Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Realitas Pendidikan di Barat

Friday, July 13th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Pendidikan di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) sering dicirikan sebagai pendidikan yang maju, karena memang berada di dalam siklus sebuah negara industri maju.  Namun untuk memahmi realitas pendidikan di sana, beberapa sisi harus disorot.  Aspek pertama adalah persoalan akses vs mutu, yang secara langsung berkaitan dengan peran negara di dalamnya.  Di banyak negara, upaya pemerataan akses atas pendidikan sering dalam kontradiksi dengan mutu yang didapatkan.  Aspek kedua adalah tentang muatan pendidikan, baik dalam sisi ketrampilan hidup – termasuk di dalamnya sains dan teknologi, maupun pandangan hidup.  Yang jelas, realitas pendidikan di Barat sebenarnya tidak seragam, dan tidak mudah untuk digeneralisir.

 Realitas

Dari 200 perguruan tinggi top di dunia yang disurvei oleh majalah Times dan dipublikasikan pada November 2004, 62 universitas ada di AS.  Inggris mendapat ranking ke 2, disusul Jerman, Australia, Perancis dan seterusnya.  AS juga menduduki ranking pertama dilihat dari score maximum yang didapat oleh kampusnya. 

Sedang dihitung dari angka score rata-rata, Swiss menduduki peringkat tertinggi dengan angka 422.  Terlihat ada suatu simpangan yang cukup besar dari nilai rata-rata ke minimum dan maksimum di AS atau Inggris.  Sebaliknya di Jerman, Swiss atau Austria nilai simpangan ini sangat kecil, yang berarti mutu pendidikan di negara-negara itu relatif merata.

Scoring yang diberikan majalah Times ini meliputi penilaian dari peer (panel pakar), jumlah fakultas yang “go intenasional” dan jumlah mahasiswa dari luar negeri (yang diasumsikan menggambarkan reputasi perguruan tinggi tersebut sehingga diminati mahasiswa asing), rasio ideal dari jumlah mahasiswa per fakultas, dan jumlah karya tulis mereka yang dikutip di dunia ilmiah. 

Secara metodologis, nilai score tidak bisa dibandingkan secara linear begitu saja, karena hanya sebagai alat pembeda (differensiasi), bukan kuantifikasi.  Artinya, kampus dengan score 1000 bukan berarti 10 kali lebih baik dari yang scorenya 100.  Survei ini juga tidak merinci ke score per bidang studi yang tentunya akan bisa bervariasi.  Selain itu, indikator yang dipakai tadi tak pelak lebih menguntungkan negara-negara yang berbahasa Inggris, seperti AS, Inggris dan Australia. 

Namun walau bagaimana, daftar itu bisa menjadi cermin bahwa pada abad ke-21 ini, pendidikan yang bermutu lebih banyak dijumpai di Barat.  Dari dunia Islam, satu-satunya negara yang masuk dalam daftar itu hanya Malaysia, yang diwakili Malaya University dan Sains Malaya University.

 

Daftar negara dengan Perguruan Tinggi yang masuk Top200 versi majalah Times

Data compiled for The Times Higher by QS (www.qsnetwork.com), published 5 November 2004

 

Negara n avg min max
Amerika Serikat 62     254    103   1.000
Inggris 30     213    106      732
Jerman 17     141    104      228
Australia 14     223    123      418
Perancis 8     191    125      316
Belanda 8     153    107      188
Canada 7     194    114      364
Jepang 6     238    120      482
Cina 5     183    105      392
Swedia 5     135    117      150
Hongkong 4     191    104      250
New Zealand 3     160    146      184
Austria 3     152    121      175
Denmark 3     152    129      189
Korea 3     129    121      144
Swiss 2     422    289      554
Singapura 2     302    217      386
Belgia 2     209    205      213
Malaysia 2     158    150      166
Israel 2     143    124      161
Norwegia 2     134    110      159
Finlandia 2     127    115      139
Italia 2     116    110      122
India 1     242    242      242
Irlandia 1     167    167      167
Rusia 1     162    162      162
Taiwan 1     158    158      158
Spanyol 1     124    124      124
Mexico 1     105    105      105

Keterangan:

n = jumlah perguruan tinggi yang masuk Top200

avg = score rata-rata dari yang masuk Top200

min = score minimum dari yang masuk Top200

max = score maximum

 

Secara umum memang di Indonesia sendiri, alumni perguruan tinggi dari Luar Negeri memiliki “daya jual” yang lebih baik dari lulusan dalam negeri.  Stereotype yang sering muncul adalah: lulusan LN memiliki wawasan lebih luas, memilki attitude (seperti kedisiplinan dan etos kerja) yang lebih baik, dan lebih cakap berkomunikasi dalam salah satu bahasa Internasional.  Walhasil banyak anak-anak dari keluarga kaya yang cenderung pergi sekolah ke Luar Negeri, atau ke sekolah asing di Indonesia.

