenting Belanda, yaitu Amsterdam, Rotterdam, Den Haag dan Utrecht. Mereka terkonsentrasi di komunitas rendah penghasilan dengan kualitas perumahan yang rendah, pengangguran kronis dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Mereka biasa bergabung dalam organisasi-organisasi yang satu etnis, sehingga wajar bila etnis Turki memiliki organisasi terbanyak, diikuti Maroko, namun ada jejaring di antara organisasi ini seperti The Contact Body for Muslims and Government (CMO), yang menaungi sekitar 80 persen komunitas Muslim dan Contact Group Islam (CGI).
Menarik untuk melihat, bahwa kondisi Muslim migran di Belanda yang secara umum tetap terpinggirkan (marjinal) membuat generasi kedua yang lahir di Belanda (sehingga kurang menguasai bahasa asli etnisnya) akhirnya lebih mengidentifikasi diri dengan agamanya (yaitu Islam) daripada asal usul nasionalitasnya.
Pada pemilu 2003, sedikitnya 10 dari 150 legislator yang berlatarbelakang Muslim, meskipun hanya 3 dari mereka yang masih menjalankan Islam, sedang dua orang malah eksplisit menyatakan diri sebagai “ex-Muslim”. Nehayat Al-Bayrak (Menteri Negara Hukum) dan Ahmed Aboutaleb (Menteri Negara Urusan Sosial dan Pekerjaan) yang kini walikota Rotterdam adalah Muslim-Muslim pertama yang duduk di kabinet pemerintah Belanda.
Sejarah Islam di Belanda dimulai awal abad-17 ketika terjadi perjanjian antara Belanda dengan Maroko untuk bekerja sama membendung kekuatan Spanyol. Sejak abad-19, Belanda mulai mengalami migrasi sporadis dari Indonesia yang menjadi jajahannya. Sedang booming ekonomi dari 1960-1973 mendorong Belanda merekrut banyak sekali tenaga kerja dari Turki dan Maroko, dan migrasi mereka berlanjut sebagai cara penyatuan kembali keluarga. Kemudian tahun 1975 berdatangan Muslim dari Suriname menyusul kemerdekaan Suriname. Sedang era 1980-1990an, berdatangan Muslim dari beberapa negeri yang dilanda konflik seperti Bosnia, Somalia, Iran, Pakistan dan Afghanistan.
Isu-isu Islam terakhir yang masih hangat di Belanda adalah pembunuhan Theo van Gogh oleh Mohammed Bouyeri, pada 2 November 2004. Theo van Gogh adalah tokoh di balik pelecehan terhadap Nabi Muhammad, antara lain berupa kartun Nabi. Karena Belanda sudah menghapuskan hukuman mati, Bouyeri saat ini dijatuhi hukuman seumur hidup dengan dakwaan terorisme. Bouyeri sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Namun sejak itu, bermunculan website yang mendukung Bouyeri, dan pada saat yang sama kekerasan terhadap umat Islam pun makin sering terjadi. Anne Frank Foundation dan University of Leiden menghitung total 174 kekerasan, dengan masjid sebagai target 47 kali dan gereja 13 kali.
Mei 2006, sebuah polling pada 1.200 warga Belanda menemukan, bahwa 63 persen merasakan bahwa Islam tidak sesuai dengan kehidupan Eropa modern. Polling sejenis menemukan bahwa 68 persen merasa terancam oleh imigran atau pemuda Muslim, dan 47 persen khawatir bahwa suatu saat mereka harus hidup dengan aturan Islam di Belanda. Ketakutan ini wajar karena kehidupan budaya yang nyaris terpisah. Sebagian besar Muslim hidup pada komunitas etnisnya sendiri, dan sebaliknya sebagian besar orang Belanda asli hanya punya sangat sedikit kontak atau bahkan tidak sama sekali dengan immigran atau Muslim.
Pada 2006, Menteri Kehakiman Piet Hein Donner mengeluarkan pernyataan bahwa Negeri Belanda kemungkinan menerima syariah sebagai sumber konstitusi. “It is a sure certainty for me: if two thirds of all Netherlanders tomorrow would want to introduce Sharia, then this possibility must exist. Could you block this legally? It would also be a scandal to say ‘this isn’t allowed! The majority counts. That is the essence of democracy.” [Algemeen Nederlands Persbureau (Expatica), 2006-08-13, archived from the original on 2006-08-13, http://web.archive.org/web/ 20070929120452/ http://www.expatica.com/actual/ article.asp?subchannel_id=1&story_id=33017, retrie ved 2008 03-15]. Pernyataan ini langsung ditolak seluruh partai, termasuk oleh seorang tokoh Muslim.[]