Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Olahraga Para Mujahid

Sunday, June 28th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah kita menghitung berapa banyak medali dari area kontes olahraga internasional yang dimenangkan oleh atlit dunia Islam?  Minimal.

Pernahkah kita menghitung, berapa banyak olahraga beladiri yang dari Asia Timur (Cina, Korea, Jepang) dan berapa dari Dunia Islam (Timur Tengah)?  Kita bahkan tidak tahu lagi, apa nama olahraga beladiri yang pernah dipelajari para mujahid.  Yang pasti bukan kungfu, karate, kempo, aikido, iaido, judo, jiu jitsu ataupun taekwondo.

Padahal Rasulullah pernah memerintahkan agar anak-anak muslim diajari olahraga berenang, berkuda dan memanah, suatu tamsil olahraga-olahraga yang dapat digunakan untuk survival, membela diri, dan tentunya berjihad.

Kalau kita menengok pada sejarah dan kebudayaan di Nusantara, akan ditemukan berbagai jenis beladiri tradisional yaitu “silat”.  Menurut Sheikh Shamsuddin (2005) dalam “The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong” silat adalah ilmu beladiri yang terbuka sejak awal, sehingga membawa unsur-unsur yang diserap dari para pedagang maupun prajurit dari India, Cina, Arab, Turki dan sebagainya.  Legenda di Semenanjung Melayu meyakini bahwa Hang Tuah dari abad-14 adalah pendekar silat yang terhebat.  Hal yang sama terjadi di Pulau Jawa, yang membanggakan Mas Karebet, alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kesultanan Pajang.

Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum ulama, seiiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual, karena sudah menjadi tradisi di pesantren-pesantren, bahwa ilmu silat tingkat tinggi hanya diberikan kepada santri yang telah khattam kitab-kitab fiqih dan tasawuf tingkat lanjut serta telah terbukti mampu menahan gejolak hawa nafsunya.

Apa yang terjadi dan masih dapat dibuktikan jejaknya di berbagai pesantren di Nusantara ini pastilah cerminan dari tradisi yang sama yang mungkin merata di Daulah Islam.  Tidak akan mungkin Daulah Islam memiliki para mujahid yang tangguh manakala mereka tidak memiliki mata airnya, yaitu para santri yang mempraktekkan olahraga para mujahid.  Dengan demikian, silat atau sejenisnya berkembang di dunia Islam oleh semangat jihad, bukan semangat ingin terkenal di arena kejuaraan, apalagi sekedar semangat mendapatkan materi ataupun balas dendam.  Namun ketika aura jihad semakin redup dari dunia Islam, meredup pula tradisi tersebut.

Selain silat, olahraga yang sangat terkait dengan jihad adalah olahraga strategi, yaitu catur.  Secara umum catur dipercaya berasal dari India pada masa kerajaan Gupta pada abad-6 Masehi.  Catur berasal dari kata “caturaga”, yang berarti empat divisi di ketentaraan yakni infrantri (=prajurit yang berjalan kaki), kavaleri (=kuda), gajah, dan panser (=benteng).  Permainan ini kemudian populer di wilayah kekaisaran Persia sekitar tahun 600 M.  Ketika Persia dibebaskan oleh tentara Islam, permainan ini ikut diadopsi, karena dipandang baik untuk berlatih strategi.  Istilah “skak” berasal dari kata Persia “Syah”, yang berarti raja.  Tentu saja, suatu pasukan tidak akan memang jika hanya belajar strategi saja.  Namun ketika ilmu strategi ini telah mengendap pada para komandan pasukan Islam,  ditambah mereka memiliki kesiapan jasmaniyah – yang dilatih dengan silat –  dan kesiapan ruhiyah yang dilatih dengan taqarrub ilallah, maka mereka menjadi pasukan yang sangat tangguh.

Selain beladiri sebagai olahraga jihad, berenang dan menunggang kuda juga menjadi olahraga primadona di masa khilafah Islam yang panjang.  Khilafah Islam banyak membangun pemandian umum di dalam gedung tertutup, di mana pemandian khusus pria terpisah sama sekali dari pemandian khusus wanita, dengan penjaga yang hanya dari jenis kelamin yang sama.  Walhasil olahraga berenang dapat dipelajari dan dinikmati secara sehat, tanpa risiko-risiko pelanggaran terhadap syariat.  Sebagian sisa-sisa pemandian ini masih dapat dilihat sampai sekarang di Cairo, Damaskus atau Istanbul.  Model pemandian semacam ini oleh orang Eropa disebut dengan “Turkish Bath”.