Antara akses dan mutu

Sebenarnya bila melihat data di atas, tampak bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya dana (anggaran).  Masalahnya, dana tersebut ada yang disediakan pemerintah, ada yang swadaya. 

Pada negara-negara dengan simpangan score yang besar (AS atau Inggris), pendidikan tinggi praktis dikelola secara swadaya.  Walhasil ada PT yang sangat bonafid (dengan score 1000) seperti Harvard University, yang SPP-nya juga sekitar US$ 100.000 per semester, namun ada juga yang relatif rendah (score 103 – walaupun masih masuk Top200) yaitu Virginia Polytechnic Institute yang disubsidi oleh pemerintah negara bagian.  Sedang di negara-negara dengan simpangan score yang kecil (seperti Jerman atau Austria), pendidikan tinggi hampir seluruhnya didanai oleh negara.

Tampak di sini bahwa sistem pembiayaan pendidikan di Barat memang tidak seragam sehingga sulit digeneralisir.  Sistem ini bergantung kepada filosofi yang dominan di dalamnya. 

Pada negara-negara di mana faham sosialis cukup kuat, yang diterapkan adalah sistem ekonomi pasar (kapitalis), namun pada beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, negara tetap berperan besar.  Sistem ini sering disebut “Social-capitalism” atau “social-free-market”.  Di sisi lain memang ada negara-negara yang benar-benar menerapkan ekonomi pasar termasuk di sektor ini, walaupun levelnya berbeda-beda.

Secara umum, sistem pembiayaan pendidikan di Barat dapat dibagi dalam empat jenis.

Jenis pertama adalah subsidi penuh, sehingga pendidikan benar-benar gratis.  Sebagai contoh, di Jerman dan Austria, pendidikan adalah gratis sejak masuk Sekolah Dasar hingga lulus Doktor (S3).  Walhasil tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya.  Sekolah akan mendapatkan bibit yang terbaik dan siswa yang memang tidak berbakat atau kecerdasannya kurang memadai akan terseleksi secara alami.

Jenis kedua adalah mirip jenis pertama, hanya saja untuk pendidikan tinggi, masa gratis dibatasi misalnya hanya hingga usia tertentu atau lama studi tertentu.  Setelah itu mahasiswa dipungut biaya yang akan makin besar bila lulusnya tertunda.  Negeri yang menerapkan ini misalnya Belanda.  Tentu saja di sana selain pujian juga ada kritik atas sistem ini, karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa meski sekolah gratis namun biaya hidup cukup tinggi, dan ada orang-orang yang tidak memiliki biaya hidup yang cukup sehingga harus sekolah sambil bekerja, sehingga sekolahnya molor.  Fakta memang, meski gratis, yang lebih mampu memanfaatkan hanya kelas menengah ke atas; masih jarang yang anak petani atau buruh.  Bukan sekedar masalah akses, namun juga biaya tambahan (untuk hidup).

Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hanya sampai lulus SMA, sedang di perguruan tinggi dipungut biaya SPP – walaupun juga masih bersubsidi.

Jenis keempat adalah pendidikan membiayai sendiri.  Caranya macam-macam, ada yang dengan melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan) dan atau menjadikan pendidikan sebagai benda komersil.  Contoh ini banyak di Amerika, sekalipun di Amerika banyak juga model pembiayaan jenis ketiga.

Pendidikan jenis terakhir inilah yang cenderung „dijual“ secara internasional.  Kita sering melihat iklan dari perguruan tinggi Australia, Singapura atau bahkan Amerika Serikat.  Namun kita akan jarang melihat iklan sejenis dari Jerman atau Austria.  Andaikata ada, maka ia dipakai untuk: (1) merekrut calon ilmuwan unggul dari negara dunia ke-3; (2) merekrut calon agen yang akan mempromosikan dan menyalurkan produk mereka di negara dunia ke-3; (3) mendapatkan tenaga yang lebih murah minimal selama pendidikan (karena membayar kandidat PhD jelas lebih murah daripada membayar pekerja resmi – meski kualifikasi dan yang dikerjakannya sama; (4) mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintahnya.

