Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Syari’ah’ Category

Minyak Tetap Milik Rakyat

Friday, March 2nd, 2012

wawancara Eksklusif dengan Dr.-Ing. Fahmi Amhar
(Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia 2008-2009)
sumber : Majalah Islam Al-wa’ie.No 92TahunVIII 1-30 April2008

Pengantar:

Setiap kali terjadi kenaikan harga, kita diributkan dengan harga BBM. Sebagian pihak menyebut pengelolaan minyak oleh negara yang tidak benar turut andil terhadap mahalnya BBM. Jika ini benar, dimana letak kesalahannya? Lalu bisakah syariah mengatasi persoalan seputar BBM ini? Dr.-Ing. Fahmi Amhar memaparkan pendapatnya seputar masalah di atas berikut ini melalui wawancara dengan Redaksi.

Mengapa setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia kita selalu diributkan dengan masalah harga BBM?

Begini. Sebagian dari BBM yang kita pakai itu ada yang harus diimpor. Tahun 1990, seluruh sumur minyak di negeri ini mampu menghasilkan 1,46 juta barel minyak mentah perhari, sedangkan konsumsi dalam negeri cuma 0,61 juta barel. Ingat, penduduk kita saat itu baru sekitar 160 juta orang. Kita pernah kecipratan booming minyak dari tahun 1970-an. Makanya kita jadi anggota OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Lalu banyak sumur-sumur minyak kita yang makin tua, kering, atau mesin-mesinnya tidak efisien lagi sehingga sekarang minyak yang dihasilkan cuma sekitar 920 ribu barel/hari; sedangkan konsumsi dalam negeri, akibat pertumbuhan penduduk dan naiknya tingkat industrialisasi, sudah lebih dari 1,2 juta barel/hari. Tahun 2007 kita memang masih mengekspor minyak mentah sekitar 390 ribu barel/hari, tetapi ini hanya taktik dagang, karena kualitas minyak mentah kita lebih baik, karena yang kita impor lebih besar, yakni 665 ribu barel/hari. Sejak tahun 2004 kita sudah menjadi neto importir. Jadi, sebenarnya memang sudah tidak layak kita ada di dalam OPEC.

Menurut sistem yang dipakai sekarang, sebenarnya SDA, khususnya minyak, itu milik siapa?

Dalam UU yang ada di negeri ini, minyak itu secara filosofis-yuridis tetap milik rakyat, yang secara teknis dikonsesikan kepada para pemegang PSC, dan secara ekonomis dibagihasilkan: PSC sekian, negara sekian. Bagian negara ini yang kemudian didistribusikan oleh Pertamina yang mendapat hak melakukan PSO (Public Service Obligation).

Produksi minyak negeri ini dikelola oleh swasta, kebanyakan swasta asing, dengan skema PSC (Production Sharing Contrac) atau kontrak bagi hasil. Bisa dijelaskan, seperti apa praktiknya?

PSC ini diberikan untuk mencari (explorasi) cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. PSC berlaku untuk beberapa tahun, bergantung pada syarat kontrak serta penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara kontraktor dan BP Migas. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali prosentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan tempat minyak dan gas. telah ditemukan.

Mengapa ada sistem ini? Pada awal republik ini kemampuan modal dan teknologi Pertamina masih rendah, padahal minyak dibutuhkan, dan booming minyak di dunia harus dimanfaatkan. Pemerintah lalu mengundang perusahaan minyak asing untuk terjun berinvestasi di Indonesia dengan modal dan risiko mereka sendiri. Reward-nya adalah mereka diberi konsesi bagi hasil.

Lalu apa konsekuensinya terhadap penyediaan dan harga minyak (BBM) untuk rakyat?

Konsekuensinya ada tiga: (1) Jika tim Pemerintah yang melakukan negosiasi tidak benar-benar dapat menaksir potensi kandungan minyak itu dengan akurat sehingga dari awal tidak mampu menghitung porsi bagi hasil yang fair. Walhasil, proporsi bagi hasil dalam kontrak sudah tidak adil dari awal. (2) Sebelum bagi hasil dilaksanakan, PSC mengurangi dulu dengan apa yang disebut biaya pemulihan (cost recovery). Konsepnya, ini adalah biaya real yang dikeluarkan PSC sejak dari explorasi hingga produksi. Namun, bisa saja PSC sangat royal dalam meminta cost-recovery ini. Kita tahulah “standar gaya hidup” di dunia perminyakan. Jadi kesannya, cost recovery ini biasa di di-mark-up. Akibatnya, porsi yang dibagihasilkan otomatis lebih kecil. (3) Berapa angka real produksi hanya diketahui PSC. Negara tidak memiliki akses langsung, walaupun secara teoretis dapat menyewa auditor independen, tapi ini jarang dilakukan. Jadi, angka real produksi ini sebenarnya rawan dimanipulasi.

