Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Perkara Syar’i Tapi Mis-Context

Sunday, January 15th, 2012

Ada perkara-perkara mubah yang diizinkan oleh syariat Islam, tetapi hanya pasti barokahnya bila sistem Islam diterapkan di atasnya. Sedang bila dipaksakan pada context sistem “turbo-capitalisme” saat ini, tantangan dan resiko kegagalannya terlalu besar. Misalnya:

– menikah di usia dini

Karena pendidikan yang diberikan saat ini tidak menyiapkan orang sehingga sebelum baligh sudah tahu segala kewajiban syar’inya.  Walhasil setelah menikah terus didera banyak sekali masalah, tidak sedikit yang justru menjadi kontra produktif untuk dakwah.

– menikah sirri

Karena pemerintah hanya punya komitmen untuk melindungi pernikahan yang secara administratif tercatat resmi. Sebaliknya, banyak orang sengaja menikah sirri untuk menghindari konsekuensi hukum dari pernikahannya, misalnya pegawai korporasi tertentu dilarang menikah dengan sesama pegawai, padahal mereka kenalnya ya itu, jadi terpaksa menikah sirri, daripada salah satu dipecat!

– menikahi wanita ahli kitab

Karena tidak ada jaminan akan melengkapi “melihat Islam” yang sebelumnya hanya ditemukan di ruang publik menjadi juga di ruang privat.  Dalam negara Islam, seorang wanita ahli kitab melihat syariat Islam yang penuh berkah dilaksanakan di ruang publik.  Di sekolah dia melihat Islam.  Di tempat kerja dia melihat Islam.  Tetapi seperti apa Islam di dalam rumah tangga, sementara dia lahir dan dibesarkan bukan di keluarga muslim?  Untuk itulah, Islam memberikan kesempatan dia melihat Islam dipraktekkan di dalam keluarga, dengan menjadi istri seorang lelaki muslim yang shaleh. Kalau sekarang kebalikannya!  Di luar rumah yang ada hanya kapitalisme, sekulerisme, liberalisme.  Apakah seorang lelaki muslim justru akan menambah masalah dengan memasukkan wanita yang belum mengenal Islam ke dalam keluarganya?

– menikahi lebih dari 1 istri

Karena negara tidak akan pro-aktif campur tangan bila ada istri-istri yang ditelantarkan.  Negara ini hanya datang ketika “dipanggil” oleh istri yang menggugat cerai.  Padahal ada istri yang “tahu diri”, bahwa dia kalah cantik, kalah muda, kalah cerdas, tidak akan “laku” lagi bila cerai, sehingga akhirnya pasrah didholimi demikian.  Hanya negara Islam yang akan proaktif menjaga agar tidak ada satupun warganya yang terdholimi oleh warga lainnya, hatta itu suaminya sendiri.

– memiliki banyak anak

Karena bisa jadi justru akan menjadi mangsa pola konsumsi dan sistem pendidikan kapitalis.  Dalam negara Islam, setiap jiwa dijamin oleh negara.  Jadi banyak anak memang banyak rejeki, karena nantinya pendidikannya dijamin negara. Kalau sakit juga ada jaminan kesehatan dari negara.  Sekarang?  Banyak anak, berarti orang tua makin kewalahan mengurusnya.  Akhirnya anak diserahkan “dididik” oleh TV yang acaranya tidak islami.  Masuk sekolah kalau yang murah ya konten Islamnya minimal.  Jadilah banyak anak hanya memberikan lebih banyak korban untuk kapitalsme.

Jadi marilah, kita lebih proporsional dan kontekstual dalam mengatakan “syariat Islam”, termasuk ketika setengah menganjurkan untuk “menikah dini – daripada pacaran”, membela “menikah sirri – daripada berzina”, mensunnahkan “berpoligami – untuk membuat lebih banyak wanita bahagia”, mendorong “banyak anak – karena Nabi akan berbangga dengan jumlah ummatnya”, ataupun sebaliknya, menggugat kehalalan “menikahi ahli kitab”.  Semua ada konteksnya !Konteksnya adalah: ADA NEGARA YANG BERKOMITMEN MENERAPKAN SISTEM ISLAM DI ATASNYA.

