Dr. Fahmi Amhar [Al Wa’ie November 2007]
Khilafah: Solusi Dunia
Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?
Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.
Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.
Khalifah Juga Manusia
Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.
M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.
Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.
Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.
Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.
Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.
Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:
“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).
Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:
Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.
HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.
Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.
Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.
Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.
Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter
Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.
Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.
Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.
Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.
Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.
Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.
Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.
Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.
Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?
Kesimpulan
Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]
Daftar Pustaka:
Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.
Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.
Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bang Fauzi Bowo (Foke) dan Priyanto telah terpilih dan dilantik sebagai gubernur & wakil gubernur DKI Jakarta yang baru. Namun terlalu pagi untuk pesta syukuran. Karena siapapun yang terpilih sebagai gubernur DKI, pasti akan segera pusing dihadapkan pada beberapa masalah serius ibu kota, yaitu: (1) kemacetan, (2) sampah, (3) banjir, (4) layanan umum dan (5) kemiskinan. Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan keamanan.
Persoalan transportasi begitu mengemuka karena lebih dari dua juta orang setiap hari masuk Jakarta, dan mereka menghabiskan 4-5 jam setiap hari di jalan raya. Energi yang terbuang percuma di jalanan karena kemacetan ditaksir mencapai 30% konsumsi energi ibu kota. Demikian juga pengeluaran warga kelas bawah di Jakarta hampir 30% ada di sektor transportasi. Seorang buruh dengan penghasilan UMR di bawah Rp. 1 juta, akan mengeluarkan ongkos untuk dirinya sendiri ke tempat kerja minimal Rp. 4000 / hari atau lebih dari Rp 100.000/bulan.
Kemacetan adalah problema transportasi. Tata ruang yang buruk menyebabkan warga yang bekerja di dalam kota harus tinggal di permukiman kumuh yang tak layak atau jauh di pinggiran, menyebabkan kebutuhan transportasi yang tinggi, yang saat ini tidak terlayani dengan angkutan umum massal yang memadai. Kuncinya sebenarnya pada penyediaan sebanyak mungkin permukiman susun di tengah kota yang dekat dengan tempat kerja. Agar permukiman susun ini tidak salah sasaran, Jakarta perlu secepatnya menerapkan Single Identity Number (SIN) untuk tiap penduduknya. SIN bersama sistem informasi penduduk yang handal, dapat mendeteksi dengan cepat warga yang memang belum memiliki tempat tinggal, atau tempat tinggalnya terlalu jauh dari lokasi kerjanya.
Dengan demikian, strategi pertama adalah ”reduce”, atau mengurangi kebutuhan transportasi melalui pola tata ruang yang optimal. Strategi kedua adalah ”(sha)re-use”, atau penggunaan bersama/berulang – artinya mendorong transportasi umum massal yang optimal. Untuk Jakarta seharusnya yang ideal adalah monorel. Namun entah kenapa, teknologi yang ditawarkan selalu terlalu mahal, sehingga tidak ada investor – termasuk BUMN atau BUMD pemda DKI sendiri – yang berani maju. Yang sudah operasional baru busway, yang sebenarnya tidak benar-benar signifikan dalam memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Sebagian besar pengguna busway sekarang sebenarnya sudah pengguna angkutan umum juga, hanya karena kebetulan tujuannya terlayani jalur busway sehingga merasa lebih untung naik busway yang lebih cepat (karena melalui jalur khusus) dan murah (karena satu tarif ke manapun). Namun beberapa koridor busway justru menimbulkan masalah baru, misalnya ketika busway itu bersilangan dengan jalur kendaraan yang akan masuk/keluar tol. Strategi ketiga adalah ”re-cycle” – artinya penggunaan cycle atau sepeda. Jakarta adalah kota yang datar, yang sangat mungkin orang menggunakan sepeda. Namun saat ini sangat sulit menemukan sepeda melewati jalan-jalan protokol. Jakarta adalah kota yang sangat tidak ramah pada pengguna sepeda. Tidak ada jalur khusus sepeda seperti di kota-kota besar Eropa. Padahal bersepeda sangat sehat, hemat dan tidak menimbulkan polusi. Kalaupun merasa jarak tempuh cukup jauh, sekarang sudah banyak sepeda listrik yang dapat memiliki jarak tempuh 40 km. Malam hari baterei sepeda itu dapat diisi ulang di rumah. Sayang teknologi yang antara lain dikembangkan oleh LIPI ini tidak banyak dilirik.
Strategi reduce, re-use dan re-cycle juga ditemukan untuk mengatasi sampah. Bertahun-tahun DKI harus ”berantem” dengan masyarakat sekitar Tempat Pembuangan Akhir di Bantargebang Bekasi atau Bojong Bogor. Sampah apapun harus dikurangi. Dengan pemisahan sampah yang benar (logam – gelas – plastik – kertas – bio – khusus), sampah-sampah tertentu dapat digunakan kembali (reuse) atau didaur ulang (recycle). Jadi teknologi mengatasi sampah tidak sebatas landfill atau inscenerator. Teknologi reuse & recycle akan membuka lapangan kerja yang luas. Di lapangan sudah banyak orang yang mengais rizki sebagai pemulung. Tinggal diciptakan pola kerja yang lebih manusiawi dan sehat untuk mereka saja.