Lalu apa hubungannya hal itu dengan harga minyak (BBM) yang dibeli oleh rakyat?

Jika minyak untuk konsumsi dalam negeri lebih banyak diimpor maka harganya secara langsung ditentukan oleh pasar dunia. Sekarang ini hampir 275 ribu barel/hari yang kita impor. Kalikan saja dengan harga sekitar 100 US$/barel. 1 barel itu sekitar 150 liter. Jadi, harga minyak mentah itu seliternya sudah 66 sen dolar atau Rp 6000,-. Kalau sudah diolah menjadi BBM tentu harganya akan lebih tinggi.

Sebenarnya kalau yang dihitung dengan harga dunia ini cuma yang diimpor, kenaikan harga untuk total BBM dalam negeri tidak terlalu besar. Kalau kita hitung, biaya mencari, mengambil, mengolah dan mendistribusikan menjadi BBM itu hanya US$ 34/barel (seperti tahun 2004). Itu artinya hanya Rp 2.040,-/liter. Dengan sekitar 1/4 BBM impor berharga pasar dunia, harga BBM mestinya hanya sekitar Rp 3400/liter. Sekarang kan jauh lebih dari itu, karena semua BBM dihargai sesuai dengan pasar dunia dulu, baru kemudian yang dijual ke masyarakat disebut mendapat subsidi.

Bagaimana strategi pricing (penetapan harga) BBM yang dipakai Pemerintah saat ini dan bagaimana konsekuensinya terhadap harga BBM untuk rakyat?

Pemerintah menetapkan harga BBM dengan berbagai pertimbangan. Pertama: acuan harga pasar dunia. Harga ini diterapkan pada kapal-kapal atau pesawat asing yang mengisi BBM di sini. Namun, jika harga di dalam negeri jauh lebih rendah dari pasar dunia maka itu akan memicu penyelundupan. Ini terjadi pada masa lalu ketika ketika masih surplus minyak. Sekeras apapun pengawasan, tetap saja keuntungan dari penyelundupan yang begitu besar memacu kongkalikong para penyelundup dan aparat.

Kedua: acuan kemampuan masyarakat. Pertamina sebagai operator PSO berkewajiban menyediakan BBM dengan harga sama di seluruh SPBU di seluruh Indonesia. Jadi, sejak dulu konsumen di Jakarta, misalnya, membeli BBM lebih mahal daripada biaya produksinya, karena mesti “mensubsidi” konsumen di Jayapura, misalnya.

Ketiga: pertimbangan ekonomi. Sejak kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah memberlakukan dua jenis harga: satu harga untuk industri yang mengikuti harga minyak dunia; satu harga untuk rakyat, yang disubsidi. Adanya dua jenis harga di dalam negeri ini juga menimbulkan penyimpangan: BBM untuk rakyat dijual untuk industri.

Lalu bagaimana peran UU Migas dalam hal BBM dan harga jualnya kepada rakyat?

UU no 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu dikeluhkan banyak pihak sehingga diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam risalah keputusan MK no 002/PUU-I/2003 dapat dibaca bahwa yang diadukan para pemohon mencakup aspek legalitas formal hingga material. Pada sisi material, UU itu dinilai sangat liberal sehingga mengancam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, mengancam daya saing industri nasional, hingga memunculkan potensi disintegrasi. MK menolak uji formal tetapi mengabulkan sebagian uji material sehingga sebagian pasal-pasal UU itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Apakah syariah Islam bisa menyelesaikan problem BBM itu?

