Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Beberapa waktu yang lalu dunia dikejutkan dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham BUMN Singapura Temasek di Indosat dan Telkomsel yang dianggap dapat mengancam persaingan di bisnis telekomunikasi.
Biaya telekomunikasi di Indonesia sering dikeluhkan oleh banyak pihak sebagai yang termahal di dunia. Meski sekarang banyak aksi-aksi “banting harga” dari berbagai provider telepon seluler (baik GSM maupun CDMA) namun tidak sedikit dari tawaran itu yang masih menuliskan kecil “syarat dan ketentuan berlaku”, yang ujung-ujungnya tarif-tarif itu sama saja mahalnya. Karena itu gebrakan KPPU ini dapat dianggap sebagai angin surga bagi konsumen, namun bagi investor tentu sebaliknya. Ada yang ingin membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional, karena Indonesia dianggap mengingkari perjanjian internasional.
Apapun yang nanti terjadi, kenyataan ini menyadarkan kita semua akan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK adalah dunia yang sangat pesat kemajuannya, sangat signifikan pengaruhnya pada ekonomi, dan sangat besar dampaknya dalam kehidupan sosial budaya.
TIK adalah teknologi yang menggunakan listrik arus lemah untuk penyaluran isyarat (informasi), baik searah maupun dua arah (komunikasi). Dalam kehidupan sehari-hari, teknologi informasi biasanya diasosiasikan dengan persinyalan dan penggunaan komputer. Sedang teknologi komunikasi diasosiasikan dengan telepon, radio dan televisi. Internet masuk dalam keduanya, karena dapat menyalurkan informasi maupun digunakan untuk komunikasi. Internet adalah konvergensi semua teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi pada bentuknya yang sekarang, ketika internet dapat diakses oleh telepon genggam dengan fasilitas 3G.
Pesatnya TIK dapat digambarkan pada perkembangan kemampuan dan harga komputer. Pada tahun 1987 sebuah komputer pribadi dengan prosesor Intel 80386SX – 20 MHz, 2 MB RAM dan 40 MB Harddisk harganya sekitar USD 4000,- Tahun 2007 dengan uang yang sama, kita bisa mendapatkan 10 komputer pribadi yang prosesornya Pentium 4 – 1 GHz, 1 GB RAM dan 40 GB Harddisk. Faktor peningkatan kemampuannya adalah 50x (prosesor), 500x (RAM) dan 1000x (Harddisk). Kalau diambil yang terrendah berarti performance naik 50x, dan harga turun 10x! Jadi performance meningkat 500 kali (!) dalam 20 tahun. Jadi kemajuan TIK ini adalah sekitar 25 kali per tahun (!).
Dengan gambaran ini, tak heran bahwa para investor TIK harus saling berpacu dengan para inventor. Ketika suatu penemuan TIK dinilai layak industri, maka investor harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk dapat menguasai pasar. Kalau investasi ini belum kembali lalu sudah ada penemuan baru, maka investasi yang pertama akan hangus. Karena itu, dibuatlah strategi pengamanan, yang bila perlu penemuan baru ini tidak dikeluarkan dulu.
Dan karena para investor ini adalah perusahaan asing, maka jadilah mekanisme “pengamanan” dilakukan oleh mereka. Tarif telekomunikasi dibiarkan saja tetap mahal seperti sekarang, meski kini banyak bermunculan teknologi baru yang jauh lebih murah.
Di bidang telepon misalnya, teknologi Voice over Internet Protokol (VoIP) sudah tidak lagi bisa dibendung. Orang yang memiliki akses internet akan mendapatkan bahwa komunikasi yang paling murah, bahkan gratis (di luar biaya koneksi internet) adalah dengan Yahoo-Messenger (messenger.yahoo.com), Google-Talk (google.com/talk) atau Skype (skype.com). Skype bahkan bisa menghubungi ke telepon biasa maupun ponsel di luar internet (Skype-Out) atau dihubungi dari luar (Skype-In). Tarifnya pun hanya tergantung negara sasaran, untuk telepon ke Eropa dari seluruh dunia biaya permenitnya hanya 2 Eurocent (sekitar Rp. 275,-). Bandingkan dengan tarif pulsa telpon lokal dari Telkom yang Rp. 250,- per pulsa (3 menit). Google bahkan lebih jauh lagi mencanangkan proyek telepon gratis, yakni telepon dengan inada sambung berisi iklan.
Dengan VoIP ini telekonferensi juga dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Anehnya, fasilitas ini masih jarang digunakan. Kita teringat bagaimana peradilan masih memilih telekonferensi berbiaya tinggi saat meminta keterangan saksi atau saksi ahli di luar negeri.
