Kapankah khilafah terakhir runtuh? Ketika Rasulullah wafat, ketika Ali bin Abi Thalib terbunuh, ketika Baghdad dihancurkan Tartar, atau ketika Dinasti Utsmaniyah runtuh tahun 1924 yang lalu? Bagi pengikut Wali al-Fatah –tokoh Hizbullah yang telah membentuk ‘Jamaatul Muslimin’ di Indonesia– juga pengikut Ahmadiyah, sekarang ini khilafah sudah ada. Khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka.
Sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca-Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi: ”Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy”.
Sebagian umat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafaur Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah monarki dengan penguasa absolut turun-temurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman. Sebagian kaum Syiah malah berpendapat, pasca-Rasulullah, kaum Muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para sahabat tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan Ali sebagai khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.
Sedang kaum sekuler mengatakan Nabi tak pernah menjadi kepala negara, juga tak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Kalaupun khilafah pernah ada, tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis.
Sedang kaum orientalis mengakui Nabi memang kepala negara, namun bukan negara Islam, melainkan negara sekuler. Hanya, kebetulan waktu itu yang berkuasa Muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara dengan Islam. Alasannya, dalam Piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.
Demikianlah sejumlah pendapat yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir tahun 1924 lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.
Negara Rasulullah
Jadi, apa sebenarnya entitas yang dipimpin Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekadar pemimpin informal/spiritual dalam sebuah negara?
Faktanya, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin shalat; maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing; mengirim pasukan; melakukan perjanjian; mengangkat hakim, gubernur, dan panglima; menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?
Faktanya, dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. RI bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta, RI tak akan sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah eks Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.
Faktanya, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka, tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Makkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Irak dan Iran sekarang ini.
Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah –sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu.
Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah II. Baiat itulah momentum berdirinya negara-khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi negaranya –sebagai wilayah dan masyarakat– memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.
Piagam Madinah juga lebih mirip sebuah Undang-undang Pakta Kerja Sama, baik intra-Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat ”dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, tidak diktatur, melainkan Islami. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi, Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.
Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku. Ketika Rasul wafat, para sahabat tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga –sebagai keluarga dekat– yang memandikan dan mengafaninya. Tapi Ali juga menunda menyalatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah khilafah lebih urgen daripada pengurusan jenazah.
Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Ketika Ali terbunuh dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki. Tapi sesungguhnya itu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara.
Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah tetap berfungsi. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi presiden selama 32 tahun: rekayasa Golkar, pemilu, dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya. Apalagi sistem khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.
Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara. Pertama, hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. Kedua, kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum Muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas. Faktanya, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan faktanya, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini.
Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum Muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti, namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum Muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.
Memang, ada kalanya datang khalifah yang zalim atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.
Kehancuran Baghdad oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, khalifah dari Quraisy akan mengurangi resistensi.
Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung hingga tahun 1924. Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki khalifah, bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam. Sekalipun mereka menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah Alquran, atau berbentuk Republik Islam, selama mereka membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan khalifah.
Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan umat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu: dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum Muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis. Jadi, memang sudah sejak tahun 1924 ini dunia menanti. (RioL)
www.swaramuslim.net (13 Mar 2006 – 10:00 am)
Serial Syariah Islam : Politik Perburuhan dalam Islam
Pendahuluan
Hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal itu terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem ketenagakerjaan yang berkait dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga kerja, bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, dan sosial, bahkan politis. Sementara itu, di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan pengusaha yang merugikan pekerja, seperti perlakuan buruk, tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, beribadah, dan lain-lain.
Walhasil, berbagai problem yang menyangkut hak-hak kaum buruh tidak terselesaikan dengan baik. Lebih ironis lagi, pemerintah dengan aparat keamannya bertindak represif menekan gerakan buruh untuk meraih hak-haknya. Berikut ini adalah beberapa problem yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
1. Problem Gaji / UMR
Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh.
Adapun dalam sistem ekonomi Kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih sering memihak ‘sang investor’ , dibanding dengan buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM. Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal?
Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat “batas minimal gaji” yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK) yang mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam hal ini ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah standar hidupnya. Nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.
Penetapan UMR sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh:
1. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit menolak’.
2. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harusmembayar sesuai batas tersebut.
3. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.
4. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.
Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu :
1. Kondisi normal (persaingan sempurna) yang mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan “akad ijarah” (perjanjian kerja) yang dalam pandangan syariat Islam yang didefinisikan secara ringkas sebagai “’Aqdun ‘ala al manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad atas suatu manfaat dengan imbalan/ upah).
2. Mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat (bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal (hajat asasiyah) bagi kehidupannya. Perwujudan kondisi ini, dalam pandang-an syariat Islam menjadi tanggung jawab utama negara. Dalam politik ekonomi Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) rakyat dan mempermudah kesempatan untuk kebutuhan tambahan (sekunder ataupun tersier)
2. Problem Kesejahteraan Hidup
Ketika para buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa gaji (upah), maka pencapaikan kesejahteraan bergantung pada kemampuan gaji dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah gaji relatif tetap, sementara itu kebutuhan hidup selalu bertambah (adanya bencana, sakit, sekolah, tambah anak, harga barang naik, listrik, telepon, biaya transportasi, dan lain-lain.) Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat (termasuk buruh) semakin rendah.
