Dr. Fahmi Amhar
Apa yang anda pikirkan mendengar “India” disebut? Tentang agama Hindu? Mahatma Gandhi? Bollywood? Martabak (yang ternyata di India tidak ada)? Bajay? Atau Teknologi Informasi?
Penulis ke India pada Februari 2009, menghadiri konferensi “Map World Forum” di Hyderabad selama seminggu. Penulis belum menjelajahi India, belum melihat langsung Taj Mahal apalagi Bollywood, namun semoga cukuplah merasakan India di kota terbesar ke empat India setelah Mumbai (dulu Bombai), Delhi, dan Kolkata (dulu Calcutta).
Hyderabad yang berpenduduk hampir 7 juta adalah ibu kota negara bagian Andhra Pradesh.
Sejarah Hyderabad dimulai dari 1463, ketika panglima Quli Qutb-ul-Mulk mendirikan benteng Golconda untuk memadamkan pemberontakan di kawasan Telanggana. Pada 1518 dia memisahkan diri dari Sultan Bahmani dan menyebut dirinya sendiri sultan. Nama Hyderabad diambil dari nama istrinya yang semula bernama Bhagyanagar, namun setelah masuk Islam kemudian bernama Hyder Mahal, sehingga dia namakan kota itu Hyderabad.
Pada 1591 cucunya memerintahkan untuk mendirikan Charminar, suatu monumen yang di atasnya terdapat masjid, sebagai tanda syukur atas keberhasilannya mengatasi penyakit menular.
Dinasti Qutb berkuasa sampai 1687 hingga penguasa Mughal Aurangzeb mengalahkannya dan mengambil alih Hyderabad. Dia mengangkat gubernur dengan julukan Nizam-ul-Mulk. Pada 1724 Nizam Asaf Jah I menyatakan merdeka dari Mughal setelah tampak tanda-tanda kemundurannya. Pada 1763, Hyderabad membuat aliansi pertahanan dengan Inggris sehingga menjadi negara terbesar di bawah “asuhan” British-India. Negeri ini adalah yang terkaya di wilayah India, hingga pada tahun 1930-an, majalah Time meranking Nizam sebagai orang terkaya di dunia.
Pada 1947 dengan kemerdekaan India, Nizam ke-7 lebih menginginkan bergabung dengan Pakistan mengingat populasi muslim di Hyderabad sangat tinggi. Namun India segera mengirim tentaranya dan mengakhiri kekuasaan Islam di Hyderabad.
Hyderabad kini adalah sebuah kota yang penuh kontradiksi. Suasana jalanan adalah khas dunia ketiga: kumuh, semrawut, bising oleh bunyi klakson dan deru knalpot auto-rickshaw (taksi berbentuk bajay, sebagian berargometer). Lokasi wisata seperti Charminar, istana Nizam dan masjid Makkah (disebut masjid Makkah karena ada serpihan dari Hajar Aswad di sana), dikelilingi pedagang kaki lima. Di mana-mana pengemis yang dekil meminta uang kepada orang berwajah asing.
Namun Hyderabad juga “kota masa depan” India. Hyderabad berkompetisi dengan kota India yang lain Bangalore dan Chennai menjadi sentra IT dunia. Microsoft, Google, Oracle dan perusahan software India terkemuka “Wipro” berkantor pusat di Hyderabad. Sebuah kota technology (Hitech-city) telah dibangun. Bahkan Hyderabad sering diplesetkan jadi “Cyberabad”.
India dengan penduduknya yang 1,15 Milyar manusia, memang potensi pasar yang sangat besar. Dari tahun 1950-an hingga 1980-an, India menganut paham sosialis. Uni Soviet yang berseteru dengan Cina mencoba merangkul India agar menjadi sekutunya. Kebetulan India punya masalah dengan Cina di Tibet. Karena India digaet Soviet maka Amerika Serikat merangkul Pakistan untuk menghadapinya. Kebetulan Pakistan punya masalah dengan India di Kasymir. Kedua adidaya ini sama-sama membekali sekutunya dengan nuklir. Setelah masing-masing memiliki nuklir inilah, India dan Pakistan tidak pernah lagi perang terbuka.
