Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Syari’ah’ Category

MEMABRURKAN HAJI DAN “MENGHAJIKAN” SEMUA ORANG

Friday, November 4th, 2011

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.

Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci. Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun. Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara. Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar). Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji. Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah. Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya. Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil. Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru. Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun. Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama. Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan. Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”. Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya. Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”. Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi. Bumi berthawaf mengelilingi matahari. Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh. Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku. Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran. Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas. Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah. Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya. Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i. Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini. Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia. Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya. Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat. Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.  Dan apa artinya tiga juta jama’ah haji berkumpul di Arafah dan satu setengah milyar muslim hadir di dunia, menyembah Tuhan yang satu, mengacu kitab yang satu, berkiblat ke Ka’bah yang satu dan merayakan hari raya yang satu, bila mereka tidak bersatu menjadi Ummatan Waahidan, bersatu memberi rahmat ke seluruh alam dengan menerapkan syariat Islam yang penuh berkah di bawah satu kepemimpinan, Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah?

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita. Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah. Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.

Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini. Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci. Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.

KURIKULUM SEKOLAH CALON IBU RUMAH TANGGA

Monday, September 26th, 2011

keluarga-sakinah

Pekerjaan paling banyak di Indonesia itu adalah IBU RUMAH TANGGA.

Tapi koq belum ada sekolah yang mendidik jadi calon Ibu Rumah Tangga ya?
Padahal banyak sekali keahlian yang harus dimiliki seorang Ibu Rumah Tangga.

Ini sekedar khayalan kurikulum sebuah “Jurusan Ilmu Rumah Tangga”.
Gelar akademisnya mungkin “S.IRT” (Sarjana Ilmu Rumah Tangga”).

1. Fiqih keluarga & Kepribadian Islam
2. infrastruktur dan teknologi dalam rumah tangga
3. desain interior
4. arsitektur exterior
5. gizi dan nutrisi
6. pengetahuan kuliner
7. fashion dan perawatan pakaian
8. perawatan kecantikan
9. penjagaan kesehatan & kebugaran
10. deteksi & penanganan dini masalah kesehatan
11. olahraga keluarga
12. perencanaan & manajemen keuangan
13. bisnis rumahan
14. bertani di lahan sempit
15. hukum seputar rumah tangga
16. beladiri untuk keluarga
17. manajemen acara keluarga
18. pendidikan anak
19. psikologi keluarga
20. perawatan pasien dan manula
21. perawatan kehamilan dan menyusui
22. media informasi dan komunikasi
23. perencanaan transportasi
24. pengetahuan seputar belanja
25. sosiologi bertetangga
26. kontribusi wanita dalam masyarakat
27. dokumentasi dan informasi keluarga
28. pengembangan kreatifitas anak
29. dakwah di dan dari rumah
30. literatur keluarga
31. metode relaxasi (pijat, yoga)
32. hiburan dan rekreasi islami
33. kesehatan reproduksi
34. tanggap darurat dan kebencanaan
35. politik ramah keluarga

ada masukan lagi?

Simulasi Rukyat Global – apakah mungkin Sholat Ied di hari yang sama?

Tuesday, August 2nd, 2011

Menjawab keraguan sebagian kalangan, karena di dunia ini 24 (atau bahkan maximum 26 daerah waktu) sehingga di dunia setiap saat selalu ada 2 hari. oke kita simulasikan begini: ada 6 kota: Samoa (di extrim Barat, GMT-11), New York (GMT-5), London (GMT+0), Makkah (GMT+3), Jakarta (GMT+7), dan Tonga (extrim timur, GMT+13 — bukan GMT+12).

Asumsikan “Ahad sore” (tanggalnya terserah, yang jelas 29 Ramadhan) mereka rukyat. Pasti yang rukyat duluan adalah Tonga. Baru 24 jam kemudian – kalau dibilang “Ahad sore” – adalah Samoa.

Kalau katakan di Tonga Ahad pukul 18 rukyat, dan hilal kelihatan.

Peristiwa ini diikuti secara on-line.

Tonga mengatakan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri.

Maka:

– di Jakarta masih Ahad pukul 12 siang; “besok” adalah Senin.

– di Makkah masih Ahad pukul 8 pagi; “besok” adalah Senin.

– di London masih Ahad pukul 5 pagi; “besok” adalah Senin.

– di NewYork masih Sabtu pukul 24 atau Ahad pukul 0 pagi; meski masih malam, tapi karena ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

– di Samoa masih Sabtu pukul 18 sore, sama maghribnya dengan Tonga, tetapi ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

 

Jadi rukyat global di Tonga akan menjadikan Sholat Ied di seluruh dunia sama-sama Senin.

