Fahmi Amhar, pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina
JARINGAN Islam Liberal (JIL) adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berpikir. Hal itu bisa dimengerti karena rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi. Padahal, aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan, ataupun penindasan.
Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam revivalis, yang ingin menyelamatkan umat dengan syariat sering bersikap simplistis, misalnya menekankan syariat sekadar kewajiban mengenakan jilbab pada muslimah, atau hukum-hukum hudud pada kasus pidana, namun mereka jarang memiliki konsep yang komprehensif dan rasional tentang mekanisme pembebasan manusia dari berbagai keterpurukannya. Bahkan, cita-cita memunculkan Islam sebagai *rahmatan lil alamin* terkadang
diwujudkan dengan cara-cara kekerasan, dan inilah *trade mark* Islam radikal yang menjadi salah satu pendorong sehingga JIL merasa perlu bersuara lebih lantang.
Dengan demikian, saya melihat JIL sebagai suatu antitesis atas latar belakang jumud dan alternatif radikal yang miskin konsep. Ini suatu hal yang bisa dimengerti, namun tidak boleh dibiarkan.
*JIL terbelenggu*
Saya setuju dengan pendapat Ulil bahwa Islam itu semacam organisme dan bukan monumen yang mati. Untuk itulah, realitas sejarah Islam di masa awal membuka pintu ijtihad yang membuat peradaban Islam berkembang pesat.
Namun, ‘paradigma organisme’ ini jangan menjadi belenggu baru bagi kita, bila kenyataannya memang ada yang tidak memberi kesempatan ijtihad, karena sudah begitu terang (*qath’i*). Andai paradigma organisme ini begitu
menonjol, Islam tidak akan tersisa lagi. Salat, puasa, atau haji bisa-bisa dianggap aktivitas mubazir yang tidak relevan dengan pembebasan manusia dari keterpurukannya.
Demikian juga dengan ‘paradigma nonliteral’. Sesungguhnya, teks-teks Islam (Quran dan hadis) memiliki makna literal dan makna *syar’i* (hukum).
Makna *syar’i* memang harus dipahami dalam konteks pelaksanaan syariat lain yang lebih luas, namun juga bisa lebih terbatas. Istilah salat, yang bermakna literal doa, memiliki makna *syar’i* aktivitas tertentu yang dimulai dari takbiratulihram dan diakhiri dengan salam. Justru JIL saya lihat lebih sering memakai makna literal untuk ditafsirkan sesuka hawa nafsunya.
Dalam kejumudannya, umat Islam di Indonesia memang sering melakukan suatu ritual yang sebenarnya hanya budaya, tanpa dasar syar’i. Namun, dalam masyarakat tradisional, hal-hal seperti itu (seperti memakai jubah), atau bahkan yang termasuk TBC (tahayul-bidah- churafat) , bisa disakralkan. Dan inilah (sesuai latar belakang JIL) yang pantas dikaji ulang. Namun, bukan hal-hal yang memang bukan tradisi, bahkan di Arab sendiri. Jilbab, misalnya, bukanlah tradisi Arab di masa Nabi. Kalau sekarang di sana menjadi semacam tradisi, apa salahnya kalau Islam yang dulu memulai tradisi itu?
Konsep Ulil tentang adanya ‘nilai-nilai universal’ yang mewajibkan umat
Islam tidak memandang dirinya terpisah dari umat manusia yang lain, seperti
nilai ‘kemanusiaan’ atau ‘keadilan’ pada tataran praktis akan menemui jalan
buntu. Manusia di mana pun memang diciptakan Tuhan untuk memiliki berbagai
sifat yang sama, misal suka diperlakukan adil. Namun, bagaimana adil itu
diciptakan ternyata tidak bisa berhenti pada dataran filosofis, namun harus
turun ke dataran yuridis, bahkan pada beberapa hal harus turun lagi ke
dataran aritmetis (misalnya pada pengenaan pajak progresif atau juga
pembagian warisan).
Karena itu, kalau Ulil usul untuk mengamendemen aturan yang membedakan
muslim dan nonmuslim (karena konon melanggar prinsip kesederajatan) ,
konsekuensinya mestinya salat id boleh diimami oleh nonmuslim, atau kalau
yang agak kurang ritual ya nonmuslim harus ikut bayar zakat.
Tentunya banyak hal-hal yang lalu menjadi absurd.