Setelah Uni Soviet melakukan glasnost dan perestroika, India pelan-pelan meninggalkan sosialisme yang penuh dengan korupsi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sejak 1991, India sebagaimana Cina, sepenuhnya masuk ke sistem kapitalisme, yang membuatnya meroket menjadi adidaya ekonomi baru. Selepas runtuhnya Soviet, AS juga kini merangkul India guna mengimbangi Cina dan menekan kebangkitan Islam di Asia Selatan.
Di India terdapat 154 juta Muslim. Meski cuma 13,4% populasi, rata-rata tingkat pendidikan mereka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. Tingkat melek huruf nasional (literacy rate) India adalah 64,8 %, namun di kalangan muslim bisa lebih dari 91%. Itu juga barangkali alasan Inggris dulu menghasut agar India dibagi dua menjadi India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas muslim. Kalau tidak dibagi, pasti lambat laun yang berkuasa adalah muslim, karena mereka memiliki bekal intelektual yang lebih tinggi. Sebagai negara sekuler, India pernah memiliki presiden yang muslim, Dr. Abdul Kalam, yang juga menjadi Bapak Nuklir India. Sekarang wakil presidennya yang muslim, Muhammad Hamid Anshari.
Dengan sejarah dan komposisi penduduk India seperti ini, budaya India menjadi ditandai dengan derajat yang tinggi pada sinkretisme dan pluralisme. Hindu sebagai agama mayoritas di India, ternyata memiliki ribuan sekte, dan tidak sedikit sekte yang memiliki keyakinan yang bertentangan dengan kemajuan. Namun satu hal yang positif dari pemeluk Hindu dan Budha adalah kebiasaan makan vegetarian. Dapat dibayangkan kesulitan pangan yang akan dialami bila ratusan juta orang tiba-tiba meninggalkan kebiasaan vegetariannya.
Sementara itu bekal kemandirian yang dibangun di era sosialisme menjadikan mereka memiliki harga diri untuk masuk ke pasar global sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek. Oleh sebab itu kita akan banyak menyaksikan bahwa di India, kendaraan yang dominan di jalanan adalah TATA dan BAJAY, buatan India sendiri. Semua mobil impor (yang di jalanan cuma sedikit) pasti bermitra dengan merek lokal.
Meski masih 42% (atau 483 juta orang!) penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1,25 / hari), India tidak menghalangi pengembangan teknologi tinggi. Teknologi roket peluncur ruang angkasa dan satelit India kini sudah setara dengan yang dimiliki Amerika atau Uni Eropa. Teknologi ini bahkan sudah dikomersilkan dan menghasilkan devisa yang besar. Beberapa universitas di India, sekalipun bangunannya sederhana, dan beasiswa S3-nya cuma Rs 4800 (sekitar Rp. 1 juta), masuk dalam 100 perguruan tinggi sains terbaik dunia. Kapitalisme tidak mengubah keyakinan India untuk tetap mensupport pendidikan dan riset teknologi sebagai sebuah investasi. Kalau di India ada makanan yang murah, itu adalah makanan kelas jalanan atau kaki lima. Namun kalau tentang buku yang murah, itu ternyata juga belaku pada buku-buku teknologi atau manajemen standar Internasional, dengan harga seperlima atau sepersepuluhnya. India berhasil menaruh subsidi pada pendidikan, termasuk pada buku.
GIS untuk Pemetaan Bahasa
Abstrak
Dengan perangkat Sistem Informasi Geografi (GIS), data sebaran bahasa, dialek dan fonem akan lebih mudah untuk disajikan dan dianalisis. Pada tulisan ini akan disampaikan beberapa bentuk analisis serta penyajian data bahasa dengan GIS, dari sekedar presentasi hingga korelasi spasial antar “layer” bahasa, sintesis data sebaran bahasa dengan data statistik, serta simulasi dengan GIS untuk menunjang aktivitas penelitian bahasa, misalnya untuk menentukan area kerja.
GIS adalah sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek serta fenomena, di mana lokasi geografi adalah karakteristik penting atau kritis terhadap hasil analisis (Aronoff, 1989).
