Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda membuat acara dan mengundang orang banyak, dan acara itu dapat dimulai tepat waktu? Kalau pernah, maka barangkali itu adalah acara di mana ada bagi-bagi rezeki, misalnya buka bersama, pembagian zakat atau daging Qurban, atau acara yang dihadiri pejabat tinggi atau selebritis. Bagaimana kalau itu acara rapat RT atau pengajian rutin di masjid kampung? Berapa menit molornya?
Nah, bicara soal disiplin waktu adalah bicara alat penjaga waktu, yaitu jam. Tahukah anda bahwa kaum muslim memiliki kontribusi yang luar biasa dalam teknologi time-keeping device ini?
Teknologi jam dimulai oleh para astronom. Ini karena pengamatan objek langit sangat tergantung penunjuk waktu yang akurat. Berbagai jam telah dibuat, namun secara umum terdiri dari 3 prinsip penunjuk waktu: fenomena astronomi (jam matahari), aliran air (jam air), dan fungsi mekanik (komputer analog). Pada era modern, ditemukan jam quartz dan jam atom.
Jam Astronomi
Penunjuk waktu ini tergantung dari gerak matahari. Sebuah paku aku melempar bayangannya ke sebuah permukaan lengkung yang berisi garis dan kurva, dan dengan sedikit latihan kita akan dapat membaca tanggal dan jam. Di beberapa pesantren dan masjid di Indonesia, masih bisa dijumpai jam semacam ini. Di masa lalu, astronom muslim bahkan membuatkan jam-jam matahari untuk penghias taman istana-istana di Eropa.
Jam astronomi yang lebih portabel (bisa dibawa kemana-mana) adalah astrolab. Pada abad-10, al-Sufi menuliskan lebih dari 1000 macam penggunaan astrolab, termasuk untuk menghitung waktu sholat dan awal Ramadhan.
Jam Air
Jam air ditulis pertama kali oleh Ibn Khalaf al-Muradi dalam “Kitab Rahasia-Rahasia” pada tahun 1000 M. Kitab ini disimpan pada Museum of Islamic Art di Doha, Qatar. Namun banyak desain jam air yang spektakuler dilakukan Al-Jazari (1206 M). Salah satu di antaranya memiliki tinggi sekitar satu meter dan lebar setengah meter. Jam ini menunjukkan gerakan dari model matahari, bulan dan bintang-bintang. Inovasinya adalah, sebuah jarum yang ketika melewati puncak perjalanannya akan membuat pintu terbuka setiap jam. Jam asli al-Jazari ini berhasil direkonstruksi dan dipamerkan di Science Museum London pada tahun 1976. Selain jam ini al-Jazari juga membuat jam air yang berbentuk gajah.
Jam Mekanik
Jam mekanik menggunakan prinsip gerak yang dapat diatur perlahan dan teratur, misalnya pegas atau bandul. Yang menarik, pada tahun 1559, Taqiuddin as-Subkhi, seorang astronom Utsmani saat itu sudah mendesain berbagai jam mekanik yang dilengkapi dengan suatu alarm, misalnya untuk penggerak teleskop, sehingga akan sangat memandu astronom dalam mengamati objek langit, misalnya yang mendekati meridian. Dia menulisnya dalam bukunya “Al-Kawākib al-durriyya fī wadh’ al-bankāmat al-dawriyya” (The Brightest Stars for the Construction of Mechanical Clocks).
Ada juga jam mekanik yang sudah digabung dengan kalender lunisolar (gabungan bulan dan matahari). Ini adalah embriyo dari komputer analog. Ibn as-Syatir pada awal abad-14 membuat jam yang menggabungkan penunjuk hari universal dan kompas magnetik untuk menentukan jadwal shalat dalam perjalanan. Semakin hari jam karya insinyur muslim semakin teliti. Abad-15 M, mereka sudah mampu menghasilkan jam yang dapat mengukur sampai detik. Presisi dalam penunjuk waktu berarti akurasi dalam navigasi, dan ini adalah modal keunggulan dalam jihad fi sabilillah, terutama di lautan.
Dr. Fahmi Amhar
Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru. Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih menjadi cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.
Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu. Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu. Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara. Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics. Aspek penilaian lainnya adalah jumlah paper internasional yang dihasilkan, penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet.
Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia. Terang saja, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia. Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.
Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?
Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India. Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi. Di Amerika Serikat apa lagi. Benua itu baru ditemukan tahun 1492.
Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Berikutnya adalah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-bukunya referensinya masih diimpor dari dunia Islam.
Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.
Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di mesjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.
Universitas ke dua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika. Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.
Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti. Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun! Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.
Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.
Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat. Wakafnya pun tak main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.
Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah. Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.
Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat. Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas. Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.
Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam. Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM). Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam. Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana. Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.
Namun kita tetap optimis. Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.
Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini tahun ajaran baru di sekolah-sekolah dimulai. Anak-anak kecil yang baru masuk sekolah masih antusias dengan lingkungan dan teman-teman baru. Anak-anak yang lebih besar tampak kurang bersemangat. Liburan yang menyenangkan telah lewat. Kini rutinitas yang menjemukan telah dimulai lagi.
Menjemukan? Ya, di negeri ada ribuan sekolah dan jutaan siswa. Mereka menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Mereka melakukan banyak hal, kecuali belajar. Mereka mendapatkan banyak hal, kecuali ilmu!
Ironis. Tapi itulah kenyataannya. Salah satu penyebab murid tak bersemangat adalah guru yang tak termotivasi. Dan salah satu penyebab guru tak termotivasi adalah pemerintah yang tidak memiliki visi. Bagi pemerintah, pendidikan adalah urusan kesejahteraan rakyat yang menghabiskan uang, bukan urusan perekonomian yang mendatangkan uang. Pendidikan tidak pernah dipandang sebagai suatu investasi. Kalaupun ada pendidikan yang dianggap investasi, itu hanyalah program studi tertentu saja yang nanti alumninya akan menjadi profesional yang dapat menangguk penghasilan tinggi. Jadi kalau swasta dilibatkan, mereka hanya tertarik membuka sekolah yang prospektif secara bisnis. Maka sekolah swasta juga hanya tertarik menjaring siswa yang kaya atau yang cerdas. Mereka yang kaya meski kurang cerdas, atau miskin namun cerdas, akan mendapatkan solusi pendidikannya. Yang kaya bisa membayar. Yang miskin namun cerdas bisa mendapatkan beasiswa atau pinjaman. Pemberi beasiswa atau pinjaman yakin itu investasi.
Namun siapa yang akan memikirkan mereka yang kurang cerdas dan juga miskin? Karena miskin mereka kurang gizi, akibatnya kurang tenaga untuk belajar, jadinya kurang cerdas, sehingga tidak punya banyak pilihan dalam mencari nafkah, sehingga penghasilannya rendah, miskin. Harus ada yang memutus lingkaran setan ini!
Negaralah yang harus memutusnya. Negara dengan pemimpin pemerintahan yang memiliki visi. Inilah yang terjadi dengan Daulah Islam sejak berdirinya.
“Setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, hukumnya fardhu mencari ilmu” kata Rasulullah. Mencari ilmu dimasukkan dalam ibadah. “Kejarlah ilmu sampai ke liang lahat” – jadi mencari ilmu tidak berakhir dengan tercapainya gelar S3. Rasulullah juga menekankan, “Barang siapa mencari ilmu, dia sedang mencari Tuhan”, “Mempelajari ilmu bernilai seperti puasa, mengajarkan ilmu bernilai seperti shalat, barangsiapa mati dalam perjalanan mencari ilmu, dia seperti mati syahid dalam jihad fi sabilillah”. Pencarian ilmu akan memperdalam pengenalan seorang muslim pada Rabbnya. Semua ilmu berasal dari Allah dan ditujukan kepada Allah. “Kejarlah ilmu, dari sumber manapun!”, “Terimalah ilmu, sekalipun dari lisan seorang musyrik”.
Motivasi inilah yang menyebabkan bangsa Arab tiba-tiba menjadi “ilmu-mania” nomor satu di dunia.
Ketika Barat terjebak dalam kurungan kegelapan, dan menganggap kebenaran hanya ada di kitab suci, sedang pendapat para ilmuwan yang ada saat itu sebagai sumber kesesatan, kaum muslimin justru melihat bahwa Al-Quran adalah pedoman hidup, sedang ilmu-ilmu kehidupan seperti sains dan teknologi, adalah sesuatu yang wajib dipelajari dari mana saja, sekalipun sampai ke Cina.