Tentu. Memang masih banyak pendetilan yang harus dilakukan. Namun, beberapa hal bisa dijelaskan di sini. Misalnya, ketika syariah menetapkan bahwa minyak adalah kekayaan milik umum. Karena itu, syariah juga menetapkan bahwa industri yang mengelolanya adalah industri milik umum. Namun, karena tidak mungkin industri ini dikelola langsung oleh rakyat, maka negaralah yang berkewajiban untuk mengelolanya. Dengan demikian, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan biaya explorasi hingga distribusi.

Jika dana APBN negara tidak cukup untuk membiayai semuanya tadi, maka negara bisa mendorong rakyat yang mampu, khususnya kaum Muslim, untuk berpartisipasi, bisa dengan sistem pinjaman atau pemberian cuma-cuma.

Kasus serupa pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ketika di Madinah kekurangan pasokan air, dan satu-satunya sumber air yang ada di Madinah dikuasai oleh seorang Yahudi. Nabi saw. menawarkan kepada para Sahabat, “Siapa yang mau membeli sumur untuk memenuhi kebutuhkan kaum Muslim dari tangan Yahudi itu, maka dia mendapatkan imbalan surga?”

Mendengar itu, Utsman ra. segera mengajukan diri. Dibelilah sumur itu. Namun, orang Yahudi tersebut tidak mau menjual sumur tersebut semua-nya, tetapi hanya mau menjual separonya saja. Sehari untuk mereka, sehari untuk kaum Muslim. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kaum Muslim, Rasul saw. pun ingin agar sumur tersebut dibeli semua. Kembali lagi Utsman membelinya, meski untuk itu harus dibayar berapapun harganya. Akhirnya, sumur itu pun jatuh ke tangan kaum Muslim, dan problem kekurangan pasokan air itu pun bisa diatasi. Sumur itu hingga kini masih ada di Madinah, yang dikenal dengan Bi’r ‘Utsman.

Syariah juga telah mengajar-kan agar tidak terjadi pemborosan, dengan mekanisme yang unik. Andai saja, pasokan BBM dari dalam negeri kurang, dan harus dibeli dari pasar dunia, kemudian dijual lebih murah dengan subsidi, maka negara juga bisa membuat mekanisme agar distribusinya adil, sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan layak.

Syariah tentang pengembangan iptek juga harus diterapkan, agar umat Islam makin menguasai semua teknologi yang dibutuhkannya, sehingga tidak bergantung pada teknologi yang ditawarkan korporasi asing. Pada abad-21 ini makin tampak bahwa pemilik teknologi akan dapat mendikte pasar dan pada akhirnya mendikte politik. Pada sisi lain, syariah diterapkan agar efisiensi energi dapat dinaikkan, tidak ada pemborosan, sehingga kebutuhan energi dapat ditekan.

Terakhir, syariah untuk mempersatukan seluruh Dunia Islam dalam satu Kekhilafahan harus diterapkan. Jika negeri-negeri Islam penghasil minyak bersatu maka di dalam negeri tidak akan ada kelangkaan BBM. Produksi minyak mentah Dunia Islam tahun 2004 total sekitar 9,2 miliar barel/tahun atau 25 juta barel/hari. Kalau ini dibagi populasi, didapat angka 3,2 liter perorang perhari. Sekadar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter perorang perhari.

Ketika syariah diterapkan, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan minyak swasta, khususnya asing?

Dengan logika di atas, perusahaan minyak jelas merupakan milik umum, yang dikelola sepenuhnya oleh negara. Hanya perusahaan inilah yang berhak mengelolanya. Tidak boleh ada privatisasi pada sektor ini, baik kepada swasta asing maupun domestik.

Karena itu, langkah yang bisa dilakukan pertama kali, ketika Khilafah berdiri, adalah: semua kontrak dengan pihak swasta dibatalkan. Sebab, semuanya tidak dilakukan berdasarkan ketentuan syariah. Setelah itu, jika negara membutuhkan, negara bisa membuat kebijakan, dalam sektor mana perusahan-perusahaan swasta, khususnya domestik tersebut, bisa beroperasi.

Adapun terkait perusahaan swasta asing, harus dilihat negara asal perusahaan tersebut. Jika negara kafir mu’ahad, maka peluang beroperasinya perusahaan tersebut masih dimungkinkan, selama dianggap tidak mengancam kepentingan negara. Adapun negara kafir harbi sama sekali tidak diizinkan untuk beroperasi.

Seandainya nanti dalam sistem Islam, rakyat harus membayar harga BBM, seperti apa strategi pricing yang sebaiknya digunakan?

