Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Ketika Muadzin seorang Astronom

Thursday, June 3rd, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid?  Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid.  Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam.  Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.

Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal.  Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan.  Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.

Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah.  Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi.  Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya.  Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat.  Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi.  Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom!  Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.

Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini.  Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad.  Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah.  Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad.  Subhanallah.

Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya.  Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha.  Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.

Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu.  Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs.  Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus.  Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion).  Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars.  Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus.  Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.

Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari.  Mereka membuat model planet non Ptolomeus.  Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis.  Ini pendapat yang luar biasa maju.  Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian.  Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.

Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi.  Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi.  Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain.  Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.

Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.  Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi.  Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).

Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun.  Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam.  Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim.  Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!

Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi.  Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai.  Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi.  Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara.  Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia.  Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.

Islam masuk sampai ke Dapur

Wednesday, May 26th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri.  Bagaimana anda menilai dapur anda saat ini?  Type masakan apa yang dominan anda siapkan?  Masakan Jawa?  masakan Padang?  masakan Cina?  masakan Barat?  atau Masakan Timur Tengah?

Kalau anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa.  Kalau anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang.  Kalau anda suka mie, itu Cina.  Kalau anda suka roti dengan selai, itu Barat.  Dan kalau anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.

Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam?  Bukankah itu semua mubah-mubah saja?  Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.

Benar.  Yang akan kita bahas kali ini kita memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur?  Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:

Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula.  Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.

Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.

Ketiga adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.

Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.

Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non muslim.  Sebagai contoh Jerman atau Perancis saat ini sangat terkenal aneka minuman kerasnya.  Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi teknik pembuatan bir.  Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”.  Islam ternyata telah masuk sampai ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.

Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada akhir abad-5 H (11 M).  Satu aspek penting revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru seperti padi, sorghum, gandum keras (triticum durum – digunakan untuk membuat pasta), tebu dan berbagai jenis bunga, sayuran dan buah-buahan.  Adanya tanaman baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.  Al-Marqasi (awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat.  Ibn al-Bassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.  Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.  Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.

Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.

Sebagai bahan pangan utama, padi berada pada posisi kedua setelah gandum.  Padi adalah salah satu tumbuhan yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.  Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di berbagai daerah.

Ada berbagai jenis roti yang dibuat di negeri-negeri Islam.  Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar duabelas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.  Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibuat dari gandum serta dibakar dengan cara sederhana.

Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang membuat adonan roti di rumah lalu membawanya ke toko roti untuk dibakar.  Tukang roti diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya agar konsumen terlindungi.

Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan dan penyebarannya berhutang banyak pada peradaban Islam.  Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi belum menjadi bahan makanan di masa pra-Islam.  Literatur Barat sebelum abad ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula.  Hingga abad pertengahan, bahan pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.

Dari semua jenis makanan di abad pertengahan, gula adalah satu-satunya bahan yang membutuhkan proses kimia.  Pembuatan gula membutuhkan kecakapan teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun proses pembuatannya.  Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan sejak awal negara memainkan peran utama dalam perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula.  Dalam kitab Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab  dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai perkebunan tebu di berbagai negeri Islam.  Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina.  Kali ini bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”, tetapi “mengajarlah sampai ke negeri Cina”.  Menurut Marco Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan menggunakan abu kayu bakar.

Selama abad ke-4 dan ke-10 H (ke 10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku masakan (tabikh).  Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.  Dari buku-buku itu dapat dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negeri-negeri muslim yang lain.  Kitab At-Tabikh yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep masakan di Baghdad.  Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18 hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan sederhana, berbagai masakan ayam, 9 kue kering dan bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue pastel, 5 hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue manis, 10 mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).  Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan penjabaran perlengkapan dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.

Pengawetan makanan juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan muslim.  Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan, pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan dengan bumbu.  Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan makanan dalam buku-buku mereka.  Es-es pada musim dingin disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.

Kalau sekarang banyak makanan tiruan seperti daging vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang lalu.  Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang dibuat tanpa daging, telor dadar yang dibuat tanpa telor, kue beras tanpa beras dan kue halwa tanpa madu/gula.  Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab khusus tentang rahasia para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak tanpa sedikit peniruan.  Itulah gunanya para muhtasib juga memiliki ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya.