Berdasarkan indeks yang dikeluarkan UNDP (United Nations Development Progamme), pada 24 Juli 2002, Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari sepuluh anggota Asean. Di bawah Indonesia, bertengger negara Myanmar, Kamboja , dan Laos. Tak pelak lagi, kesejahteraan Indonesia di tingkat internasional juga buruk. Masih menurut UNDP, Indonesia menempati posisi 110 dari 173 negara, berada ‘kalah’ dari Vietnam (Republika, 25/7/2002). Padahal, bukankah Indonesia negeri yang alamnya sangat kaya?
Sementara itu, dalam sistem Kapitalis (yang juga dianut oleh Indonesia) peran negara diminimalkan, sebatas pengatur. Kenyataan yang terjadi adalah, negara mengabaikan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya siapa yang mau hidup sejahtera dia harus bekerja dan mencari pendapatan sesuai denngan kemampuannya. Tidak bekerja atau bekerja dengan gaji kecil, sementara kebutuhan cukup besar, menjadi risiko hidup yang harus ditanggung setiap warga negara. Negara berlepas diri dari pemenuhan kebutuhan dasar (primer) warga negara, apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.
Negara biasanya baru mengucurkan dana (gratis) darurat untuk membantu rakyat ketika krisis kehidupan sosial ekonomi sudah sedemikian parah, seperti JPS (Jaring Pengaman Sosial), pengobatan gratis, dan sebagainya. Itu pun dalam jumlah terbatas, dengan syarat yang sering memberatkan, dan yang jelas sifatnya hanya sementara (sesaat).Belum lagi , besarnya kebocoran dari dana-dana seperti itu. Walhasil, jumlah yang diterima rakyat sangatlah minim. Pada sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah ruah sangat banyak di hampir seluruh pelosok negeri, ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha dan penguasa) untuk memenuhi nafsu kaya raya dan nafsu berkuasa semata. Kolusi intra dan antara pengusaha dan penguasa melalui praktik KKN, kontrak karya, hak eksploitasi, dan sebagainya terjadi setiap hari tanpa memperhatikan kesengsaraan hidup kaum buruh. Bagi buruh (dan komponen rakyat lainnya) jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder untuk hidup lebih nyaman, kebutuhan primer untuk makan saja sangatlah sulit.
Kondisi yang menimpa kaum buruh tersebut sebenarnya tidak jauh beda dengan mayoritas rakyat/kaum lainnya selain buruh. Artinya, problem kesejahteraan ini lebih bersifat problem sistemis dari pada hanya sebatas problem ekonomi, apalagi problem buruh yang cukup dengan penyelesaian antara buruh dan pengusaha semata.
Jika hendak menyelesaikan problem kesejahteraan hidup, baik bagi kaum buruh maupun rakyat secara makro, tentunya penyelesaiannya harus mampu mencakup penyelesaian yang bersifat kasuistis dan sekaligus dibarengi oleh usaha penyelesaian bersifat sistemis-integralistis. Bila penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat kasuistis dan parsial, maka problem mendasar seputar kesejahteraan hidup kaum buruh dan rakyat secara menyeluruh tidak akan selesai.
3. Problem Pemutusan Hubungan Kerja
Salah satu persoalan besar yang dihadapi para buruh saat ini adalah PHK. PHK ini menjadi salah satu sumber pengangguran di Indonesia. Jumlah Pengangguran di Indonesia sangat besar. Menurut Center for Labor and Development Studies (CLDS), pada 2002, jumlah penganggur diperkirakan sebesar 42 juta orang (Republika, 13/05/02). Pastilah, banyaknya pengangguran ini akan berdampak pada sektor kehidupan lainnya. Sebenarnya, PHK adalah perkara biasa dalam dunia ketenagakerjaan. Tentu saja asalkan sesuai dengan kesepakatan kerja bersama (KKB), baik pihak pekerja maupun pengusaha harus ikhlas dan menyepakati pemutusan kerja ini. Namun, dalam kondisi ketika tidak terjadi keseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi ‘bencana besar’ yang sangat menakutkan para buruh.
Secara umum PHK terjadi karena beberapa sebab, seperti permintaan sendiri, berakhirnya masa kontrak kerja, kesalahan buruh, masa pensiun, kesehatan/kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena meninggal dunia. Problem PHK biasanya terjadi dan kemudian menimbulkan problem lain yang lebih besar di kalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha, di antaranya:
1. Posisi salah satu pihak yang lemah (biasanya pihak pekerja) sehingga pihak lain yang lebih kuat dengan mudah memutuskan hubungan kerja dan menggantinya dengan pekerja baru yang sesuai dengan keinginan. Hal itu dilakukan dengan alasan logis ataupun direkayasa.
2. Tidak jelasnya kontrak (waktu) kerja sehingga PHK bisa terjadi kapan saja. Kebijakan menetapkan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) tidak dilakukan dan dikontrol dengan baik sehingga kasus PHK bisa terjadi kapan saja.
3. Rendahnya SDM kaum pekerja berakibat semakin sulitnya mencari pekerjaan alternatif, dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara.Tidak heran, PHK menjadi seperti ‘vonis mati’ bagi pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan normalnya.