Harus dipahami, misi negara adalah melayani kebutuhan rakyat, bukan bisnis ataupun dagang. Jika pandangan seperti ini dimiliki Pemerintah, Pemerintah tidak akan pernah berpikir mencari untung dari penjualan minyak domestik. Kalaupun negara harus menetukan harga, maka ketentuan tersebut dipatok sesuai dengan biaya yang dikeluarkan hingga minyak tersebut sampai ke tangan mereka.

Alternatif kedua, bisa saja negara menetapkan harga lebih dari biaya yang telah dikeluarkan sebagai sumber pendapatan negara, agar bisa membiayai pembangunan fasilitan umum, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat yang lainnya; baik kebutuhan pribadi, seperti sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan sosial, seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan. Dengan begitu, negara mempunyai cukup dana untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Kalaulah alternatif kedua ini ditempuh, dan tentu dengan tingkat akuntabilitas negara yang tinggi, maka saya kira masyarakat tidak akan merasa dizalimi. []

Audit Komprehensif Era Khilafah

Saturday, January 28th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pemerintah SBY jilid II ini konon meletakkan Reformasi Birokrasi sebagai prioritas pertama program-programnya.  Ini karena aparat birokrasi pemerintahan adalah ujung tombak jalan tidaknya semua kebijakan politik.  Mungkin orang sudah capai dengan janji-janji, apalagi terkait pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan.  Birokrasi yang tidak proaktif jemput bola melayani rakyat, tidak transparan cara kerjanya serta tidak terukur prestasinya, menjadi sandungan yang serius bagi suatu negara, siapapun pemimpinnya, apapun ideologinya.

Seorang pemimpin – apalagi pemimpin tertinggi sebuah negara – memiliki tugas mulia untuk memberi arah yang jelas bagi birokrasi di bawahnya, mengoptimasi segala sumberdayanya (dan negara adalah pemilik terbesar sumberdaya, baik itu SDM, organisasi, alat, asset maupun keuangan), menerapkan SOP sekaligus memberi teladan, hingga mengawasi bahwa semua berjalan “on the track”.  Tugas terakhir itu adalah tugas pengawasan (audit).  Yang diaudit tentu saja cukup komprehensif, yaitu mutu layanan, biaya layanan (agar tidak mahal atau boros) dan kecepatan layanan (agar rakyat tak hilang kepercayaan yang biasa terjadi bila layanan tidak memuaskan).

Ternyata tugas terakhir ini sangat penting, sebab ini mirip muara sebuah “sungai birokrasi”.  Dunia industri sepertinya bahkan sudah “mengenali” lebih awal dengan menerapkan standar ISO-9000 untuk manajemen mutu.  Banyak juga peneliti yang lalu usul agar reformasi birokrasi mengacu juga ke ISO-9000.

Apakah orang percaya, bahwa sebuah negara dapat bertahan berabad-abad tanpa pengawasan yang baik?  Tentu tidak.  Demikian juga dengan Daulah Khilafah yang pernah jaya berabad-abad.

Kalau kita meneliti fragmen-fragmen sejarah, ternyata audit sudah dikerjakan oleh Rasulullah sendiri.  Sebelum mengangkat para pejabatnya, Rasulullah pernah menguji sejauh mana hafalan Qur’an mereka.  Kandidat yang hafal surat Al-Baqarah dan Ali-Imran mendapat score lebih tinggi, mungkin karena kedua surat ini sarat berisi hukum, sehingga ada jaminan bahwa pejabat tersebut mengerti benar “SOP” yang akan diterapkannya.  Nabi juga pernah mengaudit kualitas tepung di pasar.  Ternyata tepung itu kering di atas, tetapi basah di bawah.  Dan itu menurut Nabi bisa jatuh ke delik penipuan konsumen.