Kalau tata ruang dapat dibenahi dan sampah teratasi, banjir juga lebih mudah teratasi. Memang banjir tidak hanya persoalan tata ruang dan sampah. Namun tata ruang yang salah adalah penyebab rusaknya daerah resapan air. Dan sampah adalah penyebab utama pendangkalan saluran, macetnya pompa dan tidak optimalnya pintu air. Barangkali jika Banjir Kanal Timur sudah adapun, dia tak akan banyak berfungsi lantaran penuh dengan sampah. Makanya rencana pemda DKI membangun terowongan dalam serba guna atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) yang di musim kering jadi terowongan tol, dan di musim banjir jadi pembuang air harus dikritisi. Dengan volume sampah seperti sekarang, bisa saja terowongan itu hanya sekali pakai – setelah itu tidak dapat dipakai lagi karena sampahnya nyaris mustahil dibersihkan lagi.
DKI yang dihuni hampir 10 juta jiwa memang sudah saatnya memerlukan sistem layanan umum yang canggih. Namun sekarang, jangankan untuk mendapatkan layanan mudah dan murah untuk KTP, akte kelahiran atau pemakaman, untuk mendapat informasi tentang bagaimana cara mendapatkan pelayanan saja di DKI susah. Datang ke dinas-dinas, kita sering dihadang oleh jam kerja yang tidak jelas dan SDM yang kurang kompeten. Sedang teknologi internet yang sebenarnya dapat digunakan untuk layanan 24 jam malah kurang dimanfaatkan. Masak DKI yang punya APBD terbesar dan dekat dengan para pakar harus kalah dengan misalnya Kabupaten Takalar yang justru sudah menerapkan e-government dengan berhasil?
Kalau masalah transportasi, sampah, banjir dan layanan umum teratasi, mengatasi kemiskinan juga akan terasa jauh lebih mudah. Kemiskinan di DKI terasa di depan pelupuk mata. Di mana-mana ada pengemis. Namun kita justru diancam denda bila bersedekah pada pengemis, sementara pemerintah juga praktis tidak berbuat banyak. Malah bikin peraturan yang mengancam denda Rp 50 juta bagi pengemis atau pengamen. Tetapi ini hanya aturan konyol yang tidak akan operasional. Kalau punya 50 juta ngapain ngemis atau ngamen? Atau kita sudah terlalu stress dengan kemacetan sehingga tak sempat lagi berfikir jernih bagaimana mengatasi kemiskinan?
Memang tidak ada teknologi untuk mengatasi kemiskinan. Namun banyak hal yang bisa digerakkan untuk mengatasi masalah di DKI (kemacetan, sampah, banjir, layanan), yang semestinya mampu membuka banyak lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Lagi-lagi diperlukan sistem informasi penduduk yang handal. Kemiskinan bukan sekedar angka-angka statistik atas penghasilan perkapita, tetapi realita bagi seorang bocah harus terdampar di jalanan, seorang janda menjadi pelacur untuk membelikan susu bayinya, dan seorang ayah kebingungan membawa jasad anaknya yang sakit dan kemudian mati di atas gerobak sampahnya.
DKI harus lebih manusiawi, dengan teknologi yang tepat, di atas landasan yang berkah, yaitu syariah!
(dimuat di Suara Islam no. 31 minggu I-II November 2007)
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Ekonomi Islam – Pusat Studi & Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII)
Adalah kecenderungan yang wajar bila para penggiat zakat selalu ingin melihat bahwa “zakat adalah segalanya”, seperti halnya para penggiat sholat melihat “sholat adalah segalanya” – sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.
Ketika orang ingin melihat bahwa zakat adalah kunci untuk semua problema kemiskinan, maka zakat akan digenjot habis-habisan, dipopulerkan dengan ilmu marketing, dioptimalkan dengan sistem informasi, diperluas dengan aneka zakat profesi, dan dikeluarkan dengan berragam teknik pemberdayaan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun sosial.
Karena itu agak mengejutkan ketika saat acara buka puasa di Bappenas, tokoh ekonomi Islam Dr. M. Syafi’i Antonio mengatakan bahwa dalam pemberdayaan sosial sebenarnya zakat hanya ada pada posisi ke-tiga. Sambil berseloroh, beliau menambahkan, “Wah ini bid’ah apalagi?”