4. Tidak adanya pihak ketiga yang membantu penyelesaian kasus PHK secara tuntas yang memuaskan kedua pihak, terutama pihak buruh yang paling sering menerima ‘kekalahan’. Meskipun pemerintah telah menyusun peraturan teknis tentang PHK dalam UU No.12 Tahun 1964 yang disempurnakan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.PER-03/MEN/1996, tapi dalam pelaksanaan teknisnya banyak realitas yang merugikan hak-hak kaum buruh itu sendiri. Secara kasuistis, hal itu lebih disebabkan rendahnya pemahaman buruh terhadap berbagai peraturan pemerintah, posisi tawar yang rendah, dan tidak adanya lembaga pendamping yang secara serius membela kondisi kaum buruh dalam menghadapai kasus PHK ini.
Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan buruh pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan “pemenuhan kebutuhan dasar rakyat” sebagai asas politik perekonomiannya.
4. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan
Dalam masyarakat kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai “pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya”. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya .
Pada beberapa wilayah, pihak negara biasanya mewajibkan para pemilik usaha untuk memasukkan nilai Jaminan Sosial terhadap para pekerjanya yang biasa dikenal dengan istilah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Di Indonesia Jamsostek ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No.3/1992) yang di antaranya pada Bab I Pasal 1 ayat 1 menyatakan: Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa, seperti kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Dengan demikian, ruang lingkup Jamsostek ini meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan kesehatan.
Dalam pelaksanaan teknisnya, pemerintah praktis hanya membuat regulasinya saja, sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada (pemilik) perusahaan . Pada praktiknya, buruh itu sendirilah yang menyediakan iuran wajib untuk melaksanakan program ini. Dana yang dibutuhkan untuk jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan asuransi kematian, sebenarnya ditanggung oleh buruh itu sendiri dengan menabung wajib sekian persen dari gajinya setiap bulan untuk ditabung, lalu diolah dalam sistem ribawi agar berbunga terus untuk memenuhi kebutuhan seluruh jaminan tersebut.
5. Problem Kelangkaan Lapangan Pekerjaan
Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseim-bangan antara jumlah calon buruh yang banyak, sedangkan lapangan usaha relatif sedikit; atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan lapangan pekerja ini memunculkan angka tingkat pengangguran yang tinggi yang dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas. Problem kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh:
1. Investasi usaha rendah karena problem regulasi yang dianggap mempersulit investor, tingkat KKN pejabat yang tinggi, atau karena problem sosial dan sekuritas usaha.
.
2. Kurangnya peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM dan sikap enterpreneurship masyarakat. Juga, karena minimnya dukungan pemerintahan dalam membantu usaha pribadi/wiraswata bagi masyarakat (permodalan, pelatihan pembukaan pasar, kemudahan izin usaha, penghapusan berbagai jenis pajak, perlindungan keamanan, dan lain-lain).
3. Penguasaan modal dan sumber daya alam pada segelintir orang (konglomerat) menyebabkan usaha rakyat kecil/warga bermodal kecil tidak mampu bersaing dan pada akhirnya tidak menumbuhkan usaha kecil dalam jumlah banyak (misalnya, usaha mie instan, produk makanan, ternak unggas dan pakannya, monopoli jalur distribusi, dan lain-lain.
4. Pemerintah tidak berfungsi sebagai pembuka dan penyedia lapangan kerja bagi rakyatnya, tetapi hanya berfungsi sebagai regulator ketenagakerjaan. Padahal, banyak lahan usaha padat karya yang bisa dikelola oleh pemerintah guna menutupi kelangkaan lahan usaha. Dalam Islam, misalnya, tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun, akan diambil oleh negara. Kemudian, negara menyerahkannya kepada pihak yang membutuhkan dan mau mengelolanya.
Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Jadi, problem utamanya adalah sistem Kapitalisme yang saat ini diterapkan. Dalam hal ini syariat Islam sebagai aturan yang berasal dari Allah, akan mampu menyelesaikan persoalan ini. Mengingat syariat Islam adalah aturan yang menyeluruh yang secara praktis akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Sudah saatnya kita mengganti sistem Kapitalisme yang telah membuat buruh dan manusia lainnya menderita, dan menggantinya dengan syariat Islam.
Akar Masalah Ketenagakerjaan
Mencermati secara lebih mendalam berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka masalah tersebut berpangkal dari persoalan pokok “upaya pemenuhan kebutuhan hidup” serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, baik kebutuhan akan barang, seperti pangan, sandang dan papan; maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus faktor pendorong terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Terjadinya kelangkaan lapangan kerja menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur dan ini berdampak pada ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Terjunnya kalangan wanita dan anak-anak ke dunia ketenagakerjaan tidak terlepas dari upaya mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya sekaligus dalam rangka meningkatkan kesejahteran hidup.
Demikian pula persoalan gaji yang rendah yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan; tuntutan kenaikan gaji agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih baik; tuntutan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Bahkan, persoalan pekerja kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berpengaruh dan sangat terkait erat dengan persoalan pemenuhan kebutuhan pokok.
Karena akar permasalahannya terletak pada pemenuhan kebutuhan hidup, dengan demikian agar persoalan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan tuntas, persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat harusnya juga menjadi fokus perhatian. Selain itu, penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu tetap dilakukan untuk mencari solusi yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi, baik pekerja maupun pengusaha.