Sekarang katakanlah di 5 kota dari Tonga hinga New York hilal tertutup awan, sehingga Ahad sore hilal tidak dapat terlihat, meski secara astronomi sudah di atas ufuk, dan itsbat memutuskan Ramadhan istikmal. Tetapi di Samoa hilal terlihat pada Ahad pukul 18 sore (29 Ramadhan), dan diumumkan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri. Maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 18 sore; sudah sama-sama Maghrib tapi hari Senin sudah selesai, sehingga “besok” adalah Selasa; bisa saja yang tadi sudah dilalui dan sudah dianggap tgl 30 Ramadhan dicancel dan dianggap 1 Syawal, agar kelanjutan hari kembali konsisten (Selasa 2 Syawal). Tetapi yang jelas, perayaan Iedul Fitri tidak bisa pada hari Senin yang sama.

– di Jakarta sudah Senin pukul 12 siang; bisa saja istikmal dicancel, tetapi sudah tidak mungkin sholat Ied lagi, jadi Senin ini sudah 1 Syawal, tetapi sholat Ied-nya baru besok.

– di Makkah sudah Senin pukul 8 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin pagi ini juga lebaran.

– di London sudah Senin pukul 5 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin ini juga Lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 24 atau Senin pukul 0 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel; jadi “besok” Senin Lebaran.

Jadi rukyat global di Samoa ternyata TIDAK BISA membuat hari sholat Ied di seluruh dunia sama; tetapi akan 2 hari yaitu Senin dan Selasa, lepas soal cancelling istikmal 30 Ramadhan.

Bagaimana kalau kita ambil kota di tengah yang rukyat? katakanlah dari Tonga sampai Mekkah gagal merukyat karena cuaca, tetapi London berhasil pada Ahad sore pukul 18 waktu London, maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 7 pagi; istikmal dicancel, jadinya Senin ini juga lebaran.

– di Jakarta sudah Senin pukul 1 pagi; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di Makkah masih Ahad pukul 21; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 13; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

– di Samoa masih Ahad pukul 7 pagi; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

Jadi rukyat global di London masih bisa menjaga kesamaan hari lebaran.

KESIMPULAN

Yang paling crucial memang bila rukyat yang berhasil adalah yang di “pojok barat” daerah penanggalan kita, yaitu Samoa.

PERSOALAN YANG ADA SELAMA INI BELUM SEJAUH ITU.

YANG SERING TERJADI ADALAH KLAIM RUKYAT YANG SECARA SAINTIFIK TIDAK VALID, MISALNYA TERKADANG ADA KLAIM RUKYAT PADAHAL BELUM IJTIMA’ ATAU TINGGI BULAN MASIH NEGATIF. MESKI TIDAK ADA FOTONYA, DAN ADA BESAR POTENSI KEKELIRUAN, NAMUN SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MASIH KEBERATAN UNTUK MENOLAK RUKYAT SEMACAM INI. SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MENGANGGAP “MENOLAK RUKYAT DENGAN ALASAN ASTRONOMIS” ADALAH TIDAK SYAR’I. ALASANNYA, KARENA ASTRONOMI DIANGGAP BUKAN SESUATU YANG PASTI SEHINGGA BISA MEMBATALKAN KESAKSIAN. MEREKA BERPANDANGAN PENDAPAT PARA AHLI ASTRONOMI SUKA BERBEDA-BEDA, INI -MENURUT MEREKA- MEMBUKTIKAN ASTRONOMI TIDAK PASTI.

PADAHAL, DALAM MASALAH MENGHITUNG KAPAN IJTIMA’ ATAU TINGGI HILAL, PARA PAKAR ASTRONOMI TELAH SEPAKAT. YANG BERBEDA-BEDA ADALAH PERISTIWA ASTRONOMIS YANG MANA YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI PERALIHAN TANGGAL HIJRIYAH, APAKAH IJTIMA’? APAKAH WUJUDUL HILAL? APAKAH IMKAN 2 DERAJAT? APAKAH IMKAN 5 DERAJAT?  DSB.

JADI BUKAN PADA MENGHITUNGNYA ITU SENDIRI.

SAYA SENDIRI BERPENDAPAT, UNTUK PEMBUATAN KALENDER, TIDAK USAH PAKAI HISAB ASTRONOMI.  PASTI HASILNYA AKAN BEDA-BEDA KARENA TERGANTUNG KOORDINAT LOKASI YANG DIHITUNG.  KITA KEMBALI SAJA KE KALENDER URFIAH YANG SUDAH DIPAKAI DI ZAMAN NABI.  TERUS RUKYAT HANYA KITA KERJAKAN PADA 29 SYA’BAN. 1 SYA’BANNYA SENDIRI TIDAK USAH DIRUKYAT, KARENA TIDAK ADA PERINTAHNYA.

WALLLAHU A’LAM