Kemampuan berenang para mujahid Islam terbukti dalam beberapa peperangan di air, di mana mereka sengaja menabrakkan kapal-kapalnya ke kapal musuh, dan meloncat ke dalam air beberapa menit sebelumnya.  Selanjutnya kapal musuh yang tersangkut kapal yang menabraknya itu dibakar dengan panah berapi.

Demikian juga dengan berkuda.  Perhatian terhadap kuda adalah istimewa, karena kuda memiliki berbagai fungsi baik di masa damai maupun masa perang.  Perhatian selama berabad-abad itu menghasilkan ras “kuda Arab” yang dikenal sebagai salah satu ras unggul di dunia, yang mampu mengarungi padang pasir dengan lebih cepat.  Namun ras unggul itu hanya akan bermanfaat bila kendalinya dipegang oleh pengendara yang mahir.  Karena itu, kemampuan menunggang kuda tingkat dasar sempat menjadi salah satu pelajaran yang wajib dikuasai seorang pelajar ibtidaiyah sebelum dinyatakan lulus.

Kemunduran olahraga beladiri secara signifikan terjadi merata di seluruh dunia (termasuk di Eropa) sejak ditemukannya senjata api.  Ketika Eropa dengan intelijen dan tipu muslihatnya berhasil menjajah berbagai negeri di Asia, termasuk sebagian besar dunia Islam, mempelajari beladiri tradisional mulai dilarang secara sistematis.  Ilmu-ilmu beladiri ini baru mengalami “reinkarnasi” jauh setelah penjajahan militer berakhir, dan setelah seni beladiri berhasil dimandulkan hanya untuk sekedar olahraga.  Seni beladiri sebagai suatu kemampuan untuk bertarung yang sesungguhnya hanya tinggal ada di film-film laga, yang dalam hal ini film Jepang atau Cina memang selangkah lebih maju, sehingga berhasil membuat seni beladiri dari negeri itu terkenal dan berkembang di seluruh dunia.

Demikian juga kemampuan berenang di dunia Islam justru semakin turun sejak pemandian-pemandian umum yang syar’i tiada.  Selain atlit perenang yang sedang berlatih, mayoritas orang datang ke kolam renang hanya untuk bersenang-senang, sambil suka tak suka menyaksikan aurat di sana-sini.  Sementara itu, sejak ditemukannya sepeda dan kendaraan bermotor, berkuda menjadi sesuatu yang exklusif bagi kalangan berada.   Padahal banyak sisi lain yang dapat dipelajari dari berkuda, yang tak ditemukan pada kendaraan lain.

Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya

Wednesday, June 10th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang ada di benak para pelajar kita ketika mereka wajib mempelajari bahasa asing di sekolah?  Setelah matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran momok di sekolah-sekolah umum.  Sebagian besar sekolah memberi pelajaran Bahasa Inggris di level SMP dan SMA atau total selama enam tahun.  Sebagian lagi bahkan memberi pelajaran ini sejak kelas 1 SD.  Hasilnya?  Sekedar cukup untuk Ujian Nasional?  Cukup untuk menebak makna di balik judul film atau lagu Barat?  Untuk isinya nanti dulu.  Kalau buat kerja, bahasa Inggris di sekolah tersebut juga jelas belum cukup.  Bagaimana kalau untuk belajar ke luar negeri?  Atau untuk jadi diplomat?  Makanya TKI kita di luar negeri mayoritas hanya mendapat pekerjaan kasar yang murah, salah satunya karena keterbatasan bahasa.

Itu baru untuk bahasa Inggris.  Konon, di dunia ini kalau mau maju ya harus pandai berbahasa Inggris.  Ini adalah mitos yang tak sepenuhnya benar.  Maju tanpa berbahasa Inggris bisa, tetapi harus pandai berbahasa Perancis, atau Jerman, atau Jepang atau Rusia.  Pendek kata, bahasa negara-negara juara sains dan teknologi saat ini.