Dengan Aljabar Kau Kulamar

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Setelah kemampuan membaca dan menulis, tingkat kecerdasan sebuah bangsa adalah pada matematika.  Kalau kemampuan matematika bangsa ini dihitung dalam skala 0-100, berapa nilai yang pantas kita berikan?

Ada guyonan, bahwa mereka yang terpandai dalam matematika di sekolah akan menjadi dokter, insinyur atau pilot, yang ketika menghitung dosis obat, kekuatan bangunan atau tinggi terbang memang perlu kemampuan berhitung yang cepat nan akurat.  Yang pas-pasan dalam matematika akan menjadi pedagang yang tidak perlu menghitung yang rumit-rumit, tetapi harus bisa memastikan bahwa bisnis masih untung.  Sedang yang matematika di sekolahnya paling jeblok akan menjadi politisi, orang partai, anggota DPR atau kepala daerah.  Mereka ditengarai sama sekali tidak bisa berhitung.  Dalam proses politik saja mereka sering sudah salah hitung tentang potensi perolehan suara.  Sedang bila sudah berkuasa, mereka terbukti tidak mampu berhitung bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuatnya – seperti konsesi, privatisasi, dan utang luar negeri – telah membuat negeri dan rakyatnya ini semakin bangkrut.  Dari matematika, yang mereka kuasai cuma menambah (beban pajak), mengurangi (subsidi) dan mengalikan (gaji diri sendiri).  Yang tersulit adalah membagi (kekayaan umum kepada rakyat).  Tapi sekali lagi ini cuma guyonan.

Namun para pemimpin yang hebat dalam sejarah dunia sejatinya adalah para pecinta dan pengguna matematika yang baik.  Tentu saja yang kita ceritakan bukanlah Eropa abad pertengahan, namun adalah negeri Daulah Khilafah.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi khalifah al-Mansur yang berkuasa di Bagdad antara 754-775 M.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang teknik berhitung (aritmetika), yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika pada tahun 706 M Khalifah al-Walid I menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti dengan bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan kemudian al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor.  Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.

Al-Khawarizmi adalah tokoh matematikawan besar yang ditarik oleh khalifah al-Makmun ke istana.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan luas lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.  Dewasa ini, dengan superkomputer, nilai pi sudah dicoba didekati hingga semilyar angka di belakang komma, dan tetap saja tidak berhenti atau ditemukan keteraturan.

Kalau sebuah bidang datar memotong sebuah kerucut secara miring dan membentuk ellips, lalu pertanyaannya berapa luas dan panjang keliling ellips tersebut, maka geometri Yunani tak lagi memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung (arimetika) ala India juga tidak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah al-Khawarizmi mencoba “mengawinkan” geometri dan aritmetika.  Perpotongan kerucut dengan bidang datar secara miring menghasilkan beberapa unknown (variabel yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, rumus kerucut dan kemiringan perpotongan dijadikan satu lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.  Dan model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai oleh Galileo, Kepler, dan Newton dalam meramalkan gerakan planet.

Namun karya terbesar al-Khawarizmi yang sebenarnya justru bukanlah makalah ilmiah yang berat, tetapi dua buah buku kecil yang sengaja ditulis untuk kalangan awam tentang penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Buku perrtama memang menyandang judul yang sangat teoretis, “Aljabar wa al-Muqobalah” – kitab tentang persamaan-persamaan dan penyelesaiannya.  Namun isi sebenarnya ringan.  Ketika orang Barat menerjemahkan buku ini ke bahasa Latin, judul Arabnya tetap bertahan – hingga hari ini: Algebra.

Buku kedua yang ditulis al-Khawarizmi justru membuat namanya abadi.  Buku ini tentang teknik berhitung dengan menggunakan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung objek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana diketahui, huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Pada masa rennaisance di Eropa, menguasai aljabar menjadi sesuatu yang sangat prestisius.  Maka tentu tak sulit membayangkan, bahwa kalau di dunia Islam orang dapat melamar seorang gadis dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, maka di Eropa, orang dapat melamar seorang gadis dengan mengajarkan aljabar!

[ GAMBAR ]

 

Adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang berhitung dengan abakus Yunani) dengan kaum Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.