Namun beliau kemudian menjelaskan, bahwa pertama, pemberdayaan sosial sesungguhnya harus bersandar pada aktivitas ekonomi, tepatnya ekonomi syariah. Tanpa aktivitas ekonomi, tidak akan ada akumulasi harta, dan berarti tidak akan ada yang bisa dizakatkan. Ekonomi syariah adalah ekonomi dengan paradigma yang amat berbeda, mulai dari asal-usul kepemilikan yang sah, teori manfaat, teori harga, problema ekonomi dan sebagainya. Pada tataran praktis: ekonomi syariah adalah ekonomi yang seluruh transaksinya syar’ie, mulai dari soal jual-beli, pinjam-meminjam, berserikat bisnis dan sebagainya. Ekonomi syariah tidak sekedar ekonomi para penjual buku Islam, asessori Islam atau penyelenggara wisata ruhiyah, umroh dan haji, sebagaimana terlihat dalam SYARI’AH EXPO di Jakarta belum lama ini. Ekonomi syariah juga tidak sekedar ekonomi tanpa riba dan judi, karena syariah mengatur lebih banyak lagi, misalnya bagaimana kepemilikan pada sumber daya alam yang besar seperti tambang, hutan atau laut; bagaimana mengatur fiskal dan moneter; bagaimana peran negara; dan seterusnya.
Ekonomi syariah harus menggantikan seluruh sistem ekonomi kapitalis yang terlanjur mendarahdaging di negeri-negeri Islam, baik level mikro maupun makro. Ini tentu tantangan besar bagi para ahli ekonomi Islam untuk bersama-sama mensyariahkan ekonomi nasional.
Pilar yang kedua menurut Syafi’i adalah sistem nafkah. Sistem nafkah adalah jejaring sosial yang ampuh untuk menjaga keberlangsungan masyarakat. Pada sistem nafkah Islam, setiap lelaki akil baligh yang mampu bekerja terkena kewajiban mencari nafkah. Sedang yang mereka yang tidak mampu, mereka akan dinafkahi oleh kerabat dekat yang juga ahli warisnya. Sistem ini terbukti lebih efektif dari sistem asuransi sosial yang ada di Barat saat ini. Pada sistem asuransi, hubungan kekerabatan tak perlu ada, sehingga timbul kecenderungan menurunnya peran keluarga dan bahkan trend yang mengarah ke tidak menikah atau orang tua tunggal (single parent). Kondisi ini pada jangka panjang akan berakibat punahnya populasi. Di sisi lain, sistem Islam memberi wewenang pada negara untuk intervensi ketika ada orang yang menelantarkan tanggungannya. Negara bisa mengambil paksa hak nafkah tersebut atau mengambil alih tanggungjawab ketika seseorang sudah tidak memiliki siapapun. Karena itu dalam sistem nafkah Islam, mestinya tidak perlu ada orang yang terjebak situasi sehingga mencari sesuap nasi sebagai pengemis, gelandangan atau pelacur.
Pilar yang ketiga barulah zakat. Zakat adalah mekanisme non ekonomi (karena ia adalah ibadah) dan non nafkah (karena tidak diberikan pada orang yang menjadi tanggungan). Jadi zakat adalah katup terakhir pemberdayaan sosial. Karena itu wajar jika efektifitas zakat amat tergantung dari sejauh mana ekonomi syariah maupun sistem nafkah berfungsi.
Dalam hitungan kasar saja: jumlah orang miskin di Indonesia standar Bank Dunia ada 100 juta orang. Kalau untuk memberdayakan mereka rata-rata diperlukan Rp. 1 juta / orang / tahun saja, itu berarti Rp 100 Trilyun. Sementara PDB kita diperkirakan sekitar Rp. 3600 Trilyun. Kalau semua ini dipukulrata dizakati 2,5% maka baru didapat Rp. 90 Trilyun! Jelas masih kurang! Belum kalau melihat bahwa harta itu banyak yang ada di tangan non muslim yang tidak wajib zakat. Realitanya saat ini zakat yang terkumpul melalui Laznas tak pernah mencapai Rp. 1 Trilyun!
Itulah karena saat ini ekonomi syariah baru berjalan atas kesadaran masing-masing. Di lapangan, ekonomi syariah dipaksa bersaing dengan ekonomi ribawi. Walhasil, setelah 16 tahun perbankan syariah di Indonesia, assetnya masih kurang dari 2% asset perbankan nasional. Sementara itu negara juga praktis tidak pernah intervensi bila ada rakyat yang tidak mendapatkan hak nafkahnya.
Maka dalam posisi inilah, peran zakat yang semula nomor tiga dipaksa naik menjadi nomor satu. Itupun masih dalam basis kesadaran masing-masing. Belum ada aturan apapun yang memberi sanksi pada penunggak zakat, sebagaimana tak ada sanksi atas pelaku ekonomi ribawi atau penunggak nafkah.
Dengan kondisi seperti ini, berharap zakat menjadi tulang punggung pemberdayaan sosial memang seperti mimpi. Memang perjuangan apapun selalu bermula dari mimpi. Namun kalau perjuangan ini diintegrasikan dengan perjuangan penerapan kembali syariat Islam termasuk dalam bidang-bidang ekonomi, maka tidak sulit menjadikan mimpi ini kenyataan.
(ditulis untuk Bulletin Yayasan Pembina Keluarga Remaja Islam Magelang, Nov. 2007)