Karena itu, langkah penting yang perlu dilakukan adalah melakukan kategorisasi dengan memisahkan permasalahan ketenagakerjaan yang terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan dan masalah yang langsung berhubungan dengan masalah kontrak kerja pengusaha dengan pekerja.
Untuk kategori pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan, contohnya adalah persoalan ketersediaan lapangan kerja; pengangguran, lemahnya SDM, tuntutan kenaikan upah, tuntutan tunjangan sosial, masalah buruh wanita, dan pekerja di bawah umur.
Adapun untuk kategori kedua, yakni permasalahan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Hal ini mencakup persoalan pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya.
Persoalan pertama, yakni masalah ketenagakerjaan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja. Adapun persoalan kedua, yakni masalah kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.
Dengan mengkaji secara mendalam hukum-hukum Islam, kita dapati bahwa Islam sebagai sebagai prinsip ideologi (mabda) telah berusaha mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif. Dalam memecahkan masalah tersebut, Islam memahami bahwa penyelesaiannya perlu memperhatikan faktor penyebab utama munculnya persoalan ketenagakerjaan. Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam negaralah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Sementara itu, masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan pekerja, maka ini seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Islam telah menjelaskan secara terperinci bagaimana kontrak kerja pengusaha-pekerja melalui hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir. Dengan dipatuhi ketentuan-ketentuan Islam dalam hubungan pengusaha dan pekerja, diharapkan masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan lebih baik.
Tanggung Jawab Negara Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesai-kan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.
Dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif. Dengan kata lain, bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP). Dengam demikian, aspek distribusi sangatlah penting sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya .
Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah Swt. telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara. Adapun pada saat mengupayakan adanya jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran, Islam telah menetapkan bahwa semua jaminan harus direalisasikan dalam sebuah negara yang memiliki pandangan hidup (way of life) tertentu. Oleh karena itu, sistem Islam memperhatikan hal-hal yang menjadi tuntutan individu dan masyarakat dalam merealisasikan jaminan kehidupan serta jaminan pencapaian kemakmuran.
Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat
Yang termasuk dalam kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-barang tertentu berupa pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa tertentu, berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.
Dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat, menurut Islam negara menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Dalam hal ini dibutuhkan strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang sandang, pangan, dan papan; serta strategi pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, serta antara kebutuhan yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa.
Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sementara itu, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.
1. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang, dan Papan)
Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:
Langkah pertama: Memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali manusia berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki, dan berusaha. Bahkan, Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadis yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah Swt. berfirman:
]هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
“Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya” (QS al-Mulk [67]: 15).
Firman-Nya juga :
]فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا
مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[
“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah [62]:10).
Firman-Nya yang lain :
]اَللهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS al-Jaatsiyah [45]:12).
Nas-nas di atas juga memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.
Langkah kedua: Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, tapi ia tidak memperoleh pekerjaan, padahal mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda:
«اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:
«كُلْ بِأَحَدِهِمَا وَاشْتَرِ بِاْلآخَرِ فَأْسًا وَاعْمَلْ بِهِ»
“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.”
Juga, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian, Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Lalu, beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini didapati.
Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab r.a. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah Swt. Lalu, Umar r.a. bertanya,“Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab,“Yaa Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar, seraya berkata,“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian, Umar mengusir mereka dari masjid, tapi memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka,“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’i, dan telah diterapkan oleh para pemimpin negara Islam (Daulah Islamiah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.
Langkah ketiga: Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, tapi seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt. :
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]:233).
Ayat al-Quran di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, tidak hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw. telah bersabda:
«أَنْتَ وَمَالُكَ ِلأَبِيْكَ»
“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu” (HR Ibnu Majah).
Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.
Langkah keempat: Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, baik terhadap sanak keluarganya maupun mahramnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut” (HR al-Bazzar).
Bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sampai tetangganya yang diberi bantuan tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Negaralah (baitul mal) memang yang berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.
Langkah kelima: Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna–baik karena mereka telah berusaha, tapi tidak cukup (fakir dan miskin), maupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syar’i, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:
]خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا[
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS at-Taubah [9]:103).
Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada seorang muslim pun, kecuali aku bertanggung jawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu, Rasulullah saw. membacakan firman Allah Swt.,“Para nabi itu menjadi penanggung jawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda,“Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Namun, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya” (HR Kutub as-Sittah).
Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau saw. pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan uqubat (sanksi-sanksi), menegakkan hudud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau saw. bersabda:
«فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ»
“Siapapun orang mukmin yang mati sedang dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yang ada. Siapa saja yang mati sedang dia menyisakan utang atau dhayâ’an, maka serahkanlah kepadaku. Selanjutnya, aku yang akan menanggungnya” (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu, Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan syariat Islam, Umar bin Khathab telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, kurma, dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Sistem Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi:
“Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”
Juga sabdanya:
“Sesungguhnya telah kami berikan apa yang telah kami tentukan, agar darah (derajat) kita setaraf dengan darah (derajat) mereka, serta harta kita setaraf dengan harta mereka.”
Itulah hukum-hukum syariat Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).
2. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Pendidikan, Kesehatan, dan Keamanan)
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan, adalah kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, dan papan), saat Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap, maka terhadap pemenuhan kebutuhan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, miskin atau kaya. Adapun seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Mal.