Dengan GIS data yang telah diakuisi dari dunia nyata akan lebih mudah ditata sehingga lebih fleksibel diakses, diteliti lebih dalam, dianalisis serta disajikan, untuk kemudian dijadikan alat bantu para pengambil keputusan (decission support system) dalam bertindak di dunia nyata.
Sementara itu data sebaran bahasa, dialek dan fonem dapat dipandang sebagai atribut yang tercode atas suatu lokasi geografi, baik dengan kode wilayah, batas administrasi, atau juga batas-batas budaya baik yang ditentukan dengan perkiraan maupun yang diukur dengan alat seperti Global Positioning System (GPS).
Salah satu software GIS yang banyak dipakai di Indonesia – dan kemudian dijadikan alat eksperimen dalam tulisan ini adalah Arc/View dari ESRI. Arc/View adalah suatu software yang memiliki kemampuan database dan sekaligus penyajian secara spasial. Dalam Arc/View, data geometri dapat dimasukkan (didigitasi langsung); diimpor dari format software lain; diedit; ditambahkan berbagai data attribut; disajikan secara selektif menurut kriteria lokasi atau thema tertentu dengan berbagai variasi bentuk tampilan (jenis simbol, warna atau arsiran); dikombinasikan dengan berbagai data yang berbeda (seperti spatial join, intersection, union, …) dsb. Kemampuan semacam ini hanya ada dalam software-software GIS, dan belum ada dalam software grafika seperti Corel Draw atau software editing seperti AutoCAD.
Selain Arc/View – yang harga resminya relatif mahal – ada juga software GIS yang lebih murah – dengan kemampuan lebih terbatas – misalnya Mapinfo, atau bahkan software GIS yang sama sekali gratis, misalnya GRASS atau TatukGIS.
Gambar 1 – Tampilan software Arc/View (tampilan warna-warni tiap kecamatan)
dan TatukGIS (tampilan desa yang terseleksi oleh lingkaran)
2 Analisis Sebaran Bahasa dengan GIS
Data spasial dan data atribut bahasa dapat digunakan bersama-sama untuk membuat peta tematik (special purpose maps) dan untuk mendapatkan suatu informasi atas area geografi tertentu. Data tersebut juga dapat dipakai untuk analisis yang lebih khusus, di antaranya adalah pengalamatan suatu fenomena yang hanya diketahui dalam dialek tertentu (address matching), pengelompokan komunitas berdasarkan bahasa atau dialek yang dominan (district delineation) hingga seleksi route untuk suatu pekerjaan tertentu yang terkait bahasa (route selection).
Bentuk data yang paling sederhana adalah pencacahan bahasa atau dialek yang digunakan per satuan administrasi. Untuk bahasa daerah yang dominan, barangkali satuan administrasi kabupaten / Kota dapat digunakan. Pusat Bahasa adalah organ di bawah Depdiknas, yang juga memiliki jaringan dinas-dinas di setiap Kabupaten / Kota. Untuk itu tidak terlalu sulit kiranya untuk melakukan inventarisasi – misalnya dengan mengetahui bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Kabupaten / Kota tersebut. Dengan itu akan didapatkan tabel dengan dua kolom utama: KabKota – Bahasa. Tentunya akan ada sejumlah daerah dengan bahasa yang sama.
Berikut ini adalah contoh simulasi untuk wilayah propinsi.