Pribadi Triple Helix

Tuesday, January 10th, 2012

Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan isu mobil nasional, hasil karya perusahaan keluarga Kiat Motors dengan anak-anak sebuah SMK di Solo, sehingga dinamai “Kiat Esemka”. Mampukah mobil nasional benar-benar akan menjadi tuan di negeri yang sudah di-“kunci” secara regulasi oleh WTO (perdagangan bebas), secara faktual oleh agen-agen tunggal pemegang merek dari Jepang, Korea dan Eropa, dan secara kultural oleh mindset “inlander”? Sepertinya jalan panjang masih harus ditempuh.  Untuk benar-benar sampai menjadi produk nasional yang membanggakan dan menjadi tuan di negeri sendiri, hasil karya akademis itu harus bersinergi dengan dunia pengusaha dan dunia penguasa.

Adalah Dr. Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB yang pernah menjadi Menristek, yang mempopulerkan istilah “triple helix” untuk menggambarkan konstruksi ideal sinergi antara kalangan akademisi (yang memproduksi riset dan SDM dalam bidang sains & teknologi), kalangan bisnis (yang menggunakan hasil riset dan SDM tersebut), dan kalangan government / pemerintah (yang membuat regulasi agar semua berjalan lancar, sinergis, konstruktif dan bermartabat).  Pak KK suka menyingkat triple helix ini menjadi “ABG”.  Pada saat dia menjabat, kemanapun beliau pergi, beliau selalu promosi agar semua entitas ABG ini berpikir triple helix.  Kalau disederhanakan, kira-kira bahasanya akan begini:”Percuma saja jadi peneliti senior, kalau risetnya tidak dipakai di dunia bisnis atau tidak dipedulikan birokrasi”.”Percuma saja jadi profesor, kalau anak didiknya gagal di dunia bisnis atau di birokrasi malah korupsi”.”Percuma saja jadi boss perusahaan besar, kalau tidak bisa memanfaatkan hasil riset dalam negeri”.”Percuma saja jadi birokrat, kalau tidak bisa memberi iklim yang kondusif untuk tumbuhnya riset ataupun bisnis berbasis riset dalam negeri”.

Kalau melihat sejarah bangsa lain, ternyata triple helix ini mencapai titik optimal kalau ketiganya melebur pada satu orang.  Contohnya: Thomas Alva Edison, sang penemu lebih dari 1000 paten terkait penggunaan listrik, ternyata juga seorang pebisnis ulung (pendiri General Electric), dan terkenal lobby-lobby-nya dengan penguasa birokrasi di AS saat itu.  Penemu lain di masanya, tapi kurang memiliki kemampuan triple helix ini – misal Nikola Tesla – cenderung kurang memiliki dampak seperti Edison.  Hal yang sama juga terjadi pada Henry Ford, Seichiro Honda, Steve Jobs dan Bill Gates.  Perkecualian mungkin pada Albert Einstein, karena beliau dikenal hanya memiliki “dual-helix”, yaitu sebagai saintis top peraih hadiah Nobel Fisika (akademisi) dan politisi (government) karena surat-suratnya ke Presiden AS saat itu agar mengembangkan bom atom.  Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan, salah satu hal yang menarik di dunia teknologi abad 20-21 adalah “pribadi triple helix”.  Merekalah yang membuat dunia memiliki bentuk seperti saat ini.

Pada masa Islam memiliki peradaban emas di masa khilafah, pribadi triple helix ini sangat banyak.  Dimensinya juga tidak hanya di bidang sains dan bisnis, tetapi juga bisa ke arah seni, siyasah (politik) ataupun petualangan.