Dalam masalah pendidikan, menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas baitul mal. Rasulullah saw. telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul mal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke baitul mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik baitul mal.
Menurut Al-Badri (1990), Ad-Damsyiqy menceritakan suatu peristiwa dari Al-Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu, memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas). Totalnya, 63,75 gram emas. Jadi, kalaulah dianggap satu gram emas harganya sekitar Rp500.000, berarti gaji guru pengajar anak-anak itu, lebih kurang Rp30.000.000. (Bandingkan dengan gaji guru sekarang!)
Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara itu, negara berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah saw. bersabda:
«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»
“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim” (HR Thabrani).
Al-Badri (1990) juga menceritakan Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al Ahkaam”, setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan muamalah kaum muslim dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sampai pada ungkapannya:
“Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.”
Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu (fardhu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardhu kifayah (fardhu atas sebagian kaum muslim) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslim berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya, ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika, dan ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslim.
Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslim dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslim, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslim, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum muslim.
Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah saw. terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya. Hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Mal dan untuk seluruh kaum muslim.
Pada masa lalu, Daulah Islamiah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah saw. pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Mal.
Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diizinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (unta), karena mereka memang berhak.
Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Umar r.a. telah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit. Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problem kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan (jasa) yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib, seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalah secara Islami, termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam, tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua, maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw.:
«مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِيْ سَرْبِهِ، مُعَافِيً فِيْ بَدَنِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا»
“Barang siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya” (Al-Hadis).
Adapun dalil bahwa yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw. yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya :
»اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ فَاِذَا قَالُوْهاَ عَصَمُوْا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّهَا«
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam), maka terpelihara olehku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak. Adapun hisabnya terserah kepada Allah” (HR Bukhari, Muslim, dan pemilik sunan yang empat).
Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta orang lain. Sebagai gambaran, siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut. Termasuk di dalamnya keamanan harta milik pekerja dari upah yang seharusnya mereka miliki, serta keamanan harta milik pengusaha dari perusahaan dan aset yang mereka miliki.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, dan papan. Demikian pula Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara, serta bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syariat Islam.
Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok dapat diatasi. Pengangguran diharapkan akan berkurang karena ketersediaan lapangan kerja dapat di atasi; masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur tidak akan muncul karena mereka tidak perlu harus terjun ke pasar tenaga kerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula permasalahan tunjangan sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus dikhawatirkan pekerja. Termasuk jaminan untuk memperoleh upah yang menjadi hak pekerja dapat diberikan.
Cara Islam Menyesaikan Masalah Kontrak Pengusaha-Pekerja
Kontak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerja sama yang harusnya saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena memeroleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena memberikan jasa kepada pengusaha. Karena itulah, hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraaan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya.
Agar hubungan kemitraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua pihak yang terlibat saling diuntungkan, maka Islam mengaturnya secara jelas dan terperinci dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan ijaratul ajir (kontrak kerja). Pengaturan tersebut mencakup penetapan ketentuan-ketentuan Islam dalam kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja; penetapan ketentuan yang mengatur penyelesaian perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja. Termasuk ketentuan yang mengatur bagaimana cara mengatasi tindakan kezaliman yang dilakukan salah satu pihak (pengusaha dan pekerja) terhadap pihak lainnya. Untuk itu, ada beberapa langkah yang ditawarkan Islam untuk dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja. Langkah-langkah tersebut adalah:
Mengharuskan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan Islam dalam akad ijaratul ajir
Salah satu bentuk pekerjaan yang halal untuk dilakukan adalah apa yang disebut dengan ijaratul ajir, yakni bekerja dalam rangka memberikan jasa (berupa tenaga atapun keahlian) kepada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah tertentu. Ijarah adalah pemberian jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) kepada seorang musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemberian harta dari pihak musta’jir kepada seorang ajiir sebagai imbalan dari jasa yang diberikan. Oleh karena itu, ijarah didefinisikan sebagai transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai imbalan (kompensasi).
Dalam transaksi ijarah terdapat dua pihak yang terlibat, yakni pihak yang memberikan jasa dan mendapatkan upah atas jasa yang diberikan, yang disebut dengan pekerja (ajir), serta pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan, yakni pihak yang memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir). Menurut Islam, suatu transaksi ijarah yang akan dilakukan haruslah memenuhi prinsip-prinsip pokok transaksi ijarah. Prinsip-prinsip pokok transaksi menurut Islam adalah:
Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal dan bukan jasa yang haram. Dengan demikian, dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari yang halal, seperti untuk memproduksi makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Namun, tidak dibolehkan melakukan transaksi ijarah untuk keahlian membuat minuman keras (khamr), membuat narkotika dan obat-obat terlarang, atau segala aktivitas yang terkait dengan riba.
Memenuhi syarat sahnya transaksi ijarah, yakni: (a) orang-orang yang mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz, yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk. Maka dari itu, tidak sah melakukan transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz, seperti anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental, orang gila, dan sebagainya; (b) transaksi (akad) harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh ada unsur paksaan.