Tabel-1 Data simulasi sebaran bahasa daerah yang dominan di tiap provinsi
PROVINSI |
Bahasa Daerah yang Dominan |
PROVINSI |
Bahasa Daerah yang Dominan |
NANGGROE ACEH DARUSSALAM |
Aceh |
NUSATENGGARA BARAT |
Sasak |
SUMATERA UTARA |
Melayu |
NUSATENGGARA TIMUR |
Sasak |
RIAU |
Melayu |
KALIMANTAN BARAT |
Dayak |
KEPULAUAN RIAU |
Melayu |
KALIMANTAN TENGAH |
Dayak |
SUMATERA BARAT |
Minang |
KALIMANTAN TIMUR |
Dayak |
JAMBI |
Melayu |
KALIMANTAN SELATAN |
Banjar |
BENGKULU |
Melayu |
SULAWESI UTARA |
Manado |
SUMATERA SELATAN |
Melayu |
GORONTALO |
Gorontalo |
BANGKA-BELITUNG |
Melayu |
SULAWESI TENGAH |
Kaili |
LAMPUNG |
Lampung |
SULAWESI BARAT |
Bugis |
BANTEN |
Banten |
SULAWESI SELATAN |
Makassar |
DKI JAKARTA |
Betawi |
SULAWESI TENGGARA |
Bugis |
JAWA BARAT |
Sunda |
MALUKU |
Ambon |
JAWA TENGAH |
Jawa |
MALUKU UTARA |
Ternate |
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA |
Jawa |
PAPUA |
Papua |
JAWA TIMUR |
Jawa |
IRIANJAYA BARAT |
Papua |
BALI |
Bali |
Gambar 2 – Tampilan peta sebaran bahasa daerah
Geometri Kabupaten berdasarkan data dari Pusat PDRTR Bakosurtanal, 2005
Attribut bahasa daerah yang dominan berdasarkan data simulasi
Sedang untuk dialek, diperlukan satuan administrasi yang lebih rinci, misalnya Kecamatan, atau bahkan Desa. Pembagian ini tidak harus kaku, karena tentunya akan ada data yang hanya dapat / perlu dilacak ke level kecamatan saja, ada juga daerah yang diperlukan pelacakan sampai desa – misalnya di Papua di mana area kecamatan sangat luas dan dihuni oleh berbagai suku yang memiliki dialek berbeda-beda.
Gambar 3 – Tampilan peta sebaran dialek di Kab. Puncak Jaya pada Arc/View
Geometri Desa berdasarkan data dari BPS, 2003
Attribut dialek berdasarkan data simulasi (disamakan dengan Kecamatan)
Selain itu harus disadari adanya sebaran dialek yang bahkan lebih rinci lagi dari area desa, sehingga tidak dapat dipetakan sesuai batas administratifnya. Untuk itu dapat digunakan simbol (point) pada koordinat tempat dialek ditemukan (pada umumnya centroid suatu permukiman), atau grafik tambahan (theme / layer terpisah) bahkan dapat overlap dengan batas administratif.
Secara umum, batas sebaran bahasa memang harus ditaruh pada layer terpisah dari batas administrasi karena memiliki sifat-sifat yang berbeda. Namun di sisi lain dibutuhkan mekanisme untuk menjamin agar dapat dilakukan link dengan berbagai data yang hanya bisa diakses sesuai batas administrasi – misalnya data statistik kependudukan atau ekonomi.
Penggunaannya antara lain untuk mengetahui bahasa apa yang penuturnya paling sedikit, atau ekonominya pada level terrendah – sehingga dikhawatirkan bahasa itu akan punah. Pada sisi lain, peta bahasa ini dapat digunakan untuk agregasi daerah-daerah dengan kultur budaya yang kurang lebih homogen – karena bahasa dapat menunjukkan pola budaya yang mirip.
Pada level yang lain terdapat pemetaan penggunaan fonem untuk objek yang sama, misalnya Air – Ayer – Aik – Cai. Peta fonem ini jauh lebih terbatas, dan tersedia dalam bentuk tabel-tabel dengan dua kolom utama: Fonem – KodeWilayah, di mana daerah ini sering diisi dengan data kode daerah secara sekuensial, misalnya sebagai berikut:
Fonem | Kode daerah tempat ditemukannya |
Fonem-1 | 1, 3, 5-8, 11 |
Fonem-2 | 2,4,10 |
Fonem-3 | 9 |
… |
Bentuk kolom ini harus diubah agar memenuhi syarat sebagai data relasional dengan kunci pada lokasi, sehingga kolom KodeWilayah harus ditaruh di depan.
KodeDaerah | Fonem yang ditemukan |
1 |
Fonem-1 |
2 |
Fonem-2 |
3 |
Fonem-1 |
4 |
Fonem-2 |
5 |
Fonem-1 |
6 |
Fonem-1 |
7 |
Fonem-1 |
8 |
Fonem-1 |
9 |
Fonem-3 |
10 |
Fonem-2 |
11 |
Fonem-1 |
… |
Selain itu ada juga bentuk tabel di Pusat Bahasa yang berisi ratusan kolom (sehingga kertas tabel itu digulung seperti perkamen kuno). Setiap kolom pada baris pertama s.d ketiga berisi informasi wilayah (mungkin Kabupaten-Kecamatan-Desa). Kemudian di bawahnya berisi daftar fonem.