Coba lihat beberapa contoh:

Umar Khayyam adalah mujtahid, tetapi juga matematikawan dan sastrawan.  Triple helixnya dapat disingkat “3S” : Syariah – Sains – Seni.  Hebatnya, di helix sains, Umar Khayyam menghasilkan penemuan di berbagai disiplin ilmu.

Muhammad al-Fatih adalah pemimpin pembebasan Konstantinopel (yang diramalkan Rasulullah sebagai sebaik-baik panglima), tetapi ternyata beliau juga seorang teknokrat ulung yang memahami dengan detil berbagai sains teknologi peperangan (beliau merancang konstruksi super-gun, dan juga memberikan metode memindahkan kapal melewati perbukitan) dan seorang eksekutif yang sangat paham hukum syariah.  Triple helixnya adalah juga “3S” : Siyasah (strategi) – Sains – Syariah.

Ibnu Batutah adalah traveller yang berkelana lebih dari 75000 Km (sebuah jarak hampir 2x mengelilingi bumi), di beberapa tempat ditunjuk sebagai hakim, dan kemudian menuliskan seluruh pengalamannya secara sistematik dalam beberapa buku yang menjadi rujukan ilmiah geografi, politik, antropologi dll selama berabad-abad.  Triple Helix Ibnu Batutah adalah “3S” juga: Spatialist (traveller) – Syariah – Sains.

Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah faqih, matematikawan top (penemu aljabar), dan juga pedagang (dia mengenal angka India – yang kemudian diadopsi dalam bukunya dan menjadi “angka Arab” – karena interaksinya dengan para pedagang).  Kitab Aljabar wal Muqobalah menjadi populer salah satunya karena dipakai dalam akuntansi perdagangan!

Triple Helix al-Khwarizmi adalah “3S” juga: Syariah – Sains – bisniS.  🙂

Ternyata, helix yang sangat dominan di sejarah Islam dan selalu ada adalah: Syariah!
Sekarang kembali kepada kita: akan mengambil triple helix yang mana?

POSTUR PENGELUARAN KELAS MENENGAH

Thursday, December 15th, 2011
Ini cerita tentang postur pengeluaran sehari-hari sebuah keluarga “kelas menengah” rata-rata yang saya dapatkan dalam suatu sesi training TSQ-Financial (atau dulu disebut FSR – Financial Spiritual Revolution).  Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya bertahun-tahun, dia mendapatkan:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :    7%
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   6%
3. Kebutuhan komunikasi (telpon, speedy, pulsa) :   7%
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :  28%
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 : 18%
6. Uang saku / jajan anak-anak                             : 12%
7. Gaji pembantu                                                    :  8%
8. Keperluan kecil lainnya                                       :   2%
9. Shodaqoh & cadangan                                       : 12%

Setelah saya pelajari, berdasarkan informasi penghasilan ybs sekitar Rp. 5 jt / bulan, maka berarti pengeluaran bulanan dia untuk:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :   Rp.   350.000
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   Rp.   300.000
3. Kebutuhan komunikasi (internet, pulsa)             :  Rp.   350.000
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :   Rp.1.400.000
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 :  Rp.    900.000
6. Uang saku / jajan anak-anak                             :  Rp.    600.000
7. Gaji pembantu                                                    :  Rp.   400.000
8. Keperluan kecil lainnya                                       :  Rp.   100.000
9. Shodaqoh & cadangan                                       :  Rp.   600.000

Untuk operasional rumah sepertinya sudah sulit ditawar.  Konsumsi listrik, bayar PAM, beli air gallon, iuran sampah ya sudah segitunya.

Kebutuhan transportasi oleh satu keluarga dengan 2 anak yang sudah sekolah ini cukup mepet.  Dengan 300.000/bulan, berarti jatah transport sehari cuma Rp. 10.000 / keluarga.  Ini sama saja dengan naik angkot+ojeg sehari pp hanya untuk satu orang.  Maka sang kepala keluarga akhirnya membeli motor bekas … lumayan bisa lebih irit.  Tetapi anak-anaknya yang sekolah tetap harus naik angkot + jalan kaki.  Ya insya Allah lebih sehat.