Maka, tak sampai seabad setelah Islam memulai futuhat dan Quran selesai diwahyukan, ilmu pengetahuan mekar seperti lautan bunga musim semi setelah musim dingin.
Dan apa yang terjadi saat suatu futuhat (penaklukan) suatu negeri terjadi? Bukan penyerahan senjata, kunci pertambangan penting atau harta benda berharga yang menjadi syarat perjanjian perdamaian, namun seperti Khalifah Harun ar-Rasyid ketika menaklukkan Amuria dan Ankara: penyerahan buku-buku manuskrip Yunani kuno! Buku-buku yang sebenarnya telah ratusan tahun terabaikan dan dilupakan oleh dunia Kristen.
Buku-buku itu tidak kemudian dikonservasi dan disimpan di museum, namun dihidupkan kembali untuk dibawa ke era modern. Caranya? Diterjemahkan!
Buku-buku itu tidak diterjemahkan ke bahasa yang hanya dikuasai segelintir kaum elit, seperti halnya bahasa Latin di Eropa; namun diterjemahkan ke bahasa yang pasti akan hidup hingga akhir zaman, yaitu bahasa Qur’an: bahasa Arab! Setiap muslim wajib mempelajari Qur’an, jadi setiap muslim wajib dapat membaca dan mengerti tulisan Arab. Maka dengan menerjemahkan semua buku-buku ilmu ke dalam bahasa Arab, itu berarti membuka akses ilmu bagi semua orang.
Kesuksesan pekerjaan penerjemahan tidak sedikitpun di bawah kesuksesan pekerjaan pengumpulan buku. Harun ar-Rasyid memerintahkan untuk mendatangkan para pakar segala bahasa ke istananya. Mereka bekerja di bawah koordinasi Yahya bin Masawih menerjemahkan segala buku ilmiah yang bisa diperoleh dari manapun hingga saat itu. Untuk memperbanyak tim penerjemahan, Khalifah al-Makmun mendirikan Akademi Penerjemahan.
Begitulah, para ulama Islam dengan penerjemahannya telah menjaga karya-karya ilmiah antik dari kehilangan total. Tanpa pekerjaan mereka, dunia kita sekarang tidak akan mengenal buku anatomi dari Galens; buku mekanika dan matematika dari Heron, Philo dan Menelaos; buku astronomi dari Ptolomeus; buku geometri dari Euklides; buku tentang irisan kerucut dari Appolonius; buku tentang kesetimbangan di air dari Archimedes dan sebagainya.
Buku-buku itu kemudian disalin ribuan kali oleh para waraqin (yang berfungsi seperti mesin foto copy), kemudian dikirim ke perpustakaan-perpustakaan. Setiap masjid punya perpustakaan. Setiap rumah sakit memiliki ruang tunggu yang lengkap dengan perpustakaan. Dan semua orang dapat membaca atau meminjamnya. Sebuah kota kecil seperti Najaf di Iraq saja abad 10 M memiliki perpustakaan dengan koleksi 40.000 buku! Perpustakaan itu menjadi bursa ilmu pengetahuan yang paling mudah, tempat orang dapat bertemu dengan para pakar untuk bertransaksi ilmu. Dan ilmu – seperti kata Imam Ali – adalah sesuatu yang ketika diberikan tidak berkurang, namun justru bertambah!
Belajar menjadi murah, ketika akses ilmu pengetahuan dibuat mudah oleh negara. Negara memiliki visi yang dibuktikan dengan tindakan. Negara mempromosikan ilmu sehingga rakyat cinta ilmu, sehingga orang-orang kaya berlomba wakaf fasilitas pembelajaran, sehingga para cerdik pandai mencari ilmu dan mengajarkannya dengan semangat mencari Tuhan.
Maka spiral kegelapan pada mereka yang kurang cerdas dan miskin pun terputus. Tidak ada orang miskin yang terhalang belajar oleh kemiskinannya. Dan tidak ada orang yang dianggap kurang cerdas dalam mencari Tuhannya.