Sejak tahun 2001 saya menjadi juri Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI, dan sejak 2008 saya juga juri Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) Kementerian Pendidikan Nasional (belakangan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan). Bersama anggota dewan juri yang lain, saya harus ikut menentukan titik strategis dalam jalan hidup seseorang yang masih belia itu. Saya sendiri merasakan, bahwa terpilih sebagai juara LKIR (tahun 1984 saat saya baru 16 tahun), adalah salah satu titik yang signifikan mempengaruhi jalan hidup saya selanjutnya.
Lomba Ilmiah Remaja (LKIR/LPIR) sangat berbeda dengan Olympiade Sains. Dalam Olympiade Sains, soal diberikan sama ke semua peserta, dan jawabannyapun tertentu (tertutup). Sedang dalam Lomba Ilmiah Remaja, tidak ada soal yang diberikan. Peserta dibebaskan berinisiatif dan berkreasi meneliti atau menciptakan apa saja yang dianggapnya ilmiah dan bermanfaat. Hasilnya terbuka. Oleh karena itu, dalam Lomba Ilmiah Remaja bisa saja ada plagiarisme – yang harus kita tangkal – hal yang tidak mungkin ada dalam Olympiade Sains tingkat apapun. Namun tentu saja, ini adalah lomba tingkat remaja, bukan tingkat Magister atau tingkat Doktor, meskipun juri-jurinya adalah Profesor dan Doktor.
Ada tiga hal pokok yang saya pelajari ketika saya melayani remaja calon ilmuwan ini:
PERTAMA: Belum banyak remaja yang menjadi finalis ini yang berminat menjadi ilmuwan. Ketika ditanya cita-cita, sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter – sebuah profesi yang secara klasik menjadi cita-cita nomor satu anak Indonesia. Ada juga yang ingin jadi guru, diplomat atau bahkan pramugari. Mengapa mereka mengikuti ajang lomba ini? Ada yang karena didorong oleh gurunya. Sejak era sertifikasi, guru akan mendapatkan nilai tambah dengan menjadi pembimbing KIR. Bahkan ada guru yang menyediakan ide, alat, bahan, bahkan “contekan” untuk membuat karya ilmiah, sekalipun dalam presentasi, juri tidak sulit mengenalinya. Ada karya tulis yang terlalu canggih untuk anak SMP, bahkan untuk mahasiswa S1 sekalipun. Kadang-kadang siswa ini juga secara jujur mengatakan, bahwa peran gurunya hampir 70%. Kejujuran ini patut dihargai, walaupun kadang kebablasan juga, yakni ketika siswa yang panik dikejar oleh pertanyaan dewan juri kemudian mengomeli gurunya yang dirasakan membebaninya dengan beban yang terlalu berat. Keterbukaan siswa ini terjadi karena sidang dilakukan secara tertutup, finalis hanya berhadapan dengan dewan juri. Gurunya tidak boleh ikut nonton.
KEDUA: Kita tidak hanya mencari remaja calon ilmuwan, tetapi juga membinanya. Di arena LPIR Kemdikbud, kami harus memilih 33 peserta untuk setiap bidang (IPA, IPS, Teknologi). Idealnya memang dari tiap provinsi ada wakilnya, tetapi ini tidak mudah. Beberapa provinsi sama sekali tidak mengirimkan karya tulis. Lomba ini masih sulit dilakukan berjenjang dari tingkat Kabupaten – Provinsi – baru Nasional. Jumlah anak-anak kreatif di tiap provinsi tidak merata. Di tiap daerah juga belum tentu ada juri yang kompeten. Daripada nanti akhirnya yang diajukan dipilih dengan cara KKN, atau ada provinsi yang mengeliminasi terlalu banyak anak berbakat daerahnya, akhirnya diadakan langsung tingkat nasional. Juri menyeleksi naskah yang jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tetapi meski demikian, tidak cukup mudah untuk mendapatkan 33 finalis yang benar-benar bagus. Kadang cuma dapat 18, atau 23. Kalau sudah begini, selebihnya adalah “wawasan nusantara” atau “NKRI”. Artinya, kami undang juga peserta dari provinsi atau kabupaten lain yang sebenarnya tidak favorit, tetapi niatnya yang penting dia ikut jadi “finalis” saja, agar bertemu dengan teman-temannya dari seluruh Indonesia, dan bertemu dengan juri yang Profesor dan Doktor. Guru pembimbing mereka saja belum tentu pernah disoali oleh Professor … Tetapi kadang-kadang memang ada keajaiban. Pernah ada finalis yang semula diundang karena alasan “wawasan nusantara”, ternyata presentasinya memukau, idenya orisinil, dan karyanya bahkan layak dipatenkan.