Kemampuan telekomunikasi saat ini sudah dapat digunakan untuk teleworking, yaitu tatkala pekerja pada beberapa sektor (terutama sektor jasa atau informasi) tidak harus ke kantor, cukup bekerja dari laptop atau PDA masing-masing. Kalau hal ini dilakukan, tentu amat menghemat energi untuk transportasi, mengurangi kemacetan dan polusi udara (sekaligus pemanasan global!), menghemat biaya ruang kantor dan para pekerja dapat mengalihkan waktu 2-4 jam yang semula habis di jalan untuk keluarga. Teleworking akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Tinggal adaptasi budaya saja yang harus disiapkan.
Bahkan penyelenggaraan pemilu atau pilkada dapat dihemat sangat signifikan dengan telekomunikasi. Di sejumlah negara maju, pemilu dilakukan dengan suatu alat serupa tablet-PC dengan pemindai sidik jari dan layar sentuh. Alat ini dapat dihubungkan langsung ke server database KPU via saluran telepon atau telepon satelit untuk daerah terpencil. Di dalam alat itu juga dipasang GPS sehingga posisi keberadaan alat itu di TPS dapat dikontrol. Seluruh sistem ini secara aliran informasi sudah diaudit seperti layaknya sistem ATM milik perbankan, sehingga kerahasiaan pilihan dan keamanan data tetap dijamin. Dengan sistem ini, hasil pemilu dapat diketahui sore itu juga, dan konsistensi angka di level TPS dengan rekapitulasi nasional dapat terjamin. Kalau di seluruh Indonesia ada 70.000 desa, dan untuk setiap desa cukup piranti TI seharga Rp. 15 juta termasuk pelatihan, maka biayanya hanya sekitar Rp. 1 Trilyun. Alat ini asal tidak rusak juga dapat dipakai berkali-kali, tidak perlu membuat surat suara, kotak suara dan bilik suara baru. Juga dapat menghemat proses perhitungan. Tentu sangat murah dibandingkan dengan usulan anggaran KPU yang lebih dari Rp. 49 Trilyun. Jika sebagian besar perangkat keras dan lunak untuk Pemilu seperti ini dapat diproduksi di dalam negeri, tentu suatu impuls yang lumayan untuk membangkitkan industri TIK dalam negeri. Beberapa negara lain boleh jadi akan memesan sistem semacam ini ke kita.
Sayangnya tingkat melek TIK dan akses TIK di Indonesia masih amat rendah, sekalipun di Indonesia kini ada 70 juta pengguna ponsel. Kalau akses ini sudah tinggi, akan mudah menghidupkan e-learning, e-bisnis dan e-government, suatu layanan pendidikan, bisnis atau pemerintahan secara elektronik, terutama via internet. Pelajar dan mahasiswa tak perlu mengeluhkan kurangnya buku di perpustakaan mereka, karena semua bisa didapat di internet. Isi situs ensiklopedia seperti en.wikipedia.org malah praktis tumbuh dan diupdate tiap hari. Demikian juga dengan peta seluruh dunia seperti di earth.google.com. Mahasiswa yang sedang penelitian juga dapat melihat jurnal, perpustakaan bahkan database paten dari mana saja (misalnya di www.uspto.gov – kantor paten Amerika). Ide pun akan lebih mudah dicari, sementara plagiat (penjiplakan) karya tulis ilmiah lebih mudah terdeteksi dan diatasi.
Seperti biasa, dunia bisnis memang jauh lebih tanggap. Beberapa maskapai penerbangan (misal AirAsia, Garuda) sudah menggunakan e-ticket. Tiket pesawat cukup dipesan via internet atau sms, juga dibayar dengan e- atau sms-banking. Beberapa toko juga sudah mulai menikmati tumbuhnya pasar seperti ini. Mereka mengembangkan mekanisme agar transaksi tetap dapat berjalan aman untuk kedua pihak, sekalipun payung hukumnya belum ada.
Di sisi dakwah, sebagian gerakan Islam sudah dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan TIK dengan cerdas. Informasi lebih mudah didapat ataupun disajikan via internet. Sebagian besar website bahkan bersifat dinamis dan interaktif. Namun ada juga kalangan yang pesimis dan ingin agar TIK dibatasi, karena khawatir disalahgunakan untuk menyebarkan pornografi. Namun secara teknis sebenarnya arus pornografi ini mudah difilter, dan secara budaya rating pornografi kini sudah dikalahkan oleh situs-situs komunitas yang bersifat interaktif.