Transaksi (akad) ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah terjadinya perselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajiir, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang ajiir tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Untuk itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Transaksi ijarah yang masih kabur, hukumnya adalah fasid (rusak). Selain itu, waktunya juga harus ditentukan, semisal harian, bulanan, atau tahunan. Di samping itu, upah kerjanya juga harus ditetapkan. Karena itu, dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas ketentuannya adalah menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Dengan jelasnya dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing. Pihak pekerja di satu sisi wajib menjalankan pekerjaan yang menjadi tugasnya sesuai dengan transaksi yang ada; di sisi lain ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Demikian pula pihak pengusaha berkewajiban membayar upah pekerja dan menghormati transaksi kerja yang telah dibuat dan tidak bisa bertindak semena-mena terhadap pekerja. Misalnya, secara sepihak melakukan PHK; memaksa pekerja bekerja di luar jam kerjanya. Namun, pengusaha juga berhak mendapatkan jasa yang sesuai dengan transaksi dari pekerja; berhak menolak tuntutan-tuntuan pekerja di luar transaksi yang disepakati, seperti tuntutan kenaikan gaji, tuntutan tunjangan, dan sebagainya.
Negara akan mencegah tidak kezaliman yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya
Kezaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha. Termasuk kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena, termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja, seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan sebagainya. Berkaitan dengan pengusaha yang zalim Rasul saw. telah mengingatkan dalam hadisnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Allah Swt. berfirman:
«ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ اَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ، رَجُلٌ بَاعَ حُرَّا فَأَكَلَ ثَمَنُهُ، وَرَجُلٌ إِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوْفِهِ أَجْرَهُ»
“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Adapun kezaliman yang dilakukan pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya yang menjadi hak pengusaha, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, tidak melakukan perusakan terhadap aset milik pengusaha, dan sebagainya.
Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, maka Islam memberlakukan hukum-hukum yang tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Hukum-hukum itu diberlakukan agar tidak boleh ada kezaliman satu pihak terhadap pihak lainnya.
3. Menetapkan dan mengatur mekanisme penyelesaian persengkatan dalam kontrak kerja
Meskipun Islam telah mengantisipasi segala hal yang dapat menyebabkan persengketaan antara pengusaha dan pekerja, yakni dengan jalan menetapkan ketentuan-ketentuan yang sangat terperinci seperti yang dikemukakan di atas, tapi peluang terjadinya perselisihan pengusaha dan pekerja masih ada. Untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, baik dalam masalah gaji, masalah penetapan beban kerja, maupun dalam persoalan lainnya, Islam memberikan solusi dengan jalan pembentukan wadah penyelesaian persengketaan perburuhan. Wadah ini dapat berbentuk perseorangan ataupun lembaga yang ditunjuk, baik oleh kedua pihak yang bersengketa, maupun disediakan oleh negara untuk menyelesaikan berbagai persengketaan perburuhan. Wadah atau badan ini semacam “badan arbitrase” yang keputusannya diharapkan bersifat mengikat dan final. Orang yang duduk di dalam badan ini adalah orang-orang yang adil dan mereka yang ahli dalam masalah perburuhan. Tenaga ahli yang disebut khubara’ inilah yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan tersebut.
Khatimah
Demikianlah pandangan dan cara Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan yang ada. Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah ketenagakerjaan. Sudah saatnya bangsa Indonesia berpaling pada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk masalah ketenagakerjaan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab
–
DAFTAR BACAAN:
Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.
Al-‘Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV Pustaka Setia.
Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit Gema Insani Press. Jakarta.
Al-Maliki, A. 1953. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla. Penerbit Hizb At-Tahrir. Baerut.
An-Nabhaniy, T. 1953. An-Nidzam Al-Islam. Penerbit Hizbut Tahrir. Beirut.
………………………. 1990. An-Nidzam Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Beirut.
Az-Zein, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan Sosial sebagai Studi Perbadingan (Terjemahan). Penerbit Husaini. Bandung.
Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan). Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.
Mannan, M.A. 1993. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
Qardhawi, Y. 1995. Kiat Islam dalam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema Insani Press. Jakarta.
Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
Ya’kub, H. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan ke-3. (Terjemahan). Penerbit CV. Diponegoro. Bandung.
Zallum, A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit Hizbut Tahrir. Beirut.
………………. 1983. Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah. Penerbit Darul Ilmu lil Malayiin. Beirut-Lebanon
(sumber: http://m.hizbut-tahrir.or.id/?p=67, dengan sedikit penyesuaian terkait kurs harga emas/dinar)
Berpikir adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak. Oleh karena itu, ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya.
Kalau saja aktivitas berpikir boleh kita bikin levelingnya, maka level 0 (terrendah), berpikir IRRASIONAL. Pada orang yang berpikir irrasional, satu atau lebih hal mendasar yang menentukan kualitas berpikirnya, mengalami masalah. Mungkin informasi fakta yang diterimanya tidak akurat, atau informasi yang disimpan sebelumnya tidak lengkap, atau menghubungkannya terburu-buru. Jadi, pada level 0 ini, boleh jadi informasi faktanya benar, atau informasi yang disimpan sebelumnya juga benar, tetapi kesimpulan yang dihasilkannya sebenarnya tidak nyambung. Dulu, di penduduk asli Hawaii ada mitos bahwa “seseorang yang sehat, itu harus punya kutu rambut, karena orang yang sakit, ternyata ditinggalkan kutu rambutnya”. Kedua fakta (sehat/sakit dan kutu rambut) itu benar. Tetapi menghubungkannya salah, karena yang benar, ketika orang sakit, lalu dia demam, kutu rambut tidak tahan berada di kepalanya. Tetapi, konklusi ini salah, karena ada informasi yang tidak lengkap, yaitu bahwa banyak orang sehat (di luar Hawaii) yang tidak punya kutu rambut. Di luar contoh ini, banyak pola pikir irrasional yang bertengger di beberapa ajaran agama & kepercayaan, juga beberapa pada dunia politik, ekonomi, manajemen dsb.