Kab | Kab-A | Kab-A | Kab-A | Kab-B | Kab-B | … | ||
Kec | Kec-a | Kec-a | Kec-b | Kec-a | Kec-b | |||
Desa | Desa-1 | Desa-2 | Desa-1 | Desa-1 | Desa-1 | |||
Fonem-1 | Fonem-Aa1-1 | Fonem-Aa2-1 | Fonem-Ab1-1 | Fonem-Ba1-1 | Fonem-Bb1-1 | |||
Fonem-2 | Fonem-Aa1-2 | Fonem-Aa2-2 | Fonem-Ab1-2 | Fonem-Ba1-2 | Fonem-Bb1-2 | |||
Fonem-3 | Fonem-Aa1-3 | Fonem-Aa2-3 | Fonem-Ab1-3 | Fonem-Ba1-3 | Fonem-Bb1-3 | |||
Fonem-4 | Fonem-Aa1-4 | Fonem-Aa2-4 | Fonem-Ab1-4 | Fonem-Ba1-4 | Fonem-Bb1-4 | |||
Fonem-5 | Fonem-Aa1-5 | Fonem-Aa2-5 | Fonem-Ab1-5 | Fonem-Ba1-5 | Fonem-Bb1-5 | |||
… | … | … | … | … | … | |||
Fonem-n | Fonem-Aa1-n | Fonem-Aa2-n | Fonem-Ab1-n | Fonem-Ba1-n | Fonem-Bb1-n |
Tabel inipun harus ditransposisi. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan Excel (fungsi TRANSPOSE(array)). Yang penting adalah huruf fonetik yang dipakai bisa terus dipakai di Excel dan nantinya di Arc/View.
Kode | Fonem-1 | Fonem-2 | Fonem-3 | Fonem-4 | Fonem-5 | … | … | … | Fonem-n |
Aa1 | Fonem-Aa1-1 | Fonem-Aa1-2 | Fonem-Aa1-3 | Fonem-Aa1-4 | Fonem-Aa1-5 | … | … | … | Fonem-Aa1-n |
Aa2 | Fonem-Aa2-1 | Fonem-Aa2-2 | Fonem-Aa2-3 | Fonem-Aa2-4 | Fonem-Aa2-5 | … | … | … | Fonem-Aa2-n |
Ab1 | Fonem-Ab1-1 | Fonem-Ab1-2 | Fonem-Ab1-3 | Fonem-Ab1-4 | Fonem-Ab1-5 | … | … | … | Fonem-Ab1-n |
Ba1 | Fonem-Ba1-1 | Fonem-Ba1-2 | Fonem-Ba1-3 | Fonem-Ba1-4 | Fonem-Ba1-5 | … | … | … | Fonem-Ba1-n |
Bb1 | Fonem-Bb1-1 | Fonem-Bb1-2 | Fonem-Bb1-3 | Fonem-Bb1-4 | Fonem-Bb1-5 | … | … | … | Fonem-Bb1-n |
… | |||||||||
Penggambarannya adalah dengan langsung memplot fonem yang berfungsi sebagai atribut itu pada posisinya (pada Arc/View fungsi AutoLabel). Idealnya peta fonem ini dibuat setiap lembar untuk satu jenis objek, sehingga bila ada 250 objek maka akan tercipta 250 lembar peta se Indonesia, yang tiap lembarnya berisi varian-varian istilah untuk objek yang sama.
Misalnya untuk objek “sungai”, di Aceh disebut “Alue”, di Sumatera Selatan “Way”, di Jawa Barat “Ci”, di Jawa Tengah “Kali” hingga di Timor “Mota”. Para ahli toponimi biasa mengenali bahwa istilah-istilah tersebut adalah nama generik untuk sungai (lihat Spesifikasi Pemetaan Rupabumi). Tentu saja spesifikasi dari objek air tersebut (misalnya ukuran sungai) di tiap bahasa tetap bisa bervariasi.
