Dr. Fahmi Amhar
Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.
Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan. Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”. Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?
Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika). Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.
Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.
Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila. Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.
Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).
Simplifikasi
Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam. Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya). Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:
Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.
Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair. Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!
Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.
Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.
Keempat adalah hambatan konstitusi. Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.
Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah kata Qur’an:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11)
Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.
Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.
Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang. Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!
Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya. Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur. Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.
Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.
Jalur Alternatif
Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.
Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus. Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan. Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi. Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Konon pada zaman es, pulau Sumatra, Jawa, dan Bali masih terhubung daratan dengan benua Asia. Karena itulah hewan-hewan di wilayah ini ada kemiripan. Kini, kondisi itu dimimpikan muncul lagi, setidaknya dalam wujud jembatan yang menghubungkan Malaysia dengan Riau melalui sejumlah pulau di Selat Malaka, kemudian jembatan Sumatra-Jawa melintasi Selat Sunda, jembatan Jawa-Madura (sedang dibuat dalam proyek Suramadu) dan jembatan Jawa-Bali. Jadi nantinya, untuk ke Bali, turis dari Eropa dapat naik mobil saja, sekalipun ada kemungkinan lebih mahal daripada naik pesawat.
Ide jembatan Selat Sunda menghangat lagi ketika akhir-akhir ini cuaca buruk berkali-kali membuat kapal-kapal feri terlambat. Akibatnya antrian penyeberangan mengular hingga 15 Km atau 2-3 hari, dari semula hanya 2-3 jam saja. Kalau yang antri itu truk pengangkut ayam potong, bisa-bisa ayam-ayam tersebut sudah mati duluan karena lemas atau kelaparan. Cuaca buruk juga sempat membuat pasokan batubara untuk PLTU Suralaya terganggu, dan Jawa mengalami krisis listrik.
Tahun 1960, Prof. Sediyatmo (yang namanya diabadikan untuk jalan tol bandara SukarnoHatta) sudah melontarkan gagasan jembatan Selat Sunda. Tahun 1986 BPPT ditugaskan Presiden Soeharto mengkaji penghubung Tri-Nusa-Bima-Sakti (Sumatra-Jawa-Madura-Bali). Waktu itu yang sempat mengemuka adalah terowongan. Namun ide terowongan akhirnya disingkirkan dengan sejumlah alasan: adanya palung sedalam 150 meter dengan lebar hingga 4 Km yang membuat panjang terowongan menjadi 2x panjang jembatan (biaya lebih besar), terowongan hanya dapat dilalui kereta listrik (sehingga mobil atau truk harus dinaikkan keatas kereta seperti pada terowongan Selat Kanal yang menghubungkan Inggris-Perancis) dan terowongan tidak dapat menjadi landmark.
Jarak terpendek di Selat Sunda: 27 km, dengan pulau-pulau di antaranya: Sangiang, Rimau Balak, Sebuku, Sebesi, Ular, Tempurung dan Krakatau.
Jalur terpendek in menurut survei geologi dan vulkanologi sudah cukup aman. Jalur subduksi Sunda yang rawan gempa ada jauh di selatan. Demikian juga gunung Krakatau berada cukup jauh. Namun demikian konstruksi jembatan harus dirancang tahan tsunami, yang diramalkan dapat terjadi bila Krakatau meletus lagi kurang lebih tahun 2300-an. Memang masih lama, namun untuk ukuran jembatan, 300 tahun “relatif muda”. Di Eropa ada sejumlah jembatan yang telah berdiri sejak zaman Romawi Kuno.
Yang menjadi pertimbangan juga adalah arus laut (0.95 m/s) dan kecepatan angin (15-18 knots). Desain konstruksi harus memiliki kekuatan yang tahan 3x arus dan angin tersebut. Memang belum ada pengukuran dalam skala yang diperlukan untuk elevasi pasang surut, tinggi dan perioda gelombang, arah/kecepatan angin dan arus, curah hujan, kelembaban, suhu, tekanan udara dan penyinaran matahari.