Abu Bakar juga mengaudit sendiri pelaksanaan syariat zakat.  Dan ketika ada suatu kaum berkilah untuk menolak membayar zakat, Abu Bakar menindaknya dengan tegas.  Umar bin Khattab lebih ketat lagi dalam soal pengawasan.  Dia sering menyamar lalu berkeliling negeri melihat apakah masih ada warga yang belum terlayani aparat birokrasinya.  Umar juga kadang-kadang menguji integritas seseorang dengan pura-pura mengajak kolusi, seperti ketika beliau pura-pura ingin membeli domba dari seorang gembala.  Dan dia juga benar-benar menghitung harta seluruh pejabatnya di awal dan akhir periode jabatannya.  Setiap kelebihan yang tidak bisa dijelaskan secara syar’i, akan disita.  Umar bahkan memberi sanksi pada seorang gubernur Mesir, ketika anak si gubernur menzhalimi rakyat kecil.  Alasan Umar: si anak ini tidak berani zhalim bila ayahnya bukan pejabat, dan sayang ayahnya ini tidak mengawasi anaknya.

Khilafah juga menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, sehingga rakyat yang cerdas akan selalu mengawasi penguasa.  Sejak masa Khulafaur Rasyidin, para sahabat tak pernah canggung dan takut mengkritik para Khalifah.  Umar yang terkenal kesederhanaan dan keadilannya pun tak luput dari sikap kritis sahabat yang tak mau mendengarnya sebelum menjelaskan, darimana bajunya yang tampak lebih panjang dari rata-rata.  Sampai Umar menjelaskan, bahwa bajunya disambung dengan milik anaknya, yang dikasihkan kepadanya.

Pada masa selanjutnya, audit seperti ini tidak lagi sekedar mengandalkan intuisi seorang pemimpin, tetapi sudah melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, serta diterapkan di hampir semua bidang pelayanan publik.

Mungkin cabang ilmu yang paling cepat dipakai untuk audit adalah matematika.  Kitab al-Jabar wal Muqobalah dari al-Khawarizmi (780-850 M), bukanlah buku ilmiah yang berat, tetapi buku praktis bagi banyak orang.  Pedagang, petani, staf baitul maal, bahkan para hakim bisa dengan cepat menguji hitung-hitungannya menggunakan cara yang terjamin akurasinya.  Lahirlah cikal bakal akuntansi.  Maka pedagang bisa dengan cepat mengaudit para pegawainya yang bertransaksi di Syams atau Yaman.  Petani bisa mengaudit klaim penggunaan air atau pupuk.  Staf baitul maal lebih mudah menguji proposal pembagian zakat dari suatu kaum.  Dan para hakim bisa cepat menghitung waris secara adil.

Cabang ilmu kedua yang terpakai untuk audit adalah geografi.  Peta-peta yang mulai mendapatkan bentuk standar sejak masa Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M), Muhammad al-Idrisi (1100–1165 M) dan seterusnya, memudahkan para kepala daerah untuk mengawasi perkembangan wilayah di daerahnya.  Posisi, distribusi dan kondisi wilayah yang dihuni lebih mudah dilihat, sehingga berapa jumlah aparat yang ditempatkan, hingga berapa jumlah zakat yang dapat ditarik, lebih mudah diperkirakan dengan akurat.

Cabang ketiga, mungkin ilmu kimia.  Sejak Jabir ibn Hayyan (715-815 M) memperkenalkan metode ilmiah dalam percobaan material, menjadi semakin mudah bagi para pandai besi untuk menguji kemurnian logam mulia, atau bagi insinyur sipil untuk menguji apakah semen yang dipakai untuk membangun jembatan memang pada kualitas kekuatan yang ditetapkan.  Metode analisis dalam ilmu kimia juga berguna untuk mengetahui apakah sebuah makanan memiliki resiko kesehatan, atau apakah sebuah lahan layak ditanami tanaman tertentu, atau cocok untuk dibangun hunian atau bahkan rumah sakit.

Tidak cuma prosesnya.  Sumber Daya Manusianyapun diuji untuk menjamin kualitas layanan.  Di bidang kesehatan, para tabib di masa khalifah Harun al-Rasyid secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka juga harus membuat rekam medis, sehingga setiap ada kejadian yang serius bisa dilacak bagaimana awal mulanya.

Bahkan pada saat peperangan, beberapa panglima muslim mengaudit sendiri kualitas persenjataan serta kesiapan pasukan.  Sebelum merebut Konstantinopel, Sultan Mehmet II yang kemudian bergelar al-Fatih bahkan menanyai langsung intensitas dan kualitas ibadah anggota pasukannya, karena Rasulullah telah mengatakan bahwa Allah hanya akan membuka kota itu bagi pasukan yang terbaik – tentu tidak hanya yang terbaik senjata fisiknya, tetapi juga kualitas spiritualnya.