Cita-cita bahwa agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan
publik sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui proses demokrasi,
realitasnya justru sering dilanggar para penganjurnya sendiri, begitu Islam
yang keluar sebagai pemenang proses itu. Ketika jilbab dikenakan muslimah
profesional secara sukarela, yang mengemuka bukanlah kebebasan pribadi untuk
beragama, melainkan kecurigaan atas fundamentalisme, bahkan terorisme.
Bahwa Islam pada tataran praktis hanya akan terealisasi jika kekuatan
real-politis di masyarakat sepakat menerapkannya, ya. Kalau ini disebut
proses demokrasi, silakan. Namun, kalau pada tataran ide umat Islam
memperjuangkan agar syariat Islam yang diterapkan, apanya yang salah?
Bukankah ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ingin menerapkan ide-ide yang
lain?
Tentang Rasul Muhammad SAW, memang benar kita tidak diwajibkan mengikuti
secara harafiah. Dalam kajian ushul fiqh kita tahu, ada perbuatan Rasul yang
jibilliyah (wajar sebagai manusia Arab abad VI M), misalnya makan kurma atau
pakai jubah. Orang kafir pun saat itu demikian. Ada juga perbuatan Rasul
yang khas untuk beliau, tak boleh diikuti umatnya, misalnya boleh berpuasa
tanpa berbuka, atau menikahi sampai sembilan istri. Namun, selebihnya adalah
dalil syar’i. Tentunya dalil ini ada yang sifatnya fardu, mustahab, atau
mubah. Tidak semua yang dikerjakan Rasul itu fardu. Di sinilah pentingnya
belajar ushul fiqh. Namun, Ulil menggeneralisasi, menganggap Islam yang
dibawa Rasul hanya *one among others*, salah satu jenis Islam di muka bumi.
Kalau begitu, Islam yang lain mencontoh siapa?
Memang kebenaran bukanlah milik satu golongan saja. Namun, peradaban ataupun
disiplin ilmu mana pun pasti memiliki suatu *frame*. Islam, tentu saja,
hanya layak dipahami atau ditafsirkan oleh orang yang percaya bahwa dia *
frame* yang sah untuk dijadikan pandangan hidup. Akan *absurd* mengikuti
penafsiran Quran dari nonmuslim yang tidak percaya bahwa Quran adalah wahyu
Ilahi, se*absurd* mengikuti pendapat tentang sains dari paranormal yang
tidak percaya sains.
Saya setuju bahwa misi Islam yang terpenting adalah menegakkan keadilan,
terutama di bidang politik dan ekonomi. Dan tentu ada syariat yang mengatur
masalah ini, dan itu memang bukan syariat jilbab, memelihara jenggot, atau
hal-hal *furu’iyah*, melainkan syariat yang mengatur masalah kepemilikan,
muamalah, sistem moneter, dan hubungan luar negeri.
Namun, kembali *absurd* ketika Ulil mengatakan upaya menegakkan syariat
adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam atau mengajukan syariat Islam
adalah sebentuk kemalasan berpikir.
Memang kalau melihat ‘habitat’ Ulil dari kalangan tradisional yang jumud
atau menghadapi kalangan radikal yang miskin konsep, pemahamannya adalah
refleksi pengalamannya yang terbatas. Namun, generalisasinya tadi sungguh
tidak ilmiah.
Fakta, ada kelompok-kelompok yang berupaya menegakkan syariat namun bukan
sebagai wujud ketidakberdayaan ataupun malas berpikir. Gerakan Ikhwanul
Muslimin ataupun Hizbut Tahrir, misalnya, banyak menerbitkan buku-buku yang
memuat ide-ide tentang pengentasan kemiskinan (sistem ekonomi Islam) atau
mengatasi kezaliman (sebagai lawan ketidakadilan) secara syariat. Mereka
berjuang tanpa kekerasan.
Dan kalau Ulil keberatan dengan pandangan bahwa syariat adalah suatu ‘paket
lengkap’ untuk menyelesaikan masalah di dunia di segala zaman, selain
barangkali ini karena keterbatasan pemahaman Ulil atas syariat itu sendiri,
juga keterbatasan dia memahami apa itu ideologi.
Ideologi adalah suatu ide dasar yang di atasnya dibangun suatu paket lengkap
sistem untuk solusi problematik manusia.
Maka, kalau Ulil mengkritik orang-orang yang memahami Islam sebagai ideologi
yang mengajukan syariat sebagai paket lengkap solusi, mengapa dia tidak
melakukan kritik yang sama atas ideologi sekulerisme, yang juga mengajukan
paket solusi yang sama hanya atas dasar yang berbeda?