Hanya kadang-kadang, tidak semua finalis mendapatkan kemudahan untuk mencapai lokasi final. Ada finalis dari Kalimantan Tengah, yang untuk mencapai bandara saja harus naik ojeg 4 jam! Ojegnya baru dibayar setelah dia pulang dan mendapat ganti ongkos dari panitia. Ada guru yang menggadaikan cincin kawinnya untuk menalangi biaya siswanya berangkat final ! Ada finalis dari Papua yang gagal berangkat karena tidak ada pejabat yang mau menalangi biaya tiket yang mencapai Rp. 10 juta. Semua biaya memang akan diganti oleh panitia, tetapi setelah finalis mencapai lokasi acara final! Panitia tidak bisa mengirim uang dulu, takut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi ada juga finalis yang gagal datang bukan karena faktor biaya, tetapi karena faktor jenis kelamin. Biasanya finalis perempuan. Di daerah, guru pembimbing KIR masih didominasi laki-laki. Ketika ada panggilan, yang bersangkutan, orang tua atau sekolah, keberatan siswa tersebut didampingi guru laki-laki. Pernah seorang finalis perempuan ini tidak mau keluar kamar. Ternyata, pada hari final itu, dia pas menstruasi yang pertama kali. Guru laki-lakinya tentu saja tidak bisa membantu apa-apa. Terpaksa panitia mendatangkan guru perempuannya. Untung daerah asalnya tidak jauh dari lokasi acara final. Tetapi kadang juga masalahnya cukup rumit. Misalnya, karya tulis dibuat oleh 3 orang, katakanlah namanya A, B dan C. Oleh gurunya, ditulis A sebagai penulis utama. Belakangan, ketika dipanggil final, ada intervensi dari kepala sekolah, atau dinas, agar C yang berangkat. Alasannya bisa macam-macam, misalnya C ini anak tokoh masyarakat, atau C ini punya orang tua yang bisa menalangi biaya, atau juga dalam uji presentasi di sekolah, C ini kelihatan paling menguasai. Kebetulan A dan B laki-laki, C perempuan. Akhirnya yang dikirim guru pendamping perempuan, bukan yang membimbing tim tadi. Jadinya, guru laki-laki yang pembimbing aslinya, merasa hanya berkeringat, tetapi yang menikmati orang lain. Kalau mereka tidak menang, timbul fitnah: “coba yang berangkat A, pasti menang”. Sebaliknya kalau mereka menang, bisa timbul fitnah yang lebih serius: rebutan hadiah! Rumit ya? Harusnya semua diundang saja. Tetapi anggaran negara terbatas.
Kita memang menghadapi kenyataan begitu besarnya wilayah Indonesia dan begitu beragamnya kehidupan mereka. Bagi sebagian finalis, acara final LPIR adalah kali pertama mereka menginap di hotel berbintang, kali pertama mereka naik pesawat, bahkan ada juga yang kali pertama mereka menginjak ibu kota provinsi tempat bandara berada. Akibatnya, banyak yang lucu-lucu terjadi. Ada yang di sela-sela waktunya bolak-balik naik lift atau eskalator, karena di kota mereka tidak ada gedung dengan lift atau eskalator. Ada yang mengisi bathtub dengan air panas, tetapi karena ternyata kepanasan, akhirnya menungguinya berjam-jam sampai dingin dulu sebelum akhirnya mandi. Ada yang menggunakan kesed kamar mandi sebagai handuk. Ada yang menggunakan air yang mengucur di kloset (saat mengguyur kotoran) untuk cuci muka. Ada yang bahkan tidak bisa buang air besar di kloset duduk, sehingga keluar hotel mencari sungai !
KETIGA: Kita harus menanamkan jiwa ilmuwan, yaitu jujur, kritis, kreatif dan tekun. Kadang hal ini bergesekan dengan kepatuhan kepada guru (apa kata guru adalah kebenaran – padahal ilmu terus berkembang). Tetapi kejujuran mereka tetap harus diutamakan. Yang penting mereka tekun untuk terus mencari kebenaran, setelah dihadapkan pada pandangan kritis atas apa yang telah mereka pikirkan. Kadang guru memaksakan bahwa karya tulis mereka masuk bidang teknologi, padahal setelah dibaca oleh dewan juri, ternyata cocoknya di IPS. Ada yang protes, tetapi ternyata, ketika hasil final memutuskan anak itu mendapatkan medali, protesnya sirna.