Ilmuwan Kimia mengaudit mutu barang di lab

Perkara Syar’i Tapi Mis-Context

Sunday, January 15th, 2012

Ada perkara-perkara mubah yang diizinkan oleh syariat Islam, tetapi hanya pasti barokahnya bila sistem Islam diterapkan di atasnya. Sedang bila dipaksakan pada context sistem “turbo-capitalisme” saat ini, tantangan dan resiko kegagalannya terlalu besar. Misalnya:

– menikah di usia dini

Karena pendidikan yang diberikan saat ini tidak menyiapkan orang sehingga sebelum baligh sudah tahu segala kewajiban syar’inya.  Walhasil setelah menikah terus didera banyak sekali masalah, tidak sedikit yang justru menjadi kontra produktif untuk dakwah.

– menikah sirri

Karena pemerintah hanya punya komitmen untuk melindungi pernikahan yang secara administratif tercatat resmi. Sebaliknya, banyak orang sengaja menikah sirri untuk menghindari konsekuensi hukum dari pernikahannya, misalnya pegawai korporasi tertentu dilarang menikah dengan sesama pegawai, padahal mereka kenalnya ya itu, jadi terpaksa menikah sirri, daripada salah satu dipecat!

– menikahi wanita ahli kitab

Karena tidak ada jaminan akan melengkapi “melihat Islam” yang sebelumnya hanya ditemukan di ruang publik menjadi juga di ruang privat.  Dalam negara Islam, seorang wanita ahli kitab melihat syariat Islam yang penuh berkah dilaksanakan di ruang publik.  Di sekolah dia melihat Islam.  Di tempat kerja dia melihat Islam.  Tetapi seperti apa Islam di dalam rumah tangga, sementara dia lahir dan dibesarkan bukan di keluarga muslim?  Untuk itulah, Islam memberikan kesempatan dia melihat Islam dipraktekkan di dalam keluarga, dengan menjadi istri seorang lelaki muslim yang shaleh. Kalau sekarang kebalikannya!  Di luar rumah yang ada hanya kapitalisme, sekulerisme, liberalisme.  Apakah seorang lelaki muslim justru akan menambah masalah dengan memasukkan wanita yang belum mengenal Islam ke dalam keluarganya?

– menikahi lebih dari 1 istri

Karena negara tidak akan pro-aktif campur tangan bila ada istri-istri yang ditelantarkan.  Negara ini hanya datang ketika “dipanggil” oleh istri yang menggugat cerai.  Padahal ada istri yang “tahu diri”, bahwa dia kalah cantik, kalah muda, kalah cerdas, tidak akan “laku” lagi bila cerai, sehingga akhirnya pasrah didholimi demikian.  Hanya negara Islam yang akan proaktif menjaga agar tidak ada satupun warganya yang terdholimi oleh warga lainnya, hatta itu suaminya sendiri.

– memiliki banyak anak

Karena bisa jadi justru akan menjadi mangsa pola konsumsi dan sistem pendidikan kapitalis.  Dalam negara Islam, setiap jiwa dijamin oleh negara.  Jadi banyak anak memang banyak rejeki, karena nantinya pendidikannya dijamin negara. Kalau sakit juga ada jaminan kesehatan dari negara.  Sekarang?  Banyak anak, berarti orang tua makin kewalahan mengurusnya.  Akhirnya anak diserahkan “dididik” oleh TV yang acaranya tidak islami.  Masuk sekolah kalau yang murah ya konten Islamnya minimal.  Jadilah banyak anak hanya memberikan lebih banyak korban untuk kapitalsme.

Jadi marilah, kita lebih proporsional dan kontekstual dalam mengatakan “syariat Islam”, termasuk ketika setengah menganjurkan untuk “menikah dini – daripada pacaran”, membela “menikah sirri – daripada berzina”, mensunnahkan “berpoligami – untuk membuat lebih banyak wanita bahagia”, mendorong “banyak anak – karena Nabi akan berbangga dengan jumlah ummatnya”, ataupun sebaliknya, menggugat kehalalan “menikahi ahli kitab”.  Semua ada konteksnya !Konteksnya adalah: ADA NEGARA YANG BERKOMITMEN MENERAPKAN SISTEM ISLAM DI ATASNYA.