Di bidang pemerintahan, TIK dapat dipakai pemerintah untuk mengumumkan seluruh aturan hukum di internet (baik yang masih rancangan maupun yang sudah disahkan), tender-tender (e-procurement), melayani pembayaran pajak (termasuk pajak kendaraan), pemesanan KTP/KK baru, hingga peringatan dini dan manajemen bencana. Pada situasi banyak bencana seperti saat ini, tersedianya informasi di internet yang cukup atas kondisi aktual di lapangan, jenis bantuan yang dibutuhkan, akses mencapai daerah itu dan sebagainya, tentu akan sangat membantu para relawan maupun orang yang ingin menyumbang untuk memulihkan situasi daerah korban.
Sekarang pun, asal ada kemauan kuat, sebenarnya sebagian besar layanan ini sudah bisa dikerjakan dalam hitungan hari. Teknologinya sudah tersedia. Namun kembali, masalah kemauan adalah masalah yang berkaitan dengan visi dan prinsip. Teknologi itu hanya alat. Jika para pelaku pelayanan publik ini melihat bahwa barangsiapa memudahkan urusan orang banyak Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akherat nanti, tentu seluruh teknologi informasi dan komunikasi ini akan diupayakan secara maksimal untuk memudahkan urusan pelayanan seluruh ummat.
Tetapi sepertinya, dalam iklim kapitalisme sekuler seperti sekarang ini, hal itu baru terwujud di “Republik Mimpi”. Apa ya harus menunggu “revolusi” dulu? Atau justru setiap muslim, terutama yang bekerja di sektor publik, sekarang juga perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga ketika sistem yang lebih manusiawi (khilafah) berdiri, seluruh SDM dan teknologinya sudah siap. Wallahu a’lam.
Fahmi Amhar
Sejak tahun 2004 sebenarnya saya mencoba mengembangkan sebuah training berjudul “FSQ” (Financial Spiritual Quotient). Meski belum cukup serius dan resmi – belum didaftarkan di Kantor HaKI, saya sudah mencobanya ke berbagai kalangan. Ada yang sifatnya komersial, misalnya perusahaan atau pemerintah daerah. Namun banyak juga yang ke kalangan pelajar, mahasiswa, pemuda atau aktivis – yang tentu saja non profit.
Training ini dikembangkan karena berbagai latar belakang:
– Sejak lama saya memperhatikan banyak orang atau keluarga yang saya kenal yang kesulitan mengelola keuangannya. Dapat berapapun selalu habis, akhirnya terbelit hutang.
– Sementara itu ada sejumlah kawan yang salah langkah dalam berbisnis atau berinvestasi. Akhirnya pasca dapat pesangon puluhan juta malah terjerumus pada berbagai bisnis/investasi palsu, dan uangnyapun dapat dipastikan amblas.
– Kemudian saya melihat betapa banyak pelajar, mahasiswa atau pemuda yang jauh dari kemandirian secara finansial, atau tidak tahu cara belajar mewujudkan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
– Di samping itu saya melihat di berbagai kantor baik pemerintah, BUMN atau swasta, banyak pegawai yang kurang merasa memiliki asset institusi. Uang digunakan secara royal, namun di sisi lain mereka takut pensiun karena dihadapkan penurunan penghasilan yang drastis.
– Sebagian lagi saya merasa tertantang untuk menerjemahkan prinsip-prinsip syariah pada kemampuan real seseorang dalam hal keuangan. Ekonomi syariah tidak cuma direduksi dalam Ahlaq, Zakat dan Anti Riba (AZAR) saja.
Dari semua itu saya melihat strategisnya Kecerdasan Finansial Spiritual (FSQ).
Saya mencoba belajar – sebagian secara real dalam bisnis yang saya jalani, sebagian lagi di training-training sejak tahun 1985, dan sebagian lainnya secara virtual – dari tokoh-tokoh kecerdasan finansial dan spiritual dunia seperti Robert T. Kiyosaki, Donald Trump, Stephen Covey, hingga yang trainer-trainer lokal: Ary Ginanjar, Hermawan Kertajaya, Aa Gym, Safir Senduk dan Jamil AzZaini. Sebenarnya masih banyak lagi nama lain yang pernah saya lihat VCD-nya atau baca bukunya.
Hasilnya adalah sebuah paket training dengan muatan seperti ini:
Materi Training
Tujuan training adalah untuk mengembangkan kecerdasan finansial yang berbasis spiritual, sehingga seseorang:
(1) memperoleh pencerahan spiritual tentang berbagai nilai-nilai sukses yang diperlukannya baik dalam kehidupan maupun dalam bisnis;
(2) memperoleh energi spiritual yang tak terhingga untuk memacu kemampuannya dalam meraih kesuksesan, terutama dalam bisnis dan finansial;
(3) mendapatkan tips & tricks untuk berinvestasi dan mengelola keuangan secara rasional dan syar’ie.