Dulu, ketika saya ikut LKIR tahun 1984, belum ada komputer di kota saya, apalagi internet, google, wikipedia dan facebook. Mencari informasi masih sangat sulit. Tetapi kini, informasi bertebaran di mana-mana, walaupun harus dipilah mana yang layak baca. Orang bisa kontak dengan siapapun di jagat maya, berkonsultasi dengan profesor manapun yang bersedia menanggapi gagasannya, dan bahkan mempublikasikan ide-idenya secara mudah dan bahkan gratis ke seluruh dunia. Karena itu, sudah selayaknya bila kita optimis, bahwa ajang LPIR ini bisa mencetak ilmuwan-ilmuwan handal 20 tahun ke depan. Saya sangat bergembira, bahwa dari 33 finalis teknologi, ada 5 yang menurut juri tamu dari Direktorat Paten Ditjen HAKI, pantas diberikan paten sederhana. Dari LPIR tahun 2011, sudah ada yang keluar surat patennya dan ditindaklanjuti oleh industri.
Jadi, kalau banyak orang miris dan pesimis melihat muramnya kehidupan ilmuwan negeri ini, marilah kita termasuk orang-orang yang menyalakan lilin, agar ke depan dunia ilmiah semakin terang. Kalau kita ingin benar-benar dapat menjadi rahmat ke seluruh alam, maka kita membutuhkan semakin banyak orang-orang beriman yang produktif dalam dunia ilmiah, dan kita juga membutuhkan ilmuwan-ilmuwan yang ikut menegakkan syariah dan khilafah. Mari melayani remaja calon ilmuwan sejak dini.
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Kecerdasan finansial adalah kecerdasan unik. Dia bukan termasuk kecerdasan elementer yang menurut pakar multiple-intelligence Howard Gardner terdiri dari kecerdasan logika-matematika, linguistik (bahasa), spasial (keruangan), musikal, kinestetik (gerak), interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensial.
Kecerdasan finansial sedikit banyak merupakan “senyawa” dari beberapa kecerdasan elementer. Tentu kita sepakat bahwa ada logika-matematika di sana. Seorang yang cerdas finansial tentu harus cepat berhitung bahwa meski cuma jualan cendol, kalau rata-rata punya dua gerai di setiap kabupaten/kota se Indonesia, maka omzetnya bisa satu milyar sehari. Dia juga harus cepat menguasai “bahasa-bahasa gaul” di dunia bisnis. Dia harus cepat tahu lokasi-lokasi strategis untuk mengembangkan pasar. Bahkan pengenalan atas selera musik juga bisa menguntungkan, karena banyak warung yang menjadi berkelas hanya karena iringan musik, baik dari tape recorder maupun live dari musisi jalanan. Dia harus cepat tanggap atas berbagai persoalan stakeholder, terutama SDM-nya. Dia juga harus punya kemampuan introspeksi yang cepat, selain tahan banting walau ancaman terus menghadang. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam, misal kalau sekiranya beberapa hari ke depan hujan turun lebih sering, lebih baik dia switch dari jualan es-cendol menjadi bubur cendol (hangat). Dan tentu saja dia harus cerdas menyandarkan eksistensinya di dunia ini kepada Sumber Segala Eksistensi, juga Sumber Segala Rizki, yaitu Allah swt. Kecerdasan yang terakhir ini sering juga disebut kecerdasan spiritual (SQ).
Sayangnya, meski setiap orang cepat atau lambat akan berurusan dengan dunia finansial, kecerdasan finansial nyaris tidak pernah diajarkan di sekolah. Bahkan hanya sedikit pengusaha yang mengasah kecerdasan finansialnya. Padahal, kecerdasan ini seharusnya melekat baik pada anak sekolah, buruh, karyawan, PNS, ibu rumah tangga, pengusaha, hingga para birokrat yang menjalankan negara.