Yang jelas motivasi belajar bahasa di dunia Islam saat ini sangat memprihatinkan.  Kalaupun ada, mayoritas karena motivasi materialistik (“Biar mudah cari kerja”).  Walhasil Bahasa Inggris tidak dikuasai,  Bahasa Arab tidak bunyi, dan Bahasa Nasional tidak peduli, tidak digunakan dengan baik dan benar.  Orang menggunakan bahasa amburadul, karena menguasainya juga cuma setengah-setengah.  Mempelajarinya hanya bermodal semangat, tanpa kesabaran, padahal tanpa kesabaran, belajar bahasa tidak akan pernah jadi.

Ini berbeda dengan masa ketika Daulah Islam masih menjadi negara adidaya, atau terobsesi menjadi negara adidaya.  Generasi awal Islam masih sangat terobsesi oleh beberapa sabda Rasulullah, bahwa orang-orang mukmin adalah umat terbaik yang dikirim Allah ketengah manusia, kemudian bahwa mereka diperintahkan untuk untuk mencari ilmu sekalipun sampai negeri Cina.

Maka kita bisa amati berbagai fenomena bahasa di dunia Islam generasi awal:

(1) kegandrungan para ilmuwan – terutama dari non native speaker – untuk menyusun struktur bahasa Arab, sehingga dari bahasa Arab ke bahasa yang lain dan sebaliknya dapat disusun rumusan sederhana yang memudahkan pembelajaran dan penerjemahan.

(2) upaya sistematis mendidik seluruh warga negara agar menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan, dan bahasa ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, lisan maupun tulisan.

(3) kegandrungan para pemuda untuk belajar bahasa asing, agar dapat mencari ilmu dan sekaligus berdakwah ke luar negeri, demi keagungan islam dan kaum muslim;

Ilmu tata bahasa (gramatik) sudah muncul dari India sejak abad 4 SM.  Tata Bahasa Arab muncul dari abad 8 M dengan karya Abdullah Ibn Abi Ishaq (wafat 735 M) dan para muridnya.  Usaha ini memuncak pada tiga generasi sesudahnya, terutama pada buku karya ulama Basrah, Sibawayhi (sekitar 760-793).

Dengan kodifikasi tata bahasa ini, maka bahasa Arab menjadi lebih mudah diajarkan dan disebarkan ke rakyat negeri-negeri yang telah dibebaskan, seperti ke Iraq, Syams, Mesir, hingga Afrika Utara.  Dengan kodifikasi ini pula bahasa Arab terpelihara, tidak timbul jurang perbedaan yang sangat jauh antara bahasa yang diucapkan sehari-hari dengan yang tertulis (yang di sini distandarkan pada Qur’an), dan juga antara bahasa yang digunakan di Hejaz, yang diyakini sebagai bahasa Arab termurni, dengan bahasa Arab yang digunakan di wilayah-wilayah Islam yang jauh.  Bahasa Arab bahkan kemudian menjadi lingua franca – bahasa bagi pergaulan antar bangsa di dunia saat itu, digunakan pula oleh orang Eropa yang akan berdagang ke Cina!  Ada ratusan kosa kata Jerman, Perancis atau Spanyol yang sejatinya berasal dari kosa kata Arab.

Namun meski bahasa Arab telah jadi bahasa internasional, kaum muslimin tetap bersemangat mempelajari bahasa asing guna merebut ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri, yang tidak cukup hanya dipahami dengan small-talk.  Dan itu bukan perkara gampang.  Ketika orang Islam berangkat ke Cina untuk belajar membuat kertas, kompas atau mesiu, mereka setidaknya harus mempelajari empat bahasa asing secara berurutan (sequensial).  Ini karena menurut riwayat tidak ada orang Cina di Hejaz.  Mungkin pertama-tama mereka harus belajar bahasa Persia.  Sebulan kemudian mereka pergi ke Persia.  Di Persia masih belum ditemukan orang Cina, yang ada orang Uzbekistan.  Maka mereka belajar bahasa Uzbek, dengan pengantar bahasa Persia.  Sebulan kemudian mereka pergi Tashkent, Uzbekistan.  Di sana masih belum ditemukan orang Cina, yang ada hanya orang Xinjiang – sekarang wilayah Cina bagian Barat yang mayoritas penduduknya muslim.  Orang Xinjiang ini bicara bahasa Uighur.  Maka belajarlah orang-orang muslim ini bahasa Uighur, dengan pengantar bahasa Uzbek.  Sebulan kemudian mereka berangkat ke Urumqi, ibukota Xinjiang.  Baru di sana mereka bertemu orang Cina.  Maka belajarlah mereka bahasa Mandarin, dengan pengantar bahasa Uighur.  Ingat bahasa-bahasa ini memiliki bunyi, tulisan dan tata bahasa yang sangat berbeda.  Barulah setelah sebulan belajar bahasa Mandarin, mereka datang ke Xian, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu.  Hanya orang-orang bersemangat baja dan sabar luar biasa, yang sanggup bertahan dalam perjalanan perburuan ilmu semacam itu.