(4) mendapatkan motivasi untuk menjadikan segala yang dimiliki sebagai ladang amal untuk meraih kebahagiaan sejati.
Training diformat dalam bentuk aktivitas fisik (games, semi-outbond), dialog intelectual, emotional-coaching, spiritual-inspiring, dan simulasi finansial. Setiap sesi selalu menyertakan 5 jenis kecerdasan manusia. Peralatan audio-visual digunakan untuk mengoptimalkan penyerapan materi training.
Saya coba membagi kelas training saya dalam PROfesional (kalangan bisnis, perkantoran dan pemerintahan), REGular (peserta umum, suami-istri) dan STUdent (mahasiswa).
Paket Profesional (PRO) ditujukan untuk kalangan bisnis (swasta maupun BUMN), perkantoran (termasuk LSM), dan pemerintahan. Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual maupun institusional dari peserta. Durasi 24 jam (3 hari) – atau atas permintaan dapat dibuat 2 hari+1 malam selama weekend.
Paket Reguler (REG) ditujukan untuk peserta umum, baik pelaku bisnis maupun tidak. Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual peserta dalam kehidupan, terutama untuk mengelola keuangan keluarga. Durasi 12 jam (2 hari) – atau atas permintaan dapat dibuat 1 hari+1 malam selama weekend.
Paket Student (STU) ditujukan untuk mahasiswa. Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual peserta dalam kehidupan, memunculkan semangat enterpreneur, dan mampu mengelola keuangan selama studi. Durasi 6 jam (1 hari).
Selain itu ada juga Public Seminar dengan topik salah satu aspek pelatihan. Durasi 2-3 jam.
Saya mengakui bahwa sayapun masih terus belajar untuk meraih FSQ yang ideal. Dan dengan memberi training ini, saya merasa dapat belajar lebih banyak lagi.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Sejak tahun 1995, tanggal 10 Agustus selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). Awalnya adalah keberhasilan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN, sekarang PT Dirgantara Indonesia) menerbangkan pesawat N-250, yang diklaim sebagai hasil karya asli anak-anak bangsa. Saat itu memang Prof. Dr.-Ing. Baharuddin Jusuf Habibie sedang di puncak prestasinya sebagai Menteri Riset & Teknologi Republik Indonesia. Dan beliau adalah ahli aeronautika dan pernah menjadi wakil presiden sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang di Jerman yaitu Messerschmidt Bolkow Blohm (MBB). Habibie mencoba mendorong kebangkitan teknologi nasional dari aeronautika, bukan sekedar karena dia pakarnya, namun karena (1) dia yakin jika aeronautika yang teknologi canggih bisa dikuasai, mestinya yang lain seperti teknologi mekanisasi pertanian atau otomotif akan lebih mudah lagi; (2) dia percaya kemajuan aeronautika akan menjadi lokomotif yang menarik maju sejumlah teknologi penunjangnya seperti teknologi mesin, kimia, material, elektronika, hingga teknologi informasi. Oleh karena itu, di era 1980-an, Habibie tanpa ragu-ragu setiap tahun mengirim ratusan lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia untuk belajar teknologi ke berbagai negara maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Belanda, Austria, Australia). Untuk itu dia juga berani utang ke Bank Dunia agar seluruh program ini berjalan. Setiap pelajar yang dikirim ini mendapat beasiswa minimal sejumlah 50.000 US-Dollar hingga menamatkan insinyurnya. Jumlah ini baru untuk biaya hidup (living cost), belum biaya kuliah (tuition fee). Namun dengan pola ikatan dinas, Habibie yakin investasi negara ini tidak akan sia-sia.