Kecerdasan finansial (Financial Quotient, FQ) sebenarnya dapat diukur dengan sederhana. Bayi yang baru lahir akan memiliki FQ=0. Ketika seseorang mulai bekerja sehingga mendapatkan penghasilan sendiri yang mencukupi kebutuhannya, maka FQ=1 atau disebut telah meraih kemandirian finansial. Kalau punya penghasilannya tapi belum mencukupi, maka FQ terletak di antara 0 dan 1. Jika gajinya sudah melebihi kebutuhannya, FQ nya tetap = 1, karena bila dia mengalami sakit sehingga tidak bisa bekerja, atau bahkan di-PHK, dia masih akan terguncang.
Lain halnya bila dia memiliki sumber penghasilan pasif, yang tetap mengalir sekalipun dia karena suatu alasan tidak bekerja lagi. Pada saat itu FQ beranjak lebih dari 1. Ketika dari penghasilan pasif ini saja sudah mencukupi kebutuhannya, maka dikatakan FQ=2. Pada titik ini dia benar-benar memiliki kebebasan finansial. Kalau penghasilan pasif ini dua kali lipat dari kebutuhannya, maka FQ=3. FQ ini ke atas tidak terbatas. Orang seperti Bill Gates yang penghasilannya sebagai pemilik saham Microsoft barangkali sejuta kali kebutuhannya, dapat dikatakan memiliki FQ=1000001. Memang itulah, rizki dari passive income bisa tak terbatas, selama kita cerdas meyiapkannya.
Seorang pengusaha tidak otomatis memiliki penghasilan pasif, kecuali dia benar-benar bisa bebas dalam aktivitasnya sehari-hari. Dia tidak habis waktu mengurusi bisnisnya, karena sebagian besar telah dapat dikerjakan oleh sarana (mesin), ilmu (sistem) yang diciptakannya, dan SDM yang mendukungnya. Tak heran bila Rasulullah mengatakan bahwa, “Bila mati anak Adam, maka terputuslah amalnya, kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh”.
Dalam dunia finansial, shadaqah jariyah adalah peralatan atau sarana fisik seperti sawah, pabrik, komputer atau kendaraan usaha. Tentu saja semua tidak otomatis berproduksi menghasilkan passive income, tetapi juga perlu suatu ilmu atau sistem untuk menciptakan nilai tambah, dan SDM yang mampu menggerakkan semuanya dalam operasional sehari-hari. Bila tiga komponen ini sudah jalan, maka bila orang itu sakit, pergi haji, tidur, bahkan mati sekalipun, uang tetap terus mengalir!
Bila seperti ini halnya, maka kecerdasan finansial memang tidak hanya perlu dimiliki kalangan pengusaha saja. Pelajar atau karyawanpun perlu, agar mereka mempersiapkan diri, tidak makin tua makin terbelit dengan hutang yang akan merampas kemerdekaan mereka. Para PNS perlu cerdas finansial, agar tidak terkaget-kaget dengan masa pensiun yang menyebabkan penghasilannya turun drastis. Sedang para birokrat perlu agar tidak menjerumuskan daerah atau negerinya ke jebakan hutang, malah sukur-sukur bisa menciptakan passive-income bagi seluruh rakyatnya, sehingga negeri itu makin lama justru makin sejahtera. Rakyatnya jadi punya waktu luang yang cukup untuk belajar Islam dan berjuang berdakwah menegakkan syariah dan khilafah.
Adapun dimensi spiritual dari kecerdasan finansial terletak pada tiga hal. Pertama adalah dari motivasi finansial. Seorang muslim tidak seharusnya hanya mencari uang demi hidup yang enak dan hari tua yang aman. Seharusnyalah motivasinya yang utama adalah semangat mensukseskan ibadah yang perlu banyak uang, seperti naik haji, banyak shadaqah, wakaf atau menanggung anak yatim. Kedua, caranya meraih kebebasan finansial itu juga dengan cara-cara yang berkah, yang dipagari oleh syariah. Dan ketiga, kebebasan finansial yang diraihnya digunakan untuk tujuan-tujuan mulia yang lebih besar lagi, menyebarkan keberkahan ke dunia yang lebih luas!
Kalau sumbu kecerdasan finansial (FQ) adalah mendatar, maka sumbu kecerdasan spiritual (SQ) adalah ke atas. Kombinasinya adalah vektor kecerdasan finansial-spiritual (FSQ). Maka kita akan melihat bahwa untuk menaikkan besaran vektor itu, kita bisa menarik dimensi finansial, namun bisa juga dimensi spiritual. Banyak shadaqah, banyak wakaf, banyak berdakwah terbukti sering memberi hasil yang lebih besar daripada sekedar investasi mesin baru, membeli ilmu baru, atau merekrut expert baru. Ini terjadi karena dunia ini tidak sepenuhnya terletak pada garis yang bisa kita kendalikan atau kita pengaruhi. Kondisi cuaca, selera pasar, perubahan politik dan ekonomi global kadang berjalan liar, dan di situlah upaya pada dimensi spiritual sering menghasilkan keajaiban-keajaiban yang makin membuktikan kehadiran Tuhan.