Sesungguhnya ide liberalisme JIL hanyalah salah satu unsur dalam paket
sekulerisme, yang unsur lainnya adalah demokrasi, kapitalisme, dan *last but
not least*: imperialisme. Di sinilah, saya katakan, kawan-kawan di JIL harus
melepaskan belenggu mereka dulu. Dalam bahasa ESQ perlu *zero mind
process*dulu. ***
Prof. Dr. Fahmi Amhar
“Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.
Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka
akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya”
Kalau kita mencoba melakukan analisis atas kualitas suatu ummat, tak terkecuali ummat Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju.
Qualitas ummat terbaik adalah ditemui pada generasi Nabi, generasi sesudahnya (Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin). (HR Bukhari, dll).
Qualitas itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya dalam menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (QS 3:110). Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah “muttaqin per kapita” yang terbanyak adalah di zaman Nabi.
Di zaman sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun wilayah Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban baik dalam ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju “masa keemasan”-nya. Dalam konteks materialisme seperti pada budaya Barat, memang qualitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban (iptek, kesenian, arsitektur, etc). Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar. Jadi peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata. Motivasi amar ma’ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju, karena berlaku prinsip: “APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MEMENUHI YANG FARDH, HUKUMNYA JUGA FARDH”.
Bila kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi dalam tiga tahapan:
1. Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)
2. Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)
3. Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.
1 Kekaburan Fikrah Islamiyah
1.1 Merebaknya Mitos
Kekaburan fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam. Akibatnya, berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba “mengawinkannya dengan Islam” atau dengan kata lain: “mengislamkan mitos” dan “memitoskan Islam”.
Contoh dari mitos ini banyak sekali. Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa dilacak secara rasional. Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos. Person Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (sebagai uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan belakangan, seorang ‘alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah, tiba-tiba dipandang sebagai “orang suci” yang tidak mungkin salah, sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus, atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.
Ketika seseorang bisa menjadi “kult-figur” karena mitos, maka orang-orang yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat Qur’an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau palsu. Maka muncullah bid’ah di mana-mana.
1.2 Pengabaian Bahasa Arab
Kekaburan fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara. Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan bersama-sama dengan “arabisasi”. Dengan itulah, maka orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam. Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur’an, yang memang paling kaya di antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam. Tak ada suatu kata yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.
Adalah keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah, ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih mudah “diserap” tanpa barier bahasa Arab. Namun akibatnya, di negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi “hak istimewa” selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khasanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi tertutup.
1.3 Surutnya Ijtihad
Akibatnya, ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan dengan cukup. Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi zaman, bila mereka terus menerus berijtihad. Sedangkan ijtihad hanya bisa dikerjakan dalam bahasa Arab klasik. Ketika sebagian orang nekad berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai “fatwa nyleneh”, sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk “menutup pintu ijtihad”. Suatu keputusan berniat baik namun gegabah dan justru memperburuk suasana.
Karena ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi muskil dipecahkan dengan Islam. Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari luar Islam. Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih “menguji” agar “tidak bertentangan dengan Islam”. Namun kekaburan ini sudah terlanjur menjadi, dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang diimpornya itu didasarkan pada mitos. Bahkan lambat laun mereka cukup fanatik pada sistem asing itu, karena telah ada seseorang yang juga sudah dimitoskan yang melegitimasinya.
2 Kekaburan Thariqah Islamiyah
Islam bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term “thariqah”. Bila kita selidiki, semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.
Sebagai contoh, “Berimanlah” adalah perintah fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut mengamati alam serta melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman, dan perlindungan iman termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.
Contoh lain, “Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci” adalah perintah fikrah. Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.
Kekaburan atas thariqah Islamiyah bisa dibagi dalam tiga tahap:
2.1 Kendurnya Jihad
Pada awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka (QS 2:193).
Dan karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil, ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu’. Jihad sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin, bahwa ajakan kepada Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi Allah. Bila mereka perlu contoh, maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah yang sangat meyakinkan.
Namun lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah, maka orientasi ummat Islam mulai bergeser. Di satu sisi, sebagian ummat lebih cenderung untuk “meresapi kehidupan religi” yang disalahtafsirkan sebagai “Jihad Qubra”, sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte “sufi” yang menjauhi jihad serta amar ma’ruf nahi munkar. Di sisi lain, sebagian ummat lebih cenderung “menikmati rejeki Allah” dengan hidup lux, walaupun dari rejeki yang halal. Yang jelas, jihad mulai redup. Dan dakwah mulai dikerjakan “sambil lalu”. Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa “dakwah sambil lalu” dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama. Namun fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.