Dapat juga yang dipetakan adalah arti dari bunyi / ucapan yang sama di berbagai tempat, sehingga bila suatu kata – misalnya – “atos” memiliki banyak arti (“sudah” di Jawa Barat, “keras” di Jawa Tengah, dan sebagainya), maka yang dijadikan judul peta adalah “atos”.
3. Analisis Lanjut dengan GIS-Bahasa
Teknik Address-Matching memungkinkan berbagai data dari file terpisah digabungkan dengan suatu common georeferenced address, misalnya data sebaran bahasa dengan data populasi, pendapatan perkapita dengan distribusi sekolah. Dengan demikian bisa didapat berapa jumlah penutur suatu bahasa daerah / dialek, dan apakah mereka tergolong komunitas yang sejahtera. Suatu bahasa lokal yang hanya ditututkan oleh kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung serta kurang berpendidikan, dapat dipastikan lambat laun akan hilang. Bila ternyata di masa silam pada bahasa itu tersimpan khasanah ilmu pengetahuan (lontar-lontar kuno berisi sejarah, pusaka atau resep obat-obatan), maka ilmu pengetahuan inipun akan terkubur bersamanya.
Gambar 4. Contoh variasi sajian statistik dari penutur bahasa
Bahkan teknik ini memungkinkan melakukan sintesis antara data statistik dengan non-statistik, untuk mengetahui korelasi di antara mereka, dengan syarat, masing-masing data memiliki relevansi geografi. Contoh analisis dengan metode ini adalah untuk mendapatkan korelasi antara kemiskinan di suatu tempat dengan penguasaan / penggunaan bahasa / dialek yang dominan.
Dalam hal data yang dipakai hanya data statistik, sebenarnya bisa diterapkan GIS “non-geometrik”, misalnya hanya menggunakan kode wilayah atau topologi sederhana. Untuk analisis non geometrik, dari peta rupabumi sebenarnya cukup diambil kelas batas administrasi dan kelas nama-nama geografi, atau maksimal kelas jaringan jalan (untuk topologinya).
Teknik District Delineation adalah prosedur untuk mendefinisikan suatu area secara kompak dengan satu atribut atau lebih. Misalnya untuk membagi daerah sosialisasi suatu program pemerintah berdasarkan populasi dengan bahasa lokal yang kurang lebih sama – sehingga diasumsikan memiliki budaya yang mirip. Informasi bahasa didapat dari data atribut sedang informasi untuk mendefinisikan batas diambil dari data spasial.
4 Kesimpulan
GIS mempermudah penyajian data sebaran bahasa, membuka serangkaian analisis baru yang terintegrasi dengan data spasial dari peta dasar digital, serta mempermudah aktivitas survey statistik sendiri. Namun kualitas hasil analisis dengan GIS tidak akan berbeda jauh dengan kualitas data yang merupakan masukkannya, bahkan bisa jadi kualitas analisis ini akan lebih jelek dari kualitas data bila petugas analis tidak memperhatikan tingkat akurasi maupun tingkat kemutakhiran data yang dipakainya.
Referensi
Amhar, F. (1999) GIS untuk Analisis dan Penyajian Data Statistik; presented paper pada Seminar “Statistika Sebagai Solusi Problematika Ilmiah dan Bisnis” BPS, Jakarta 20 April 1999
Aronoff (1989): Geographic Information Systems: A Management Perspective. WDL Publ. Ottawa. 294 pp.
Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi.
Prahasta, E. (2002): Sistem Informasi Geografis: tutorial-ArcView. Informatika, Bandung.
[1] disampaikan pada workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”
Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 24 Maret 2006
[2] Peneliti pada Lab Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang (PDRTR)
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong
Telp/fax. (021) 87901254, email: famhar@yahoo.com
Dr Ing Fahmi Amhar
KASUS perbatasan mencuat lagi. Oleh Malaysia hak-hak
perbatasan kita dilanggar. Sedang oleh Australia
nelayan-nelayan kita ditangkapi dan dituduh melanggar
batas laut teritorial Australia.