Hingga masa dinasti Abbasiyah, bahasa Arab diajarkan secara sistematis ke setiap tempat yang telah dibebaskan oleh kaum muslimin.  Akibatnya, secara sistematis pula terjadi arabisasi bahasa di seluruh wilayah Islam.  Bangsa Iraq misalnya, akhirnya melupakan bahasa Mesopotamia mereka.  Demikian juga orang Mesir akhirnya melupakan Hieroglyph.  Bangsa-bangsa itu kini menggunakan bahasa Arab dalam lisan dan tulisan seperti orang Quraisy di Hejaz, bahkan terkadang lebih fashih.

Pada masa-masa akhir Abbasiyah, perang Salib dan lalu serbuan Tartar ke Baghdad membuat pendidikan bahasa Arab nyaris terhenti.  Dinasti Utsmaniyah penerusnya lebih berkonsentrasi menghadapi tantangan militer dan kurang mendorong ilmu pengetahuan, termasuk bahasa.  Akibatnya, bahasa yang digunakan oleh negara Utsmani adalah campuran dari kosa kata Arab, Turki dan Persi, disusun dalam struktur tata bahasa Turki, dan ditulis pakai huruf Arab.  Pada masa itu ada sejumlah wilayah Islam yang separatis, seperti Persia (Dinasti Safawid) dan India (Dinasti Mogul).  Kedua negara ini juga tidak lagi istiqomah dalam bahasa.  Walhasil sekarang ini kita mendapatkan di Iran, yang dipakai adalah tulisan Arab, tetapi bahasanya Persia.  Hal yang sama di India atau Pakistan dengan bahasa Urdu dan di Nusantara dengan Arab-Melayu.  Tulisan Arab di bahasa Melayu ini baru dihapus tahun 1905 dengan dipaksakannya huruf latin (ejaan Van Ophuizen) oleh penjajah Belanda.  Sedang huruf Arab di bahasa Turki baru dihapus dan digantikan huruf Latin tahun 1926 oleh Attaturk.

Kini, di masa kemunduran, di negeri non Arab, orang yang lancar membaca huruf Arab sudah dipanggil “Ustadz”.  Bisa sedikit berbahasa Arab dan mampu membaca “kitab gundul” sudah disebut Kyai.  Padahal di masa Islam menjadi Negara Adidaya, itu semua baru modall awal.  Mereka yang sudah lancar berbahasa Arab tidak henti-hentinya memperdalam ilmunya, termasuk mempelajari bahasa asing lain guna mempelancar dakwah ke luar negeri, dan memburu ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun.

Tata Negara yang tidak membosankan

Monday, May 25th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”.  Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam.  Jadi bukan-bukan.  Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator.  Jadi bukan-bukan.  Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer.  Jadi bukan-bukan.

Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan.  Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4.  Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”.  Padahal siapakah moralis Pancasila sejati?  Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.

Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara.  UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali.  Hak-hak asasi manusia dipertegas.  Otonomi daerah diperluas.  Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali.  DPR diperkuat.  Komisi-komisi dibentuk.  Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.

Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir.  Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi.  Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya.  Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat.  DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet.  Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.

Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi.  Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.

Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat.  Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya.  Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.

Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M).  Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.

Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama).  Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).

Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh.  Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam.  Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.

Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.

Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah.  Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.

Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama.  Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu.  Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.

Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.

Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī  (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.

Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.

Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan.  Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit.  Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam.  Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak.  Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat.  Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi.  Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.

Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.