 

Uang SPP di beberapa negara EU

Negara SPP per tahun setara (US$)
Belgia sekitar 18000 BFR per tahun, termasuk registrasi, kuliah, ujian dan asuransi. 560-670
Inggris undergraduates 607 GBP; postgraduates 1890 GBP plus uang ujian dan biaya lain 1300-4320
Italia universitas negeri 300000-400000 Lira per tahun; tergantung pendapatan keluarga 300-400
Belanda 1500-1750 NGL 1000-1270
Perancis 450 FF SPP, plus asuransi + iuran mahasiswa 1100 – 1500 FF; kecuali Grandes ecoles de commerce et de gestion (sekolah swasta di bawah KADIN): 12000-22000 FF 220-300 / 2400-4400

Sumber: UNIVERSITÄTEN 1995, p. 16, angka di sini dipengaruhi oleh perubahan (kurs, kenaikan harga, …)

 

 Baru menggarap IQ dan EQ

Dalam masalah muatan pendidikan, aspek IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi) sama-sama digarap.  Untuk menilainya tentu saja kita harus sadari bahwa di Indonesia, baru IQ yang diolah.  Maka segera akan terlihat bahwa muatan pendidikan di Indonesia memang kurang bermutu. 

Di Barat pada umumnya siswa atau mahasiswa tidak dibebani dengan jumlah materi ajar yang terlalu besar sebagaimana di Indonesia, namun mereka dibekali dengan pisau asah sehingga mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu.  Sedari kecil anak dibimbing untuk mampu berpikir logis, kritis dan kreatif.

Kecerdasan emosi juga dikembangkan sehingga anak-anak yang tumbuh di sana relatif lebih percaya diri, lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, dan peka terhadap lingkungan.  Kalau masyarakat di Barat relatif lebih mampu menjaga kebersihan, rajin bekerja, dan displin saat berlalu-lintas, itu adalah buah dari pendidikan EQ yang cukup berhasil.

Dari aspek ruhiyah (kecerdasan spiritual, SQ), perlakuan institusi pendidikan tidak sama.  Di negara dengan tingkat sekulerisme yang sangat tinggi seperti Perancis, tidak ada pendidikan agama pada sekolah umum.  Pendidikan agama hanya dimungkinkan pada sekolah swasta berlatarbelakang agama.  Sedang di negara dengan kultur agama yang masih kuat (seperti Katholik di Austria), pendidikan agama diberikan secara umum di sekolah-sekolah sampai SMU.  Untuk siswa yang beragama lain diberikan juga pendidikan agama dengan guru seagama, yang semuanya dibayar oleh pemerintah (termasuk guru agama Islam – yang dikoordinir oleh Austrian Islamic Society).

Namun pendidikan agama ini hampir tidak ada pengaruhnya.  Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban sebagai berikut:

 

  1914 1933 1998
Percaya 27,5% 15,0% 7,0%
Tidak percaya 52,7% 68,0% 72,2%
Ragu-ragu 20,9% 17,0% 20,8%

 

Dan tentang kehidupan setelah mati

 

  1914 1933 1998
Percaya 35,2% 18,0% 7,9%
Tidak percaya 25,4% 53,0% 76,7%
Ragu-ragu 43,7% 29,0% 23,3%

 

Sumber:
E.J. Larson & L. Witham. Nature 394, 313 (1998)

 Marketer Sekulerisme

Tampak di sini bahwa budaya sekuler-liberal tetap lebih berkesan dibanding pendidikan agama di sekolah yang cuma beberapa jam seminggu.  Persoalan seperti pergaulan bebas, narkoba dan kriminalitas di sekolah ada di mana-mana.  Di sisi lain, pandangan terhadap Islam, umat dan sejarahnya yang bias hampir ditemui di semua semua pelajaran (penelitian Susanne Heine: Islam Zwischen Selbstbild und Klische, Wien, 1995).