2.2 Lenyapnya Daulah Khilafah
Ketika qualitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai pepatah Arab (“Pemimpinmu itu sebagaimana kamu”). Daulah khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia, namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual, sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan “Jama’atul Islamiyah” (=negara dunia Islam) melainkan “Jama’atul Qaumiyah” (=negara kebangsaan). Akibatnya, potensi ummat Islam mulai tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa. “Take care” ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya. Di samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam sendiri, karena kurang dipelihara.
2.3 Lepasnya Bumi Islam
Ketika khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et impera. Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang dihasut dan diadu domba. Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu pihak, dengan imbalan wilayah. Para penguasa muslim tidak lagi sadar, bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir, dan perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah. Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?
Maka satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah. Dan mulailah, sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem Islam. Proses ini makin dipercepat ketika kalangan elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di atas angin.
Ketika di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali – karena desakan politik (pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat, sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak “in” lagi, sistem yang berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka, sudah sangat terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat. Sementara khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada lagi.
3 Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah
Bila di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah maupun thariqah sama-sama terserang “penyakit”, maka lepasnya kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut, atau setidaknya, menyulitkan proses penyembuhannya. Ibarat seorang pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani, maka mestinya penanganannya dilakukan secara holistis (“menyeluruh”), dan tidak sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani, dan demikian pula sebaliknya.
3.1 Disintegrasi Studi Islam
Pada awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh. Prioritas mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukm syar’i amal/prakteknya (fardh-mustahab-mubah). Suatu amalan yang fardh, maka semua ilmu yang terkait pun fardh. Maka ketika jihad fardh, iptek pendukung jihad pun fardh. Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar, tak ada dikotomi antara so called “ilmu agama” dengan “ilmu dunia”, tidak ada pemisahan antara hukum waris dengan aljabar, atau ilmu sholat dengan astronomi, dll.
Namun lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu “ide” namun mengabaikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut. Maka mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang nikah dan cerai; namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad, khilafat, lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam. Belakangan, sistem peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana, ekonomi, tata negara dsb; dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar’i) yang cuma mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris). Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.
Mereka mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya. Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan dijalankan oleh individu, keluarga atau negara sebagai organ exekutif. Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadhi (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita. Maka ketika syari’ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita. Fiqh Islam didegradasi menjadi aspek teoretis-moral saja. Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat, dan para ahlinya diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu diulang-ulang, tanpa bisa melahirkan suatu energi yang produktif. Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap “melangit” dan tidak “membumi”.
Akibatnya, pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang lebih praktis seperti teknologi, kedokteran, ataupun “ilmu-ilmu sistem” yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif, meskipun tidak berasal dari Islam. Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka yang secara umum “second class”, walaupun tetap ada satu dua orang yang gemilang, sebagai perkecualian. Sementara itu, secara keseluruhan, ummat menganggap studi Islam sebagai fardhu kifayah, dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya. Padahal mestinya, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardhu ain untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari, karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan Allah. Hanya ijtihad untuk menurunkan hukm syar’i dari Qur’an dan Sunnah yang fardhu kifayah.
Akibatnya, sprial kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi. Mereka yang akhirnya secara formal dianggap “pakar” dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual. Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat sebagai “tokoh Islam”, yang didengar ucapannya, dan diikuti pendapatnya.
3.2 Evolusi Islam
Akibat “the wrong man on the wrong place” ini, yang sering ada bukannya “Islam meluruskan masyarakat” namun “Islam disesuaikan dengan masyarakat”. Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan ide-ide asli Islam, maka Islam dicoba ditafsirkan kembali agar konform dengan “semangat zaman”. Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum parsial, namun bahkan ushul fiqh yang fundamental. Maka timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti “Fiqh itu mengikuti tempat dan waktu”, atau “Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum”, atau “Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan”, dsb. Bahkan tidak jarang, mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer dijadikan hujjah.
Mereka mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat). Pelacuran, judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru ditolerir secara terbatas dengan istilah “lokalisasi”. Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada mimpi yang melarangnya. Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.