Setelah kisruh Sipadan-Ligitan dan perairan blok
Ambalat, kini muncul helipad (tempat pendaratan
helikopter) milik militer Malaysia hanya 7 meter dari
perbatasan di wilayah pehuluan Tanjung Lokang Kec
Kedamin Kab Kapuas Hulu. Keberadaan helipad ini
melanggar perjanjian Sosek Malindo 1967 yang tidak
memperbolehkan ada kegiatan kedua negara di sepanjang
2 kilometer dari patok batas kedua wilayah.
Sementara, Australia, telah memulangkan 50 nelayan
Indonesia ke Kupang NTT. Para nelayan itu merupakan
sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang
ditangkap kapal-kapal patroli Australia.
Berdasarkan MoU 1974, nelayan tradisional Indonesia
memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana
tertera dalam peta yang disepakati kedua negara.
Kawasan itu antara lain adalah Kepulauan Karang Scott,
Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Bagaimana seharusnya menentukan batas?
Yang termudah, antar-wilayah dibatasi (delimitasi)
oleh objek alam yang tajam – semisal jurang atau
palung. Kenyataannya, banyak batas yang didefinisikan
secara kabur. Jangankan batas wilayah, batas persil
tanah kita pun banyak yang kabur – dalam sertifikat
misalnya sering hanya tertulis: Batas Timur: tanah Bp
Todung; Batas Selatan: tanah Bp. Slamet; Batas Barat:
tanah Haji Bajuri dan Batas Utara: tanah Ibu Utari.
Kalau dikejar, persisnya batas tanah kita dengan tanah
sebelah itu apa? Selokan? Pohon pisang? Kalau tanah
seluas 100-200 meter persegi saja rumit, bayangkan
yang ribuan hektar!
Semua persoalan batas manapun harus dikembalikan pada
itikad baik kedua pihak yang berbatasan.
Mereka harus sepakat pada empat hal: (1) yang
dijadikan batas; (2) cara mengukurnya; (3) cara
mendokumentasikannya; (4) bagaimana mengenali kembali
batas itu di alam agar kesepakatan itu dapat
dihormati.
Pertama banyak hal bisa dijadikan batas. Yang termudah
adalah batas alam, umumnya garis pemisah air di
punggung pegunungan atau alur sungai terdalam. Di
laut, batas laut teritorial ditentukan 12 mil laut
dari garis pantai, kecuali bila lebar selat antar
negara tidak mencapai 24 mil, maka ditentukan garis
tengahnya. Selain itu, batas juga bisa dibuat hanya
dengan kesepakatan, misalnya berupa as jalan negara
sebagai batas dua kabupaten. Ada juga batas
disepakati dengan garis lurus pada lintang sekian atau
bujur sekian. Yang terakhir ini ada di Pulau Sebatik
Kabupaten Nunukan (Indonesia – Malaysia) dan di Papua
(Indonesia – Papua Nugini).
Kedua, setelah kedua belah pihak sepakat pada poin 1,
masalah berikutnya adalah tentang cara mengukurnya.
Batas alam jelas membutuhkan survei dan pemetaan yang
teliti. Untuk mendapatkan garis pemisah air yang
akurat, perlu peta-peta kontur (3-dimensi) minimal
skala 1:25.000. Pernah terjadi di suatu negara Arab,
titik-titik yang disepakati menjadi garis batas
digambar (delineasi) di atas peta yang lebih kecil
(skala 1:250.000). Akibatnya saat dibawa ke lapangan,
apa yang semula diduga pas di garis pemisah air,
ternyata di lereng. Tentu keenakan wilayah yang dapat
puncak bukitnya dan tidak enak bagi yang cuma dapat
lerengnya.
Hal yang sama terjadi bila batas itu adalah sungai.
Bila secara gegabah ditarik garis tengah sungai, bisa
jadi pada saat air surut, air itu berada hanya di satu
sisi saja, sehingga penduduk sisi yang lain yang mau
ke air harus ke ‘luar negeri’. Karena itulah maka
harus dilakukan survei hidrografi untuk mendapat
‘Talweg’ – yakni alur terendah di dasar sungai itu.
Menentukan batas pada jalan sekilas tampak lebih
mudah, tentu selama jalan itu tidak diperlebar ke satu
sisi saja. Sedang menentukan batas secara eksak
dengan lintang dan bujur semata, bisa-bisa menzalimi
penduduk lokal jika memisahkan komunitas mereka secara
sewenang-wenang.