Kita mesti melatih anak-anak kita kecerdasan finansial yang sekaligus spiritual. Permainan monopoli klasik yang hanya menyentuh dimensi finansial – sehingga cenderung sangat kapitalistik – perlu kita kembangkan sehingga juga memiliki dimensi spiritual. Mungkin dengan itu, suatu saat kita bisa berharap muncul revolusi keberlimpahan finansial sekaligus keberkahan spiritual (Financial-Spritiual Revolution).
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Bagaimana menjadi pengusaha sukses, itu sebenarnya sangat sulit ditularkan melalui pendidikan ataupun training. Kata orang-orang “sakti”, ilmu pengusaha itu adalah salah satu dari ilmu-ilmu yang tidak bisa diajarkan, tetapi harus diraih sendiri dengan sebuah “laku prihatin” di “rimba- ekonomi”. Konon hanya dua dari sepuluh orang yang melintasi rimba tersebut yang selamat dan hanya satu di antara seratus mereka yang benar-benar menjadi “sakti”.
Karena itu, setelah seseorang akhirnya berhasil mengatasi berbagai kesulitan seperti marketing, memperoleh pemasok, mendapat SDM yang amanah dan kafaah, menjaga cash-flow, membuat sistem dan lika-liku administrasi lainnya, akhirnya berhak diberi bintang. Mereka yang akhirnya usahanya bisa running sendiri, menghasilkan passive-income yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, tanpa dia habis waktu di dalamnya, itu kecerdasan finansialnya (FQ) sudah di atas 2. Dia telah terangkat dari sekedar posisi “kemandirian finansial” (FQ=1) menjadi “kebebasan finansial” (FQ >= 2). Tetapi bintang yang pantas diberikan baru satu! Dia baru menjadi “1-Star-preneur” – berapapun omzet atau laba yang diterimanya!
Kenapa? Karena dengan perjalanan waktu, perkembangan teknologi dan perubahan sosial-politik, apa yang semula tampak bisnis yang menguntungkan, suatu saat bisa berubah drastis. Karena itu, seorang pengusaha harus mampu terus menghasilkan inovasi. Inovasi ini bisa pada jenis produknya, kualitasnya, kemasannya, bisa pula pada teknik pemasarannya, sasaran konsumennya, model bisnisnya, dan sebagainya. Inovasi harus menjadi budaya usaha. Hanya dengan inovasi ini, perusahaan akan terus berlayar di “samudra biru”, dan terhindar memasuki arena “samudra merah” yang berdarah-darah. Hanya pengusaha yang inovatiflah yang pantas mendapat 2 bintang, “2-Stars-preneur”.
Namun inovator manapun suatu saat akan tua dan mati. Di negeri ini, masih sedikit usaha yang mampu bertahan hingga generasi ketiga. Anak-anak pengusaha biasanya tidak memiliki semangat juang dan passion seperti orang tua mereka. Demikian juga para tokoh-tokoh kunci di usaha itu. Karena itu merupakan kehebatan tersendiri bagi pengusaha yang terus menginspirasi orang lain, mulai dari keluarganya, anak-buahnya, stakeholdernya, sampai orang-orang yang tidak mengenalnya secara langsung. Mereka semua terus terinspirasi, bahkan melahirkan pengusaha baru. Inilah pengusaha yang pantas mendapat 3 bintang, “3-Stars-preneur”.
Tadi dikatakan bahwa terkadang landscape sosial-politik di masa depan bisa berubah drastis, dan itu mau tak mau akan berpengaruh di dunia usaha. Tak ada yang bisa meramal masa depan, tapi kita bisa berusaha agar masa depan ada dalam pengaruh kendali kita – setidaknya sebagiannya. Caranya adalah dengan mengintegrasikan berbagai aspek dalam dunia bisnis kita. Kita terlibat dalam aktivitas kenegarawanan. Bisnis memang suatu aktivitas ekonomi, tetapi ikut terlibat dalam upaya agar iklim bisnis di negeri ini ke depan makin kondusif, itu adalah aktivitas politik. Karena itu seorang pengusaha harus melek berbagai isu nasional, seperti isu-isu green-business, isu-isu good-corporate governance, hingga isu-isu shariah-business. Kalau dia lalu melakukan pengembangan usaha yang mengintegrasikan ini semua, apalagi aktivitasnya memang berskala nasional, maka tiba saatnya dia mendapat 4 bintang, “4-Stars-preneur”.