Kebutuhan komunikasi ternyata lumayan juga.  Langganan telepon (apalagi hari gini harus internetan, apalagi kadang untuk kelancaran pekerjaan!) ditambah pulsa untuk 4 nyawa ini ternyata lumayan juga.  Mungkin masih bisa ditekan ya?

Untuk pangan, Rp 1,4 jt untuk 4 nyawa berarti perorang cuma Rp. 350.000/bulan, atau Rp. 11.000 per hari.  Alhamdulillah, karena nyaris tidak pernah makan di luar, cukuplah uang segitu.  Sang suami kalau ke kantor bawa bekal masakan istri tercinta.  Padahal agar hemat juga.

Untuk pendidikan ternyata lumayan besar.  Meski sekolah negeri sekarang gratis, tetapi karena ingin sekolah yang baik, anaknya dimasukkan ke Sekolah Islam.  SPP mereka masing-masing sudah Rp. 300.000,-  Kemudian ditambah les sempoa, komputer, beli buku, kegiatan macam-macam dll, jatuhnya dua anak Rp. 900.000,-  Wow.  Tapi nggak papa, ini kan investasi masa depan.

Anak-anak juga diberi uang saku, karena sekolah mereka sampai jam 3 sore.  Nah, tiap anak dijatah sebulan Rp. 300.000 (sudah sama dengan SPP-nya).  Kadang sih mau makan bekal dari rumah, tetapi sering ikut makan siang di kantin bareng temannya.  Kadang juga uangnya utuh, ditabung kata mereka.  Bener sih, kadang-kadang pas ibunya ulang tahun, mereka memberi “kejutan”.  Baguslah, ini untuk pendidikan finansial anak-anak.

Pembantu yang cuma datang pagi pulang sore untuk bantuin mbersihin rumah, masak dan setrika (kalau nyuci sudah pakai mesin), dikasih Rp. 400.000/bulan — wah ini sudah “saling memuaskan”.  Hari gini tidak mudah cari pembantu mau dibayar Rp. 100.000 / minggu.

Kemudian ada keperluan kecil-kecil, ini ada recehan sejumlah 100 ribu … mungkin kalau ada yang hajatan atau ada pengamen.

Yang menarik adalah pos terakhir: ada shodaqoh dan cadangan Rp. 600.000,-  Yang fix mereka mencadangkan Rp. 100.000 untuk infak ke masjid dan dhuafa yang membutuhkan.  Kadang juga lebih.  Tetapi pos ini juga untuk berjaga-jaga kalau suatu ketika ada kebutuhan yang cukup besar, seperti keperluan mudik (sekali mudik bisa habis Rp. 2-3 juta), beli pakaian baru (karena yang lama sudah usang banget), atau kalau ada perabotan rumah yang harus diperbaiki, atau ada seminar pengembangan diri yang perlu didatangi (seperti TSQ-Financial ini), atau ada yang sakit.  Walaupun ada askes, tetapi tetap saja akan ada biaya tambahan seperti akomodasi untuk yang nungguin.

Jadi ternyata penghasilan 5 juta ini pas-pasan juga.  Tetapi kalau bijaksana masih cukup lah.  Untung mereka tidak perlu lagi ngontrak rumah.  Biarpun sederhana, rumah mereka sudah milik sendiri dan lunas.

Bagaimana kalau yang penghasilannya cuma 2 juta, tetapi sudah berani ngutang lagi, karena ingin punya Blackberry (biarpun seken, yang penting keren), apalagi  masih berani nambah anak terus, atau nambah istri terus 🙂

Ada pengalaman lain?  Bagaimana postur pengeluaran keluarga Anda?
Atau ada saran agar keluarga tadi dapat menghemat lagi pengeluarannya?

Salam

FA.-(Coach TSQ-Financial)