Di luar ini semua, pengukuran batas sangat tergantung
instrumentasi yang digunakan. Bisa jadi, batas yang
dianggap sudah pasti, jika diukur lagi dengan alat
yang lebih canggih, didapatkan koordinat yang berbeda.
Ini terjadi di Pulau Sebatik pada pilar batas yang
sebenarnya tak pernah bergeser sejak zaman Belanda,
namun hasil ukur modern dengan GPS berbeda beberapa
puluh meter dengan data pengamatan astronomi jaman
dulu yang ada dalam lampiran perjanjian
Inggris-Belanda. Garis pantaipun tergantung bagaimana
definisinya. Di laut ada pasang-surut.
Ketiga, taruhlah sekarang kedua belah pihak telah
sepakat menggunakan objek batas dan alat ukur yang
sama. Bagaimana mereka akan mendokumentasikan batas
itu sebagai dokumen antar-negara yang didepo di PBB?
Mereka harus membuat dokumen yang berisi peta
topografi yang mencakup wilayah di kedua negara
sepanjang garis batas, daftar koordinat titik-titik
batas dan tanda tangan pengesahan kedua belah pihak.
Peta topografi tersebut harus seragam dalam tiga hal,
yaitu: (a) sistem koordinat, datum dan bidang
proyeksi; (b) klasifikasi objek yang sama; dan (c)
simbolisasi yang sama. Tiga hal ini perlu banyak
kompromi untuk mewujudkannya. Sebagai contoh:
peta-peta rupabumi Indonesia yang dibuat Bakosurtanal
pada umumnya menggunakan koordinat geografis, datum
WGS-1984 dan proyeksi Universal Transverse Mercator,
sedang Malaysia menggunakan datum dan proyeksi yang
berbeda. Klasifikasi sawah di Malaysia juga berbeda
dengan Indonesia yang mengenal sawah irigasi dan tadah
hujan. Sedang pola arsiran maupun warna jelas semua
beda. Walhasil, menggabungkan kedua peta topografi
agar menjadi satu peta perbatasan jelas butuh
perjuangan tersendiri. Ini ditambah dengan persyaratan
bahwa semua legenda peta harus bi-lingual dari
masing-masing negara ditambah bahasa Inggris sebagai
bahasa PBB.
Keempat, kalau masalah peta sudah beres, kini masalah
implementasi di lapangan. Peta dan dokumen perbatasan
hanya akan disimpan di tempat-tempat terhormat. Yang
harus ada di lapangan adalah tanda-tanda, yaitu pilar
atau pagar (baik dari kawat berduri ataupun dari
beton) seperti di Israel atau di zaman perang dingin
dulu. Pilar-pilar ini biasanya dibuat dalam jumlah
yang cukup, yang jaraknya satu dengan yang lain
memungkinkan saling melihat. Sedang di laut, karena
tidak mungkin membuat pilar, yang bisa dilakukan
adalah mengandalkan alat navigasi GPS. Untuk kapal
dengan peta elektronik, alat bahkan dapat diset untuk
langsung memberi alarm bila sudah mendekati
perbatasan.
Kalau semua berjalan baik, tentu kasus helipad
Malaysia atau nelayan Indonesia yang ditangkap di
Australia tak akan terjadi. Masalahnya, belum semua
segmen perbatasan dengan kedua negara itu telah
ditegaskan dan diratifikasi. Sebagian patok batas kita
dengan Malaysia ada yang baru klaim sepihak – artinya
belum diakui oleh Malaysia. Di antara patok-patok
batas itu ada yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh
para pelaku illegal logging untuk memudahkan mereka
melarikan diri bila aksi-aksinya terdeteksi aparat.
Demikian juga dengan peta-peta laut Australia – yang
boleh jadi masih berbeda dengan peta-peta laut
Indonesia – terutama dalam hal garis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Yang jelas, pemerintah memang harus
lebih serius dalam menegaskan batas – terlebih yang
antar-negara.
(Penulis adalah Peneliti Utama, Bakosurtanal)-n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166973&actmenu=45