Tapi, yang namanya dunia kini sudah menjadi desa global. Krisis finansial di Amerika dan Eropa, ancaman perang di Teluk Persia, hingga memanasnya semenanjung Korea, cepat atau lambat akan berpengaruh pada dunia bisnis di tanah air. Memahami konteks politik internasional kini, dan mengambil sikap sebagai warga negara yang semestinya independen, akan menjadikan kita pengusaha yang pantas diperhitungkan di kancah internasional, apalagi bila bisnis kita memang tidak lagi disekat-sekat oleh batas-batas negara. Untuk pengusaha seperti ini kita pantas memberikannya 5 bintang, “5-Stars-preneur”.
Apakah masih ada yang lebih tinggi lagi? Ternyata ada!
Seorang yang telah mendapatkan 5 bintang pun, sedikit banyak masih menjadikan profit atau pertumbuhan asset sebagai indikator kemajuan usahanya. Fakta juga menunjukkan bahwa baik di Timur maupun Barat, banyak 5-Stars-preneur yang tidak tergantung pada jenis usaha, lokasi usaha, agama maupun orientasi politiknya.
Tetapi ada memang pengusaha yang sedari awal memiliki agenda tertentu. Dia tidak sekedar ingin menjadi pengusaha sukses dengan keuntungan berlimpah, tetapi dia ingin membawa agenda perubahan yang mendasar pada masyarakat. Misalnya, dia ingin melihat masyarakat yang bebas atau demokratis, yang menjadikan selera publik sebagai acuan tanpa harus “terbelenggu” agama tertentu. Pengusaha yang seperti ini dikatakan pengusaha yang ideologis – lepas dari soal kita setuju atau tidak dengan ideologi yang diyakininya. Mereka ini adalah pengusaha dengan 6 bintang. Pengusaha kelas dunia seperti John-Rockefeller adalah contoh legendaris seorang 6-Stars-preneur.
Tetapi di atas itu masih ada satu tingkatan lagi. Seorang pengusaha yang tidak hanya menatap dunia yang dapat terlihat dengan matanya, tetapi juga dunia yang tidak kasat mata. Mereka meyakini apa-apa yang berasal dari sebuah sumber yang hanya terjangkau dengan iman. Itulah pengusaha muslim sejati. Iman seorang pengusaha muslim mewajibkannya untuk berpikir rasional dan menjauhi segala syirik dan mitos. Sebagai muslim, dia tidak akan menggunakan cara-cara irrasional, seperti mengenakan jimat atau percaya kepada hari-hari baik/sial. Dia semata-mata menggunakan cara-cara yang ilmiah, sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah swt. Dia tahu bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin tidak sekarang, mungkin tidak berujud manfaat material, tetapi juga intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pada saat yang sama, dia akan memotivasi diri dengan ajaran-ajaran Islam untuk memberi manfaat kepada orang ramai, juga terinspirasi oleh berbagai ayat yang akan membuatnya inovatif. Ajaran Islam tentang “amal yang tak terputus ketika mati” akan mendorongnya untuk memaksimalkan wakaf berbagai fasilitas umum, berbagi ilmu ke orang banyak, juga menginspirasi sebanyak mungkin manusia agar mengikuti langkah suksesnya. Dia juga terlibat dalam aktivitas politik agar syariah Islam bisa tegak di negeri ini, agar tak cuma iklim bisnis semakin kondusif, tetapi juga konsumen makin cerdas, terlindungi serta meraih berbagai kemuliaan. Pandangannya juga tak hanya berhenti di batas negara, tetapi mendunia. Islam sedari awal adalah sebuah ajaran global untuk rahmat seluruh alam. Dan untuk itulah, dia terlibat dalam sebuah perjuangan yang ideologis untuk menegakkan Khilafah. Inilah pengusaha muslim yang pantas mendapat 7 bintang “7-Stars-preneur”. Semoga Anda salah satu di antara merreka!