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

 Kesimpulan:

Pendidikan di Barat secara umum memang saat ini lebih maju dibanding di negeri-negeri Islam – yang memang belum menerapkan sistem Islam.  Dalam pembiayaannya, ditemukan bahwa ketika negara mendanai penuh pendidikan, terjadi pemerataan akses – dan juga mutu.  Namun kurangnya sentuhan ruhiyah – terlebih Islam – membuat lulusannya cenderung atheis dan terdehumanisasi.  Mereka akan menjadi alat sekulerisme dan imperialisme. 

tulisan ini dimuat di jurnal al-Waie edisi no 59, Juli 2005

Teknologi Pendidikan Islam

Saturday, May 26th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Suara Islam no 20, minggu I-II Mei 2007

Apakah itu teknologi pendidikan?  Apa pula teknologi pendidikan Islam?  Apa bedanya dengan pendidikan teknologi?

Memperingati hari pendidikan nasional saat ini, banyak orang mengajak menoleh kepada teknologi di bidang pendidikan. 

Pertama, pendidikan teknologi kita dapat dianggap gagal.  Faktanya, pendidikan sains dan teknologi masih dianggap momok oleh mayoritas anak didik kita, sehingga masih banyak warga kita yang gagap teknologi (gaptek) – tidak terkecuali anggota DPR (yang jadi bahan lelucon karena minta Laptop), dan akibatnya makin hari kita makin tergantung pada impor teknologi yang menguras devisa kita dan memaksa kita terus berhutang ke luar negeri.

Kedua, pendidikan kita belum optimal, dan ini disinyalir karena belum digunakannya metode pendidikan kontemporer, termasuk teknologi pendidikan mutakhir.  Teknologi pendidikan lebih sering dipahami secara konvensional dengan lab-lab yang relatif mahal – dan akibatnya tidak terjangkau oleh mayoritas sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Dengan demikian, pendidikan teknologi adalah pendidikan untuk menumbuhkan technological-attitude (sikap benar berteknologi) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga orang memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi, merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi.   Sedang teknologi pendidikan adalah teknologi yang didesain untuk mendukung aktivitas pendidikan secara komprehensif.  Aktivitas pendidikan adalah aktivitas untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni yang memiliki kedalaman iman, kecerdasan akal, kepekaan nurani, keluasan wawasan, kebijakan sikap, kreativitas karya, kehalusan estetika, keberanian berjuang dan seluruh nilai-nilai positif lainnya.

Dengan memahami pokok masalah di atas, maka jelas bahwa posisi Islam di sini adalah untuk memberi arah dan nilai dari pendidikan, dan demikian pula teknologi pendidikan.  Karena itu teknologi pendidikan Islam bukanlah sekedar teknologi untuk membantu siswa belajar shalat atau belajar membaca Qur’an, namun teknologi yang seluas pendidikan itu sendiri.  Teknologi pendidikan Islam membuat siswa mudah memahami sains dan ilmu-ilmu apapun, mampu menghubungkannya dengan Sang Pencipta dan menyadari apa tujuan diciptakannya alam serta bagaimana sains itu dapat dimanfaatkan secara syar’i.  Dia akan menguasai sains dalam pandangan hidup Islam.  Teknologi ini mengakselerasi siswa mendapatkan tujuan-tujuan pendidikan, sehingga membantu mengatasi keterbatasan kemampuan guru, sempitnya ruang kelas, kekurangan buku dan terbatasnya dana.

Di atas itu semua, teknologi pendidikan Islam seharusnya juga dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam, seperti kesederhanaan dan kemudahan.  Jadi akan kontradiktif ketika teknologi pendidikan islam ini justru jadi tidak terjangkau oleh mayoritas umat karena dia terlalu canggih dan mahal. 

Karena itu pertimbangan dasar teknologi pendidikan yang tepat harus juga melihat calon penggunanya.  Di pedesaan yang sederhana, teknologi berbasis bahan lokal tentu lebih disukai. Namun di perkotaan di mana tersedia listrik, komputer dan akses internet, teknologi interaktif berbasis komputer atau web mungkin menjadi alternatif yang lebih baik dan termurah.

 

Bentuk Teknologi Pendidikan Islam

Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam?

Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia.  Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari panca inderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3)  mengolah / menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya. 

Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.

Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan Islam berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam (1) Fisika, (2) Biologi, (3) Ekonomi.