Level di atasnya level (1), berpikir ILMIAH. Berpikir ilmiah mencakup berpikir RASIONAL maupun EXPERIMENTAL. Tergantung objeknya. Ada objek yang cukup diolah secara rasional, misalnya mencakup matematika, astronomi, meteorologi, geologi, sejarah, ekonomi dsb, yang sebenarnya nyaris tidak bisa diuji secara pasti, tetapi konklusi pemikiran itu konsisten dengan fakta yang ditemukan serta bisa untuk prediksi. Misalnya, secara rasional, jauh sebelum era manusia bisa melihat bumi dari ruang angkasa, mereka sudah bisa memastikan bahwa bumi ini bulat, berrotasi pada porosnya, dan mengelilingi matahari. Tentu saja tidak semua hal bisa dipastikan secara rasional. Karena itulah, berpikir ilmiah untuk objek-objek tertentu juga memerlukan metode experimental – dalam kondisi laboratorium – misalnya fisika, kimia, bioteknologi, material science, mesin, teknik sipil dsb. Ketika sebuah objek baru bisa direkayasa (misalnya komputer) – padahal elektron itu tidak tampak secara langsung oleh pancaindera, maka teori tentang elektron itu menjadi sulit untuk dinafikan.
Level di atasnya level (2), berpikir INOVATIF. Berpikir inovatif adalah berpikir bagaimana sesuatu bisa menjadi manfaat bagi orang banyak, baik itu manfaat ekonomi, manfaat kemanusiaan, manfaat keindahan ataupun yang lain. Kadang sebuah teknologi tidaklah terlalu canggih secara ilmiah, tetapi sebuah inovasi mampu menjadikannya dipakai oleh ratusan juta manusia. Contoh yang paling gampang adalah di dunia teknologi informasi. Steve Jobs sebenarnya banyak menciptakan teknologi selain Apple, Macintosh, iphone, ipod dan ipad. Tetapi banyak hal yang menyebabkan tidak semua penemuannya itu dikenal orang. Demikian juga, Facebook bukan situs jejaring sosial pertama atau satu-satunya. Google juga bukan mesin pencari pertama atau satu-satunya. Tetapi kenapa Facebook dan Google menjadi sangat terkenal? Karena inovatif!
Level selanjutnya level (3), berpikir INSPIRATIF. Berpikir inspiratif adalah berpikir bagaimana bisa mencerahkan dan menggerakkan manusia atau masyarakat. Mereka menjadi seolah-olah tergerak dari dalam, bukan karena diarahkan oleh orang lain atau oleh sistem. Biasanya yang mampu berpikir inspiratif adalah mereka yang memiliki pengalaman hidup yang luar biasa, misalnya pernah membalikkan situasi yang sangat memprihatinkan menjadi kesuksesan. Orang yang berpikir inspiratif mampu menggerakkan anak muda yang tidak semangat belajar, pengusaha bangkrut agar bangkit lagi, politisi yang sedang difitnah lawan politiknya, hingga pengemban dakwah yang sedang patah semangat (futur).
Berpikir ilmiah, inovatif dan inspiratif sudah bisa dilakukan pada scope sangat local. Tetapi pada level selanjutnya kita bisa berpikir lebih luas. Untuk itu kita masuk level (4), berpikir INTEGRATIF – cakupannya bisa se-INDONESIA. Bak negarawan, kita memikirkan bagaimana mengurus bangsa Indonesia ini agar bisa menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, maju dan memberi manfaat bagi bangsa-bangsa lain. Untuk itu apa yang harus kita ubah? kita perbaiki? kita sempurnakan? Untuk dapat berpikir Indonesia, kita mesti mengenal berbagai karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, tinggal di ribuan pulau, dengan berbagai situasi, sejarah dan aneka ragam perundang-undangan yang membentuk adat-istiadat, habbit dan kultur yang berbeda-beda. Keragaman itu adalah sebuah fakta, bagaimana kita harus menyerap yang positif dan menjadikannya kekuatan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, adalah tantangan dalam berpikir level 4.
Mungkin berpikir pada scope Indonesia juga belum cukup, apalagi saat ini dunia saling terhubung, saling terkait. Jadi kita bisa masuk level (5), berpikir INDEPENDEN – di kancah INTERNASIONAL. Untuk dapat berpikir independen di kancah internasional maka kita harus memahami keragaman tingkat dunia, termasuk sejarah, budaya, konstelasi politik dan ekonomi internasional berikut intrik-intrik dan konspirasi yang mungkin ada. Ini adalah berpikir yang tidak mudah, karena tidak semua informasi dapat divalidasi atau diketahui akurasinya. Salah informasi dalam berpikir internasional dapat menjebak seseorang ke berpikir konspiratif, yang mensimplifikasi masalah apapun (dari bencana lokal sampai kekalahan dalam pilkada) sebagai hasil konspirasi global. Konspirasi memang bisa dan biasa terjadi di kancah politik atau ekonomi, tetapi tidak semua hal dapat dipastikan. Beberapa teori konspirasi malah bisa dipastikan keliru kalau itu melanggar hukum-hukum alam yang diketahui di dunia ilmiah.