Dan karena “semangat zaman”, maka semua hukum Islam yang lain pun disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern, entah itu kapitalisme, marxisme, sekulerisme/demokrasi, dsb. Bahkan mereka menganggap “ada demokrasi dalam Islam” atau “ada kapitalisme dalam Islam”. Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu, sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai kapitalisme, dan toleransi mazhab sebagai sekularisme.
Bahkan mereka anggap, syi’ar Islam bisa “ditinggikan” atau “disempurnakan” dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dsb. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih “ramah”. Namun pada hakekatnya, Islam justru semakin jauh dari kehidupan. Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai “agama yang diakui negara”, “agama negara” atau sekedar kenyataan bahwa “kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku muslim”. Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh “penjajah muslim”. Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.
3.3 Terpojok di Sudut Defensif
Ketika fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mukmin tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan lingkungan, khilafah sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat tidak exist lagi, bahkan masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.
Musuh-musuh Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummat Islam dengan kekuatan senjata. Karena itu, mereka berupaya terus menerus tanpa henti, untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi kepentingan mereka. Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan tatag dihadapinya. Namun kini, ketika akar sang pohon sudah lapuk, maka terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.
Maka ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan, ketika dikonfrontasikan dengan berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur’an atau Sunnah sendiri. Mereka tidak bisa menerangkan, mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri, atau membagi warisan bagi lelaki 2x wanita, atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dsb. Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai barbarik, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa dengan terbata-bata membela diri. Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam, sekedar musuh-musuhnya puas, dan kritikan mereda.
Mereka katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis. Mereka katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama, karena wanita muslim sekarang sudah sama derajatnya. Tentang polygami, mereka katakan, sebenarnya di Qur’an diharamkan, karena manusia tidak mungkin berlaku adil. Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang (defensif).
Amboi, betapa jauhnya tafsiran-tafsiran “modern” ini dengan ajaran Islam yang murni. Karena dalam Sunnah-nya, Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa ia memotong tangan pencuri, bahwa ia menikahi banyak istri, dan bahwa jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad ketika ummat Islam diserang. Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat. Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan “niat baik”, namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang murni. Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi, karena ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang dihujjat tadi, memang tak bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu daulah khilafah.
Spiral kemunduran berputar semakin cepat. Orang-orang yang ditokohkan berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya pada para ulama – termasuk ulama yang shaleh. Bahkan mereka yang semula gembira dengan type ulama ini, karena merasa bisa “ngerti bahasanya”, lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi. Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.
Ummat yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari sumbernya: Qur’an dan Sunnah. Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan seperangkat bekal, baik ilmu bahasa Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan terbentur ke sana ke mari. Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardh semua dan yang lain haram semua), akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits, karena terlalu was-was dengan hadits yang “tidak jelas”, dan ujung-ujungnya meragukan Qur’an, karena tanpa penjelasan dari hadits, Qur’an mustahil dipahami dengan benar).
Maka tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya diganggu. Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai (pro-aktif). Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim, karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada kristenisasi, namun “cuek” bila hukum-hukum kafir diberlakukan di atasnya. Bahkan mereka marah, bila ada orang yang berbeda madzhab sholat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja, ketika harus bermuamalah dengan riba, atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler.
Ummat Islam jadi tersudut di pojok defensif. Jarang dari mereka yang berani mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial). Tidak ada lagi dakwah offensif sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya terdahulu.
Hasilnya memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.
Islam kini tinggal ahlaq – tanpa jihad,
Islam kini tinggal ibadah (ritual) – tanpa syari’ah,
Islam kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,
Islam kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,
Islam kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,
Islam yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara’ yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya’ yang zuhud atau mujahidin yang zuhud.
Islam yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era globalisasi.
dan Qur’an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,
dan Qur’an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,
dan Qur’an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,
dan Qur’an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi kekayaan alam dengan adil,
dsb.
Inilah, Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun kadang mereka merasa “ada kebangkitan”, ketika melihat masjid penuh, MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji. Namun mereka bingung, ketika ketidakadilan tetap saja langgeng, dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah justru makin menjadi.
Ibarat orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi atau dikasih antibiotik, namun hanya dikasih valium. “Valium Islam”.
Dan inilah realita yang sangat pahit. Adakah obatnya? Pasti, untuk setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya. Masalahnya hanya apakah kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat baik kauni maupun qur’ani, sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana.
Oleh: Fahmi Amhar
Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.
Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq). (more…)