(1) Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(2) Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(3) Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas.  Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat.  Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

Memang perlu kerja keras untuk merealisasi material teknologi pendidikan Islam untuk segala jenis topik di semua jenis pelajaran.  Namun upaya semacam ini akan menjadi mudah ketika ada dukungan masyarakat.  Dan bentuk masyarakat yang paling optimal untuk itu adalah dalam bentuk negara Khilafah.

Penelitian, Kebenaran dan Kreativitas dalam Paradigma Islam

Thursday, November 23rd, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Terbaik Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 2001 Bidang Teknologi Rekayasa
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Institut Pertanian Bogor
famhar@telkom.net

 

Abstrak

Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan peradaban manusia.  Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.

 


1          Penelitian

Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya.  Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh.  Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi.  Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.

Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian.  Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis.  Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia.  Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.

Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti?  Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang.  Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif!  Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”.  Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,-  Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta.  Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!

Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”.  Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB  Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB.  Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap.  Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset.  Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri.  Di negeri asal itulah ada R&D.  Di sini, mau buat apa?  Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …

Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti.  Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.

Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik.

Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship.  Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah.  Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat.  Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD.  Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain.  Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala).  Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.

Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis.  Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.

 

2          Kebenaran

Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb. 

Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits.  Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.

Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.

Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif.  Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.

Kebenaran deduktif adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif.  Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng.  Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan.  Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif.  Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.

Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita.  Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.

Kebenaran naratif adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima.  Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll).  Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.

Kebenaran induktif adalah kebenaran objektif.  Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun.  Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih.  Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.

Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak.  Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci.  Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.

Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram).  Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.

Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar.  Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. 

Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah.  Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.

Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar.  Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal.  Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein.  Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius.  Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.

Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif.  Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA.  Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya.  Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.

Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain.  Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK).  Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut.  Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis. 

Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat.  Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL).  Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH.  Dan ini sangat subjektif.

3          Kreatifitas

Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini.  Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.

Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3.  Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif.  Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.

 

inovatif 7  Nobel 8  Nobel 9  Paten
modifikatif 4 5 6  Paten
aplikatif 1 2 3
  observatif analitif kreatif

 

Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.

Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru.  Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang sebelumnya sulit didekati.  Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati fenomena mahluk halus?

Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan menggunakan pisau analisis yang telah ada.  Kembali di sini, jarang ditemukan pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi.  Riset jenis inilah yang paling populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada riset tanpa statistik dan data real.  Padahal untuk riset jenis kreatif, kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan.

Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.

Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel atau yang setara dengan itu.  Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten – agar tidak dibajak oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.

Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.

4          Paradigma Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku.  Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan[i].   Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama[ii].</P>

Hunke[iii] dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal. 

Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik.  Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam.  Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi.  Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu.  Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini.  Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis.  Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama dan teknologi yang bebas nilai. 

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma.  Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. 

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun guideline. 

Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb[iv]

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu[v], yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari  atau diteliti.  Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18).  Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari surat al-Ghasiyah tersebut.

Kaidah“Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar.  Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb.  Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing. 

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya[vi].

Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari.  Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun.  Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya.  Oleh karena itu, ilmu seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan.  Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu.  Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan.  Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya.  Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan tertentu[vii].

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’.  Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya.  Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.  Oleh karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin[viii] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.

5          Masa Depan

Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah.  Akibatnya, mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia Islam.  Ada tiga ketertinggalan teknologi:

Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai.  Berbagai usaha meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain)[ix].  Sebagian kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi negaranya.  Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.

Kedua, anggaran riset yang rendah.  Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat.  Dana riset menjadi tidak memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri.  Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau peralatan pengganti juga hampir tak ada.  Selain itu riset belum benar-benar terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu menghasilkan sesuatu secara ekonomis[x].

Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang sangat rendah.  Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia industri[xi].

Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan skop sebuah negara.

Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam.  Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada masyarakat.

Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah terutama ilmuwan muslim.  Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.

Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah ini nantinya.

 

Bacaan Lanjut

[i] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami.  Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.

[ii] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History.  Unesco, 1986.  (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam.  Bandung, Mizan, 1993).

[iii] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland.  Frankfurt, Fischer, 1990.

[iv] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah.  Bandung, Rosda, 1991.

[v] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif.  Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.

[vi] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.

[vii] Darell Huff: How to Lie with Statistics.  New York, W.W. Norton, 1960

[viii] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik.  Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.

[ix] Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam.  Bandung, Rosda, 1989.

[x] International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.

[xi] S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 1998.