Level selanjutnya adalah level (6), berpikir IDEOLOGIS. Ketika seseorang berpikir internasional, mungkin dia melihat sebagian bangsa lebih maju dari yang lain dan bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa maju? Di sinilah dia akan bersentuhan dengan sesuatu yang lain, bahwa kemajuan itu terkait dengan pandangan hidup (falsafah) yang mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan perilaku. Berikutnya, falsafah itu juga akan berpengaruh pada sistem peraturan yang dibuat, pada undang-undang, dan pada struktur organisasi yang diterapkan atas bangsa tersebut. Ini adalah sebuah ideologi. Jadi berpikir ideologis sebenarnya sangat sulit. Kita memikirkan banyak sekali hal sekaligus. Di dunia ada beberapa ajaran yang dapat disebut ideologi, sub-ideologi, semi-ideologi atau pseudo-ideologi. Tetapi secara umum, ajaran kapitalisme dan sosialisme dapat disebut ideologi. Kapitalisme sebenarnya bertumpu pada pandangan sekulerisme, yang memisahkan agama dari perannya dalam kehidupan publik. Selanjutnya pandangan ini memberikan kebebasan maximal dalam berbagai hal (liberalisme). Tentu saja saja kebebasan ini dalam prakteknya harus dibatasi oleh hukum, cuma hukum seperti apa? Karena asas sekulerisme, maka hukum tadi – minimal secara teori – wajib dibuat bersama-sama saja oleh berbagai kelompok (pluralisme), lahirlah demokrasi. Dalam implementasinya, demokrasi ternyata sangat tergantung kepada pemilik modal, dan pada akhirnya, hasil dari demokrasi berupa undang-undang dan penguasa, semakin memperkuat posisi pemilik modal, inilah mengapa lebih disebut kapitalisme.
Dan level yang tertinggi (7) adalah berpikir ISLAMI. Berpikir islami sebenarnya menempatkan Islam sebagai ideologi. Karena syahadat seorang muslim adalah falsafah yang akan berpengaruh pada pandangan hidup, pola pikir, sikap, perilaku, membuat undang-undang, membuat struktur organisasi yang mengatur masyarakat, dsb. Dan lebih dari itu, dia tidak cuma berpikir dunia di masa sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang. Bahkan dia bisa melihat apa yang tidak terdeteksi oleh pancaindera, yaitu dunia akherat! Dia tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga tentang rahmat bagi alam semesta. Dia otomatis berpikir internasional, karena semua bangsa berhak untuk merasakan indahnya Islam. Berpikir Islami juga pasti berpikir Indonesia, negeri kaya sumber daya tetapi juga kaya potensi bencana tempat tinggal muslim terbanyak di dunia. Berpikir Islami juga pasti berpikir inspiratif, bagaimana menggerakkan orang yang sudah bersyariah menjadi siap berdakwah; yang baru beribadah agar kaffah bersyariah; bahkan yang belum bersyahadat agar mau meyakini bahwa sesungguhnya Tiada Sesembahan yang wajib disembah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Nabi dan Utusan Allah. Ini jauh lebih dari sekedar inspirasi karena pengalaman hidup, karena inspirasi dari Islam melampaui apa yang mungkin didapat seluruh manusia sepanjang pengalaman hidup mereka (beyond inspiration). Berpikir Islami pasti mendorong orang untuk berpikir inovatif, karena Islam berlaku hingga akhir zaman, tetapi tanpa ijtihad yang menghasilkan berbagai inovasi, akan banyak persoalan manusia yang tidak mendapatkan solusi. Tetapi ijtihad adalah lebih tinggi dari sekedar innovasi (beyond innovation), karena dia sedari awal sudah melibatkan Allah, baik dari motivasinya (ontologi), cara mencapainya (epistemologi), hingga ke aplikasinya (axiologi). Dan jelas, berpikir Islami adalah berpikir ilmiah. Karena dasar keimanan (syahadat) sudah seharusnya dicapai dengan cara berpikir yang rasional, dan selanjutnya seperti soal malaikat atau hari kiamat, diturunkan dari dasar keimanan secara rasional. Islam tidak memberikan tempat untuk cara berpikir irrasional, sebagaimana mereka yang mencampuradukkan agamanya dengan bid’ah, khurafat dan tahayul. Tetapi berpikir Islami lebih dari sekedar berpikir ilmiah (beyond scientific way), karena informasi ilahiyah yang diturunkan secara rasional memberikan petunjuk tentang berbagai hal yang memang bukan seluruhnya dapat ditemukan secara metode ilmiah, karena menyangkut tujuan hidup manusia, nilai-nilai yang mutlak harus dipertahankan, dan sistem pengaturan hidup manusia baik secara garis besar, maupun dalam beberapa hal cukup rinci. Juga tentang beberapa kabar ghaib yang tentu di luar domain dunia ilmiah.
Berpikir Islami adalah berpikir beyond inspiration, beyond innovation, beyond scientific way !
.#