Namun sejarah kemudian membuktikan bahwa seluruh rencana itu nyaris kandas. Sejak awal para ekonom mengkritik teori Habibie (”Habibienomics”) sebagai utopia. Kata mereka, yang dibutuhkan bangsa ini adalah teknologi tepat guna, yang dapat dipakai oleh petani di pedesaan, industri kecil dan menengah, serta sektor rumah tangga, yang jumlahnya sangat besar – dan selama ini tergantung impor. Krisis ekonomi yang membuat Indonesia menjadi pasien IMF memaksa semua proyek-proyek teknologi ini ditinjau ulang. IPTN yang kemudian jadi PTDI dibiarkan bangkrut. Ribuan karyawannnya dirumahkan, dan ratusan tenaga profesional yang dulu disekolahkan ke Luar Negeri dengan hutang Bank Dunia ramai-ramai hengkang ke Luar Negeri. Sekarang saja masih ribuan ex karyawan PTDI yang menuntut pesangonnya. Lobby-lobby internasional membuat pesawat N250 tidak diberi sertifikat terbang oleh otoritas dunia, sehingga pemasarannya seret. Habibie sendiri kemudian semakin terseret dalam politik, menjadi Presiden RI yang melepas Timor Timur dan membuka keran liberalisasi, dan kemudian terpaksa turun dari kancah politik karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Sekarang gaung Hakteknas sudah jarang terdengar, meski tetap diperingati. Tahun ini, Kementrian Ristek menggelar antara lain Pameran Ristek, Ristek-Medco Award (untuk orang-orang yang dianggap berjasa mengembangkan energi alternatif), Ristek-Telkom Award (untuk mereka yang dianggap berjasa mengembangkan software Open Source) dan Ristek-Martha Tilaar Award (untuk yang diangap berjasa mengembangkan obat / herbal tradisional).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebangkitan teknologi hampir mustahil diciptakan atau dikendalikan oleh para teknolog itu sendiri. Ada interaksi yang kuat dengan dunia ekonomi, politik, legislasi, dan juga kultur masyarakat. Semua aspek ini harus turut berbenah agar terjadi kebangkitan. Pada saat yang sama, kebangkitan itu nanti tak sekedar kebangkitan teknologi, tetapi juga kebangkitan ekonomi, politik dan sosial-budaya masyarakat.
Kekeliruan yang mungkin terjadi di masa lalu adalah terlalu mendewakan teknologi. Teknologi dianggap obat mujarab atas segala penyakit. Padahal dalam implementasinya, tanpa kepercayaan dunia keuangan, tanpa selembar surat dari otoritas pemberi ijin, tanpa komitmen kuat para politisi, dan tanpa akseptansi dari masyarakat luas, teknologi hanya akan berada di puncak menara gading. Tidak membumi. Tidak digunakan. Dan akhirnya hilang tertelan sejarah.
Di sini kita melihat bahwa ada yang lebih mendasar dari kebangkitan teknologi, yaitu kebangkitan cara berpikir seluruh elemen masyarakat, baik di level bawah (grassroot) mapun elit: pengusaha, penguasa, politisi, ilmuwan hingga pemuka agama. Kita memerlukan orang-orang yang benar-benar memiliki visi kebangkitan. Dan Islam menyediakan visi itu, ketika Allah berfirman dalam QS Ali-Imran:110
Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Jadi setiap muslim harus punya visi menjadi yang terbaik, karena dengan itu misinya di dunia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah dapat berjalan optimal.
Pada masa lalu, visi ini begitu mendarahdaging di dalam umat Islam. Umat Islam di Madinah di masa nabi belum memiliki teknologi secanggih yang dimiliki orang-orang Romawi, Persia, India atau Cina. Tetapi karena mereka begitu menghayati pesan Allah agar menjadi yang terbaik, mereka siap untuk berjalan ribuan mil ke Cina, demi mendapatkan teknologi kertas, kompas dan mesiu. Mereka ke India menyerap ilmu aritmetika dan angka India, yang kemudian diadopsi sehingga menjadi lebih terkenal sebagai angka Arab. Mereka belajar serius beberapa bahasa asing agar dapat secepat mungkin mentransfer teknologi dari Barat dan Timur, untuk dikembangkan lebih lanjut. Dan dengan teknologi itu mereka dalam waktu kurang dari seabad sudah lebih unggul dari Persia dan Romawi, sehingga dakwah mereka menjadi berwibawa dan jihad mereka hampir selalu meraih kemenangan.
Ini menunjukkan cara berpikir yang bangkit dengan didasari keimanan. Maka seluruh politik pada masa itu akan sinergi. Tidak seperti sekarang, teknologi dicoba dibangkitkan hanya dengan motivasi ekonomi atau kebanggaan nasional. Padahal para pemain ekonomi sering hanya berburu rente atau keuntungan jangka pendek. Para politisi berpikir hanya sampai pemilu mendatang, dan bagaimana investasi politiknya cepat kembali. Sedang massa konsumen dibuai dengan mimpi dari media tentang kehebatan produk asing. Tidak mungkin kebangkitan apapun bisa terjadi dengan cara ini. Teknologi juga terbukti bukan lokomotif kebangkitan, namun hanya salah satu efek dari sesuatu yang lebih mendasar tadi, yaitu kebangkitan berpikir.
Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan kebangkitan berpikir berlandaskan keimanan, agar yang didapat adalah kebangkitan yang benar dan sempurna.