Model jembatan yang didesain adalah kombinasi jembatan cancang dan jembatan gantung. Karena Selat Sunda ada pada jalur internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia), maka Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta bahwa di bawah jembatan utama harus bebas (clearance) setinggi 100 meter! Dengan demikian kapal tanker atau kapal induk terbesar di dunia pun dapat melintas dengan aman di bawahnya. Untuk itu bentang jembatan utama kira-kira akan sepanjang 3300 m. Jembatan gantung terpanjang di Indonesia saat ini baru 350 m! Namun di dunia saat ini jembatan dengan bentang 3300 m sudah ada, yakni yang menghubungkan Italia dengan pulau Sicilia di Messina.
Menurut Dr. Pariatmono, Asisten Deputi Menristek urusan Promosi dan Komersialisasi Iptek, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri dan Sistem Transportasi telah melakukan kajian yang cukup intensif atas jembatan-jembatan antar pulau. Sebagian yang telah dilaksanakan adalah jembatan Suramadu (dalam proses) dan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) yang telah selesai dan beroperasi. Kajian yang perlu dilakukan sebelum jembatan antar pulau dibangun meliputi kondisi alam (topografi darat, geologi, geomarine, geofisik, geoteknik), teknis struktur (aerodinamika, getaran) dan sosial ekonomi (lalu lintas, perkembangan wilayah).
Kompleksitas pembangunan jembatan Selat Sunda membuat prediksi biaya yang dibutuhkannya sangat tinggi. Hitungan dari Prof. Wiratman (guru besar teknik sipil ITB) biayanya sekitar US$ 8 Milyar. Sedang hitungan konsorsium dari AS, Korea dan Jerman, sekitar US$ 15 Milyar, namun dengan desain multiguna, jadi jembatan bukan hanya untuk lalu lintas jalan raya (tol), namun juga untuk kereta api, kabel-kabel listrik, fiber optik, pipa BBM, pipa gas dan bahkan untuk pengendara motor, sepeda dan pejalan kaki. Dengan saat ini sekitar 4 juta motor per tahun yang menyeberangi selat Sunda, jelas rancangan multiguna ini cukup menarik. PLTU besar bahkan dapat dibangun di dekat tambang batubara di Sumatera, sedang yang ke Jawa cukup kabel listrik saja.
Meski benefit secara nasional cukup besar, namun dengan kemampuan APBN yang ada sekarang, beranikah pemerintah segera membangun jembatan ini? Kalau jembatan ini dibangun dalam 5 tahun, maka setiap tahun harus dianggarkan dana sekitar Rp 25 Trilyun? Ini sudah 70% anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun dan merawat jalan negara, jembatan dan infrastruktur lainnya di seluruh Indonesia.
Karena itu Presiden SBY menyambut baik inisiatif group Artha Graha (milik Tommy Winata) dan Media Group (milik Surya Paloh) untuk membangun jembatan Selat Sunda ini dengan prinsip Building – Operation – Transfer (BOT). Jadi jembatan dibangun oleh swasta, dioperasikan dengan sistem konsesi selama 30 tahun, baru kemudian diserahkan kepada negara. Namun tentu saja swasta cerdik juga. Dia tidak hanya meminta konsesinya seperti lazimnya membangun jalan tol, namun juga meminta kompensasi lahan di Banten dan Lampung masing-masing 10.000 hektar dan bagian dari sumberdaya alam di kedua provinsi itu.
Tinggal pemerintah sebagai pengurus dan pelindung masyarakat harus lebih cerdik lagi. Jangan sampai nanti lahan 20.000 hektar sudah diberikan dan oleh mereka sudah dijadikan real estate dengan total nilai lebih dari Rp. 100 Trilyun, namun jembatannya tidak jadi-jadi. Sekarang saja, jembatan Suramadu mengalami hal sejenis. Biaya membengkak terus dengan berbagai alasan. Di Jakarta bahkan proyek monorel yang jauh lebih sederhana juga terbengkelai. Di banyak tempat di Kalimantan atau Sumatra, proyek pertambangan atau perkebunan tidak sukses, karena pengusahanya sebenarnya hanya mengincar kayu yang akan digundulinya dulu dari area hutan yang konon potensial untuk perkebunan atau pertambangan tersebut. Kata Nabi, tidak boleh seorang muslim itu terperosok dalam lubang ular dua kali